Aron puber kedua _-
“Paman Tara, ini sangat enak. Mau tidak?” Ayana menyerahkan sandwich buah di tangannya, dan diterima dengan senang hati oleh Bastara. “Enak, terima kasih.” Bastara mengacak surai halus gadis kecil itu. Ayana mengacungkan jempol, lalu kembali merebahkan kepala pada lengan pria itu. Sementara Saga, bermain rubik di tangannya yang dihadiahi oleh Bastara. “Paman, apakah Bibi Agni tidak akan ke sini?” tanya Ayana tiba-tiba, mereka berada di gazebo, yang terdapat di taman belakang—langsung menghadap ke kolam ikan. Bastara terdiam mendengar pertanyaan itu, sejak Agni pamit hubungan mereka benar-benar memburuk. Ia tak tahu lagi kabar perempuan itu, walau Bastara sangat penasaran dan tidak tenang setiap harinya. Tapi ia mencoba bersikap biasa, seolah-olah itu tak membuatnya terganggu. “Bibi Agni masih tugas di Jakarta, Sayang. Nanti kalau dia pulang baru kita suruh ke sini, okay?” “Ayana mengangguk kuat. “Okay, Paman!” “Yaya, Aga.” Panggilan itu membuat si kembar menoleh, lantas berbinar
Kamila menggigit bibir bawah, resah karena Aron yang sama sekali tak bisa dihubungi sampai larut malam seperti ini. Ia mengaku bahwa perkataannya keterlaluan, karena sebagai pria dewasa tentu Aron merasa tak terima. Apalagi Kamila justru mengatakan jika sikap Aron terlalu kekanak-kanakan dan tidak bisa berpikir dewasa.Jujur saja, ia bahkan tidak menyangka mengatakan hal seperti itu pada suaminya. Kamila hanya bersikap spontan ketika Aron memukul Bastara membabi buta. Sekarang, ia menyesal karena telah membuat Aron pergi dan tidak bisa dihubungi sampai sekarang.“Kamila.”Kamila menoleh ke sumber suara. Terlihat Bastara yang menatapnya ragu-ragu. Wajah pria itu sudah diobati, tetapi masih membengkak akibat pukulan keras dari Aron pagi."Iya, Kak Tara butuh sesuatu?" tanya Kamila pelan seraya mendekat. Sudah pukul sebelas malam, seharusnya pria ini istirahat. Karena besok dia akan pulang ke Bali."Tidak. Aku menemuimu karena merasa tidak enak saja. Kejadian tadi pagi menimbulkan kerib
“Selamat siang, Tuan. Saya sudah menyelidikinya, dan ternyata apartemen itu masih disewa atas nama ayah Nyonya Kamila—sampai saat ini.” Bimo tersentak dan bangkit dari duduknya, mencerna ucapan orang kepercayaannya yang sedang berada di California. “Sebentar, maksudmu apartemen itu masih di tempati hingga detik ini?” “Benar, Tuan. Dan masih atas nama ayahnya Nyonya Kamila,” ulang pria dari seberang sana. “Saya sudah setiap hari ke sini, tapi yang menghuni unit itu sama sekali tidak pernah keluar. Jadi, bagaimana. Apakah saya akan tetap di sini dalam waktu satu bulan atau kita hentikan saja dan penyidikan ini?”Bimo bungkam, masih shock menerima fakta yang ada. Bagaimana mungkin bekas apartemen ayahnya Kamila masih dihuni hingga detik ini, bahkan atas nama yang sama. Sebenarnya siapa dalang di balik semua ini, mengapa seolah-olah ia dipermainkan.“Tetap saja di sana, tunggu waktu yang tepat dan saya akan menyusul ke California. Tapi untuk saat ini masih banyak pekerjaan, saya juga t
“Ayah, aku mengantuk. Puk-puk dulu seperti baisa,” pinta Saga.“Baik, sayangku.” Aron mencium kening sanga putra. Ia tersenyum ketika melihat pada Ayana yang sudah tertidur pulas. Lantas atensi pria itu tak sengaja bersirobok dengan mata Kamila, membuatnya membeku sesaat—sebelum mengalihkan pandangan ke arah lain. Mengingat kejadian tadi pagi membuatnya menggeram kesal pada sang ayah, bisa-bisanya Tama menyuruh Aron ke rumah Relin sedangkan Kamila udah pulang. Selang lima menit kemudian, Saga tertidur pulas. Aron bangkit dari kasur, lalu melangkah menuju kamar. Tentu saja diikuti oleh Kamila. “Mas,” panggil Kamila lirih. Tapi ia yakin masih bisa didengar oleh pria itu. Benar saja. Aron menoleh dengan alis terangkat. “Ya?” Kamila menggigit bibir bawah, terlihat gelisah serta gugup. “Ak–aku minta maaf, tidak seharusnya berkata hal yang membuatmu sakit hati.”Aron mengibaskan kedua tangan, seolah itu tidak mengganggunya. Ia melangkah menuju kasur, lalu merebahkan diri. “Tak masalah,
“Hanya masuk angin biasa, Tuan. Dan Nyonya Kamila sebaiknya jangan terlalu lelah, apalagi stres. Karena kondisi tubuh Anda masih lemah pasca keluar dari rumah sakit,” jelas Meyda. “Tapi istri saya mual-mual, apa tidak sebaiknya diperiksa kembali?” Aron bertanya lagi, dan ini sudah kesekian kalinya.“Sudah, Tuan. Nyonya Kamila memang hanya masuk angin dan butuh istirahat total,” ulang dokter cantik itu. Akhirnya Aron mengalah, terlihat dari hembusan napas pasrah yang dikeluarkan. “Baik, terima kasih informasinya. Mari saya antarkan keluar.”Sebelum beranjak, Meyda menyempatkan melihat ke arah Kamila. “Nyonya, sekali lagi maaf atas kesalahan saya beberapa tahun silam.”Kamila mengibaskan kedua tangan, sudah beberapa kali dokter ini terus meminta maaf sejak dia muncul di hadapannya. “Tidak apa-apa, saya mengerti posisi Anda. Apalagi jadi dokter pribadi keluarga Dewangga.” Meyda tersenyum tulus. “Terima kasih atas pengertian Anda, Nyonya.” Setelah itu ia berlalu, diantarkan oleh Aron se
Terhitung sudah dua minggu Dona di rumah sakit, dan hari ini akan pulang. “Mas, aku bisa sendiri.” Dona menolak ketika Tama akan menggendongnya ke dalam mobil ala bridal style.“Tak apa, ayo.” Dona hanya pasrah, dan berpegangan pada leher sang suami. Tama pun dengan hati-hati mendudukan sang istri di kursi. Lantas ia bergegas menuju kemudi. “Sudah rindu rasanya dengan si kembar, pasti mereka semakin aktif.” Dona menatap lurus ke depan, membayangkan kedua cucunya. “Ya, sampai Aron kewalahan. Sedangkan Bimo sudah terbiasa menjadi bahan kejahilan mereka.” Tama terkekeh ketika mengingat Ayana yang melempar kecoa pada asisten Aron itu, Bimo sampai berteriak dan memohon pada Aron supaya membantunya. “Kalau Ayana persis sekali seperti tingkah Aron kecil, jika Saga menuruni sifat ibunya.” Dona menambahkan. “Kau benar, tapi jika Saga sedang marah—dia seperti Aron,” balas Tama. Membuat Dona tertawa pelan. Mereka terus berbincang hangat, topiknya tak jauh dari pembahasan tingkah menggemask
“Ayo, Sayang. Cepat pipisnya!” Aron berseru tak sabaran.Kamila ingin menangis, wajahnya sudah memerah sedari tadi. “Mas pergi dulu, bagaimana mungkin aku bisa pipis kalau Mas masih di sini!” Aron menatap istrinya bingung. “Memangnya kenapa? Aku ini suamimu lho, Sayang.”Suasana hati Kamila semakin kacau, entah kenapa wajah Aron sangat menyebalkan baginya. “Keluar, atau aku tidak mau pipis sama sekali!” Ancam wanita itu sudah hilang kesabaran. “Aduh, tidak bisa, Sayang. Aku ingin melihat hasilnya.” Aron kini duduk selonjoran, menunggu Kamila yang tak mau pipis sedari tadi.Wanita itu menatap Aron tajam, tiba-tiba tangisnya langsung pecah seketika. Aron panik dan menghampiri sang istri. “Sayang, kenapa malah menangis, hm?” Ia memeluk sang istri, mengusap bahunya perlahan. “Ini semua salah, Mas! Aku malu tahu! Makanya keluar, agar aku bisa pipis!” Kamila memukul lengan Aron kuat, membuat pria itui meringis. “Ampun, Sayang. Iya, aku akan keluar sekarang. Tapi kalau kau mau meminta
“Adik baru? Aku dan Saga tidak mau!” seru Ayana. Aron membeku sesaat, setelah bisa mengendalikan diri barulah ia menatap pada si kembar. “Memiliki adik adalah hal yang luar biasa. Yaya serta Aga akan mempunyai teman untuk bermain, serta saling berbagi kebahagiaan dan melindungi satu sama lain.”“Kami sudah cukup hanya berdua saja, kenapa harus punya adik lagi?” Kini giliran Saga yang menimpali, penuh protes dan tak terima.Aron mengulum bibir, sepertinya ia harus menjelaskan perlahan. “Ayah mengerti, karena itu adalah perasaan normal, Sayang. Namun, coba bayangkan semua kebahagiaan yang akan kalian alami bersama adik baru. Yaya dan Aga juga memiliki seseorang yang selalu ada, dan tempat saling berbagi tentang hal apa pun.” Saga serta Ayana tampak berpikir. “Apakah Ayah dan Ibu masih tetap mencintai kami nantinya?” tanya Saga. Aron tersenyum lebar. “Tentu saja, sayangku. Ayah dan Ibu akan selalu mencintai dan menyayangi Aga dan Yaya. Kehadiran adik juga tidak mengubah cinta kami un
Kamila menatap kosong ke depan, Aron yang sejak tadi memeluknya ikut merasa sedih. Ini semua adalah mimpi buruk baginya, ia hanya tertidur sebentar di mobil. Lalu tiba-tiba sudah berakhir di rumah sakit, setelah siuman justru menerima berita kehilangan sang buah hati. “Aku egois ya, Mas? Andai aku tidak membuntuti Relin, mungkin anak kita masih ada di sini,” kata Kamila setelah kebisuan panjang. Wanita itu mengusap perutnya yang rata, satu bulan berlalu. Duka itu masih menyapa, sakit dan perih akan kehilangan yang tak pernah terduga. “Sayang, dengarkan aku.” Aron menangkup wajah Kamila, menatap mata wanita yang dicintainya itu. “Kau boleh bersedih, tapi jangan berlarut-larut. Aku tidak mau Ayana serta Saga merasa tersisihkan.” Kamila tertegun, tanpa sadar sudah abai dengan keberadaan si kembar lantaran larut akan kesedihan. “Ayana, Saga ….” Lirih wanita itu. “Ya, mereka takut mendekat padamu. Terkadang Ayana maupun Saga hanya melihatmu dari celah pintu,” jelas Aron, membuang pa
Nyatanya, kebahagian itu tak pernah berpihak padaku ~Kamila Cahaya *** Semua yang terjadi di hadapannya begitu cepat, menarik napas pun terasa sulit. Kamila memegang tangan dingin Aron. Ia bodoh dan ceroboh, sehingga melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang. “Tolong! Siapa pun tolong!” Wanita itu menjerit seraya memukul kaca mobilnya. Tak berselang lama, suara pecahan kaca serta teriakan orang-orang mulai terdengar. Sedangkan Kamila, bukannya merasa lega. Justru ia semakin panik kala melihat darah yang mengaliri betisnya. Kamila tercekat, napasnya memburu tak beraturan. Ia menoleh ke arah Aron, memegang tangan sang suami kuat. Sebelum kegelapan merenggut kesadarannya. *** Masayu duduk lemas tak bertenaga setelah menerima kabar jika mobil yang Relin serta Sandra tumpangi menabrak pembatas jembatan. Lantas jatuh ke bawah dan sampai sekarang tak bisa ditemukan. Belum lagi Kamila, Aron serta Bimo kecelakaan di lokasi yang sama dengan Relin, tapi bedanya mereka hanya
“Mas .…” Kamila menyentuh pelan bahu Aron. Ia menggigit bibir bawah ketika melihat tatapan kosong sang suami. “Mila, Erza pergi untuk selamanya. Apakah sikapku keterlaluan selama ini? Aku kecewa padanya. Tapi bukan berarti dia—” Napas Aron tercekat, pria itu mendongkak, menghalau air mata yang hendak keluar. Ia kembali menunduk, melihat gundukan tanah di hadapannya. Erza memeng tak bisa diselamatkan, pria itu ditemukan sudah tak bernyawa. Mengingat terlalu banyak menghirup asap, serta luka bakar yang yang didapat. “Mas, aku tahu jika ini pasti sangat berat. Ada aku di sini, Mas tidak sendiri.” Kamila memeluk sang suami, ia bisa merasakan napas lelah pria itu yang berhembus di ceruk lehernya. “Tuan, hujan sudah mulai turun. Apakah tidak sebaiknya kita berteduh?” tanya Bimo pelan. Tak tahan melihat Aron yang mendapat kesedihan secara bertubi-tubi. Bimo sudah menganggap pria itu seperti adiknya sendiri, dan ia ikut merasakan kesakitan Aron.Aron melepas pelukannya dari Kamila, lant
“Kemungkinan besar dia dijatuhi hukuman seumur hidup, mengingat Erza juga terlibat dalam pembunuhan berencana. Ayahnya pun sudah tutup mata dan memutuskan hubungan dengan Erza. Sementara Relin, hingga saat ini belum ditemukan,” jelas Tama menatap ke arah Aron yang sedang menatap jauh ke depan. Satu bulan sejak terakhir kali ia bertemu dengan Erza, Tama ingat betul kala orang tua Panji menyumpahi Erza dengan kemarahan membeli buta, tak lupa mengutuk menantunya yang tidak lain adalah Relin, meskipun wanita itu menghilang entah ke mana.“Apa si Brengsek itu menyesali semua perbuatannya?” tanya Aron dingin, setelah keheningan panjang.Tama menghembuskan napas berat, meneliti ekspresi sang putra yang terlihat kecewa serta marah. “Tentu saja dia menyesal, seperti yang Ayah katakan satu bulan yang lalu. Jika dia ingin bertemu denganmu untuk meminta maaf, tapi mengingat kau yang tak mau melihat wajahnya. Jadi, Ayah tidak bisa memaksa.”“Syukurlah dia sadar diri, memang orang jahat sepertin
“Setelah saya selidiki semuanya, ternyata Tuan Erza juga yang membakar kebun apel Anda. Dia mengaku telah mengambil cincin Tuan Farzan dan ditaruh di lokasi kejadian, agar kecurigaan kita mengarah padanya,” jelas Bimo. Pria itu menyesal karena dulu sempat berburuk sangka pada Farzan, tapi siangka Erza adalah dalang dari semua ini. Sungguh, tak pernah terbesit dalam pikirannya. Bimo kembali mengalihkan atensi pada Aron, terlihat jelas wajah kecewa serta terluka sang tuan. Ia turut sedih, mengingat Aron serta Erza berteman sejak kecil.“Lalu mengenai kasus Panji bagaimna?” tanya Aron setelh kebungkamn yang cukup panjang. “Sedang diurus oleh pengacara Anda, Tuan Erza juga sudah ditahan. Tadi siang ketika saya ke selnya, dia berpesan ingin melihat Anda,” ungkap Bimo hati-hti. “Tidak akan.” Aron mengeraskan rahang. “Jika saya bertemu dengannya, saya tak yakin jika dia masih bernapas esok hari.” Pria itu mengepalkan tangan, sudah seminggu sejak kematian Rendra, ia sama sekali tidak sudi
“Tunggu dulu, apa maksudnya jika Erza mendonorkan darahnya pada Rendra?” tanya Aron. Mencegah Erza yang hendak mengikuti Relin. “Mengapa kau memikirkan itu! Yang terpenting sekarang kami harus menyelamatkan Rendra!” bantah Relin kuat, menatap Aron tajam. “Bukan maksud saya seperti—” Perkataan Aron terhenti ketika dokter serta suster tergesa-gesa menuju ruangan Rendra. Mereka semua yang melihat itu tentu saja panik. Relin yang hendak masuk langsung dihentikan oleh Farzan. Membuat wanita itu menangis karena panik. “Mas ….” Lirih Kamila sembari memegang lengan Aron. Pria itu tersentak, baru menyadari jika sang istri sedari tadi bersamanya.“Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja,” kata Aron lembut. Berbanding terbalik dengan tatapan tajamnya ke arah Relin serta Erza. Satu jam berlalu, seorang dokter keluar. Pria itu menatap keluarga pasien dengan wajah tak terbaca. Lalu berucap, ”Pasien tidak bisa diselamatkan. Dia terlalu banyak kehilangan darah, ditambah lagi dengan penyakit
“Jadi, aku sudah boleh pulang?” tanya Aron sekali lagi. Kamila mengangguk pelan, sudah pukul delapan malam. Lantas mereka keluar dari hotel, menuju kediaman Dewangga. “Apa pun yang terjadi ke depannya, kau harus percaya padaku.” Aron mengecup punggung tangan Kamila, mengabaikan Bimo yang seperti nyamuk di antara mereka.“Ya, asalkan jangan sembunyikan hal besar lagi dariku,” jawab Kamila. Aron mengangguk, mengusap rambut wanita itu lembut. Lalu menyandarkan kepala Kamila di dada bidangnya. “Mengenai Relin, ternyata dulu Mas tidak direstui, ya?” tanya Kamila pelan. Tubuh Aron terlihat menegang, tapi dengan cepat rileks kembali. “Ya, itu dulu. Sekarang ada dirimu da si kembar. Kami juga sudah bahagia dengan jalan hidup masing-masing.” Kamila terdiam, ia pikir Relin begitu diterima di keluarga Aron, mengingat dulu Dona sangat menyanjung sang sepupu.“Tuan, kita disuruh ke rumah sakit. Rendra jatuh dari tangga, dan keadaannya drop.”Perkataan Bimo menyentak Kamila dari lamunannya, b
“Enam tahun penjara?” tanya Aron dengan wajah kaku. “Benar, Tuan. Namun, hukuman yang sebenarnya dapat bervariasi tergantung pada pertimbangan hakim dan fakta yang terungkap dalam proses peradilan. Hakim bisa saja menjatuhkan hukuman penjara di bawah atau di atas enam tahun. Tapi balik lagi, itu semua tergantung pada keadaan kasus dan pertimbangan-pertimbangan lainnya seperti keadaan pelaku, korban, serta faktor-faktor pengurangan hukuman lainnya.”“Apanya yang enam tahun!” Seruan itu membuat Aron menoleh, ia tersentak ketika melihat Kamila yang menatapnya marah.“Jawab! Kenapa kau lakukan hal ini, Mas!” Kamila memukul dada Aron kuat, meremas kemeja yang pria itu kenakan dengan air mata yang sudah berjatuhan. “Ka–kamila … kau di sini?” tanya Aron linglung. Mengapa sang istri ke hotel tempatnya menginap? Wanita itu mendongak. “Ya, aku ke sini untuk membawamu pulang. Sudah cukup kebodohan yang kau lakukan, Mas. Ayo, lupakan semuanya. Ak–aku ….” Napas Kamila tercekat, tak bisa melanj
“Ibu, mengapa Ayah selalu menemuiku dan Saga di luar? Memangnya kenapa tidak di rumah saja?” tanya Ayana sembari menatap ke arah Kamila.Gadis kecil itu melihat kembali penampilannya pada cermin, setelah merasa cantik ia kembali menghadap ke arah Kamila.“Ayah sedang bekerja, Sayang. Mungkin setelah semuanya selesai baru dia pulang.” Wanita itu menjawab pelan, meski terdapat kekhawatiran pada raut wajahnya. “Oh … begitu. Padahal aku kangen tahu dibacakan dongeng sama Ayah. Memangnya Ibu tidak kangen sama Ayah?” Kamila melotot kaget, setelah itu tertawa canggung. “Ah, Yaya sangat cantik hari ini. Bagaimana jika sore ini kita ke taman? Ajak Aga juga nanti.” Ia mengalihkan pembicaraan, dan benar saja Ayana langsung mengangguk.“Siap, Bu! Nanti aku boleh makan ice cream ya, soalnya sudah satu minggu aku libur.” Gadis kecil itu mengerjap lucu, berharap Kamila luluh. “Tentu, Sayang. Hari ini Yaya dan Aga boleh makan ice cream, dan sekarang ambil tasnya ya.” Kamila mengacak rambut Ayana g