“Tuan, apa yang terjadi dengan Nyonya!” Napas Bimo memburu setelah sampai di Rumah Sakit Dewangga.Aron memijat pelipis, menatap Bimo serius. “Selidiki yang mengirimkan foto saya waktu di club malam bersama Sandra. Sialnya foto itu diambil dari angel yang seakan-akan memperlihatkan saya berbuat tak senonoh,” titah Aron seraya mendengkus kasar. “Berbuat tak senonoh …,” beo Bimo tak percaya.Aron melipat kedua tangan di dada, menatap lurus ke depan. “Ya, jelas-jelas malam itu Sandra muntah-muntah di jas saya. Walau pada akhirnya saya tetap membantu Sandra selayaknya teman biasa.”Aron menghembuskan napas berat, tak menyangka perlakuannya menimbulkan masalah.Lantas siapa yang melakukan seperti ini padanya? Benar-benar mencari perkara.“Sebentar Tuan, apa sebelumnya Anda sudah menjelaskan pada Nyonya Kamila mengenai kejadian pada malam itu?” tanya Bimo dengan raut serius. Aron mengernyitkan kening, lantas menyandarkan punggung pada kursi, dan menatap lurus pada ruangan Kamila. ”Tidak,
“Mas ….” Lirih Kamila.“Kau sudah siuman, Sayang.” Aron berucap pelan, sangat khawatir melihat keadaan sang istri.“Mas aku melihat—”Pria itu langsung memeluk erat sang istri. “Sudah, jangan diteruskan, Sayang. Itu semua hanya akal-akalan orang iseng, dan aku bersungguh-sungguh tidak pernah melakukannya dengan Sandra. Nanti Bima akan menyerahkan buktinya padamu, tapi yang jelas kau jangan stress ya dan memikirkan apa pun. Lebih baik fokus kepada kesehatanmu.” “Lantas bayiku tidak apa-apa,’kan?” tanya wanita itu sendu.“Tidak, Sayang. Anak kita baik-baik saja, yang terpenting sekarang kau istirahat.” Aron mengusap surai Kamila, dan mengecup kening wanita itu.Meski pikirannya sedang melanglang buana, tapi tetap saja ia harus bersikap baik-baik saja di depan sang istri. Dan Jujur Aron begitu penasaran, apa yang akan Bimo lakukan, pria itu suka sekali membuatnya menebak-nebak. Bahkan dia hanya mengatakan hal yang ambigu sebelum pergi entah ke mana. “Aku baru saja bangun, Mas. Masa d
“Apa maksud Anda?” tanya Aron. Tatapannya menajam, menyorot pada Arkam. “Kamila … dia adalah cicit saya. Dan sekarang—” Perkataan Arkam terhenti ketika Aron maju, menarik kuat kerah kemejanya, “Tuan!” seruan itu membuat Aron menoleh, terlihat Bimo yang tergesa-gesa melangkah ke arahnya, dengan berani pria itu melepas cengkraman Aron dari kerah kemeja Arkam. “Apa maksudmu menghalangi saya, Bimo!” tantang Aron tajam. “Pria ini sudah mengatakan omong kosong, bagaimana mungkin saya membiarkannya begitu saja!” Alih-alih menjawab, Bimo justru menoleh ke arah Arkam. Ia menatap pria itu kesal. “Bukankah saya sudah memberitahu Anda untuk jangan gegabah? Lantas mengapa langsung ke sini?” Bimo bahkan melupakan kesopanannya karena begitu kesal dengan Arkam, pria ini selalu berbuat semaunya tanpa memikirkan dampak dari apa yang diperbuat. Jika boleh jujur, Bimo cukup menyesal mengatakan semuanya semalam. “Saya hanya ingin menemui Kamila, karena bagaimanapun dia adalah cicit saya. Tentu saja
“Bu, apa maksudnya jika Kamila adalah sepupuku sendiri?” tanya Relin pada Masayu. Ia tak tenang semalaman karena setelah Bimo membuat keributan, Masayu langsung pulang dari kediamannya diikuti oleh Farzan. Sementara Arkam, bergegas pergi entah ke mana. Lantas sekarang, baru pukul tujuh pagi. Tapi Masayu sudah berada di ruang tamu dengan pandangan kosong ke depan, tanpa membuka suara. “Relin, maaf mengganggu obrolanmu. Aku pamit pulang ya, karena akan bekerja pukul sembilan nanti,” ungkap Kila. Ia memang sudah tak memanggil dengan embel-embel ‘mbak’ lagi. Tentu atas perintah dari Relin. Kila dan Erza juga menginap di sini semalam, tidak tega meninggalkan Relin dengan suasana kacau serta sedikit rasa shock. “Ya, Kila. Terima kasih sudah menemaniku, maaf atas kejadian yang tidak mengenakan semalam.” Kila tersenyum tipis, menepuk punggung Relin pelan. “Kalau begitu aku pamit dulu, Mas Erza sudah menunggu di mobil.” Atensi wanita itu beralih pada Masayu. Namun, ketika tak melihat r
Setelah Kamila pulang dari rumah sakit, Ia merasakan banyak kejanggalan. Salah satunya Bimo yang tak pernah terlihat serta sikap Aron yang semakin protektif. “Ibu!” seru Ayana ketika melihat Kamila. Kamila memeluk si kembar, ia tertawa pelan ketika Ayana serta Saga berebut untuk duduk di sampingnya. “Ibu tahu tidak, jika Nenek sama Kakek lagi ke rumah Kakek Arya,” celetuk saga. Kamila melepas pelukannya, menatap sang putra dengan kening berkerut. “Kapan, Sayang? Karena nenek tidak memberitahu Ibu.” “Sebelum Ibu pulang, makanya kami dijaga sama Mbak Sari,” jawab anak laki-laki itu. “Lagi ngomongin apa sih, serius sekali sepertinya.” Aron datang sambil duduk di samping Ayana, membuat gadis kecil itu langsung memeluk pinggang sang ayah. “Itu Mas, kata saga Ayah sama Ibu lagi ke rumah Paman Arya. Memangnya ada apa ya?” tanya Kamila penasaran. “Asma Paman Arya sedang kambuh, dan tidak ada orang juga yang menjaganya di rumah. Dari dulu Ibu sudah meminta untuk dia tinggal di dekat
Napas Aron masih memburu menahan kekesalan karena Arkam dengan lancang memeluk Kamila, padahal sudah satu dua jam berlalu sejak kejadian itu berlangsung. Namun, tetap saja kilat amarah tetap berkobar pada matanya.Ia menoleh ke samping, melihat ke arah Bimo yang memasang wajah tegang. Andai saja pria ini tak datang, mungkin Arkam sudah berakhir di rumah sakit.Benar, Bimo yang menghalanginya dan itu membuat kekesalan Aran semakin menumpuk pada sang asisten.“Kita bicarakan ini dan kepala dingin ya, saya mohon pintar,” pinta Arkam.Ia melihat ke arah Kamila, wanita itu terdiam sajak ia menjelaskan dari awal sampai akhir mengenai kisah tentang Ardan. Jika ditanya apakah menyesal atas perbuatannya dulu, tentu saja iya. Karena bagaimanapun Arkam telah menghancurkan hidup cucu lelaki satu-satunya.“Kamila, Bibi tahu kau mungkin sangat sulit menerima semua fakta ini. Tidak apa-apa jika kau merasa kecewa dan benci terhadap kami, tapi tolong tetap biarkan Bibi berkunjung untuk bertemu denganm
“Kamu kenapa?” tanya Sandra seraya menyentuh tangan wanita itu.Relin gelagapan, ia tersenyum kikuk seraya menggeleng pelan. “Tidak apa-apa.”Sandra menaruh garpu di piringnya, kini mefokuskan atensi secara penuh pada wanita itu. “Kalau ada apa-apa cerita, apa ini berkaitan dengan kesehatan Rendra?”Lagi lagi Relin hanya melempar senyum tipis, lalu kembali menyantap makanan. Pada akhirnya Sandra pun menyerah, berpikir wanita itu sedang tak ingin menceritakan apa yang terjadi.“Tumben kau mengajakku makan siang, apa Rendra tak menangis kau tinggal pergi?” tanya Sandra membuka percakapan.“Tidak kok, dia sama Ibu di rumah. Sebenarnya aku juga hari ini ingin bertemu Erza, pria itu berjanji ingin membawa Rendra ke rumahnya, tentu ada klla juga di sana.”Sandra menyeruput lemon tea di hadapannya, setelah itu berkata,” Perhatian sekali Erza, apa dia sedang belajar menjadi ayah yang baik, mengingat sebentar lagi peri itu akan segera menikah.”Relin tersedak, bergegas Sandra mengambilkan air
Dua minggu setelah kedatangan Relin, Kamila mulai merenung akan sikap kerasnya selama ini.Belum lagi Relin bercerita mengenai hubungan orang tuanya yang memburuk, alhasil perasaan bersalah mulai melingkupinya. “Ibu, ada bunga sama makanan lagi. Sebenarnya siapa yang mengirim ini setiap hari?” tanya Saga sembari menuntun Kamila ke arah pintu utama. Wanita itu mendesah berat, sudah ditebak—pasti ini kerjaan Arkam. Pria paruh baya itu memang pantang menyerah.Kendati demikian, ia juga cukup terharu dengan usaha Arkam. Dia bahkan terus mendesak Aron supaya merayu Kamila untuk menerimanya, sampai sang suami kesal sendiri karena pria itu datang ke rumah sakit setiap hari. “Waw! Bunga cantik itu lagi, apakah Ibu akan membuka toko bunga?” tanya Ayana yang baru saja datang. Kamila menggeleng pelan. “Ini dari Pak Arkam, tolong panggilkan Mbak Sari sama yang lainnya untuk bawa bunga ini masuk, Sayang.” “Siap, Ibu!” seru si kembar sigap. “Mila, kenapa di luar?” Dona bertanya bingung, tapi
Kamila menatap kosong ke depan, Aron yang sejak tadi memeluknya ikut merasa sedih. Ini semua adalah mimpi buruk baginya, ia hanya tertidur sebentar di mobil. Lalu tiba-tiba sudah berakhir di rumah sakit, setelah siuman justru menerima berita kehilangan sang buah hati. “Aku egois ya, Mas? Andai aku tidak membuntuti Relin, mungkin anak kita masih ada di sini,” kata Kamila setelah kebisuan panjang. Wanita itu mengusap perutnya yang rata, satu bulan berlalu. Duka itu masih menyapa, sakit dan perih akan kehilangan yang tak pernah terduga. “Sayang, dengarkan aku.” Aron menangkup wajah Kamila, menatap mata wanita yang dicintainya itu. “Kau boleh bersedih, tapi jangan berlarut-larut. Aku tidak mau Ayana serta Saga merasa tersisihkan.” Kamila tertegun, tanpa sadar sudah abai dengan keberadaan si kembar lantaran larut akan kesedihan. “Ayana, Saga ….” Lirih wanita itu. “Ya, mereka takut mendekat padamu. Terkadang Ayana maupun Saga hanya melihatmu dari celah pintu,” jelas Aron, membuang pa
Nyatanya, kebahagian itu tak pernah berpihak padaku ~Kamila Cahaya *** Semua yang terjadi di hadapannya begitu cepat, menarik napas pun terasa sulit. Kamila memegang tangan dingin Aron. Ia bodoh dan ceroboh, sehingga melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang. “Tolong! Siapa pun tolong!” Wanita itu menjerit seraya memukul kaca mobilnya. Tak berselang lama, suara pecahan kaca serta teriakan orang-orang mulai terdengar. Sedangkan Kamila, bukannya merasa lega. Justru ia semakin panik kala melihat darah yang mengaliri betisnya. Kamila tercekat, napasnya memburu tak beraturan. Ia menoleh ke arah Aron, memegang tangan sang suami kuat. Sebelum kegelapan merenggut kesadarannya. *** Masayu duduk lemas tak bertenaga setelah menerima kabar jika mobil yang Relin serta Sandra tumpangi menabrak pembatas jembatan. Lantas jatuh ke bawah dan sampai sekarang tak bisa ditemukan. Belum lagi Kamila, Aron serta Bimo kecelakaan di lokasi yang sama dengan Relin, tapi bedanya mereka hanya
“Mas .…” Kamila menyentuh pelan bahu Aron. Ia menggigit bibir bawah ketika melihat tatapan kosong sang suami. “Mila, Erza pergi untuk selamanya. Apakah sikapku keterlaluan selama ini? Aku kecewa padanya. Tapi bukan berarti dia—” Napas Aron tercekat, pria itu mendongkak, menghalau air mata yang hendak keluar. Ia kembali menunduk, melihat gundukan tanah di hadapannya. Erza memeng tak bisa diselamatkan, pria itu ditemukan sudah tak bernyawa. Mengingat terlalu banyak menghirup asap, serta luka bakar yang yang didapat. “Mas, aku tahu jika ini pasti sangat berat. Ada aku di sini, Mas tidak sendiri.” Kamila memeluk sang suami, ia bisa merasakan napas lelah pria itu yang berhembus di ceruk lehernya. “Tuan, hujan sudah mulai turun. Apakah tidak sebaiknya kita berteduh?” tanya Bimo pelan. Tak tahan melihat Aron yang mendapat kesedihan secara bertubi-tubi. Bimo sudah menganggap pria itu seperti adiknya sendiri, dan ia ikut merasakan kesakitan Aron.Aron melepas pelukannya dari Kamila, lant
“Kemungkinan besar dia dijatuhi hukuman seumur hidup, mengingat Erza juga terlibat dalam pembunuhan berencana. Ayahnya pun sudah tutup mata dan memutuskan hubungan dengan Erza. Sementara Relin, hingga saat ini belum ditemukan,” jelas Tama menatap ke arah Aron yang sedang menatap jauh ke depan. Satu bulan sejak terakhir kali ia bertemu dengan Erza, Tama ingat betul kala orang tua Panji menyumpahi Erza dengan kemarahan membeli buta, tak lupa mengutuk menantunya yang tidak lain adalah Relin, meskipun wanita itu menghilang entah ke mana.“Apa si Brengsek itu menyesali semua perbuatannya?” tanya Aron dingin, setelah keheningan panjang.Tama menghembuskan napas berat, meneliti ekspresi sang putra yang terlihat kecewa serta marah. “Tentu saja dia menyesal, seperti yang Ayah katakan satu bulan yang lalu. Jika dia ingin bertemu denganmu untuk meminta maaf, tapi mengingat kau yang tak mau melihat wajahnya. Jadi, Ayah tidak bisa memaksa.”“Syukurlah dia sadar diri, memang orang jahat sepertin
“Setelah saya selidiki semuanya, ternyata Tuan Erza juga yang membakar kebun apel Anda. Dia mengaku telah mengambil cincin Tuan Farzan dan ditaruh di lokasi kejadian, agar kecurigaan kita mengarah padanya,” jelas Bimo. Pria itu menyesal karena dulu sempat berburuk sangka pada Farzan, tapi siangka Erza adalah dalang dari semua ini. Sungguh, tak pernah terbesit dalam pikirannya. Bimo kembali mengalihkan atensi pada Aron, terlihat jelas wajah kecewa serta terluka sang tuan. Ia turut sedih, mengingat Aron serta Erza berteman sejak kecil.“Lalu mengenai kasus Panji bagaimna?” tanya Aron setelh kebungkamn yang cukup panjang. “Sedang diurus oleh pengacara Anda, Tuan Erza juga sudah ditahan. Tadi siang ketika saya ke selnya, dia berpesan ingin melihat Anda,” ungkap Bimo hati-hti. “Tidak akan.” Aron mengeraskan rahang. “Jika saya bertemu dengannya, saya tak yakin jika dia masih bernapas esok hari.” Pria itu mengepalkan tangan, sudah seminggu sejak kematian Rendra, ia sama sekali tidak sudi
“Tunggu dulu, apa maksudnya jika Erza mendonorkan darahnya pada Rendra?” tanya Aron. Mencegah Erza yang hendak mengikuti Relin. “Mengapa kau memikirkan itu! Yang terpenting sekarang kami harus menyelamatkan Rendra!” bantah Relin kuat, menatap Aron tajam. “Bukan maksud saya seperti—” Perkataan Aron terhenti ketika dokter serta suster tergesa-gesa menuju ruangan Rendra. Mereka semua yang melihat itu tentu saja panik. Relin yang hendak masuk langsung dihentikan oleh Farzan. Membuat wanita itu menangis karena panik. “Mas ….” Lirih Kamila sembari memegang lengan Aron. Pria itu tersentak, baru menyadari jika sang istri sedari tadi bersamanya.“Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja,” kata Aron lembut. Berbanding terbalik dengan tatapan tajamnya ke arah Relin serta Erza. Satu jam berlalu, seorang dokter keluar. Pria itu menatap keluarga pasien dengan wajah tak terbaca. Lalu berucap, ”Pasien tidak bisa diselamatkan. Dia terlalu banyak kehilangan darah, ditambah lagi dengan penyakit
“Jadi, aku sudah boleh pulang?” tanya Aron sekali lagi. Kamila mengangguk pelan, sudah pukul delapan malam. Lantas mereka keluar dari hotel, menuju kediaman Dewangga. “Apa pun yang terjadi ke depannya, kau harus percaya padaku.” Aron mengecup punggung tangan Kamila, mengabaikan Bimo yang seperti nyamuk di antara mereka.“Ya, asalkan jangan sembunyikan hal besar lagi dariku,” jawab Kamila. Aron mengangguk, mengusap rambut wanita itu lembut. Lalu menyandarkan kepala Kamila di dada bidangnya. “Mengenai Relin, ternyata dulu Mas tidak direstui, ya?” tanya Kamila pelan. Tubuh Aron terlihat menegang, tapi dengan cepat rileks kembali. “Ya, itu dulu. Sekarang ada dirimu da si kembar. Kami juga sudah bahagia dengan jalan hidup masing-masing.” Kamila terdiam, ia pikir Relin begitu diterima di keluarga Aron, mengingat dulu Dona sangat menyanjung sang sepupu.“Tuan, kita disuruh ke rumah sakit. Rendra jatuh dari tangga, dan keadaannya drop.”Perkataan Bimo menyentak Kamila dari lamunannya, b
“Enam tahun penjara?” tanya Aron dengan wajah kaku. “Benar, Tuan. Namun, hukuman yang sebenarnya dapat bervariasi tergantung pada pertimbangan hakim dan fakta yang terungkap dalam proses peradilan. Hakim bisa saja menjatuhkan hukuman penjara di bawah atau di atas enam tahun. Tapi balik lagi, itu semua tergantung pada keadaan kasus dan pertimbangan-pertimbangan lainnya seperti keadaan pelaku, korban, serta faktor-faktor pengurangan hukuman lainnya.”“Apanya yang enam tahun!” Seruan itu membuat Aron menoleh, ia tersentak ketika melihat Kamila yang menatapnya marah.“Jawab! Kenapa kau lakukan hal ini, Mas!” Kamila memukul dada Aron kuat, meremas kemeja yang pria itu kenakan dengan air mata yang sudah berjatuhan. “Ka–kamila … kau di sini?” tanya Aron linglung. Mengapa sang istri ke hotel tempatnya menginap? Wanita itu mendongak. “Ya, aku ke sini untuk membawamu pulang. Sudah cukup kebodohan yang kau lakukan, Mas. Ayo, lupakan semuanya. Ak–aku ….” Napas Kamila tercekat, tak bisa melanj
“Ibu, mengapa Ayah selalu menemuiku dan Saga di luar? Memangnya kenapa tidak di rumah saja?” tanya Ayana sembari menatap ke arah Kamila.Gadis kecil itu melihat kembali penampilannya pada cermin, setelah merasa cantik ia kembali menghadap ke arah Kamila.“Ayah sedang bekerja, Sayang. Mungkin setelah semuanya selesai baru dia pulang.” Wanita itu menjawab pelan, meski terdapat kekhawatiran pada raut wajahnya. “Oh … begitu. Padahal aku kangen tahu dibacakan dongeng sama Ayah. Memangnya Ibu tidak kangen sama Ayah?” Kamila melotot kaget, setelah itu tertawa canggung. “Ah, Yaya sangat cantik hari ini. Bagaimana jika sore ini kita ke taman? Ajak Aga juga nanti.” Ia mengalihkan pembicaraan, dan benar saja Ayana langsung mengangguk.“Siap, Bu! Nanti aku boleh makan ice cream ya, soalnya sudah satu minggu aku libur.” Gadis kecil itu mengerjap lucu, berharap Kamila luluh. “Tentu, Sayang. Hari ini Yaya dan Aga boleh makan ice cream, dan sekarang ambil tasnya ya.” Kamila mengacak rambut Ayana g