Lara telah kembali merebahkan diri di ranjang minimalisnya. Diusapnya layar ponsel yang masih menampakkan dua jendela melayang pada bagian atas: satu bursa saham, yang lain BEI.
Gadis delapan belas tahun itu merasakan sensasi aneh, setelah makan bersama ART panggilannya. Meski sudah dua hari di sana, Lara bahkan tak pernah menyapa sebelumnya. Namun, kali ini entah mengapa ia ingin ditemani makan.
Lantas, Lara kembali mengingat bagaimana Mbak Dina merasa begitu terharu kala diajak makan bersama. "Beneran polos atau pura-pura polos, gue nggak bisa bedain."
Lara ingat betul bagaimana ia menggoda Mbak Dina agar mau menemaninya makan. Bukan sekadar hanya menyajikan dan memperhatikannya dari jarak dekat.
"Astaghfirullah, Neng, nggak ada, atuh. Semua masakan ini handmade, Neng. Buatan mbak sendiri. Mana mungkin dikasih racun," kilah Mbak Dina, dengan wajah memelas.
"Lah, kalo nggak ada
Ari sudah hampir sampai di pos penjagaan sebuah kompleks perumahaan setengah jam selepas pulang kerja. Seorang penjaga yang melihatnya turun dari kendaraan ojek online, berusaha mendekat."Ada perlu apa, ya?" tanyanya."Oh, aku temennya si Lara. Bapak itu pasti kenal. Tempo hari pernah ke sini juga soalnya."Sang penjaga pun mengernyit heran, lantas bersiul demi memanggil partner kerjanya. Entah menggunakan bahasa apa keduanya berinteraksi, yang jelas hanya mereka berdua yang mengerti--atau mungkin semua para penjaga kompleks perumahan ini."Oke, masuk. Tapi, kalo boleh tau, kamu siapanya, Mas?"Ari menyungging senyum, lantas menjawabnya pelan. "Saya montir ples ples, Pak."Tanpa menunggu reaksi atau jawaban, Ari telah berlalu melewati sang penjaga keamanan. Ia masih ingat betul sebelah mana rumah Lara berada. Terlebih, hanya kediaman sang bos besarlah yang p
"Ya nggak gitu juga, Rii!"Ari kembali duduk sembari mendecih. Lantas, ia mengutarakan maksudnya datang ke rumah sang kekasih."Semuanya udah pada tau hubungan kita?"Lara menggeleng, lantas ia mengambil duduk di seberang Ari. "Gue nggak pernah mau ngakuin elu! Mana mungkin mereka tau!""Buktinya, Lalita tau, Ra!""Dia cuma mau mancing elu, Begok!"Dikatai sedemikian rupa oleh Lara, tak membuat Ari marah. Ia malah mencondongkan badan, mengikis jarak pada idaman banyak pria. "Kamu ... nyembunyiin sesuatu?"Lara pun tergemap sebentar, sebelum akhirnya mampu menguasai keadaan. Ia mengulas senyum pada Ari. "Eng-gak!""Lalita ngasih semua buktinya, Ra. Mana mungkin dia nggak tau.""Mungkin itu semua gegara elu yang ngedeketin Tarissa!""Aku nggak ngedeketin dia, Ra. Emang pas
"Elu ngomong aja muter-muter! Belajar lagi sono!" maki Lara. Kedua matanya telah mendelik tak keruan, sedangkan tangannya melipat di dada."Ra ..., aku suka sama Tarissa," aku Ari sembari nyengir kuda.Sontak saja, Lara mengeratkan rahang. Ini kali pertamanya marah karena hak yang tak jelas. Apalagi ini berkaitan dengan sosok yang telah lama mengganggu ketenangannya.Untuk beberapa saat, keduanya masih saling diam. Posisi mereka tak berubah meski sejengkal. Ari yang mendongak pada Lara, sedangkan gadis itu memelototi karyawannya.Lara masih susah mencerna apa yang telah dikatakan Ari. Ada debuman, hantaman, bahkan terasa seperti ledakan kecil dalam dadanya. Sadar suda terlalu lama tergemap, ia mulai berdeham. Mencoba menetralkan keadaan yang sempat canggung akibat ucapan pria tak tau diuntung."Elu beneran?"Ari enggan menjawab. Kedua matanya menatap lurus pa
Sepeninggal kepergian Ari, Lara masih menangis sesenggukan. Seluruh tubuhnya masih bergetar di sofa dudukan tiga. Ia sendiri bahkan tak menyangka, jika beginilah akhirnya.Ditatapnya selembar sticky notes legam yang bertuliskan tinta keperakan dalam genggamannya. Sudah dua jam ia berdiam diri, memikirkan banyak kemungkinan yang terjadi. Lara masih dipasung kebisuan, pun dalam langkah selanjutnya juga penuh keraguan.Padahal, atas inisiatif Ari sendiri, ia mengambilkan Lara laptop dari kamarnya. Pun demikian, dashboard pada kamputer jinjing itu sudah berganti dengan badan surel yang telah terbuka.Kendati demikian, Lara masih enggan untuk menghapus segalanya. Ia masih menatap tulisan yang ada namanya."Gu-e eng-gak habis pi-kir kalo e-mail dan san-dinya ada na-ma gue," ucapnya terguguk.Sesekali diliriknya layar laptop yang tertidur karena lama tak mendapat perintah. Namun, Lara p
Dalam ruangan yang didominasi warna putih gading itu tampak seorang gadis yang tengah tertidur pulas setelah diberi obat penenang. Ia yang tak pernah merasa kekurangan, tiba-tiba menjerit tak keruan karena kehilangan pendengaran.Apalagi setelah kepergian pria yang membawanya ke rumah sakit, Lara makin tak terkendali. Meski atau catatan ditinggalkan oleh yang bersangkutan, ia tetap tak ingin ditinggalkan.Ada perasaan takut, cemas, dan kesepian saat ia sama sekali tak mampu mendengarkan. Untuk pertama kalinya, Lara merasa ia benar-benar sendiri meski hartanya dalam genggaman.Hari hampir menjelang pagi saat kedua mata Lara terbuka perlahan. Sayup-sayup ia mendengar dentang jarum jam. Sontak saja ia terduduk, bersila.Perlahan, ia melebarkan telapak tangannya di belakang telinga. Mencoba mendengarkan beberapa suara yang semalam ia rindukan.Lara tersenyum saat tahu, pendengarannya
"Ari! Buka pintu!"Ari melirik pada jarum jam yang menunjuk ke angka enam, saat gedoran pada pintu kamarnya makin keras."Cah gemblung!"Ari tak mau peduli, ia kembali menarik selimut tinggi-tinggi sembari memasang earphone pada masing-masing telinga. Tak dihiraukannya suara Rendi yang naik beberapa oktaf, pun dering ponsel yang terus menyalak."Ari! Gue mau tanya banyak hal! Buka pintunya!"Ari kembali membuka mata, menatap langit-langit kamar sembari mengumpulkan niat untuk sekadar menerima tamu. Ditatapnya Lara yang masih tertidur pulas di sampingnya."Terus, aku kudu piye iki, Ra?" tanya Ari sembari menekuri tiap lekuk wajah Lara.Bulu mata Lara yang lentik seolah-olah tengah memanggil Ari untuk mendekat. Pun bibir Lara yang penuh terisi meski masih terlihat pucat pasi, seakan-akan punya magnet tersendiri hingga mampu membuat Ari memu
Rendi mengernyit heran pada sang kakak yang terlihat salah tingkah. Wajah penuh pesonanya hilang bersama Winaya yang runtuh seketika."Elu bawa pacar elu tidur di mari?" tanya Rendi tepat sasaran. Suaranya sudah naik dua oktaf.Terkejut dengan sebuah teriakan, Lara yang berada di balik barikade bantal guling membuka mata cepat. Ia mencoba mendengar dan bergerak perlahan."Iya! Udahlah nggak usah dipermasalahin! Nggak usah repot-repot juga ngeliat siapa dia," ujar Ari sembari kembali beranjak dari sofa. Kedua tangannya melipat di dada seakan-akan membentuk pertahanan kedua.Rendi berdecak kesal, lantas menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Tau gitu nggak gue ganggu.""Nah, tuh, tau."Rendi pun nyengir kuda, lantas menatap sang kakak penuh tanda tanya. "Kalian lagi skidipapan pas gue gedor, ya?"Sontak saja wajah Ari memerah. Dengan canggung
"Awakmu gendeng, aa?"(Kamu gila, kah?)Pertanyaan Ari dengan suara lantang tak membuat Lara mengurungkan niat. Sebaliknya, ia malah tampak bersikeras dengan menunjukkan seringainya."Segila elu pada awalnya, 'kan?"Ari memijat pelipisnya berulang sembari mondar-mandir, lalu mengembuskan napas dengan kasar. "Jadi, ini bentuk balas dendammu?"Lara mulai bangkit, lalu beranjak ke kamar mandi. Ia tak menghiraukan tatapan Ari yang mulai menggelap bersamaan saat kemeja yang dilucutinya perlahan. Sembari mendendangkan lagu, ia membasahi tubuh tanpa ragu.Sementara itu, Ari yang berada di ranjang makin tak keruan. Ia merutuki kebodohannya sendiri pagi buta tadi."Ha ... lo?" sapa Ari. Matanya berat untuk sekadar membaca nama yang menghubungi."Ri?"Mendengar suara yang dikenalnya tengah menahan isak, jelas Ari membuka
Lara baru saja tiba setelah mengadakan pertemuan terkait dengan usaha baru yang akan dirintis olehnya, saat ponselnya berdering keras. Dilihatnya nama pada layar ponsel, Montir Bastard.Ia tergelak sebentar. Memang inginnya nama Ari tak dirubah. Ia berharap itu akan menjadi kenangan berharga.Lekas diangkatnya perminaan vidio call dari sang kekasih. Lantas, sembari membuka blazer diharapkannya ponsel dengan bantuan bantal sebagai sanggahan."Kenapa?" tanya Lara, menuntut."Lah! Ditelepon tanya kenapa. Salam dulu, kek. Sayang-sayangan dulu gitu," jawab Ari di seberang. "Keknya lagi sibuk bener, ya? Empat hari enggak ketemu jadi miss you mss you."Mendengar pelafalan bahasa Inggris Ari yang fasih tetapi direka cadel, tentu membuat Lara terbahak. Apalagi keduanya memang belum sempat bertemu sejak pertemuan terakhir mereka."Iya, ya? Tapi enggak apa, gue sibuk bu
Pelan, Ari berjalan masuk ke gedung salah satu pencakar langit di Jakarta. Beberapa kali, matanya mengawasi sekitar. Lantas, ia berhenti tepat di meja penerima tamu."Ada yang bisa kami bantu?"Ari tergemap. Lantas, ia mengutarakan maksudnya datang ke sana. "Saya mau bertemu dengan Pak Bachtiar, Mbak."Sang resepsionis pun mengernyit, lantas menatap tajam pada Ari. "Anda sudah buat janji temu?"Ari menggeleng. "Harus, ya?""Bapak Bachtiar tidak menerima tamu sembarang, Pak. Usahakan punya janji temu dulu, ya."Sudah tiga hari ini, Ari selalu mendatangi salah satu kantor pusat permainan ternama. Bukan untuk mendapat pekerjaan, tetapi ia ingin bertemu langsung dengan ayahnya Lara.Sudah berulang kali ia mencoba menelepon, meminta janji temu untuk sang calon mertua. Akan tetapi, ia ditolak mentah-mentah saat ditanya maksud tujuannya.
"Ren, bisa ngomong sebentar?"Pintu diketuk Ari pelan, lantas tak lama suara anak kunci diputar pun terdengar. Rendi yang merasa aneh dengan tingkah sang kakak langsung menyadari ada hal yang ingin dibicarakan."Ada apa, sih? Kalo elu sopan gini, gue jadi takut."Ari terkekeh sebentar, lantas ia mengambil duduk pada bean bag terdekat. Diambilnya pula berkas-berkas yang sudah dilipat dalam saku hoodienya."Beberapa hal yang enggak bisa kita kuasai kadang bikin kita marah sama keadaan. Marah sama kenyataan. Aku ... sama."Rendi mengernyit, lantas mencondongkan tubuhnya ke arah sang kakak. "Enggak usah berbelit-belit, Ri. Ngomong aja. Kek sama siapa, aja! Elu mau nikahin Lara? Atau mau jadiin gue bridesman?"Rendi mengulum senyumnya. Ia tahu betul, jika suasana melow dari Ari membawa kabar buruk. Maka dari itu, ia berusaha untuk mencairkan suasana.
"Maksud elu gimana?"Demi melihat Lara yang menanap, Ari pun beranjak. Ia juga tengah terkejut dengan fakta yang ada. Belum lagi mengenai ucapan Supri yang kian membuat Ari bingung bukan kepalang."Aku juga enggak ngerti, Ra."Ari mengambil beberapa berkas dari tas selempangnya. Lantas, diberikannya pada Lara tanpa ragu.Perlahan, Lara membuka berkas yang ada. Untuk sejenak, ia memejam. Lantas, menarik Ari untuk duduk di sampingnya. "Ini bukan salah elu ataupun Rendi. Ini adalah takdir. Sekuat apa pun elu nolak, tetap saja ini adalah akhirnya."Ari menggeleng, lalu meraih gambar yang pernah dilihatnya di ponsel Tarissa. "Ini Tarissa. Orang yang sebelumnya nganggep aku kebahagiaannya. Terus, tiba-tiba aku hadir dan ngomong, aku kakakmu. Gila!"Lara mencengkeram lengan Ari lantas menatapnya lekat-lekat. "Katakan saja pada Rendi. Bagaimanapun juga, Rendi harus t
Di dalam kamar, Rendi, Ari dan Lara tengah sarapan bersama. Beberapa kali candaan dilempar kala tahu Rendi tengah melakukan aksi mukbang secara live pada penonton setianya: Lalita.Rendi yang tahan malu pun tak mengindahkan cibiran sang kakak dan Lara. Meski begitu, Lalita yang juga melakukan hal yang sama ingin segera mengakhiri panggilan."Jangan gitu, Ta, biarin aja wis kalian saling mukbang. Dan gue di sini sama Ari saling nyindirin kalian! Ha ha ha!"Lalita telah memerah wajahnya di depan kamera, sedangkan Rendi tak ingin acara saban paginya rusak gara-gara Lara."Mending elu pergi dah dari sini, Ra! Gangguin aja!"Mendengar dirinya diusir, Lara pun berkacak pinggang. "Hello! Ini kamar cowok gue! Harusnya elu yang minggat!""Lah, cuma cowok, 'kan? Belum jadi suami, kan? Gue yang lebih berhak!" jawab Rendi sekenanya."Lah, elu siapany
Lara sedang mengadakan pertemuan penting di salah satu anak perusahaan yang dikelolanya bersama Eiffor. Dari sana, ia akan mendapat banyak relasi demi menciptakan usaha Ari yang baru. Beberapa pengusaha setuju bekerja sama. Mulai dari kontraktor hingga bagian periklanan. Beberapa kali, Lara melirik ponselnya yang terus bergetar. Meksi begitu, bagaimanapun juga ia harus mengabaikan. Pertemuan itu lebih penting dari segalanya. Terlebih, untuk membangun masa depannya bersama Ari di kemudian hari. Usai meeting, Lara langsung menelepon balik sang kekasih. Kali ini, bukan hanya penggilannya yang tak dijawab. Ponsel Ari pun tak lagi dapat dihubungi. Lara cemas, dengan cepat ia berlari menuruni anak tangga menuju ke parkiran. Dilajukannya mobil berwarna hijau metalik dengan tergesa. Ada perasaan tak nyaman yang kini berkelindan. Apalagi, sebelumnya Ari ta
Ari baru saja tiba di rumah lamanya. Esok adalah hari di mana ia akan kembali ke sana. Ke tempat di mana ia dibesarkan bersama Rendi dengan belas kasih banyak tetangga.Sesekali, ia mengenang kilas kejadian yang memilukan. Tentang kematian orang-orang terkasih, bahkan ibunya yang pergi setelah meninggalkannya di rumah Bunda Diana.Pelan, diambilnya beberapa paket sembako yang sedari tadi ada di sekitar kakinya. Ia mengayun langkah tegas, pada rumah-rumah yang dulu pernah menjadi tempat singgah lapar mendera.Usai mengucap salam, wanita paruh baya membual pintu sembari mengulas senyum yang terkembang. "Ari? Ada apa, Nak? Sini, masuk!"Ari menggeleng sembari mengulas senyum. Lekas, diberikannya kontener kecil berisi banyak kebutuhan dapur. "Buat njenengan, Bu. Maaf kalo cuma bisa ngasih ini. In Syaa Allah, akan lebih sering ngasih."Melihat kontener besar yang dibawa Ari, wanita it
Sudah sehari setelah kedatangannya kembali ke Jakarta, saat Ari duduk bersisian di warung kopi tak jauh dari Fiterus Asikin. Bersama kawannya, ia terus berbincang tanpa kenal waktu lagi."Kukira, wakmu sudah lupa aku, Su! Udahlah enggak pernah main, eh nomormu enggak bisa dihubungi. Kenapa?"Ari tergelak sebentar, lantas menuang kopi pada lepek. Bersama, Supri, Ari mampu menjadi sosok yang selama ini selau dipendam jati dirinya."Gimana? Wis dapet laba?"Mendengar pertanyaan Supri, sontak Ari terbahak. "Bati opo? Emang jual beli pake tanya laba segala?"Ari terbahak, begitu pula Supri. Lantas, bersamaan keduanya menyesap kopi dari lepek."Enak koe, Su! Pantes dulu sering bayarin aku. Saiki gimana?" tanya Supri. Ia mencomot satu gorengan yang ada di tengah meja."Enggak gimana-gimana. Lagi mau bikin usaha aku. Biar selevel sama Lara. Palin
Lara baru saja tiba di rumahnya, saat ponselnya berdering nyaring. Ia mengedar pandang pada sosok yang ada di balik punggungnya."Masuk, sana!" titah Ari. Ia mengantar kepulangan Lara menggunakan taksi dalam jaringan.Lara mengangguk, lantas melambaikan tangannya. Tepat sebelum ia masuk ke rumah, Lara mengangkat panggilan dari orang-orang yang dipercayai mengurus segala sesuatu tentang usaha yang Ari impikan.Hanya dengan menajamkan pendengaran, Lara tahu betul mobil yang ditumpangi Ari telah pergi. Cepat, ia membuka pagar dan masuk rumah."Ada apa, Pak?" tanya Lara, antusias."Begini, Nona. Tentang perizinan dan sebagainya sudah keluar. Semua sudah beres. Jadi, kita bisa segera memulai pembangunan."Mendengar ucapan sang tangan kanan, tentu saja Lara semringah. Tanpa sadar ia melompat girang. Lantas, segera masuk ke kamar.Ia terla