Dah dibilang di hotel aja nginepnya ^_^
“Erza kau di sini?” tanya Aron cukup terkejut ketika terbangun pukul lima pagi dan menemukan sang sahabat yang sedang menyantap makanan. Erza terkekeh seraya menyantap hidangan di depannya. “ Aku baru sampai, dan sangat lapar sekali. Maaf karena lancang masuk ke villa, soalnya Pak Arkam juga memberikanku kunci cadangan.” Aron menatap Erza datar, lalu mengambil duduk pada kursi di hadapan pria itu. “Tunggu, untuk apa kau ke sini? Memangnya kau cuti lagi?” Aron bertanya heran. Entah kenapa beberapa bulan ini Erza selalu mengambil cuti, padahal bisa dibilang dulu pria itu adalah dosen yang paling rajin. “Kau tahu, Paman Farzan memintaku untuk menyusul Relin, kasihan dia tidak ada temannya untuk menjaga Rendra di rumah sakit. Walau keluarga besar Pak Arkam ada, tapi mereka tidak sedekat itu,” jelas Erza. Kening Aron berkerut, diikuti oleh alisnya yang tampak menyatu, netra pria itu menyorot Erza penuh kebingungan. “Rendra sakit apa memangnya?” Kali ini Erza yang menatap Aron deng
Aron terbangun sekitar pukul enam pagi, kepalanya pusing karena menghadiri makan malam bersama Arkan dan rekan kerjanya yang lain—sampai sampai pukul satu dini hari, karena dilanjutkan dengan pembahasan proyek serta obrolan lainnya. Sejujurnya Aron ingin langsung kembali ke villa setelah Kamila matikan panggilannya, sungguh tak tenang karena sepertinya sang istri sedang marah besar padanya. Akan tetapi, justru rekan kerjanya semakin banyak berdatangan. Alhasil setelah sampai di villa Aron langsung merebahkan diri, masih dengan pakaian yang semalam. Dan entah ke mana jasnya, pria itu menggelng pelan. Tak peting juga walau hilang. “Sayang, angkat ….” Aron menggigit bibir bawah resah karena Kamila justru sama sekali tak mau mengangkat panggilannya. “Selamat pagi, Tuan. Apakah jadi untuk menjemput Rendra pulang dari rumah sakit hari ini?” tanya Bima. Ia akan mengantarkan Aron terlebih dahulu, sebelum berangkat meeting pagi ini. “Ya, tentu saja.” Aron mematikan panggilannya, menaruh
Agni menatap koper yang ada di hadapannya, sudah cukup sampai di sini. Ia selalu meminta cuti tak jelas hanya karena ingin melihat Bastara, wanita itu sudah memutuskan untuk benar-benar tak lagi berharap. Toh, Bastara sama sekali tidak menampahkan batang hidungnya lagi, nomor serta sosial media Agni pun sudah diblokir. “Kau belum pulang juga, ya?” Monolog Agni pelan. Ia melihat dari balik kaca jendela, rumah Bastara yang terlihat sepi, seperti tak ada kehidupan di sana. Entah ke mana pria itu pergi. Agni menghembuskan napas berat, lalu menyeret kopernya keluar rumah setelah memastikan jika tak ada barang yang tertinggal. Ketika hendak menuju mobil, netra wanita itu membola saat melihat Bastara yang keluar dari rumahnya, dengan segera ia berlari menghampiri sang empu. “Tara ….” Agni membeku melihat wajah kusut Bastara. “A–aku … aku pikir kau tidak ada di rumah.” Ia berkata cemas, meremas kedua tangannya gugup kala melihat ekspresi datar pria itu. “Kenapa?” tanya Bastara acuh tak a
“Terima kasih, aku tahu kau mungkin sedikit terpaksa melakukan semua ini. Tapi sekali lagi terima kasih sudah membuat Rendra tertawa, anak itu tidak seharusnya menerima kenyataan pahit di umurnya yang masih belia.” Erza menatap jauh ke depan. Setelah Rendra tertidur, ia memang menyuruh Aron untuk menemaninya di gazebo yang ada di villa ini.Rasanya, sudah lama mereka tidak berbicara seperti ini akibat kesibukan masing-masing.Aron mengangkat bahu. “Tak apa, setelah memiliki Saga dan Ayana. Aku merasa mudah tersentuh dengan hal kecil, dan bagaimanapun Rendra adalah keponakanku. Terlepas dari hubunganku dan Relin, karena itu hanya masa lalu. Aku berharap dia juga sudah bisa menjalani hidupnya, serta menemukan pria yang bisa mencintainya secara tulus.” Aron menatap ke arah Erza yang sedang termenung.“Atau mengapa kau tak mencoba saja dengannya? Rendra juga terlihat nyaman denganmu. Ya … walaupun aku tahu kau selalu menganggap Relin saudara, bahkan dari masa remaja kau bagaikan seorang
“Luka bakar yang Nyonya Dona alami adalah tingkat tiga, di mana itu melibatkan area yang luas, dan mungkin memerlukan operasi untuk membersihkan jaringan mati serta melakukan transplantasi kulit, Tuan,” jelas sang dokter. Tama tergugu, masih syok sebenarnya dengan apa yang terjadi. Lengan serta kaki Dona mengalami luka bakar serius, sedangkan Kamila hanya punggung kaki saja, serta kepalanya terbentur tembok.Kendati demikian, Kamila sudah siuman sejak satu jam yang lalu. Walau keadaannya masih lemas, dan sedikit terauma dengan kejadian yang menimpanya. “Berarti untuk sementara saya tidak bisa bertemu dengan Dona?” tanya Tama, pria itu seperti orang linglung. Walau ia bukan dokter spesialis kulit, tentu saja Tama tahu prosedur yang berlaku. Akan tetapi, yang namanya panik serta kalut. Mana sempat memikirkan itu semua.“Benar, Tuan. Karena kami juga akan mengevaluasi luka bakar serta kondisi Nyonya Dona secara menyeluruh, untuk menentukan tindakan selanjutnya. Sesudah itu, pemilihan
Aron melangkahkan kakinya menuju ruang rawat sang ibu, pria itu menghembuskan napas pelan sebelum menarik handle pintu dan masuk dengan perlahan.Aron mengambil duduk, lalu menatap ibunya yang sedang menatapnya dalam.“Aron,” sapa Dona serak.“Bagaimana perasaan Ibu saat ini?” tanya Aron pelan, tak ada raut datar maupun perkataan tajam seperti biasanya.Dona tersenyum lemah. “Sudah lebih baik dari kemarin, apa kau akan segera pulang? Hati-hati ketika membawa Kamila, mungkin kaki dan kepalanya masih sakit.”Bahkan saat ia terbaring lemah, dan tentu saja keadaannya lebih parah dari Kamila. Dona masih menanyakan wanita itu. Aron cukup terperangah sejenak, ya … ibunya sudah benar-benar berubah. Netra wanita itu juga tak bisa berbohong akan kekhawatirannya pada Kamila.“Tentu Ibu, aku akan menjaga Kamila. Dan terima kasih sudah menyelamatkan istriku pada malam itu.”Dona terdiam, menatap Aron dengan pandangan tak terbaca. Sesaat kemudian wanita itu kembali bersuara. “Anggap saja sebagai p
“Jadi, penyebab kebakaran itu karena korsleting listrik dan masalah kebocoran gas di dapur?” Aron bertanya dengan nada serius. “Benar, Tuan. Bukan karena campur tangan orang lain, itu memang murni karena masalah internal dari restoran,” jelas Bimo. Aron mengusap dagu perlahan, lalu menegakkan punggungnya—menatap lurus pada sang asisten. “Baiklah, dan tolong segera urus pengunduran diri istri saya, untuk kedepannya Kamila tidak perlu bekerja lagi. Bisa gila saya memikirkan dia keluar dari rumah dan selalu berakhir celaka.” Bimo menatap Aron serius, lantas membalas, “Tapi Tuan, apakah Anda sudah mendiskusikan ini dengan Nyonya Kamila? Karena saya melihat dia begitu senang mengerjakan pekerjaannya yang sekarang.” Aron mendelik tak suka pada Bimo. “Kau ini sok tahu sekali, saya suaminya. Tentu lebih mengerti Kamila, dan sudah pasti dia sudah setuju dengan keputusan saya.” Memang pada dasarnya kepala batu, sangat susah memberi pendapat serta nasihat pada si arogan ini. Ya, sudahlah.
“Paman Tara, ini sangat enak. Mau tidak?” Ayana menyerahkan sandwich buah di tangannya, dan diterima dengan senang hati oleh Bastara. “Enak, terima kasih.” Bastara mengacak surai halus gadis kecil itu. Ayana mengacungkan jempol, lalu kembali merebahkan kepala pada lengan pria itu. Sementara Saga, bermain rubik di tangannya yang dihadiahi oleh Bastara. “Paman, apakah Bibi Agni tidak akan ke sini?” tanya Ayana tiba-tiba, mereka berada di gazebo, yang terdapat di taman belakang—langsung menghadap ke kolam ikan. Bastara terdiam mendengar pertanyaan itu, sejak Agni pamit hubungan mereka benar-benar memburuk. Ia tak tahu lagi kabar perempuan itu, walau Bastara sangat penasaran dan tidak tenang setiap harinya. Tapi ia mencoba bersikap biasa, seolah-olah itu tak membuatnya terganggu. “Bibi Agni masih tugas di Jakarta, Sayang. Nanti kalau dia pulang baru kita suruh ke sini, okay?” “Ayana mengangguk kuat. “Okay, Paman!” “Yaya, Aga.” Panggilan itu membuat si kembar menoleh, lantas berbinar
Kamila menatap kosong ke depan, Aron yang sejak tadi memeluknya ikut merasa sedih. Ini semua adalah mimpi buruk baginya, ia hanya tertidur sebentar di mobil. Lalu tiba-tiba sudah berakhir di rumah sakit, setelah siuman justru menerima berita kehilangan sang buah hati. “Aku egois ya, Mas? Andai aku tidak membuntuti Relin, mungkin anak kita masih ada di sini,” kata Kamila setelah kebisuan panjang. Wanita itu mengusap perutnya yang rata, satu bulan berlalu. Duka itu masih menyapa, sakit dan perih akan kehilangan yang tak pernah terduga. “Sayang, dengarkan aku.” Aron menangkup wajah Kamila, menatap mata wanita yang dicintainya itu. “Kau boleh bersedih, tapi jangan berlarut-larut. Aku tidak mau Ayana serta Saga merasa tersisihkan.” Kamila tertegun, tanpa sadar sudah abai dengan keberadaan si kembar lantaran larut akan kesedihan. “Ayana, Saga ….” Lirih wanita itu. “Ya, mereka takut mendekat padamu. Terkadang Ayana maupun Saga hanya melihatmu dari celah pintu,” jelas Aron, membuang pa
Nyatanya, kebahagian itu tak pernah berpihak padaku ~Kamila Cahaya *** Semua yang terjadi di hadapannya begitu cepat, menarik napas pun terasa sulit. Kamila memegang tangan dingin Aron. Ia bodoh dan ceroboh, sehingga melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang. “Tolong! Siapa pun tolong!” Wanita itu menjerit seraya memukul kaca mobilnya. Tak berselang lama, suara pecahan kaca serta teriakan orang-orang mulai terdengar. Sedangkan Kamila, bukannya merasa lega. Justru ia semakin panik kala melihat darah yang mengaliri betisnya. Kamila tercekat, napasnya memburu tak beraturan. Ia menoleh ke arah Aron, memegang tangan sang suami kuat. Sebelum kegelapan merenggut kesadarannya. *** Masayu duduk lemas tak bertenaga setelah menerima kabar jika mobil yang Relin serta Sandra tumpangi menabrak pembatas jembatan. Lantas jatuh ke bawah dan sampai sekarang tak bisa ditemukan. Belum lagi Kamila, Aron serta Bimo kecelakaan di lokasi yang sama dengan Relin, tapi bedanya mereka hanya
“Mas .…” Kamila menyentuh pelan bahu Aron. Ia menggigit bibir bawah ketika melihat tatapan kosong sang suami. “Mila, Erza pergi untuk selamanya. Apakah sikapku keterlaluan selama ini? Aku kecewa padanya. Tapi bukan berarti dia—” Napas Aron tercekat, pria itu mendongkak, menghalau air mata yang hendak keluar. Ia kembali menunduk, melihat gundukan tanah di hadapannya. Erza memeng tak bisa diselamatkan, pria itu ditemukan sudah tak bernyawa. Mengingat terlalu banyak menghirup asap, serta luka bakar yang yang didapat. “Mas, aku tahu jika ini pasti sangat berat. Ada aku di sini, Mas tidak sendiri.” Kamila memeluk sang suami, ia bisa merasakan napas lelah pria itu yang berhembus di ceruk lehernya. “Tuan, hujan sudah mulai turun. Apakah tidak sebaiknya kita berteduh?” tanya Bimo pelan. Tak tahan melihat Aron yang mendapat kesedihan secara bertubi-tubi. Bimo sudah menganggap pria itu seperti adiknya sendiri, dan ia ikut merasakan kesakitan Aron.Aron melepas pelukannya dari Kamila, lant
“Kemungkinan besar dia dijatuhi hukuman seumur hidup, mengingat Erza juga terlibat dalam pembunuhan berencana. Ayahnya pun sudah tutup mata dan memutuskan hubungan dengan Erza. Sementara Relin, hingga saat ini belum ditemukan,” jelas Tama menatap ke arah Aron yang sedang menatap jauh ke depan. Satu bulan sejak terakhir kali ia bertemu dengan Erza, Tama ingat betul kala orang tua Panji menyumpahi Erza dengan kemarahan membeli buta, tak lupa mengutuk menantunya yang tidak lain adalah Relin, meskipun wanita itu menghilang entah ke mana.“Apa si Brengsek itu menyesali semua perbuatannya?” tanya Aron dingin, setelah keheningan panjang.Tama menghembuskan napas berat, meneliti ekspresi sang putra yang terlihat kecewa serta marah. “Tentu saja dia menyesal, seperti yang Ayah katakan satu bulan yang lalu. Jika dia ingin bertemu denganmu untuk meminta maaf, tapi mengingat kau yang tak mau melihat wajahnya. Jadi, Ayah tidak bisa memaksa.”“Syukurlah dia sadar diri, memang orang jahat sepertin
“Setelah saya selidiki semuanya, ternyata Tuan Erza juga yang membakar kebun apel Anda. Dia mengaku telah mengambil cincin Tuan Farzan dan ditaruh di lokasi kejadian, agar kecurigaan kita mengarah padanya,” jelas Bimo. Pria itu menyesal karena dulu sempat berburuk sangka pada Farzan, tapi siangka Erza adalah dalang dari semua ini. Sungguh, tak pernah terbesit dalam pikirannya. Bimo kembali mengalihkan atensi pada Aron, terlihat jelas wajah kecewa serta terluka sang tuan. Ia turut sedih, mengingat Aron serta Erza berteman sejak kecil.“Lalu mengenai kasus Panji bagaimna?” tanya Aron setelh kebungkamn yang cukup panjang. “Sedang diurus oleh pengacara Anda, Tuan Erza juga sudah ditahan. Tadi siang ketika saya ke selnya, dia berpesan ingin melihat Anda,” ungkap Bimo hati-hti. “Tidak akan.” Aron mengeraskan rahang. “Jika saya bertemu dengannya, saya tak yakin jika dia masih bernapas esok hari.” Pria itu mengepalkan tangan, sudah seminggu sejak kematian Rendra, ia sama sekali tidak sudi
“Tunggu dulu, apa maksudnya jika Erza mendonorkan darahnya pada Rendra?” tanya Aron. Mencegah Erza yang hendak mengikuti Relin. “Mengapa kau memikirkan itu! Yang terpenting sekarang kami harus menyelamatkan Rendra!” bantah Relin kuat, menatap Aron tajam. “Bukan maksud saya seperti—” Perkataan Aron terhenti ketika dokter serta suster tergesa-gesa menuju ruangan Rendra. Mereka semua yang melihat itu tentu saja panik. Relin yang hendak masuk langsung dihentikan oleh Farzan. Membuat wanita itu menangis karena panik. “Mas ….” Lirih Kamila sembari memegang lengan Aron. Pria itu tersentak, baru menyadari jika sang istri sedari tadi bersamanya.“Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja,” kata Aron lembut. Berbanding terbalik dengan tatapan tajamnya ke arah Relin serta Erza. Satu jam berlalu, seorang dokter keluar. Pria itu menatap keluarga pasien dengan wajah tak terbaca. Lalu berucap, ”Pasien tidak bisa diselamatkan. Dia terlalu banyak kehilangan darah, ditambah lagi dengan penyakit
“Jadi, aku sudah boleh pulang?” tanya Aron sekali lagi. Kamila mengangguk pelan, sudah pukul delapan malam. Lantas mereka keluar dari hotel, menuju kediaman Dewangga. “Apa pun yang terjadi ke depannya, kau harus percaya padaku.” Aron mengecup punggung tangan Kamila, mengabaikan Bimo yang seperti nyamuk di antara mereka.“Ya, asalkan jangan sembunyikan hal besar lagi dariku,” jawab Kamila. Aron mengangguk, mengusap rambut wanita itu lembut. Lalu menyandarkan kepala Kamila di dada bidangnya. “Mengenai Relin, ternyata dulu Mas tidak direstui, ya?” tanya Kamila pelan. Tubuh Aron terlihat menegang, tapi dengan cepat rileks kembali. “Ya, itu dulu. Sekarang ada dirimu da si kembar. Kami juga sudah bahagia dengan jalan hidup masing-masing.” Kamila terdiam, ia pikir Relin begitu diterima di keluarga Aron, mengingat dulu Dona sangat menyanjung sang sepupu.“Tuan, kita disuruh ke rumah sakit. Rendra jatuh dari tangga, dan keadaannya drop.”Perkataan Bimo menyentak Kamila dari lamunannya, b
“Enam tahun penjara?” tanya Aron dengan wajah kaku. “Benar, Tuan. Namun, hukuman yang sebenarnya dapat bervariasi tergantung pada pertimbangan hakim dan fakta yang terungkap dalam proses peradilan. Hakim bisa saja menjatuhkan hukuman penjara di bawah atau di atas enam tahun. Tapi balik lagi, itu semua tergantung pada keadaan kasus dan pertimbangan-pertimbangan lainnya seperti keadaan pelaku, korban, serta faktor-faktor pengurangan hukuman lainnya.”“Apanya yang enam tahun!” Seruan itu membuat Aron menoleh, ia tersentak ketika melihat Kamila yang menatapnya marah.“Jawab! Kenapa kau lakukan hal ini, Mas!” Kamila memukul dada Aron kuat, meremas kemeja yang pria itu kenakan dengan air mata yang sudah berjatuhan. “Ka–kamila … kau di sini?” tanya Aron linglung. Mengapa sang istri ke hotel tempatnya menginap? Wanita itu mendongak. “Ya, aku ke sini untuk membawamu pulang. Sudah cukup kebodohan yang kau lakukan, Mas. Ayo, lupakan semuanya. Ak–aku ….” Napas Kamila tercekat, tak bisa melanj
“Ibu, mengapa Ayah selalu menemuiku dan Saga di luar? Memangnya kenapa tidak di rumah saja?” tanya Ayana sembari menatap ke arah Kamila.Gadis kecil itu melihat kembali penampilannya pada cermin, setelah merasa cantik ia kembali menghadap ke arah Kamila.“Ayah sedang bekerja, Sayang. Mungkin setelah semuanya selesai baru dia pulang.” Wanita itu menjawab pelan, meski terdapat kekhawatiran pada raut wajahnya. “Oh … begitu. Padahal aku kangen tahu dibacakan dongeng sama Ayah. Memangnya Ibu tidak kangen sama Ayah?” Kamila melotot kaget, setelah itu tertawa canggung. “Ah, Yaya sangat cantik hari ini. Bagaimana jika sore ini kita ke taman? Ajak Aga juga nanti.” Ia mengalihkan pembicaraan, dan benar saja Ayana langsung mengangguk.“Siap, Bu! Nanti aku boleh makan ice cream ya, soalnya sudah satu minggu aku libur.” Gadis kecil itu mengerjap lucu, berharap Kamila luluh. “Tentu, Sayang. Hari ini Yaya dan Aga boleh makan ice cream, dan sekarang ambil tasnya ya.” Kamila mengacak rambut Ayana g