BAB 201Dokter Ardian baru saja sampai di rumah. Sedari tadi ia sudah sangat tidak sabar untuk segera pulang. Ia sangat bahagia karena akan segera punya anak lagi. Beberapa kali ia juga mengirim pesan pada Citra agar segera meminum vitamin, jangan lupa makan, banyak-banyak istirahat, dan masih banyak yang lainnya. Ia tidak mau abai seperti pada Nadia dulu, hingga akhirnya penyesalan pun ia rasakan karena tidak sempat memberikan perhatian lebih pada Nadia.Setelah turun dari mobil, Dokter Ardian berjalan memasuki rumah dengan tidak sabar. Ia naik ke lantai dua di mana kamarnya dan Citra berada. Ketika melewati kamar Nizam dan Ayu, ia melihat Ayu yang memakai pakaian Citra tengah mengganti pakaian Nizam. Karena Ayu posisinya membelakangi pintu, Dokter Ardian mengira itu adalah Citra. Dengan segera ia masuk ke dalam kamar itu lalu memeluk tubuh Ayu dari belakang.Ayu yang tiba-tiba dipeluk dari belakang pun terkejut dan merasa geli. Ia pun segera menjerit dan menginjak kaki Dokter Ardian
BAB 202“Kok jadi nyalahin aku sih, Mas?” sungut Citra dengan cemberut. Ia melipat kedua tangannya di depan dada sambil memalingkan muka dari Dokter Ardian.“Ya … kan akunya jadi salah peluk,” gerundel Dokter Ardian.Citra tidak menggubris ucapan Dokter Ardian.“Bagaimana kalau hari Minggu kita ajak Ayu belanja pakaian? Sekalian kamu juga beli baju hamil. Bentar lagi kan perut kamu bakal makin besar, Cit,” cetus Dokter Ardian seraya mengelus perut Citra.“Ya,” balas Citra setuju meskipun masih jutek.*Malam hariDokter Ardian dan Citra turun ke lantai bawah bersama-sama. Sesampainya di meja makan, Ayu sudah menunggu mereka berdua di sana. Ada rasa canggung antara Ayu dan Dokter Ardian karena kejadian tadi sore.Dokter Ardian menarik kursi ke belakang untuk Citra. Setelah Citra duduk, ia pun melakukan hal yang sama di samping kursi Citra. Sesaat kemudian, ia menatap Ayu yang menundukkan pandangannya karena merasa tidak enak.“Ayu, maaf ya untuk yang tadi sore. Saya tidak sengaja. Saya
BAB 203 “Tunggu di kamar. Kalau sudah siap, nanti aku panggil,” pesan Dokter Ardian pada Citra. Citra pun segera naik ke atas untuk beristirahat usai jalan-jalan di mal. Sudah tiga puluh menit Dokter Ardian memasak di dapur. Citra merasa bosan di dalam kamarnya. Ia pun turun dari tempat tidur dan menyusul Dokter Ardian di dapur. Ketika melangkahkan kakinya menuruni anak tangga, Citra melihat Dokter Ardian memasak dengan Ayu di sampingnya. Ia pun menghentikan langkah kakinya di tengah tangga. Ia merasa enggan untuk turun. Rasa cemburunya kembali membuncah setelah sekian lama ia kubur. Citra melihat Ayu berdiri berdekatan dengan Dokter Ardian yang tengah memasak. Tiba-tiba dadanya terasa berdenyut nyeri. Bibirnya pun tiba-tiba cemberut. Dengan segera ia putar balik kembali ke atas dan masuk ke dalam kamarnya. Lima menit kemudian, Dokter Ardian membuka pintu kamar. Ia melihat Citra berbaring miring di atas tempat tidur membelakangi pintu. Ia pun melangkahkan kakinya mendekat dan dudu
BAB 204‘Huh! Sok romantis!’ gerutu Ayu dalam hati. Meskipun kesal, ia tetap menampakkan senyum di hadapan Citra.“Maaf ya, Yu, udah nunggu lama,” ucap Citra lalu duduk pada kursi yang ditarik mundur Dokter Ardian.“Nggak apa-apa, Mbak,” balas Ayu dengan tetap terus menyunggingkan senyum terpaksanya.Dokter Ardian duduk di samping Citra lalu mengambilkan makanan yang ada di atas meja untuk Citra. Ketika Dokter Ardian akan memegang sendok sayur untuk mengambil sayur sop, tiba-tiba tangan Ayu juga ada di sana. Dokter Ardian pun memegang tangan Ayu tanpa sengaja. Kini mereka saling pandang.“Oh, maaf. Kamu saja yang ambil duluan,” ucap Dokter Ardian mempersilakan Ayu mengambil sayur sop terlebih dahulu. Kemudian ia menatap Citra karena khawatir Citra akan kesal.“Ah, Mas Ardian aja yang duluan,” sahut Ayu dengan kikuk.Dengan segera Dokter Ardian mengambil sendok sayur itu lalu menciduk sayur sop untuk Citra. Setelah mengambil sayur dan lauk pauk, ia menaruh piring berisi makanan itu di
BAB 205 Setelah pulang dari jalan-jalan pagi, Dokter Ardian pergi mandi dan bersiap-siap untuk berangkat bekerja. Sedangkan Citra duduk di meja makan sambil makan beberapa lauk pauk yang sudah terhidang di hadapannya. Akhir-akhir ini Citra sering merasa lapar semenjak hamil. Itu semua terjadi karena makanan yang ia makan dimakan berdua dengan janin yang ada di dalam kandungannya. Ia sudah tidak perduli lagi kalau badannya mulai gendut. Apalagi nantinya perutnya juga akan semakin membuncit kalau usia kandungannya semakin tua. “Mau makan sekarang, Mbak?” tanya Bik Yati setelah menaruh tempe goreng di atas meja. “Bentar lagi, Bik. Nunggu Papanya Nizam turun,” balas Citra seraya menatap Bik Yati dan tersenyum. Tidak lama kemudian Ayu turun dengan Nizam di gendongannya. Ia baru saja selesai memandikan dan memakaikan baju untuk Nizam. “Selamat pagi, Sayang …,” sapa Citra lalu mengambil alih Nizam dari gendongan Ayu. Ia memeluk dan mencium Nizam dengan sayang. Meskipun akan memiliki ana
BAB 206Beberapa bulan kemudianHari ini adalah malam minggu. Dokter Ardian sedang memasukkan beberapa pakaian ke dalam sebuah koper kecil. Mulai besok, ia akan menghadiri sebuah pelatihan dan seminar kesehatan di luar kota. Mau tidak mau, ia harus meninggalkan Citra yang sudah hamil besar, tepatnya tiga puluh lima minggu.Citra menatap Dokter Ardian yang sedang mengemasi pakaian dengan bibir cemberut dan membelai perutnya yang membuncit. Ia tidak mau jauh-jauh dari Dokter Ardian dan tidak mau tidur sendiri setiap malamnya.“Dari kemarin kok cemberut mulu sih?” celetuk Dokter Ardian seraya menarik hidung Citra dan menggoyangkannya ke kanan dan ke kiri. Ia baru saja selesai mengemasi barang-barang yang akan dibawanya besok.“Lama banget sih, Mas, sampai tiga hari?” gerutu Citra. Ia melipat kedua tangan di depan dada dengan bibir mengerucut khas mengambeknya.“Dari sana jadwalnya memang gitu, mau gimana lagi dong? Kalau aku nggak ikut, nanti ilmuku nggak update. Pada lari lah pasiennya
BAB 207Citra tidak biasanya seperti ini. Namun, Dokter Ardian maklum karena ia akan pergi beberapa hari dan juga Citra dalam keadaan hamil.“Aku pergi, ya,” pamit Dokter Ardian lalu masuk ke dalam mobilnya dengan langkah berat. Ia tidak tega meninggalkan Citra dan Nizam.“Segera telepon kalau sudah sampai, Mas,” pesan Citra dengan menatap Dokter Ardian.“Iya, Sayang …, pasti,” balas Dokter Ardian dengan tersenyum.“Dada, Papa …,” ucap Ayu seraya mengayunkan tangan Nizam pada Dokter Ardian yang mulai melajukan mobilnya keluar dari halaman rumahnya. Dokter Ardian pun membalas lambaian tangan Nizam dengan tersenyum lebar.Citra menatap mobil Dokter Ardian dengan berurai air mata. Ia terduduk di lantai melepas kepergian Dokter Ardian.Ayu merasa kasihan pada Citra. Ia melihat seakan-akan ini adalah pertemuan terakhir mereka untuk selamanya. Dengan segera ia berjongkok dan memegang lengan Citra agar segera berdiri.“Ayo masuk, Mbak!” ajak Ayu dengan lembut.Citra pun patuh lalu segera ber
BAB 208Pagi-pagi sekali, tepatnya subuh, Citra segera menelepon Dokter Ardian. Ia sangat rindu dan tidak bisa tidur dengan nyenyak. Sekaligus ia juga ingin membangunkan suaminya agar segera menunaikan ibadah salat subuh.Sayangnya, ponsel Dokter Ardian sedang dimatikan karena baterainya habis dan tengah di cas saat ini. Dokter Ardian juga sudah bangun dari tadi.Citra pun kecewa. Namun, ia juga merasa khawatir karena tidak tahu kabar dan keadaan suaminya yang jauh di sana. Tiba-tiba dadanya berdebar-debar hebat. Ia bingung harus bagaimana saat ini. Ia pun segera turun dari tempat tidur untuk mengambil wudu dan salat subuh. Ia akan mendoakan suaminya agar urusannya lancar, sehat, dan selalu dalam lindungan-Nya.Pagi hari setelah baterai ponselnya penuh, Dokter Ardian menelepon Citra. Namun, Citra tidak bisa menerima panggilan teleponnya karena Citra sedang berjalan-jalan pagi dan meninggalkan ponselnya di rumah.Akhirnya Dokter Ardian mengirimkan sebuah pesan karena ia harus segera be
BAB 220Beberapa bulan kemudianSudah satu minggu ini Citra mengambil cuti karena kandungannya sudah memasuki usia 37 minggu. Ia ingin beristirahat di rumah sambil mempersiapkan persalinan anak keduanya.Dokter Ardian sudah bekerja di Rumah Sakit Husada kembali. Namun, ia bekerja pada sore hari karena pagi hari sudah diisi dokter lain semenjak kepergiannya dulu.Pagi ini Dokter Ardian menemani Citra jalan-jalan pagi di komplek perumahannya. Arman dan Nizam masih tidur di rumah karena hari ini hari Minggu, sehingga mereka akan tidur sampai puas.Ketika sedang beristirahat di bangku yang ada pada sebuah taman, Citra merasakan janinnya menendang. Ia pun memegangi perutnya dengan tersenyum.“Kenapa?” tanya Dokter Ardian.“Dia menendang, Mas,” jawab Citra dengan mendesis. Setelah tendangan itu ia merasakan perutnya kencang dan sangat sakit.“Aaaahhh, Mas! Sakit!” ucap Citra mendesis menahan sakit pada perutnya.“Apa akan melahirkan? Kamu tunggu di sini, ya! Aku pulang dulu ambil mobil dan
BAB 219Malam hari Citra dan Dokter Ardian berbaring di atas tempat tidur berdua. Mereka sama-sama menatap langit-langit kamar mereka. Ada rasa canggung di antara mereka berdua karena sudah sepuluh tahun tidak bertemu.“Kenapa kamu tidak menikah lagi?” celetuk Dokter Ardian tiba-tiba seraya menoleh ke arah Citra yang berbaring di sampingnya.“Kenapa kamu bertanya seperti itu, Mas?” tanya Citra balik. Ia pun menatap Dokter Ardian juga.“Aku sudah pergi bertahun-tahun. Aku yakin kalau kalian semua sudah menganggapku mati,” jawab Dokter Ardian.“Bagaimana aku bisa menikah lagi, sedangkan hatiku kamu bawa pergi. Aku cinta hanya sama kamu, Mas,” ucap Citra dengan tersenyum.Hati Dokter Ardian tersentuh. Ia merasa terharu dengan pernyataan Citra. Ia pun segera memeluk tubuh Citra dan mencium bibirnya dengan buas. Untungnya ia sudah mencukur kumis berewoknya sebelum tidur tadi, sehingga Citra tidak menolaknya lagi.Ciuman mereka pun semakin panas hingga akhirnya percintaan di antara mereka p
BAB 218“Kamu kerja?” tanya Dokter Ardian.Citra menganggukkan kepalanya. “Iya, Mas,” jawab Citra.“Kalau aku nggak kerja, bagaimana aku dan anak-anak bisa makan?” imbuh Citra lagi.“Maaf, ya. Aku sudah membuat kamu susah dan menderita,” ucap Dokter Ardian merasa bersalah. Kemudian ia mendekatkan wajahnya ke arah Citra dan menempelkan bibirnya pada bibir Citra lalu melumat bibir itu seperti dulu.Citra tidak membalas ciuman Dokter Ardian. Ia mengernyitkan keningnya merasa tidak nyaman karena Dokter Ardian berewokan. Ia pun memundurkan kepalanya menjauh.“Kenapa?” tanya Dokter Ardian heran karena Citra menolak ciumannya.“Cukur dulu berewoknya, Mas,” gerutu Citra. Sudah lama ia tidak berciuman. Apalagi dengan wajah Dokter Ardian yang berewokan membuatnya risih dan sakit.Dokter Ardian mendesah pelan. Ia pun akhirnya pasrah karena memang tidak sempat mencukur bulu-bulu yang ada di wajahnya.Tidak lama kemudian Pak Aryo dan Bu Indah datang. Mereka segera masuk ke dalam rumah untuk meliha
BAB 217“Kata Mama, Papa sudah di surga,” sahut Nizam. Ia masih ingat kalau Citra mengatakan seperti itu ketika Arman dan Nizam menanyakan papanya.“Mungkin maksud Mama calon Papa, Kak,” sahut Arman menebak.Dokter Ardian mendesah pelan. Dengan segera ia menarik pelan tangan kedua anaknya agar masuk ke dalam rumah. Citra pun segera menutup pintu lalu mengekor di belakang mereka.Dokter Ardian menunjuk foto pernikahannya dengan Citra yang tergantung di ruang tengah.“Tuh lihat! Masa nggak kenal sama Papa sendiri,” gerutu Dokter Ardian pada kedua anaknya.Nizam dan Arman menatap foto pernikahan Citra dan Dokter Ardian dengan sangat lekat. Sesekali mereka juga melihat Dokter Ardian untuk mencocokkan garis wajah papanya.“Nggak sama. Yang di foto ganteng. Yang ini tua!” ujar Nizam sambil menunjuk Dokter Ardian.Dokter Ardian menghela napas panjang lalu mengembuskannya dengan kasar. Bagaimana tidak tua? Saat ini usia Dokter Ardian sudah empat puluh dua tahun. Ditambah lagi ia tidak bisa me
BAB 216Citra seperti melihat bayangan Dokter Ardian yang tersenyum padanya sambil duduk di kursi itu.‘Selamat pagi, Mas,’ ucap Citra dalam hati. Ia pun tersenyum lalu menutup pintu itu kembali. Kemudian ia bergegas menuju UGD untuk menjadi dokter jaga di sana.*Sore hari Citra pulang ke rumah seperti biasanya. Tubuhnya terasa lelah karena hari ini pasien di UGD sangat banyak. Ia masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai. Tiba-tiba Nizam dan Arman berlari ke arahnya lalu memeluk tubuhnya.“Mama!” seru mereka senang karena melihat Citra sudah pulang.Citra tersenyum lalu berjongkok untuk membalas pelukan mereka.“Bagaimana sekolahnya hari ini? Seru?” tanya Citra seraya menatap Nizam dan Arman bergantian.“Seru… sekali, Ma!” balas Nizam dengan antusias.Citra pun membelai kepala Nizam dengan tersenyum. Meskipun Nizam bukan anak kandungannya, ia akan tetap menyayangi Nizam seperti anaknya sendiri.“Kalau Arman?” tanya Citra seraya menatap Arman.Arman cemberut lalu berkata, “Sebel ah,
BAB 215Dua tahun kemudianCitra masih berharap Dokter Ardian pulang. Ia masih berharap semua ini hanyalah mimpi panjangnya. Ia sangat ingin segera bangun dari tidur panjangnya ini.Setiap hari, sampai saat ini Citra selalu menunggu suaminya pulang di balkon kamarnya. pagi, siang, malam, ia sangat berharap Dokter Ardian memberikan kejutan padanya. Penantian panjang tak pernah membuatnya letih. Karena semua kenangan indah bersama dibawa Dokter Ardian pergi. Ia ingin kenangan itu datang kembali bersama suaminya tercinta.Setiap salat, Citra selalu berdoa agar Allah menuntun Dokter Ardian menemukan jalan pulang. Ia masih tetap di sini menunggu Dokter Ardian pulang kembali. Meskipun itu mustahil, tapi ia berharap ada keajaiban di dunia ini untuknya.Saat ini anak Citra sudah berusia dua tahun. Anak itu diberi nama Arman Raditya. Nama Arman mempunyai arti harapan dan doa. Harapan dan doa Citra adalah kepulangan Dokter Ardian, ayah dari anak-anaknya. Ia masih belum siap menjadi janda di usi
BAB 214 Mobil ambulans baru saja sampai di halaman rumah Dokter Ardian. Citra pun masuk ke dalam mobil ambulans dengan bantuan dua orang perawat. Ia masih bisa berjalan dan tidak mau naik brankar. Bu Ratna juga mengekor di belakang mereka sambil membawa tas yang berisi pakaian Citra dan calon bayinya. Sesampainya di Rumah Sakit Bunda, Citra dianjurkan segera masuk ke ruang bersalin karena Dokter Amanda sudah mengatur semuanya. Sambil berjalan, Citra menangis berlinang air mata. Bukan karena kesakitan, tapi karena rindu dan teringat Dokter Ardian. ‘Mana janjimu, Mas? Kamu bilang akan menemaniku saat melahirkan anak kita? Tapi, kenapa kamu malah pergi meninggalkan aku dan anak kita?’ raung Citra dalam hati. “Cit,” panggil Dokter Amanda saat melihat Citra di ambang pintu ruang bersalin. Ia pun tersenyum paksa meskipun hatinya menangis. Hatinya sangat sakit melihat Citra yang berlinang air mata di hadapannya. Ia tahu dan mengerti bagaimana rasanya jadi Citra saat ini. Citra pun melan
BAB 213Satu minggu kemudianCitra berdiri di balkon kamarnya. Ia menatap ke halaman rumah dan berharap melihat Dokter Ardian pulang. Setiap hari, pagi, siang, dan malam, ia menunggu Dokter Ardian pulang. Ia berharap semua ini hanya mimpi dan prank dari suaminya.“Mas …, aku rindu,” lirih Citra dengan bibir bergetar dan mata berkaca-kaca. Setiap hari ia menangis merindukan Dokter Ardian.“Andai waktu bisa diulang, aku akan bilang ‘I love you’ setiap hari padamu, Mas. Aku belum pernah mengucapkan cintaku padamu. Andai waktu bisa terulang kembali, aku ingin bilang ‘Aku cinta kamu’ sejuta kali sehari pun aku akan melakukannya, Mas,” ucap Citra menyesali semuanya. Ia menyesal karena tidak pernah mengatakan cinta pada Dokter Ardian selama ini. Padahal waktu kebersamaan mereka sangat singkat.Mobil Dokter Ardian memang sudah diangkat dari jurang. Namun, di dalam mobil itu tidak ditemukan tubuh ataupun jenazah Dokter Ardian. Kemungkinan besar, tubuh Dokter Ardian terlempar keluar saat mobil
BAB 212Citra tengah terbaring di salah satu kamar VIP Rumah Sakit Bunda. Sebuah selang infus terpasang pada tangan kirinya.Bu Ratna sedang menggosok telapak tangan dan telapak kaki Citra secara bergantian dengan lembut. Beberapa kali ia menatap wajah Citra dan berharap Citra segera membuka matanya. Ia baru saja sampai di Rumah Sakit Bunda sepuluh menit yang lalu dan langsung mencari di mana Citra dirawat.Tidak lama kemudian Citra mengernyitkan keningnya. Ia memegangi kepalanya yang terasa pening.“Cit,” ujar Bu Ratna senang akhirnya Citra sadar juga.Citra pun membuka matanya dan melihat ibunya di samping tempat tidurnya. Kemudian ia melihat ke sekeliling ruangan itu dan ia pun sadar kalau sedang berada di rumah sakit.“Ibuk,” balas Citra lirih.“Mau minum?” Bu Ratna menawarkan seraya mengambil air minum dalam kemasan botol yang ada di atas meja. Namun, Citra menggelengkan kepalanya. Bu Ratna pun menaruh kembali botol itu.Citra menatap langit-langit ruangan itu dengan tatapan koso