Lara baru saja bangun saat ponselnya menyalak. Nama 'Montir Beloved', terpatri di layar lima inci-nya.
Sontak saja, Lara menguatkan diri untuk langsung beranjak bangun. Diminumnya segelas air sebelum akhirnya menerima panggilan dari sang kekasih.
Sembari bersandar pada bahu ranjang, Lara memainkan bola matanya ke atas. "Iya, RI? Kenapa pagi-pagi gini telepon?"
"Koe lupa kemaren ngomong apa?" tanya Ari antusias.
Lara yang baru bangun hanya mampu menggumamkan mulut tak jelas. Ia mencoba mengingat apa yang akan dilakukan, yang pernah dikatakannya pada Ari. Memoarnya pun mulai memutar kejadian kemarin.
"Kita harus jadi kekasih, Ri!" tegas Lara. Keinginan yang merangkap perintah itu sama sekali tak diberi celah untuk ditolak mentah.
Ari hanya menganga mendapati kejadian serupa yang ia lakoni lebih dari dua bulan sebelumnya. Bukan hanya masalah hati kini, tetapi ju
"Elu kenapa ngindarin gue?" Pesan dari Tarissa telah dibuka sejak sejam sebelum Ari mulai menelepon Lara. Susah baginya untuk menghalau rasa pada gadis yang tatapannya telah dipuja sejak hari kedua bekerja. Ada hasrat menggebu yang terus dipendam Ari sejak saat itu. Sayangnya, ia tak tahu pasti rasa apa yang membuatnya memuja dua bola mata selegam malam milik Tarissa. Sudah berulang kali Ari menulis balasan, lalu kembali menghapusnya kala ancaman Lara mengiang di telinga. Ia tak ingin mengecewakan wanita, tetapi juga tak ingin kehilangan kesempatan untuk masa depan yang cerah. Akhirnya, dengan susah payah Ari menghapus pesan yang ada. Lantas pergi ke luar kamar demi mencari sesuap nasi untuknya dan Rendi. Beruntungnya, di pagi hari pada jam yang sama, sebuah mobil bak terbuka dengan meja dan etalase panjangnya selalu berhenti di ujung gang. Ialah penjual makanan khas Mi
"Maksudnya, elu udah nggak mau ngebuat Lara balik ke Eiffor? Elu mau ngebiarin dia dimanfaatin sama Ari?"Pesan itu terus masuk ke dalam ponsel milik Lalita. Sang empunya enggan untuk membahas lebih jauh terkait rencana sebelumnya. Bagaimanapun juga, ia sendiri sudah mengerti watak Tarissa yang sebenarnya."Udah, bales aja kalo emang mau ngebales," saran Lara.Sudah puluhan kali ponsel Lalita berdering, menyalak minta sang empunya mengangkat. Tiap kali pula, kawan karibnya selalu memberi saran yang sama. Sayangnya, ia sudah terlanjur patah hati.Sepeninggal Lara yang ditendang dari grup Eiffor, tiga dara itulah yang menguasai. Mereka berencana membuat Lara kembali seperti semula. Jauh sebelum Lalita tahu siapa jati diri sosok yang diikuti perintahnya."Kagak, Ra. Gue tetep nginep sini, ya! Sampek keadaan membaik," pinta Lalita.Bukan perkara keselamatan atau
Mini Cooper warna hijau metalik milik Lara telah membelah jalanan bebas hambatan penghubung antarJawa. Jam baru menunjuk ke angka sebelas, saat Ari mulai menepikan laju mobil menuju ke area peristirahatan."Aku capek, Ra, kita berenti bentar, ya?"Lara tak menyahut. Ia lebih sibuk memandang hal yang bahkan belum pernah dibayangkan sebelumnya. Tangannya yang menumpu dagu, sama sekali tak kebas meski telah dua jam berada di posisi yang sama.Ari tak perlu menunggu jawaban Lara, ia hanya butuh minum dan istirahat sebentar. Walaupun ia seorang montir, tetapi berkendara jauh bukanlah hal yang bisa ia lakukan dengan santai.Mesin mobil telah berhenti menderu ketika Ari mulai merenggangkan tubuh. Ia masih belum sadar bahwa Lara masih terpaku. Entah mengapa, ia tak ingin atau lebih tepatnya berusaha menghindari tatapan Lara sejak kejadian pagi tadi."Ngapain, Bos?!"
"Ari!"Gerakan tangan pria yang usianya hampir menginjak kepala tiga itu terhenti data mendengar panggilan sang kekasih hati. Paksaan yang membuatnya berada di sini, jika saja ia masih mau bersabar lebih lama lagi dalam hidup yang serba kekurangan."Apaan, Ra?""Who's me?"Ari terkesiap. Ia menatap Lara lekat, sedangkan yang ditatap makin menyimpul senyum semringah.Debar dalam dada Ari mulai kurang ajar. Detaknya tak seirama, membuat pria berambut cepak itu salah tingkah. "Apaan, sih?""Who's Lara?""Ya kamu Lara, Ra!""Ari girlfriend. Who's Lara?"Ekspresi Lara kali ini begitu menyebalkan bagi Ari. Bagaimana tidak. Ia harus menelan ludah susah payah demi menghalau rasa gemas akan bibir seksi yang dimanyunkan. Terlebih, wajah mereka hanya berjarak tak lebih dari dua jengkal.
"Kenapa nggak makan di fastfood itu aja, sih, Ri?"Lara tampak menghela napas berulang saat melihat sebungkus mie dalam mangkuk tinggi mulai mengembang. Ia bahkan tak pernah makan di pinggir jalan tanpa penyekat."Coba aja, dulu, Ra. Yakinlah, ini enak!"Ari mulai meraih bungkusan garpu plastik yang berada tak jauh dari mangkuk milik Lara. Dengan cepat ia merobek, lantas menyodorkan cutleries mini pada sang empunya."Bukan masalah enaknya, Ri. Ini sehat, nggak? Higienis, nggak?""Ya udah, sana. Pergi sendiri aja ke sana. Biar ini aku yang habisin."Tak elak, pengusiran Ari membuatnya bungkam. Padahal, ia sudah bersusah payah merayu agar masuk ke dalam restoran berdinding kaca di ujung rest area."Ya udah. Gue makan."Sebenarnya, melihat Ari menyantap hidangan instan itu dengan lahap, sudah bisa membuat air liur Lara m
"Kenapa harus ke sini, Ri?"Sejauh mata memandang, banyak hamparan pohon yang melambai. Asri dan sejuk. Perbedaan yang kontras jika dibandingkan dengan suasana hiruk-pikuk Jakarta."Kita mesti cari supplier air bersihnya dulu. Seenggaknya harus dapet yang bener-bener bersih. Yang ph-nya juga bagus. Jadi sehat. Nggak main tunjuk supplier."Lara memutar bola matanya malas sembari menatap ke arah luar jendela. "Maksud gue. Kita bisa nyuruh orang, Ri. Nggak perlu terjung langsung. Orang kepercayaan gue banyak."Ari melihat Lara yang membuang wajah. Ia tak begitu terkejut mendengar pernyataan mantan bosnya. "Aku tau, Ra, tapi aku sekarang kan pengangguran. Jadi nggak perlu, lah, nyuruh orang buat ngelakuin apa yang bisa kulakuin."Lara menganggut, lalu kembali melihat pemandangan yang tersaji di depan mata. Bogor dan seisinya, selalu menjadi daya tarik tersendiri.
"Elu kenapa? Beda bener auranya. Nggak kek tadi pagi."Celetukan Lara terdengar begitu putus asa di telinga Ari. Ia masih mengunci bahasa meski mobil sudah melaju lebih dari sepuluh menit. Sejak menerima telepon dari Tarissa saat makan siang tadi, ia memilih tetap bungkam.Menyadari sikap Ari yang masih ingin dipertahankan entah sampai kapan, Lara pun membuang muka. Namun, ia mulai panik saat mobil melaju kian naik ke puncak.Berbagai pikiran buruk sontak memenuhi pikiran Lara. Terlebih, awalnya Ari memang ingin menjauh darinya demi Tarissa."Elu mau ke mana? Arah pulang bukan ke sini, Ri."Ari masih diam. Ia tak ingin buka suara meski hanya berdeham. Jalanan makin curam dan menanjak. Melewati perkebunan warga dengan ukuran aspal yang mulai mengecil."Ri! Kita mau ke mana?"Lara kian panik, tetapi Ari masih mempertahankan egonya untuk tet
"Whoaaa! Bagus banget, Ri!"Lara terperangah melihat pemandangan indah yang terhampar di depan mata. Berada di ketinggian pada gulita yang berkuasa, membuatnya mampu melihat permadani bumi adiwarna.Kerlap-kerlip lampu yang memikat nan menawan, mampu membuat hati seorang gadis arogan begitu terpana. Meski ini bukan kali pertama melihat hal semacam ini, tetapi entah mengapa malam itu terasa jauh lebih indah."Bagus banget!""Sama-sama," jawab Ari sekenanya. Ia bahkan berucap sembari mencibir Lara."Elu kalo nggak tulus kagak usah modus!""Dih. Rugi ngemodusin kamu! Nggak dapet apa-apa!"Kini Lara malah melirik tak suka pada sang pujangga. Namun, ia tetap merasa begitu diistimewakan kala itu. Mengingat hal yang dilakukan Ari tadi adalah hal yang tak bisa dibayangkan sebelumnya."Nih, pakek!" perintah Ari, otoriter. Dile
Lara baru saja tiba setelah mengadakan pertemuan terkait dengan usaha baru yang akan dirintis olehnya, saat ponselnya berdering keras. Dilihatnya nama pada layar ponsel, Montir Bastard.Ia tergelak sebentar. Memang inginnya nama Ari tak dirubah. Ia berharap itu akan menjadi kenangan berharga.Lekas diangkatnya perminaan vidio call dari sang kekasih. Lantas, sembari membuka blazer diharapkannya ponsel dengan bantuan bantal sebagai sanggahan."Kenapa?" tanya Lara, menuntut."Lah! Ditelepon tanya kenapa. Salam dulu, kek. Sayang-sayangan dulu gitu," jawab Ari di seberang. "Keknya lagi sibuk bener, ya? Empat hari enggak ketemu jadi miss you mss you."Mendengar pelafalan bahasa Inggris Ari yang fasih tetapi direka cadel, tentu membuat Lara terbahak. Apalagi keduanya memang belum sempat bertemu sejak pertemuan terakhir mereka."Iya, ya? Tapi enggak apa, gue sibuk bu
Pelan, Ari berjalan masuk ke gedung salah satu pencakar langit di Jakarta. Beberapa kali, matanya mengawasi sekitar. Lantas, ia berhenti tepat di meja penerima tamu."Ada yang bisa kami bantu?"Ari tergemap. Lantas, ia mengutarakan maksudnya datang ke sana. "Saya mau bertemu dengan Pak Bachtiar, Mbak."Sang resepsionis pun mengernyit, lantas menatap tajam pada Ari. "Anda sudah buat janji temu?"Ari menggeleng. "Harus, ya?""Bapak Bachtiar tidak menerima tamu sembarang, Pak. Usahakan punya janji temu dulu, ya."Sudah tiga hari ini, Ari selalu mendatangi salah satu kantor pusat permainan ternama. Bukan untuk mendapat pekerjaan, tetapi ia ingin bertemu langsung dengan ayahnya Lara.Sudah berulang kali ia mencoba menelepon, meminta janji temu untuk sang calon mertua. Akan tetapi, ia ditolak mentah-mentah saat ditanya maksud tujuannya.
"Ren, bisa ngomong sebentar?"Pintu diketuk Ari pelan, lantas tak lama suara anak kunci diputar pun terdengar. Rendi yang merasa aneh dengan tingkah sang kakak langsung menyadari ada hal yang ingin dibicarakan."Ada apa, sih? Kalo elu sopan gini, gue jadi takut."Ari terkekeh sebentar, lantas ia mengambil duduk pada bean bag terdekat. Diambilnya pula berkas-berkas yang sudah dilipat dalam saku hoodienya."Beberapa hal yang enggak bisa kita kuasai kadang bikin kita marah sama keadaan. Marah sama kenyataan. Aku ... sama."Rendi mengernyit, lantas mencondongkan tubuhnya ke arah sang kakak. "Enggak usah berbelit-belit, Ri. Ngomong aja. Kek sama siapa, aja! Elu mau nikahin Lara? Atau mau jadiin gue bridesman?"Rendi mengulum senyumnya. Ia tahu betul, jika suasana melow dari Ari membawa kabar buruk. Maka dari itu, ia berusaha untuk mencairkan suasana.
"Maksud elu gimana?"Demi melihat Lara yang menanap, Ari pun beranjak. Ia juga tengah terkejut dengan fakta yang ada. Belum lagi mengenai ucapan Supri yang kian membuat Ari bingung bukan kepalang."Aku juga enggak ngerti, Ra."Ari mengambil beberapa berkas dari tas selempangnya. Lantas, diberikannya pada Lara tanpa ragu.Perlahan, Lara membuka berkas yang ada. Untuk sejenak, ia memejam. Lantas, menarik Ari untuk duduk di sampingnya. "Ini bukan salah elu ataupun Rendi. Ini adalah takdir. Sekuat apa pun elu nolak, tetap saja ini adalah akhirnya."Ari menggeleng, lalu meraih gambar yang pernah dilihatnya di ponsel Tarissa. "Ini Tarissa. Orang yang sebelumnya nganggep aku kebahagiaannya. Terus, tiba-tiba aku hadir dan ngomong, aku kakakmu. Gila!"Lara mencengkeram lengan Ari lantas menatapnya lekat-lekat. "Katakan saja pada Rendi. Bagaimanapun juga, Rendi harus t
Di dalam kamar, Rendi, Ari dan Lara tengah sarapan bersama. Beberapa kali candaan dilempar kala tahu Rendi tengah melakukan aksi mukbang secara live pada penonton setianya: Lalita.Rendi yang tahan malu pun tak mengindahkan cibiran sang kakak dan Lara. Meski begitu, Lalita yang juga melakukan hal yang sama ingin segera mengakhiri panggilan."Jangan gitu, Ta, biarin aja wis kalian saling mukbang. Dan gue di sini sama Ari saling nyindirin kalian! Ha ha ha!"Lalita telah memerah wajahnya di depan kamera, sedangkan Rendi tak ingin acara saban paginya rusak gara-gara Lara."Mending elu pergi dah dari sini, Ra! Gangguin aja!"Mendengar dirinya diusir, Lara pun berkacak pinggang. "Hello! Ini kamar cowok gue! Harusnya elu yang minggat!""Lah, cuma cowok, 'kan? Belum jadi suami, kan? Gue yang lebih berhak!" jawab Rendi sekenanya."Lah, elu siapany
Lara sedang mengadakan pertemuan penting di salah satu anak perusahaan yang dikelolanya bersama Eiffor. Dari sana, ia akan mendapat banyak relasi demi menciptakan usaha Ari yang baru. Beberapa pengusaha setuju bekerja sama. Mulai dari kontraktor hingga bagian periklanan. Beberapa kali, Lara melirik ponselnya yang terus bergetar. Meksi begitu, bagaimanapun juga ia harus mengabaikan. Pertemuan itu lebih penting dari segalanya. Terlebih, untuk membangun masa depannya bersama Ari di kemudian hari. Usai meeting, Lara langsung menelepon balik sang kekasih. Kali ini, bukan hanya penggilannya yang tak dijawab. Ponsel Ari pun tak lagi dapat dihubungi. Lara cemas, dengan cepat ia berlari menuruni anak tangga menuju ke parkiran. Dilajukannya mobil berwarna hijau metalik dengan tergesa. Ada perasaan tak nyaman yang kini berkelindan. Apalagi, sebelumnya Ari ta
Ari baru saja tiba di rumah lamanya. Esok adalah hari di mana ia akan kembali ke sana. Ke tempat di mana ia dibesarkan bersama Rendi dengan belas kasih banyak tetangga.Sesekali, ia mengenang kilas kejadian yang memilukan. Tentang kematian orang-orang terkasih, bahkan ibunya yang pergi setelah meninggalkannya di rumah Bunda Diana.Pelan, diambilnya beberapa paket sembako yang sedari tadi ada di sekitar kakinya. Ia mengayun langkah tegas, pada rumah-rumah yang dulu pernah menjadi tempat singgah lapar mendera.Usai mengucap salam, wanita paruh baya membual pintu sembari mengulas senyum yang terkembang. "Ari? Ada apa, Nak? Sini, masuk!"Ari menggeleng sembari mengulas senyum. Lekas, diberikannya kontener kecil berisi banyak kebutuhan dapur. "Buat njenengan, Bu. Maaf kalo cuma bisa ngasih ini. In Syaa Allah, akan lebih sering ngasih."Melihat kontener besar yang dibawa Ari, wanita it
Sudah sehari setelah kedatangannya kembali ke Jakarta, saat Ari duduk bersisian di warung kopi tak jauh dari Fiterus Asikin. Bersama kawannya, ia terus berbincang tanpa kenal waktu lagi."Kukira, wakmu sudah lupa aku, Su! Udahlah enggak pernah main, eh nomormu enggak bisa dihubungi. Kenapa?"Ari tergelak sebentar, lantas menuang kopi pada lepek. Bersama, Supri, Ari mampu menjadi sosok yang selama ini selau dipendam jati dirinya."Gimana? Wis dapet laba?"Mendengar pertanyaan Supri, sontak Ari terbahak. "Bati opo? Emang jual beli pake tanya laba segala?"Ari terbahak, begitu pula Supri. Lantas, bersamaan keduanya menyesap kopi dari lepek."Enak koe, Su! Pantes dulu sering bayarin aku. Saiki gimana?" tanya Supri. Ia mencomot satu gorengan yang ada di tengah meja."Enggak gimana-gimana. Lagi mau bikin usaha aku. Biar selevel sama Lara. Palin
Lara baru saja tiba di rumahnya, saat ponselnya berdering nyaring. Ia mengedar pandang pada sosok yang ada di balik punggungnya."Masuk, sana!" titah Ari. Ia mengantar kepulangan Lara menggunakan taksi dalam jaringan.Lara mengangguk, lantas melambaikan tangannya. Tepat sebelum ia masuk ke rumah, Lara mengangkat panggilan dari orang-orang yang dipercayai mengurus segala sesuatu tentang usaha yang Ari impikan.Hanya dengan menajamkan pendengaran, Lara tahu betul mobil yang ditumpangi Ari telah pergi. Cepat, ia membuka pagar dan masuk rumah."Ada apa, Pak?" tanya Lara, antusias."Begini, Nona. Tentang perizinan dan sebagainya sudah keluar. Semua sudah beres. Jadi, kita bisa segera memulai pembangunan."Mendengar ucapan sang tangan kanan, tentu saja Lara semringah. Tanpa sadar ia melompat girang. Lantas, segera masuk ke kamar.Ia terla