Di bengkel mobil Fiterus Asikin, terlihat banyak montir tengah bersiap menyambut pagi. Demikian pula dengan Ari yang telah duduk pada alas tidur montir.
Sesekali, ia tersenyum sendiri. Kemudian mengibas udara kosong bak tengah menghalau serangga yang datang mendekat.
Supri yang baru saja tiba, merasa ada yang aneh pada diri kawannya itu. Terlebih ia ingat betul, bagaimana kemarin emosi pemuda berambut cepak meninggi gara-gara ulahnya sendiri.
"Cengar-cengir ae, Su! Nggak inget kemaren? Apa udah geger otak?"
"Info geger geden, Pri! Tak tebasse kabeh! (Info pertengkaran besar, Pri! Tak habisi semua!" jawab Ari peringisan.
Supri yang telah mendekat pun meletakkan telapak tangannya pada dahi Ari, menduga-duga suhu tubuh. Lantas, kembali meletakkan tangannya ke arah bokongnya sendiri. Sesaat ia menggeleng smabil berkata, "Gendeng bocah Iki."
Alih-alih marah karena dikatai gila, Ari malah tertawa girang. Ia lantas duduk dan memukul sisi kosong di sampingnya. Mengisyaratkan Supri untuk duduk di sana.
"Aku wong sugih saiki! Awak'e ate njaok opo, Pri? Kemaren kan aku belum sempet bilang makasih. Lah, hari ini kebetulan aku punya rejeki banyak. Jadi mau tak traktir nanti sekalian."
Kedua alis Supri masih saling menukik. Wajahnya penuh tanda tanya, sedangkan Ari ia tak henti tertawa.
"Su, koe sehat tenanan ta gak iki? Bentar lagi peresmian bengkel, lo, ada empat bos cantik ntar!"
"Halah, Pri, aku tau. Nggak usah diingetin teros. Wis paham aku."
Supri yang geregetan lantas beranjak dan mulai menyiapkan diri. Sesekali matanya masih melirik ke arah Ari. Ia takut, sesuatu yang buruk kembali terjadi pada kawan seperjuangan.
"Sing sabar, yo, Su," gumam Supri.
Prok! Prok!
Suara tepukan tangan dari Pak Daus membuyarkan tiap aktivitas dari para montir yang hadir. Lantas, mereka segera berdiri dan berbaris rapi.
"Saya salut sama Ari. Masalah kemaren dihadapinya dengan loyalitas yang tinggi. Pagi-pagi sekali, dia sudah datang dan rela membersihkan seluruh bengkel meski tak digaji. Katanya, sebagai konsekuensi."
Supri manggut-manggut, lantas ia melirik pada Ari. "Pantes baut kepalamu sedikit longgar, habis kerja rodi rupanya."
Ari hanya melirik sembari tersenyum.
"Dalam lima menit, bengkel akan resmi dibuka. Bagaimanapun juga, ada atau tidaknya para Bos Besar, kita akan melanjutkan peresmian. Ngefitin mobil?"
"Asikin, aja!"
Saat yel-yel menggema lantang itulah, keempat gadis dengan mode pakaian yang serba mini, tapi tetap stylish masuk ke bengkel. Mereka telah menggunakan topi montir, serta sarung tangan.
Keempatnya berlenggak-lenggok, bersamaan dengan nada klakson mobil yang berbunyi secara bergantian, serempak dan berirama. Seolah-olah tengah menjadi lagu pendukung di balik terjadinya aksi unjuk diri itu.
Hampir semua montir memandang takjub. Terlebih, saat keempatnya berbalik badan, banyak pejabat dengan plat kendaraan berwarna merah mulai masuk bengkel.
Jika diperhatikan secara seksama, memang tak terlihat ada wartawan atau reporter yang mengabadikan momen. Namun, ternyata mereka berada langsung di dalam kendaraan para tamu undangan.
Lara dengan rok mini dan kemejanya tengah menyiagakan gunting pada pita yang membentang panjang. Sementara yang lain, masih sibuk berpose tiap ada mobil yang masuk dan menyapa.
"Ayo, ayo, kita hitung mundur!"
"Tiga, dua, satu ...."
Seperti peresmian pada umumnya, saat pita merah terpotong akan ada banyak letusan yang memeriahkan. Belum lagi kertas warna-warni yang dipotong kecil demi menyemarakkan suasana. Semua terlihat gembira, kecuali Lara.
Kedua manik sekelam malam itu menatap tajam pada Ari yang berada di barisan terdepan. Bak elang yang membidik mangsanya. Meski sekejap, tapi ada aura lain yang ditangkap oleh beberapa karyawan.
Jarum jam terus berputar melewati poros-poros angka dengan detak seirama. Kedua puluh sembilan montir itu masih sibuk dengan pelbagai mesin dari kendaraan roda empat milik para bangsawan berdarah biru.
Ketiga bos cantik mereka pun turut andil untuk menemani pemilik mobil. Setidaknya, dengan sedikit rayu, bengkel milik mereka akan menuai banyak pelanggan baru dari relasi para tamu.
Sementara itu, Lara dan Ari berada di ruangan yang sama pada lantai dua bangunan. Alih-alih mencuri waktu demi bermesraan, mereka malah saling caci dan hina.
"Kamu sengaja, 'kan?" tanya Ari. Kedua matanya memerah, sedangkan mulutnya pun tak henti mendesah.
"Yang jelas, gue udah nurutin perintah elu, 'kan?"
Lara yang duduk di kursi putar milik Daus, tampak sibuk memperhatikan detil warna pada kukunya. Ia tak peduli.
"Giatel, kok! Awakmu iki ra ceto po kepiye? Aku njaok sarapan, duduk sego sambelan!"
(Dasar! Kamu ini nggak ngerti atau gimana? Aku minta sarapan, bukan nasi penuh sambel!)Ari masih sibuk mengipasi lidahnya yang terasa terbakar. Bukan tanpa sebab, nasi yang dibawakan Lara ternyata bagian tengahnya diisi sambal ekstra pedas. Belum lagi, pada lauk ayam juga dibaluri tepung penuh cabai yang telah dirajang halus.
Dalam sekali suapan, Ari yang memang tak suka makan pedas langsung kepedasan. Pintu ruangan yang dikunci oleh Lara, membuat pemuda berhidung mancung itu tak berkutik di dalam. Apalagi, galon air berada dalam kendali sang bos besar.
"Aku mau minum, Ra," pinta Ari. Tenggorokannya kering kerontang.
"Ambil sendiri. Diinget, ya, caranya tadi."
Kini Lara tersenyum penuh arti. Kedua matanya tersirat akan kemenangan besar. Berbanding terbalik dengan sosok Ari yang sedari pagi terlalu banyak bermimpi.
"Ayo, sini," goda Lara. Lantas dengan ekspresi yang tak bisa dikatakan, gadis arogan itu mulai menenggak air rendaman buah yang dibawa.
Sontak saja, Ari langsung menjatuhkan diri. Ia tak lagi bertumpu pada tumit, melainkan pada lutut dan telapak tangannya. Susah payah ia menjaga kehormatan sebagai pria selama hidup, kini untuk kali kedua harus tunduk pada sosok yang sama.
Perlahan, Ari mulai merangkak. Dikuburnya ego dalam-dalam demi mendapat air demi memuaskan dahaganya. Ia sudah hampir sampai saat Lara mulai mencebik dan mendecih.
"Jangan pernah main-main sama gue. Elu emang punya tameng bagus, tapi nggak cukup buat bikin gue takluk."
Kedua tangan Ari mengepal kuat, lantas saat galon sudah berada di depan mata, dengan gerakan cepat ia meraih pompa air elektrik dan mengangkat galon yang isinya tinggal sedikit. Hanya dalam hitungan detik, Lara telah basah kuyu.
Gadis berambut panjang itu mendelik, lantas mengeratkan rahang. Napasnya memburu lantaran tersadar, banyak barang di meja yang menghilang. Ia menggeram, lantas beranjak.
Ari yang telah menjauh setelah menumpahkan air pada Lara telah bersandar pada pintu keluar. Ia menyeringai, lantas mengarahkan ponsel spesifikasi tinggi ke arah sang empunya.
"Kamu emang nggak gampang ditaklukin, Ra, tapi aku tahu, gengsimu bakal jadi bumerang. Sombongmu bakal jadi simalakama."
Setelah puas merekam, Ari meletakkan ponsel Lara di sofa. Kemudian segera beranjak pergi sembari membawa beberapa kartu yang diambil dari tas jinjing berwarna putih milik si empunya.
"Brengsek, lu!"
Jan ditiru ya kelakuan si Lara. Keterlaluan emang, nih!
"Cengar-cengir! Diapain sama Lara?" Lalita, gadis berambut pendek sebahu itu langsung mendekati Ari saat tahu pria itu menuruni anak tangga. "Liat, aja, sendiri," usul Ari sembari mengedikkan bahu. Ia kembali ke stationnya, lalu mulai mengambil mobil sesuai nomor antrean. "Kenapa dipanggil secara pribadi, Su?" tanya Supri yang mencuri waktu untuk sekadar melepas rasa ingin tahu. "Uwis tak bilangi kemaren, 'kan Pri? Cewek itu bakalan jatuh cinta. Bukan lagi jatuh ketimpa tangga, tapi jatuh kepalang basah." Ari mencoba menahan tawa saat bayangan Lara yang tengah mendelik, menahan amarah melintas begitu saja. "Gendeng, Su. Yang bener?" Tanpa menjawab tanya Supri, Ari meneruskan pemeriksaan sesuai keluhan. Bersamaan dengan itu, terdengar suara ribut dari lantai dua. Beberapa tamu und
"Elu diapain, Ra?" tanya Lalita antusias. Kini, mereka berdua telah berada di sebuah butik baju wanita ternama, tak jauh dari lokasi gedung bengkel yang baru diresmikan. Sembari mematut diri di cermin, kedua mata Lara memicing, menatap tajam pada bayangnya sendiri. "Montir itu keterlaluan. Kita pecat dia!" "Itu bukan jawaban atas pertanyaan gae,Ra." "Elu liat sendiri, 'kan? Gue basah kuyup dan elu masih nanya gue diapain? Pertanyaan bullshit!" Lalita terdiam, lantas menopang dagunya setelah menumpukan siku pada meja. "Jan kelewat kesel, Ra, takutnya elu malah dapet karma." "Gue yang disiram, gue juga yang dikarmain?" "Gue tahu betul siapa elu, Ra, nggak mungkin rasanya seorang Lara diem aja pas dipermaluin. Atau jangan-jangan, elu duluan yang bikin itu montir emosi?" Lara tertawa
"Nungguin apa, Su?" tanya Supri. Kedua alisnya menukik tajam lantaran merasa dibohongi. "Sst! Aku pingin ero, mereka mau makan-makan di mana, Pri. Mau tak tunjukin, kalo kita juga bisa makan enak di tempat yang sama." Mendengar jawaban Ari, Supri pun menghela napas panjang. "Oh, jadi kita nguping ini ceritanya? Niat amat, Su!" "Ojok rame ae, Pri! Arep ora?" Supri menggaruk kepalanya yang tak gatal, ia mengangguk lemah. Demi apa pun atas nama keuntungan dan kesetiakawanan, ia rela berlama-lama. Sementara itu, selain menguping Ari sibuk mengutak-atik ponselnya. Sesekali ia tersenyum, sedetik kemudian menggeleng sembari menepuk jidat pelan. "La--" "Sstt!!" Ari memonyongkan bibir dan memposisikan telunjuk tegak sejajar mulut, saat mulai terdengar suara dari dalam bengkel. Lincak yang berada di balik penyek
Beberapa kali, Ari merasa ada sepasang mata yang memperhatikan mereka. Sayangnya, meski ia mengedar pandang ke segala penjuru arah, tetap saja tak ditemukan apa yang salah. Selain tak adanya Lara di bangkunya. Ari mencoba terus menelisik. Bagaimanapun juga, ia tak akan tega membuat perempuan menangis. "Apa aku keterlaluan, ya?" Hampir saja ia beranjak, saat dilihatnya Lara masuk dengan seringai. Kedua ttaapant matanya tampak tajam nan lekat. Terlebih saat jarak mereka kian dekat. Tanpa sadar, ponsel spesifikasi tinggi milik Lara mengarah padanya. Hingga beberapa kali gambarnya diambil tanpa sepengetahuan. "Mau ke mana, Su?" Sadar ia dalam posisi setengah berdiri, Ari kembali mengenyakkan bokongnya ke kursi. "Nggak jadi, Pri." Hidangan Supri telah tandas. Hanya bersisa saus keju yang belepotan di jemarinya. Dengan telaten pria paruh baya itu menjilati satu per satu jarin
Dua pria berbeda usia itu melenggang pergi dari sebuah toko perbelanjaan. Wajah mereka kuyu, terlebih makin terlihat lunglai saat keduanya menarik napas panjang. "Gini banget, yo, Su, jadi orang kaya! Bingung apa yang mau dibeli. Eman-eman!" "Iyo, Pri, kukira punya kuasa dan harta itu bisa enak. Ternyata cuma fatamorgana." "Andai aku punya nurani orang baik kek gitu, duitmu nggak mungkin habis buat belanja sempak seharga setengah jutaan!" Setelah Supri menyelesaikan kalimatnya, lantas mereka terbahak bersama. Tak lupa pula mereka saling beradu tinju di dada. Banyaknya tas kertas dalam genggaman tak membuat mereka menyudahi acara belanja. Beberapa potong pakaian mahal, serta sepatu dan juga sandal telah di tangan. Namun, rasanya masih belum cukup untuk sekadar menjadi obat penasaran. "Bau barang mahal emang bedo, yo, Pri?" Su
"Argh!!" Seorang pria yang tengah menuruni eskalator tampak kehilangan kontrol diri. Tangannya menutup mulut dengan cepat saat ada zat asing yang membuatnya mual hingga hampir muntah. Tak ada pilihan lain, seturunnya dari eskalator ia langsung memuntahkan isi perutnya ke arah luar pagar pembatas. Tanpa sadar, saat usahanya hendak mengeluarkan isi perut, tubuhnya menegang seketika. Napasnya berhenti hendak muntah. Dalam posisi demikian, tak banyak yang tahu bahwa ia telah berpulang. Hingga seorang petugas keamanan mencoba menegur, riuhlah plaza lima lantai. "Su!" panggil Supri mengejutkan, sesaat setelah teriakan para pengunjung mal menggema. "Opo seh, Pri? Mbengak-mbengok ae!" "Ada orang meninggal pas muntah. Kamu jangan muntah dulu." Supri berbisik pada Ari, saat keduanya melewati kejadian tempat perkara. Menyeruak beberapa kerumunan. "Ediaan! Di
Ari terpekur menatap cuplikan video yang ada. Gadis dengan kemeja oversize dan celana jin panjang itu benar-benar tak asing di matanya. "Tolong berhenti di sana, Pak," pintanya pada sang kepala toko. Lantas, ia memicing. Sedetik kemudian rahangnya mengeras. "Lara?" "Anda mengenal pelakunya?" Bersamaan dengan itu, ia juga baru sadar bahwa pria berhoodie tadi sedikit menabrak kursinya dari sisi lain. Ari kembali memicing tatkala melihat sebuah benda yang tampak berkilau dalam genggaman si pria asing. "Minta tolong kirimkan videonya ke email ini, Pak," pintanya. Segera ia menuliskan alamat kotak surat elektroniknya pada selembar kertas yang diberi sang kepala toko. Setelah memastikan cuplikan video itu dikirim, Ari segera beranjak ke lantai teratas. Tenang penjual pelbagai macam barang elektronik menjadi tujuan keduanya. Tanpa memilah, ia segera menu
Di sebuah mal besar khusus toko elektronik terkemuka, sepasang muda-mudi tak saling cinta tengah asyik beradu mulut. Beberapa kali, si pria tampak menggoda sang gadis. Sementara si gadis enggan untuk mengulas senyum meski sedikit. "Yang ini," pinta si pria, tak ingin kalah. "Yang biasa, aja." "Nggak usah sok ngatur!" seru pria berambut plontos. Ari yang melewati mereka hanya terkikik dalam diam. Ia tahu betul, nantinya akan berakhir demikian. Lara masih enggan buka suara meski Ari terus mengekor padanya. Ia pergi ke lantai dua, tempat berbagai furniture mewah. Tanpa disangka, Ari juga mengikutinya. "Ngapain ngikut?" "Lah, kan kamu yang bayarin. Kalo aku beli sendiri, siniin kartunya!" Lara mencebik, lantas memutar haluan hendak ke gerai aneka ponsel. Sekali lagi, keduanya melewati pasang
Lara baru saja tiba setelah mengadakan pertemuan terkait dengan usaha baru yang akan dirintis olehnya, saat ponselnya berdering keras. Dilihatnya nama pada layar ponsel, Montir Bastard.Ia tergelak sebentar. Memang inginnya nama Ari tak dirubah. Ia berharap itu akan menjadi kenangan berharga.Lekas diangkatnya perminaan vidio call dari sang kekasih. Lantas, sembari membuka blazer diharapkannya ponsel dengan bantuan bantal sebagai sanggahan."Kenapa?" tanya Lara, menuntut."Lah! Ditelepon tanya kenapa. Salam dulu, kek. Sayang-sayangan dulu gitu," jawab Ari di seberang. "Keknya lagi sibuk bener, ya? Empat hari enggak ketemu jadi miss you mss you."Mendengar pelafalan bahasa Inggris Ari yang fasih tetapi direka cadel, tentu membuat Lara terbahak. Apalagi keduanya memang belum sempat bertemu sejak pertemuan terakhir mereka."Iya, ya? Tapi enggak apa, gue sibuk bu
Pelan, Ari berjalan masuk ke gedung salah satu pencakar langit di Jakarta. Beberapa kali, matanya mengawasi sekitar. Lantas, ia berhenti tepat di meja penerima tamu."Ada yang bisa kami bantu?"Ari tergemap. Lantas, ia mengutarakan maksudnya datang ke sana. "Saya mau bertemu dengan Pak Bachtiar, Mbak."Sang resepsionis pun mengernyit, lantas menatap tajam pada Ari. "Anda sudah buat janji temu?"Ari menggeleng. "Harus, ya?""Bapak Bachtiar tidak menerima tamu sembarang, Pak. Usahakan punya janji temu dulu, ya."Sudah tiga hari ini, Ari selalu mendatangi salah satu kantor pusat permainan ternama. Bukan untuk mendapat pekerjaan, tetapi ia ingin bertemu langsung dengan ayahnya Lara.Sudah berulang kali ia mencoba menelepon, meminta janji temu untuk sang calon mertua. Akan tetapi, ia ditolak mentah-mentah saat ditanya maksud tujuannya.
"Ren, bisa ngomong sebentar?"Pintu diketuk Ari pelan, lantas tak lama suara anak kunci diputar pun terdengar. Rendi yang merasa aneh dengan tingkah sang kakak langsung menyadari ada hal yang ingin dibicarakan."Ada apa, sih? Kalo elu sopan gini, gue jadi takut."Ari terkekeh sebentar, lantas ia mengambil duduk pada bean bag terdekat. Diambilnya pula berkas-berkas yang sudah dilipat dalam saku hoodienya."Beberapa hal yang enggak bisa kita kuasai kadang bikin kita marah sama keadaan. Marah sama kenyataan. Aku ... sama."Rendi mengernyit, lantas mencondongkan tubuhnya ke arah sang kakak. "Enggak usah berbelit-belit, Ri. Ngomong aja. Kek sama siapa, aja! Elu mau nikahin Lara? Atau mau jadiin gue bridesman?"Rendi mengulum senyumnya. Ia tahu betul, jika suasana melow dari Ari membawa kabar buruk. Maka dari itu, ia berusaha untuk mencairkan suasana.
"Maksud elu gimana?"Demi melihat Lara yang menanap, Ari pun beranjak. Ia juga tengah terkejut dengan fakta yang ada. Belum lagi mengenai ucapan Supri yang kian membuat Ari bingung bukan kepalang."Aku juga enggak ngerti, Ra."Ari mengambil beberapa berkas dari tas selempangnya. Lantas, diberikannya pada Lara tanpa ragu.Perlahan, Lara membuka berkas yang ada. Untuk sejenak, ia memejam. Lantas, menarik Ari untuk duduk di sampingnya. "Ini bukan salah elu ataupun Rendi. Ini adalah takdir. Sekuat apa pun elu nolak, tetap saja ini adalah akhirnya."Ari menggeleng, lalu meraih gambar yang pernah dilihatnya di ponsel Tarissa. "Ini Tarissa. Orang yang sebelumnya nganggep aku kebahagiaannya. Terus, tiba-tiba aku hadir dan ngomong, aku kakakmu. Gila!"Lara mencengkeram lengan Ari lantas menatapnya lekat-lekat. "Katakan saja pada Rendi. Bagaimanapun juga, Rendi harus t
Di dalam kamar, Rendi, Ari dan Lara tengah sarapan bersama. Beberapa kali candaan dilempar kala tahu Rendi tengah melakukan aksi mukbang secara live pada penonton setianya: Lalita.Rendi yang tahan malu pun tak mengindahkan cibiran sang kakak dan Lara. Meski begitu, Lalita yang juga melakukan hal yang sama ingin segera mengakhiri panggilan."Jangan gitu, Ta, biarin aja wis kalian saling mukbang. Dan gue di sini sama Ari saling nyindirin kalian! Ha ha ha!"Lalita telah memerah wajahnya di depan kamera, sedangkan Rendi tak ingin acara saban paginya rusak gara-gara Lara."Mending elu pergi dah dari sini, Ra! Gangguin aja!"Mendengar dirinya diusir, Lara pun berkacak pinggang. "Hello! Ini kamar cowok gue! Harusnya elu yang minggat!""Lah, cuma cowok, 'kan? Belum jadi suami, kan? Gue yang lebih berhak!" jawab Rendi sekenanya."Lah, elu siapany
Lara sedang mengadakan pertemuan penting di salah satu anak perusahaan yang dikelolanya bersama Eiffor. Dari sana, ia akan mendapat banyak relasi demi menciptakan usaha Ari yang baru. Beberapa pengusaha setuju bekerja sama. Mulai dari kontraktor hingga bagian periklanan. Beberapa kali, Lara melirik ponselnya yang terus bergetar. Meksi begitu, bagaimanapun juga ia harus mengabaikan. Pertemuan itu lebih penting dari segalanya. Terlebih, untuk membangun masa depannya bersama Ari di kemudian hari. Usai meeting, Lara langsung menelepon balik sang kekasih. Kali ini, bukan hanya penggilannya yang tak dijawab. Ponsel Ari pun tak lagi dapat dihubungi. Lara cemas, dengan cepat ia berlari menuruni anak tangga menuju ke parkiran. Dilajukannya mobil berwarna hijau metalik dengan tergesa. Ada perasaan tak nyaman yang kini berkelindan. Apalagi, sebelumnya Ari ta
Ari baru saja tiba di rumah lamanya. Esok adalah hari di mana ia akan kembali ke sana. Ke tempat di mana ia dibesarkan bersama Rendi dengan belas kasih banyak tetangga.Sesekali, ia mengenang kilas kejadian yang memilukan. Tentang kematian orang-orang terkasih, bahkan ibunya yang pergi setelah meninggalkannya di rumah Bunda Diana.Pelan, diambilnya beberapa paket sembako yang sedari tadi ada di sekitar kakinya. Ia mengayun langkah tegas, pada rumah-rumah yang dulu pernah menjadi tempat singgah lapar mendera.Usai mengucap salam, wanita paruh baya membual pintu sembari mengulas senyum yang terkembang. "Ari? Ada apa, Nak? Sini, masuk!"Ari menggeleng sembari mengulas senyum. Lekas, diberikannya kontener kecil berisi banyak kebutuhan dapur. "Buat njenengan, Bu. Maaf kalo cuma bisa ngasih ini. In Syaa Allah, akan lebih sering ngasih."Melihat kontener besar yang dibawa Ari, wanita it
Sudah sehari setelah kedatangannya kembali ke Jakarta, saat Ari duduk bersisian di warung kopi tak jauh dari Fiterus Asikin. Bersama kawannya, ia terus berbincang tanpa kenal waktu lagi."Kukira, wakmu sudah lupa aku, Su! Udahlah enggak pernah main, eh nomormu enggak bisa dihubungi. Kenapa?"Ari tergelak sebentar, lantas menuang kopi pada lepek. Bersama, Supri, Ari mampu menjadi sosok yang selama ini selau dipendam jati dirinya."Gimana? Wis dapet laba?"Mendengar pertanyaan Supri, sontak Ari terbahak. "Bati opo? Emang jual beli pake tanya laba segala?"Ari terbahak, begitu pula Supri. Lantas, bersamaan keduanya menyesap kopi dari lepek."Enak koe, Su! Pantes dulu sering bayarin aku. Saiki gimana?" tanya Supri. Ia mencomot satu gorengan yang ada di tengah meja."Enggak gimana-gimana. Lagi mau bikin usaha aku. Biar selevel sama Lara. Palin
Lara baru saja tiba di rumahnya, saat ponselnya berdering nyaring. Ia mengedar pandang pada sosok yang ada di balik punggungnya."Masuk, sana!" titah Ari. Ia mengantar kepulangan Lara menggunakan taksi dalam jaringan.Lara mengangguk, lantas melambaikan tangannya. Tepat sebelum ia masuk ke rumah, Lara mengangkat panggilan dari orang-orang yang dipercayai mengurus segala sesuatu tentang usaha yang Ari impikan.Hanya dengan menajamkan pendengaran, Lara tahu betul mobil yang ditumpangi Ari telah pergi. Cepat, ia membuka pagar dan masuk rumah."Ada apa, Pak?" tanya Lara, antusias."Begini, Nona. Tentang perizinan dan sebagainya sudah keluar. Semua sudah beres. Jadi, kita bisa segera memulai pembangunan."Mendengar ucapan sang tangan kanan, tentu saja Lara semringah. Tanpa sadar ia melompat girang. Lantas, segera masuk ke kamar.Ia terla