Sudahkah kamu berdamai dengan dirimu hari ini?
“Tidak usah, Kak. Toh, kerjaan Kak Tara sangat banyak. Nanti saja ke sini setelah semuanya rampung, jika tetap nekat aku akan marah!” Ancam seorang wanita dari seberang sana. Bastara menghela napas, tapi tetap mengiyakan. “Lalu di mana kedua keponakanku?” “Sudah pulang jika malam, aku tidak pernah mengizinkan mereka menginap di rumah sakit,” jawab Kamila.Bastara manggut-manggut. “Bilang sama mereka, mungkin aku akan ke sana beberapa bulan lagi, dan aku harap Ayana serta Saga suka dengan hadiah yang aku berikan.”Terdengar suara tawa Kamila dari seberang sana, membuat Bastara mau tak mau menarik sudut bibirnya. “Mereka sangat suka, Kak. Tapi itu terlalu mahal, jangan terlalu memanjakan mereka. Apalagi memberikan hadiah dengan harga puluhan juta,” kata Kamila dengan nada serius. Bastara mengangkat bahu, senyum lebar masih terpatri pada bibirnya. “Tidak apa-apa, aku senang memanjakan mereka. Toh, tidak setiap hari, bukan?”Pria itu langsung tertawa ketika mendengar geraman dari Kami
Wanita itu berjalan mengendap-endap, melihat sekitar yang tampak sepi. Maklum saja, ini masih pukul lima pagi, dan biasanya Aron akan pulang dulu ke kediamannya. Untung saja semesta juga merestuinya, dikarenakan tumben sekali tak ada yang berjaga di depan ruang rawat inap Kamila. Membuka pintu itu perlahan, ia dengan segera masuk. Namun, matanya melotot ketika melihat Kamila yang sudah terbangun dan menatapnya dalam diam. “Relin? Ada keperluan ada ke sini?” tanya Kamila heran. Relin tergugu, tapi tak urung melangkah mendekat ke sisi hospital bed yang Kamila tempati. “Maaf, apakah saya mengganggumu?” Kamila menaruh buku di tangannya ke atas nakas, lalu mengalihkan atensi pada Relin. “Tidak, memangnya kenapa?” Ia kembali mengulang pertanyaan. Karena jujur saja, setelah ia masuk rumah sakit, baru kali Kamila melihat Relin memunculkan batang hidungnya. “Em … saya—” Relin menunduk, meremas kedua tangannya gugup. Menghembuskan napas pelan, wanita itu mengangkat wajah, menatap tepat pa
Ternyata proses penyembuhan Kamila lebih cepat dari perkiraan, ia hanya membutuhkan waktu sekitar lima minggu untuk pulih. Dan kini wanita itu sudah kembali ke rumahnya, beraktifitas seperti biasa. “Kamila, kalian jadi berbulan madu?” tanya Dona ketika melihat Kamila yang hendak menaiki undakan tangga. Wajah wanita itu bersemu merah, padahal ia dan Aron sudah bertahun-tahun menikah. Tapi bulan madunya malah sekarang, walau sudah menolak—nyatanya sang suami tetap kukuh. “Iya, Bu. Ini lagi menyiapkan semuanya, mungkin ke bandara sekitar pukul satu siang,” jawab Kamila.Dona memang memohon untuk Kamila mengubah gaya bicaranya, dan perlahan tapi pasti. Sekarang sang menantu sudah terbiasa memanggilnya dengan sebutan, ibu.“Ada yang bisa Ibu bantu? Mungkin kau membutuhkan sesuatu,” tawar Dona.Kamila tersenyum tipis. “Tidak ada, Bu. Terima kasih tawarannya.”"Oh, ya. Kenapa tak biarkan saja Saga serta Ayana di rumah? Mengapa harus kalian bawa?" Dona kembali melempar pertanyaan. Kamila m
“Ayana, pakai dulu coat-nya, Nak.” Kamila memanggil gadis kecil yang sangat lincah itu. “Ibu! Aku ingin ke sana! Ayo, Bu. Kita buat boneka salju seperti yang di film-film!” teriak Ayana girang. “Iya, nanti sama Ayah dan Saga. Tapi pakai dulu coat-mu, ya? Di luar dingin.” Kamila menginstruksikan Ayana untuk mendekat, dan dengan segera gadis kecil itu menurut.“Eum … coat-nya hangat.” Ayana terkikik ketika sang ibu menciumnya gemas. “Saga dan Ayah di mana, Bu?”“Lagi buat coklat panas, untuk hari ini mungkin kita di hotel saja. Soalnya salju sedang turun, tidak apa-apa, ‘kan?” tanya Kamila lembut. Setelah perjalanan panjang yang memakan waktu kurang lebih sekitar 25 jam, akhirnya mereka sampai di negeri yang begitu indah ini. Kamila serta Aron memang memilih switzerland sebagai tujuan destinasi, wanita itu tak hentinya berdecak kagum kala pertama kali menginjakkan kaki di sini. Sangat indah, bahkan seperti lukisan alam yang memanjakan mata. “Baiklah, tidak apa-apa.” Ayana berucap l
Hari Ini agenda mereka akan ke Interlaken, salah satu destinasi wisata populer di Swiss. Kota ini sendiri terletak di dataran tinggi Bernese Oberland, berada pada barisan Pegunungan Alpen. Seperti, Eiger, Jungfrau dan Monch. Baik musim dingin maupun panas, ada banyak sekali aktivitas yang bisa dilakukan. Misalnya, bermain sky atau menaiki gondola di atas pegunungan salju. Aron sendiri memilih untuk mencoba kereta gantung atau gondola bersama keluarga kecilnya, dan ia puas akan pilihannya sendiri. Terbukti, sang istri dan si kembar begitu menikmatinya. “Ayah, ini sangat indah! Terima kasih telah mengajak kami ke sini!” seru Ayan serta Saga kompak. Mereka berbinar ketika melihat deretan pegunungan salju yang memanjakan mata. Senyum lebar tak lepas dari bibir mereka berdua, Aron terharu dan langsung mencubit kedua pipi si kembar. “Sama-sama, Sayang.” Ia mengalihkan atensi pada Kamila yang sedang menatap balik ke arahnya. “Apa istriku juga senang hari ini?” bisik Aron seraya memb
Setelah satu minggu berada di Switzerland, Kamila dan Aron memutuskan untuk pulang, dikarenakan pekerjaan pria itu juga tak bisa ditinggal lama-lama. Banyak permasalahan yang harus diurus.“Kakek!” Ayana berseru dengan langkah pendekanya menghampiri Tama yang sudah merentangkan kedua tangan. “Akhirnya, cucuku pulang juga.” Tama terkekeh ketika bisa menangkap tubuh mungil Ayana, sedangkan Saga masih digendongan Aron seraya memejamkan mata. “Kalian pasti lelah sekali, langsung ke kamar saja. Tinggalkan barang-barang ini di sini,” kata Dona. Kamila mengangguk dengan wajah terlihat mengantuk, Aron segera menggamit pinggang sempit sang istri dan melangkah menuju kamar. “Saga lemah, masa baru pukul delapan malam sudah tidur. Aku dong, belum ngantuk juga. Kekek, ayo kita bermain! Ayah membelikanku banyak sekali mainan!” ajak Ayana ceria. Entahlah, gadis kecil ini selalu bersemangat. Seolah tak merasakan lelah sama sekali. “Ayana, lebih baik istirahat dulu, ya? Mau Nenek temani?” tanya
“Sayang, apa kau suka bertemu dengan orang baru?” “Huh?” Kamila menetap Aron aneh, bingung dengan pertanyaan sang suami.Aron mengambil sandwich yang disodorkan Kamila, lantas kembali mengulang pertanyaan yang sama. “Semisal rekan kerjaku ingin berkunjung ke sini, apa kau tidak apa-apa?” Kamila mengambil duduk, menatap Aron heran. “Tentu saja tidak apa-apa, apalagi itu adalah rekan kerja Mas Aron.” Aron menarik sudut bibirnya, tangan pria itu tak tinggal diam. Ia mencubit gemas dagu Kamila. “Aku takut saja jika kau tak nyaman, sebenarnya aku juga menolak kemarin siang. Saat kami selesai meeting, tiba-tiba dia meminta izin untuk berkunjung ke sini.”“Boleh kok, memangnya kapan mau ke sini?” Kamila bertanya sembari menyiapkan sarapan untuk si kembar, kalau mertuanya sedang berada di rumah Farzan, entah apa yang mereka urus pagi-pagi seperti ini. “Belum ditentukan, Sayang. Makanya aku tanya dulu, tapi lebih baik kita makan malam di luar saja bagaimana? Nanti aku atur waktunya, dan men
Kemarahan Kamila semakin berlanjut, kini bukan karena soal Aron yang tiba-tiba marah ketika Bastara menelpon pagi tadi, tapi pria itu yang akan ke Bali hanya untuk menghampiri Bastara. Sungguh kekanakan, sebenarnya apa yang ada di pikiran suaminya ini? Sementara Aron, terdiam pada sofa yang terdapat di pojok kamar. Istrinya yang dulu lemah lembut dan penakut, kini bak singa yang akan menerkamnya hidup-hidup. Awas aja, ini karena Bimo yang mengadu. Ingatkan Aron untuk memotong gaji asistennya itu bulan ini! “Sayang, stop marahnya, ya? Aku baru pulang kerja, capek sekali rasanya. Lebih baik kau peluk saja …,” rengek Aron manja. Wajah Kamila semakin dingin, ia bersedekap dada—menatap Arun tanpa ekspresi. “Aku akan tidur di kamar Ayana, awas saja jika Mas tiba-tiba masuk.” Wajah Aron langsung menampakan ekspresi tak suka. “Tidak bisa begitu dong, Sayang. Aku sudah minta maaf, terus aku juga batal menemui Bastara. Jadi, udahan marahnya, ya? Mana mungkin aku bisa tidur tanpamu,” pinta A
Kamila menatap kosong ke depan, Aron yang sejak tadi memeluknya ikut merasa sedih. Ini semua adalah mimpi buruk baginya, ia hanya tertidur sebentar di mobil. Lalu tiba-tiba sudah berakhir di rumah sakit, setelah siuman justru menerima berita kehilangan sang buah hati. “Aku egois ya, Mas? Andai aku tidak membuntuti Relin, mungkin anak kita masih ada di sini,” kata Kamila setelah kebisuan panjang. Wanita itu mengusap perutnya yang rata, satu bulan berlalu. Duka itu masih menyapa, sakit dan perih akan kehilangan yang tak pernah terduga. “Sayang, dengarkan aku.” Aron menangkup wajah Kamila, menatap mata wanita yang dicintainya itu. “Kau boleh bersedih, tapi jangan berlarut-larut. Aku tidak mau Ayana serta Saga merasa tersisihkan.” Kamila tertegun, tanpa sadar sudah abai dengan keberadaan si kembar lantaran larut akan kesedihan. “Ayana, Saga ….” Lirih wanita itu. “Ya, mereka takut mendekat padamu. Terkadang Ayana maupun Saga hanya melihatmu dari celah pintu,” jelas Aron, membuang pa
Nyatanya, kebahagian itu tak pernah berpihak padaku ~Kamila Cahaya *** Semua yang terjadi di hadapannya begitu cepat, menarik napas pun terasa sulit. Kamila memegang tangan dingin Aron. Ia bodoh dan ceroboh, sehingga melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang. “Tolong! Siapa pun tolong!” Wanita itu menjerit seraya memukul kaca mobilnya. Tak berselang lama, suara pecahan kaca serta teriakan orang-orang mulai terdengar. Sedangkan Kamila, bukannya merasa lega. Justru ia semakin panik kala melihat darah yang mengaliri betisnya. Kamila tercekat, napasnya memburu tak beraturan. Ia menoleh ke arah Aron, memegang tangan sang suami kuat. Sebelum kegelapan merenggut kesadarannya. *** Masayu duduk lemas tak bertenaga setelah menerima kabar jika mobil yang Relin serta Sandra tumpangi menabrak pembatas jembatan. Lantas jatuh ke bawah dan sampai sekarang tak bisa ditemukan. Belum lagi Kamila, Aron serta Bimo kecelakaan di lokasi yang sama dengan Relin, tapi bedanya mereka hanya
“Mas .…” Kamila menyentuh pelan bahu Aron. Ia menggigit bibir bawah ketika melihat tatapan kosong sang suami. “Mila, Erza pergi untuk selamanya. Apakah sikapku keterlaluan selama ini? Aku kecewa padanya. Tapi bukan berarti dia—” Napas Aron tercekat, pria itu mendongkak, menghalau air mata yang hendak keluar. Ia kembali menunduk, melihat gundukan tanah di hadapannya. Erza memeng tak bisa diselamatkan, pria itu ditemukan sudah tak bernyawa. Mengingat terlalu banyak menghirup asap, serta luka bakar yang yang didapat. “Mas, aku tahu jika ini pasti sangat berat. Ada aku di sini, Mas tidak sendiri.” Kamila memeluk sang suami, ia bisa merasakan napas lelah pria itu yang berhembus di ceruk lehernya. “Tuan, hujan sudah mulai turun. Apakah tidak sebaiknya kita berteduh?” tanya Bimo pelan. Tak tahan melihat Aron yang mendapat kesedihan secara bertubi-tubi. Bimo sudah menganggap pria itu seperti adiknya sendiri, dan ia ikut merasakan kesakitan Aron.Aron melepas pelukannya dari Kamila, lant
“Kemungkinan besar dia dijatuhi hukuman seumur hidup, mengingat Erza juga terlibat dalam pembunuhan berencana. Ayahnya pun sudah tutup mata dan memutuskan hubungan dengan Erza. Sementara Relin, hingga saat ini belum ditemukan,” jelas Tama menatap ke arah Aron yang sedang menatap jauh ke depan. Satu bulan sejak terakhir kali ia bertemu dengan Erza, Tama ingat betul kala orang tua Panji menyumpahi Erza dengan kemarahan membeli buta, tak lupa mengutuk menantunya yang tidak lain adalah Relin, meskipun wanita itu menghilang entah ke mana.“Apa si Brengsek itu menyesali semua perbuatannya?” tanya Aron dingin, setelah keheningan panjang.Tama menghembuskan napas berat, meneliti ekspresi sang putra yang terlihat kecewa serta marah. “Tentu saja dia menyesal, seperti yang Ayah katakan satu bulan yang lalu. Jika dia ingin bertemu denganmu untuk meminta maaf, tapi mengingat kau yang tak mau melihat wajahnya. Jadi, Ayah tidak bisa memaksa.”“Syukurlah dia sadar diri, memang orang jahat sepertin
“Setelah saya selidiki semuanya, ternyata Tuan Erza juga yang membakar kebun apel Anda. Dia mengaku telah mengambil cincin Tuan Farzan dan ditaruh di lokasi kejadian, agar kecurigaan kita mengarah padanya,” jelas Bimo. Pria itu menyesal karena dulu sempat berburuk sangka pada Farzan, tapi siangka Erza adalah dalang dari semua ini. Sungguh, tak pernah terbesit dalam pikirannya. Bimo kembali mengalihkan atensi pada Aron, terlihat jelas wajah kecewa serta terluka sang tuan. Ia turut sedih, mengingat Aron serta Erza berteman sejak kecil.“Lalu mengenai kasus Panji bagaimna?” tanya Aron setelh kebungkamn yang cukup panjang. “Sedang diurus oleh pengacara Anda, Tuan Erza juga sudah ditahan. Tadi siang ketika saya ke selnya, dia berpesan ingin melihat Anda,” ungkap Bimo hati-hti. “Tidak akan.” Aron mengeraskan rahang. “Jika saya bertemu dengannya, saya tak yakin jika dia masih bernapas esok hari.” Pria itu mengepalkan tangan, sudah seminggu sejak kematian Rendra, ia sama sekali tidak sudi
“Tunggu dulu, apa maksudnya jika Erza mendonorkan darahnya pada Rendra?” tanya Aron. Mencegah Erza yang hendak mengikuti Relin. “Mengapa kau memikirkan itu! Yang terpenting sekarang kami harus menyelamatkan Rendra!” bantah Relin kuat, menatap Aron tajam. “Bukan maksud saya seperti—” Perkataan Aron terhenti ketika dokter serta suster tergesa-gesa menuju ruangan Rendra. Mereka semua yang melihat itu tentu saja panik. Relin yang hendak masuk langsung dihentikan oleh Farzan. Membuat wanita itu menangis karena panik. “Mas ….” Lirih Kamila sembari memegang lengan Aron. Pria itu tersentak, baru menyadari jika sang istri sedari tadi bersamanya.“Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja,” kata Aron lembut. Berbanding terbalik dengan tatapan tajamnya ke arah Relin serta Erza. Satu jam berlalu, seorang dokter keluar. Pria itu menatap keluarga pasien dengan wajah tak terbaca. Lalu berucap, ”Pasien tidak bisa diselamatkan. Dia terlalu banyak kehilangan darah, ditambah lagi dengan penyakit
“Jadi, aku sudah boleh pulang?” tanya Aron sekali lagi. Kamila mengangguk pelan, sudah pukul delapan malam. Lantas mereka keluar dari hotel, menuju kediaman Dewangga. “Apa pun yang terjadi ke depannya, kau harus percaya padaku.” Aron mengecup punggung tangan Kamila, mengabaikan Bimo yang seperti nyamuk di antara mereka.“Ya, asalkan jangan sembunyikan hal besar lagi dariku,” jawab Kamila. Aron mengangguk, mengusap rambut wanita itu lembut. Lalu menyandarkan kepala Kamila di dada bidangnya. “Mengenai Relin, ternyata dulu Mas tidak direstui, ya?” tanya Kamila pelan. Tubuh Aron terlihat menegang, tapi dengan cepat rileks kembali. “Ya, itu dulu. Sekarang ada dirimu da si kembar. Kami juga sudah bahagia dengan jalan hidup masing-masing.” Kamila terdiam, ia pikir Relin begitu diterima di keluarga Aron, mengingat dulu Dona sangat menyanjung sang sepupu.“Tuan, kita disuruh ke rumah sakit. Rendra jatuh dari tangga, dan keadaannya drop.”Perkataan Bimo menyentak Kamila dari lamunannya, b
“Enam tahun penjara?” tanya Aron dengan wajah kaku. “Benar, Tuan. Namun, hukuman yang sebenarnya dapat bervariasi tergantung pada pertimbangan hakim dan fakta yang terungkap dalam proses peradilan. Hakim bisa saja menjatuhkan hukuman penjara di bawah atau di atas enam tahun. Tapi balik lagi, itu semua tergantung pada keadaan kasus dan pertimbangan-pertimbangan lainnya seperti keadaan pelaku, korban, serta faktor-faktor pengurangan hukuman lainnya.”“Apanya yang enam tahun!” Seruan itu membuat Aron menoleh, ia tersentak ketika melihat Kamila yang menatapnya marah.“Jawab! Kenapa kau lakukan hal ini, Mas!” Kamila memukul dada Aron kuat, meremas kemeja yang pria itu kenakan dengan air mata yang sudah berjatuhan. “Ka–kamila … kau di sini?” tanya Aron linglung. Mengapa sang istri ke hotel tempatnya menginap? Wanita itu mendongak. “Ya, aku ke sini untuk membawamu pulang. Sudah cukup kebodohan yang kau lakukan, Mas. Ayo, lupakan semuanya. Ak–aku ….” Napas Kamila tercekat, tak bisa melanj
“Ibu, mengapa Ayah selalu menemuiku dan Saga di luar? Memangnya kenapa tidak di rumah saja?” tanya Ayana sembari menatap ke arah Kamila.Gadis kecil itu melihat kembali penampilannya pada cermin, setelah merasa cantik ia kembali menghadap ke arah Kamila.“Ayah sedang bekerja, Sayang. Mungkin setelah semuanya selesai baru dia pulang.” Wanita itu menjawab pelan, meski terdapat kekhawatiran pada raut wajahnya. “Oh … begitu. Padahal aku kangen tahu dibacakan dongeng sama Ayah. Memangnya Ibu tidak kangen sama Ayah?” Kamila melotot kaget, setelah itu tertawa canggung. “Ah, Yaya sangat cantik hari ini. Bagaimana jika sore ini kita ke taman? Ajak Aga juga nanti.” Ia mengalihkan pembicaraan, dan benar saja Ayana langsung mengangguk.“Siap, Bu! Nanti aku boleh makan ice cream ya, soalnya sudah satu minggu aku libur.” Gadis kecil itu mengerjap lucu, berharap Kamila luluh. “Tentu, Sayang. Hari ini Yaya dan Aga boleh makan ice cream, dan sekarang ambil tasnya ya.” Kamila mengacak rambut Ayana g