Share

Kepalang Tanggung

Author: Ira Yusran
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Ari! Buka pintu!"

Ari melirik pada jarum jam yang menunjuk ke angka enam, saat gedoran pada pintu kamarnya makin keras.

"Cah gemblung!"

Ari tak mau peduli, ia kembali menarik selimut tinggi-tinggi sembari memasang earphone pada masing-masing telinga. Tak dihiraukannya suara Rendi yang naik beberapa oktaf, pun dering ponsel yang terus menyalak.

"Ari! Gue mau tanya banyak hal! Buka pintunya!"

Ari kembali membuka mata, menatap langit-langit kamar sembari mengumpulkan niat untuk sekadar menerima tamu. Ditatapnya Lara yang masih tertidur pulas di sampingnya.

"Terus, aku kudu piye iki, Ra?" tanya Ari sembari menekuri tiap lekuk wajah Lara.

Bulu mata Lara yang lentik seolah-olah tengah memanggil Ari untuk mendekat. Pun bibir Lara yang penuh terisi meski masih terlihat pucat pasi, seakan-akan punya magnet tersendiri hingga mampu membuat Ari memu

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Terpaksa Jadi Pacar   No Pisah

    Rendi mengernyit heran pada sang kakak yang terlihat salah tingkah. Wajah penuh pesonanya hilang bersama Winaya yang runtuh seketika."Elu bawa pacar elu tidur di mari?" tanya Rendi tepat sasaran. Suaranya sudah naik dua oktaf.Terkejut dengan sebuah teriakan, Lara yang berada di balik barikade bantal guling membuka mata cepat. Ia mencoba mendengar dan bergerak perlahan."Iya! Udahlah nggak usah dipermasalahin! Nggak usah repot-repot juga ngeliat siapa dia," ujar Ari sembari kembali beranjak dari sofa. Kedua tangannya melipat di dada seakan-akan membentuk pertahanan kedua.Rendi berdecak kesal, lantas menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Tau gitu nggak gue ganggu.""Nah, tuh, tau."Rendi pun nyengir kuda, lantas menatap sang kakak penuh tanda tanya. "Kalian lagi skidipapan pas gue gedor, ya?"Sontak saja wajah Ari memerah. Dengan canggung

  • Terpaksa Jadi Pacar   Segila Elu

    "Awakmu gendeng, aa?"(Kamu gila, kah?)Pertanyaan Ari dengan suara lantang tak membuat Lara mengurungkan niat. Sebaliknya, ia malah tampak bersikeras dengan menunjukkan seringainya."Segila elu pada awalnya, 'kan?"Ari memijat pelipisnya berulang sembari mondar-mandir, lalu mengembuskan napas dengan kasar. "Jadi, ini bentuk balas dendammu?"Lara mulai bangkit, lalu beranjak ke kamar mandi. Ia tak menghiraukan tatapan Ari yang mulai menggelap bersamaan saat kemeja yang dilucutinya perlahan. Sembari mendendangkan lagu, ia membasahi tubuh tanpa ragu.Sementara itu, Ari yang berada di ranjang makin tak keruan. Ia merutuki kebodohannya sendiri pagi buta tadi."Ha ... lo?" sapa Ari. Matanya berat untuk sekadar membaca nama yang menghubungi."Ri?"Mendengar suara yang dikenalnya tengah menahan isak, jelas Ari membuka

  • Terpaksa Jadi Pacar   Hanya Dia

    Disembur sedemikian rupa oleh Ari, tentu saja membuat Lara geram. Namun, tak ada emosi yang kini hadir dalam hatinya. Sebaliknya, ia malah tersenyum kuda."So-sorry, Ra. Ta-tapi maksudmu, kamu bener-bener nabrak Rendi?" tanya Ari antusias.Lara terdiam. Dinikmatinya ekspresi lawan bicaranya yang tersiksa, sedangkan Ari yang tak lagi sabar menunggu jawaban pun hendak beranjak pergi."Mau ke mana?""Masih tanya? Ya, jelas mau liat kondisi adekku, lah!"Langkah Ari hampir sampai di daun pintu saat Lara menyilangkan kaki sembari berkata, "Gue yang ditolong Rendi, Ri. Elu buta atau pura-pura nggak sadar? Gue yang pake baju orang pesakitan, kok!"Ari yang bergeming tepat saat tangannya memegang kenop pintu, lantas membalik badan sembari melipat tangan di dada. Ia kembali mendekat dan duduk berhadapan dengan Lara di ranjang. "Terus, ngapain koe ke sini?"&nbs

  • Terpaksa Jadi Pacar   Ancaman

    "Persetan, lah, kalo aku ntar telat. Wong bos'e ada di kamarku," umpat Ari yang baru saja tiba setelah memutuskan pergi mencari sarapan.Sebelum anak kunci diputar, Ari menengok ke kiri-kanan demi tetap merahasiakan siapa sosok yang ada dalam kamar. Beberapa penghuni kamar kost yang kebetulan lewat, hanya melempar basa-basi khas para pekerja.Saat dirasa waktunya telah pas, Ari segera memutar kunci dan masuk kamar dengan cepat tanpa meninggalkan jejak. Jantungnya yang berdebar tak keruan malah membuatnya merasa layaknya seorang pencuri yang masuk ke rumah target di siang bolong."Dari mana, lu?""Beli na ...."Ucapan Ari tercekat di pangkal tenggorokan saat melihat kondisi biliknya bak kapal pecah. Diedarkannya pandang ke seluruh penjuru kamar, tak ada satu pun ruang tersisa yang bisa dikatakan selamat."Kenapa?" tanya Lara. Ia yang tengah berada di depan lem

  • Terpaksa Jadi Pacar   Kesetanan

    "Mukamu kenapa, Su? Kusut bener!" celetuk Supri saat dilihatnya sang kawan yang baru datang. Ia menunjuk jam dinding dengan dagu ketika mereka bersirobok pandang."Iyo, ero!" jawabnya kesal. Ari lantas segera pergi ke kantor di mana Pak Daus menanti sebuah jawab atas tanya yang bisa ditebak.Dari bawah, Supri hanya bisa menggeleng lemah. "Kesian, si Ari. Paling juga kecapekan habis nguli semaleman."Ari yang masih mampu mendengar dugaan Supri pun hanya menarik sudut bibirnya sebentar. Ia memejam mata demi mencoba menenangkan diri setelah perdebatan sengitnya pagi tadi.Tok! Tok! Tok!Tanpa menunggu jawaban, Ari segera masuk kantor. Dilihatnya Pak Daus tengah mengetuk-ngetukkan telunjuk ke meja seirama. Kedua matanya menatap tajam pada Ari serupa bilah besi yang siap menghunjam."Sorry, Pak, a--"Sebuah amplop cokelat muda dilempar begitu

  • Terpaksa Jadi Pacar   Dipecat!

    "Koe, 'kan, yang nyuruh Pak Daus buat mecat aku?" tanya Ari.Keduanya kini berada di sebuah warung kopi ternama. Mereka sengaja duduk di pojok ruangan, demi menghindari banyak pandangan. Terlebih, Ari dan Lara berada di daerah yang masih dibilang dekat dengan UKLAKA.Lara tak menimpali tanya dari kekasihnya. Sebaliknya, dengan tenang ia menyesap coffee latte setelah menghabiskan sandwich."Jawab, Ra!" Kali ini kesabaran Ari telah pada batasnya. Sudah empat kesempatan ia melempar tanya, tapi tak juga diberi jawaban."Ngapain gue kek gitu, Ri? Rugi kalo gue mecat elu. Meski gila, elu punya kemampuan tinggi."Ari mengernyit, lantas menautkan kedua alisnya bersamaan. "Terus siapa?""Elu tunggu, aja. Bakalan ada dua kemungkinan, kan, kalo itu bukan keputusan si Daus?""Menurutmu gimana?""Daus itu tangan kanan kita. Udah l

  • Terpaksa Jadi Pacar   Kemeja Lara

    Lara masih tak habis pikir dengan semua kegilaan yang telah dilakukannya. Ia masih mondar-mandir di rest room UKLAKA. Sebuah ruangan yang disulap bak kamar hotel istimewa."Gue gila! Beneran gila!" teriaknya lantang.Ia berkali-kali meninju angin, lalu melempar tasnya ke sembarang arah tanpa mau melepas shoulder strapnya. Ditatapnya pantulan bayang pada cermin dinding yang dibingkai apik oleh kayu mahoni dengan finishing cat duco abu misty."Enggak, gue nggak gila! Walaupun gue kelewat batas, tapi ada kepuasan sendiri. Seperti memang sudah lama pengen begini."Lara kembali bermonolog seorang diri. Lantas, ia hampir pergi ke mata kuliahnya saat tatapan tajam menyapu seluruh penampilan bayang pada cermin. Sedetik kemudian, ia menjentikkan jari sembari berlalu pergi.Entah mengapa, untuk kali pertama ia mampu mengatakan apa yang dirasakan hati pada seseorang. Terlebih pada yang baru

  • Terpaksa Jadi Pacar   Lara Menangis?

    Rendi masih mencoba mengingat di mana kemeja itu dilihat. Kemeja yang terasa tak asing di matanya.Jam mata kuliah akhir telah usai diikuti Rendi, lantas ia kembali pulang. Dalam perjalanan pun ia masih memikirkan tiap tanya yang dilempar Lara. Memang Rendi mungkin telah lancang, tapi bukankah itu untuk keselamatan Lara juga?Di sebuah kursi besi bahu jalan, Rendi mengenyakkan bokongnya. Senja sudah hampir berganti petang saat memorinya memutar kejadian tadi siang."Elu ngapain nyari gue?"Lara sudah hampir pergi setelah enggan memberi jawab atas pertanyaan Rendi mengenai kemeja yang dipakai."Oh, ya. Gue punya banyak pertanyaan. Buat elu."Rendi mengernyit heran mendapati tatapan lembut penuh ketakutan semalam berubah menjadi setajam elang seperti sedia kala. "Apaan?""Bukan di sini. Ikut gue."Keduanya mendetail lan

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Pacar   Tak Lagi Terpaksa

    Lara baru saja tiba setelah mengadakan pertemuan terkait dengan usaha baru yang akan dirintis olehnya, saat ponselnya berdering keras. Dilihatnya nama pada layar ponsel, Montir Bastard.Ia tergelak sebentar. Memang inginnya nama Ari tak dirubah. Ia berharap itu akan menjadi kenangan berharga.Lekas diangkatnya perminaan vidio call dari sang kekasih. Lantas, sembari membuka blazer diharapkannya ponsel dengan bantuan bantal sebagai sanggahan."Kenapa?" tanya Lara, menuntut."Lah! Ditelepon tanya kenapa. Salam dulu, kek. Sayang-sayangan dulu gitu," jawab Ari di seberang. "Keknya lagi sibuk bener, ya? Empat hari enggak ketemu jadi miss you mss you."Mendengar pelafalan bahasa Inggris Ari yang fasih tetapi direka cadel, tentu membuat Lara terbahak. Apalagi keduanya memang belum sempat bertemu sejak pertemuan terakhir mereka."Iya, ya? Tapi enggak apa, gue sibuk bu

  • Terpaksa Jadi Pacar   Kembali Pulang

    Pelan, Ari berjalan masuk ke gedung salah satu pencakar langit di Jakarta. Beberapa kali, matanya mengawasi sekitar. Lantas, ia berhenti tepat di meja penerima tamu."Ada yang bisa kami bantu?"Ari tergemap. Lantas, ia mengutarakan maksudnya datang ke sana. "Saya mau bertemu dengan Pak Bachtiar, Mbak."Sang resepsionis pun mengernyit, lantas menatap tajam pada Ari. "Anda sudah buat janji temu?"Ari menggeleng. "Harus, ya?""Bapak Bachtiar tidak menerima tamu sembarang, Pak. Usahakan punya janji temu dulu, ya."Sudah tiga hari ini, Ari selalu mendatangi salah satu kantor pusat permainan ternama. Bukan untuk mendapat pekerjaan, tetapi ia ingin bertemu langsung dengan ayahnya Lara.Sudah berulang kali ia mencoba menelepon, meminta janji temu untuk sang calon mertua. Akan tetapi, ia ditolak mentah-mentah saat ditanya maksud tujuannya.

  • Terpaksa Jadi Pacar   Terkuak

    "Ren, bisa ngomong sebentar?"Pintu diketuk Ari pelan, lantas tak lama suara anak kunci diputar pun terdengar. Rendi yang merasa aneh dengan tingkah sang kakak langsung menyadari ada hal yang ingin dibicarakan."Ada apa, sih? Kalo elu sopan gini, gue jadi takut."Ari terkekeh sebentar, lantas ia mengambil duduk pada bean bag terdekat. Diambilnya pula berkas-berkas yang sudah dilipat dalam saku hoodienya."Beberapa hal yang enggak bisa kita kuasai kadang bikin kita marah sama keadaan. Marah sama kenyataan. Aku ... sama."Rendi mengernyit, lantas mencondongkan tubuhnya ke arah sang kakak. "Enggak usah berbelit-belit, Ri. Ngomong aja. Kek sama siapa, aja! Elu mau nikahin Lara? Atau mau jadiin gue bridesman?"Rendi mengulum senyumnya. Ia tahu betul, jika suasana melow dari Ari membawa kabar buruk. Maka dari itu, ia berusaha untuk mencairkan suasana.

  • Terpaksa Jadi Pacar   Yakin Dulu

    "Maksud elu gimana?"Demi melihat Lara yang menanap, Ari pun beranjak. Ia juga tengah terkejut dengan fakta yang ada. Belum lagi mengenai ucapan Supri yang kian membuat Ari bingung bukan kepalang."Aku juga enggak ngerti, Ra."Ari mengambil beberapa berkas dari tas selempangnya. Lantas, diberikannya pada Lara tanpa ragu.Perlahan, Lara membuka berkas yang ada. Untuk sejenak, ia memejam. Lantas, menarik Ari untuk duduk di sampingnya. "Ini bukan salah elu ataupun Rendi. Ini adalah takdir. Sekuat apa pun elu nolak, tetap saja ini adalah akhirnya."Ari menggeleng, lalu meraih gambar yang pernah dilihatnya di ponsel Tarissa. "Ini Tarissa. Orang yang sebelumnya nganggep aku kebahagiaannya. Terus, tiba-tiba aku hadir dan ngomong, aku kakakmu. Gila!"Lara mencengkeram lengan Ari lantas menatapnya lekat-lekat. "Katakan saja pada Rendi. Bagaimanapun juga, Rendi harus t

  • Terpaksa Jadi Pacar   Bukan satu-satunya

    Di dalam kamar, Rendi, Ari dan Lara tengah sarapan bersama. Beberapa kali candaan dilempar kala tahu Rendi tengah melakukan aksi mukbang secara live pada penonton setianya: Lalita.Rendi yang tahan malu pun tak mengindahkan cibiran sang kakak dan Lara. Meski begitu, Lalita yang juga melakukan hal yang sama ingin segera mengakhiri panggilan."Jangan gitu, Ta, biarin aja wis kalian saling mukbang. Dan gue di sini sama Ari saling nyindirin kalian! Ha ha ha!"Lalita telah memerah wajahnya di depan kamera, sedangkan Rendi tak ingin acara saban paginya rusak gara-gara Lara."Mending elu pergi dah dari sini, Ra! Gangguin aja!"Mendengar dirinya diusir, Lara pun berkacak pinggang. "Hello! Ini kamar cowok gue! Harusnya elu yang minggat!""Lah, cuma cowok, 'kan? Belum jadi suami, kan? Gue yang lebih berhak!" jawab Rendi sekenanya."Lah, elu siapany

  • Terpaksa Jadi Pacar   Kapok

    Lara sedang mengadakan pertemuan penting di salah satu anak perusahaan yang dikelolanya bersama Eiffor. Dari sana, ia akan mendapat banyak relasi demi menciptakan usaha Ari yang baru. Beberapa pengusaha setuju bekerja sama. Mulai dari kontraktor hingga bagian periklanan. Beberapa kali, Lara melirik ponselnya yang terus bergetar. Meksi begitu, bagaimanapun juga ia harus mengabaikan. Pertemuan itu lebih penting dari segalanya. Terlebih, untuk membangun masa depannya bersama Ari di kemudian hari. Usai meeting, Lara langsung menelepon balik sang kekasih. Kali ini, bukan hanya penggilannya yang tak dijawab. Ponsel Ari pun tak lagi dapat dihubungi. Lara cemas, dengan cepat ia berlari menuruni anak tangga menuju ke parkiran. Dilajukannya mobil berwarna hijau metalik dengan tergesa. Ada perasaan tak nyaman yang kini berkelindan. Apalagi, sebelumnya Ari ta

  • Terpaksa Jadi Pacar   Peninggalan

    Ari baru saja tiba di rumah lamanya. Esok adalah hari di mana ia akan kembali ke sana. Ke tempat di mana ia dibesarkan bersama Rendi dengan belas kasih banyak tetangga.Sesekali, ia mengenang kilas kejadian yang memilukan. Tentang kematian orang-orang terkasih, bahkan ibunya yang pergi setelah meninggalkannya di rumah Bunda Diana.Pelan, diambilnya beberapa paket sembako yang sedari tadi ada di sekitar kakinya. Ia mengayun langkah tegas, pada rumah-rumah yang dulu pernah menjadi tempat singgah lapar mendera.Usai mengucap salam, wanita paruh baya membual pintu sembari mengulas senyum yang terkembang. "Ari? Ada apa, Nak? Sini, masuk!"Ari menggeleng sembari mengulas senyum. Lekas, diberikannya kontener kecil berisi banyak kebutuhan dapur. "Buat njenengan, Bu. Maaf kalo cuma bisa ngasih ini. In Syaa Allah, akan lebih sering ngasih."Melihat kontener besar yang dibawa Ari, wanita it

  • Terpaksa Jadi Pacar   Kata Supri

    Sudah sehari setelah kedatangannya kembali ke Jakarta, saat Ari duduk bersisian di warung kopi tak jauh dari Fiterus Asikin. Bersama kawannya, ia terus berbincang tanpa kenal waktu lagi."Kukira, wakmu sudah lupa aku, Su! Udahlah enggak pernah main, eh nomormu enggak bisa dihubungi. Kenapa?"Ari tergelak sebentar, lantas menuang kopi pada lepek. Bersama, Supri, Ari mampu menjadi sosok yang selama ini selau dipendam jati dirinya."Gimana? Wis dapet laba?"Mendengar pertanyaan Supri, sontak Ari terbahak. "Bati opo? Emang jual beli pake tanya laba segala?"Ari terbahak, begitu pula Supri. Lantas, bersamaan keduanya menyesap kopi dari lepek."Enak koe, Su! Pantes dulu sering bayarin aku. Saiki gimana?" tanya Supri. Ia mencomot satu gorengan yang ada di tengah meja."Enggak gimana-gimana. Lagi mau bikin usaha aku. Biar selevel sama Lara. Palin

  • Terpaksa Jadi Pacar   Tangan Kanan

    Lara baru saja tiba di rumahnya, saat ponselnya berdering nyaring. Ia mengedar pandang pada sosok yang ada di balik punggungnya."Masuk, sana!" titah Ari. Ia mengantar kepulangan Lara menggunakan taksi dalam jaringan.Lara mengangguk, lantas melambaikan tangannya. Tepat sebelum ia masuk ke rumah, Lara mengangkat panggilan dari orang-orang yang dipercayai mengurus segala sesuatu tentang usaha yang Ari impikan.Hanya dengan menajamkan pendengaran, Lara tahu betul mobil yang ditumpangi Ari telah pergi. Cepat, ia membuka pagar dan masuk rumah."Ada apa, Pak?" tanya Lara, antusias."Begini, Nona. Tentang perizinan dan sebagainya sudah keluar. Semua sudah beres. Jadi, kita bisa segera memulai pembangunan."Mendengar ucapan sang tangan kanan, tentu saja Lara semringah. Tanpa sadar ia melompat girang. Lantas, segera masuk ke kamar.Ia terla

DMCA.com Protection Status