Angel Man terbang dengan tenang di langit, kamera yang menyorot dirinya dari helikopter dengan sangat jelas menangkap wujudnya dan menampilkannya di layar lebar di stadion, disaksikan oleh ribuan mata. Sepuluh detik sebelum serangan. Angel Man menoleh ke arah kamera, lalu terbang dan tersenyum, mengedipkan mata kanannya. [Saksikan! Jangan lewatkan sedikitpun apa yang akan terjadi!] Setelah itu kamera menyorot ke tanah dan menyapu gedung-gedung di kota, bersiap untuk menangkap gambar serangan monster yang kemungkinan akan terjadi beberapa detik setelah ini. Angel Man melakukan hal yang sama, bersiap dengan tombak yang sekarang muncul di tangannya untuk bergegas ke menyerang ketika dia melihat sedikit peluang u
Laila mencengkeram Fang dengan erat saat Fang melompat dari atas gedung yang kemudian mendarat di dinding gedung lainnya, menukik ke arah berlawanan dan jatuh ke tanah dengan gerakan zig-zag. Ketegangan yang dirasakan Laila tidak lagi membuatnya merasa terpengaruh oleh kecepatan dan kelincahan Fang. Fang berdiri berjongkok, bersiap menyerang ketika Laila di radarnya mulai mendeteksi puluhan bahkan ratusan Monster mulai muncul dalam bentuk titik-titik jingga. Monster yang datang ada dua jenis, satu terbang di langit dan lainnya berlari di tanah dengan bentuk yang sama dan yang membedakan hanyalah sepasang sayap yang tumbuh di punggungnya. “Kak, bersiap-siap! Ada dua jenis Monster. Puluhan dari yang terbang sedang bergerak mendekati posisimu, dan lainnya berlarian di tanah”
"Bunuh! Selesaikan! Berjuang sampai akhir!" Artin bergumam keras pada dirinya sendiri, matanya tiba-tiba fokus dan jantungnya berdetak sangat tenang. Tubuhnya berdiri kokoh dengan Palu Keadilan di tangan kanannya. Kemudian melirik ke langit saat puluhan Monster berteriak dan terbang ke arahnya. Monster tercepat kini sejengkal di depan Artin, saat tangan kiri Artin menangkap kepala monster itu dan meremasnya dengan kuat, kepala monster itu mendadak pecah dan hilang terbawa angin. "Lemah!" Tiga ekor lainnya mendekat dari belakang, Artin berbalik dengan sangat cepat dan memutar tubuhnya dengan pukulan kuat dari Palu Keadilan yang kemudian menghabisi mereka sekaligus dengan satu tebasan. &
“KAKAKKK!!!” Laila segera melompat dari tubuh Fang, berlari ke arah Artin. Sebagian besar tubuh Artin hancur, dan cipratan darah terlihat jelas di jalan beraspal. “KAKAKKK!!!!” Laila mencoba mengangkat Artin, tetapi kemudian melepaskannya. Wajah Artin yang tampak pucat di bawah sinar bulan kini perlahan retak, dan dalam beberapa waktu akan segera menghilang seperti yang terjadi pada semua orang yang terpilih sebagai Pemain. “TIDAK! TIDAK! TIDAK! TIDAK!” Hati Laila hancur, dia berteriak dengan seluruh kekuatan yang tersisa di dalam dirinya. “TIDAK! TIDAK! TIDAK! TIDAK!” Mengapa semua yang dia pedulikan
Mata Artin perlahan terbuka, berpindah dari kegelapan yang tak berujung, ke tempat yang tidak terlalu gelap, remang-remang dengan hanya sedikit cahaya bulan yang masuk di antara sela pintu dan jendela sebuah ruangan. Tubuhnya terasa dingin, bukan luka yang ia rasakan, kali ini hanya rasa dingin dari udara malam. Meskipun tidak dengan leher dan pipinya, yang hangat menempel pada sesuatu yang terasa lembut dan nyaman. Artin menikmati kelembutan bantal yang dia tiduri kali ini, tidak selembut bantal biasanya, tapi yang satu ini disertai dengan perasaan tenang yang tidak bisa dijelaskan. Setelah itu dia merasakan belaian, sentuhan lembut dari jemari kecil yang perlahan menyisir rambut, kening, pipi, hingga bibir Artin. Setelah mata Artin yang sekarang terbuka lebar,
[[ Penghisap Darah Petarung (General) Lvl 31 ]] [[ HP: 14700/15000 ]] Pertarungan tampaknya terjadi di dekat tempat penampungan lainnya. Berbeda dengan penampungan sebelumnya, tempat ini terlihat masih utuh, meski kondisinya akan berubah total jika monster besar yang muncul di TV kali ini gagal dihentikan. Level monster itu cukup tinggi, dengan tingkatan General yang belum pernah ditemui Artin sebelumnya. Dari cara dia bertarung dan kekuatan yang dia tunjukkan, jelas bahwa dia bukanlah musuh yang mudah untuk dihadapi. Apakah Artin hanya akan menonton kejadian itu di TV, tanpa berusaha melakukan apa pun? Lalu membiarkan monster itu menjadi liar tak terkendali dan jatuhkan lebih banyak korban? Artin memikirkan
“ARGHHHHH!!!!” Artin berteriak sangat keras, lalu sebuah palu besar muncul di tangannya, matanya tiba-tiba menjadi gelap, hatinya kali ini benar-benar tertutup oleh emosi. Artin berlari dan melompat ke depan mencoba memukul dengan palunya, namun pergerakan monster itu lebih cepat dari yang Artin pikirakan, yang kemudian melontarkan cakarnya yang panjang untuk menyambut kedatangan Artin. Artin tidak punya cukup waktu dan tidak mencoba bersaing dalam pertempuran jarak dekat. Kemudian dia dengan cepat memutuskan untuk melemparkan palunya dari kejauhan. “LEMPAR PALU!!!” Palu Keadilan terlempar sangat keras ke tubuh monster itu dan jatuh ke tanah setelah hanya meninggalkan luka kecil.  
[[ Artin Lvl 15 ]] [[ HP: 170/800 ]] [[ Penghisap Darah Petarung (General) Lvl 31 ]] [[ HP: 2300/15000 ]] Artin menjatuhkan Palu Keadilan dan melompat mundur menghindari beberapa pukulan berikutnya, meskipun kali ini monster itu bergerak lebih liar, tetapi pukulannya tidak seakurat sebelumnya. “RAIH PALU!” Saat Palu Keadilan kini berada tepat di belakang monster, Artin segera mengaktifkan kemampuan Palu Keadilan miliknya, dan seketika berpindah tempat ke belakang monster itu. Buru-buru mengangkat palunya dan sekali lagi melemparkan pukulan ke kaki kurus dan tinggi monster itu. Artin berhasil memberika
Setelah mengetahui bahwa orang yang mencari Artin adalah Teddy, Laila memutuskan untuk menunggu di luar sementara Artin mengikuti kemana pria militer itu membawanya. Di lantai tertinggi, sebuah ruangan dengan dua pintu kayu terbuka ketika Artin berada tepat di depannya. Pria militer yang menemaninya mempersilahkan Artin untuk masuk. Sebuah ruangan dengan sofa dan meja kaca di tengah, juga beberapa meja dengan kursi serta seperangkat komputer di sisi lain. “Halo, Artin. Mari, silakan duduk.” Artin berjalan mendekat dan duduk berseberangan dengan Teddy. Dalam kondisi selarut ini, dia masih menggunakan seragam militer yang biasa dia kenakan. Apakah semua orang dari militer bekerja 24 jam? Atau hanya karena keadaan darurat yan
“Aku bisa mengontrol kecepatan tumbuh tanaman rambat.” Dan coba jelaskan jenis kekuatan yang dia miliki.Artin menganggukkan kepalanya pada jawaban dari anak laki-laki itu. Seperti yang dia duga, Dan adalah orang yang sama yang datang untuk menyerangnya saat itu.'Jika memang orang yang sama, apakah dia hanya berpura-pura tidak ingat apa yang terjadi?'Artin berusaha menyembunyikan rasa penasarannya. Dia akan mencoba mencari cara lain untuk mengorek informasi dari bocah itu. Salah satu dari lima, seorang gadis berambut perak seusia Dan, tampaknya memiliki kemampuan telepati dan cukup tahu tentang apa yang terjadi. Mungkin Artin bisa mengetahui siapa lawannya jika berhasil menemukan gadis itu.“Kekuatan yang cukup menarik, Dan. Bisakah kamu menggunakan kekuatanmu untuk mengunci pergerakan lawan?"
Tempat yang sedang Artin datangi adalah sebuah kubah besar dengan beberapa lantai, kamar dan ruangan besar di tengahnya. Tempat itu menjadi salah satu pusat penampungan bagi korban serangan monster. Ada beberapa Player dari militer yang juga menjaga area tersebut. Salah satu dari mereka berjalan memberi salam saat Artin dan Laila mendekati gerbang masuk. Seorang pria dengan pakaian militer mengangkat dan melambaikan tangannya. "Hai, Artin. Aku bersamamu dalam serangan terakhir beberapa hari yang lalu." Artin menundukkan kepalanya. "Aku mendapat izin dari Teddy untuk masuk ke dalam." Pria di hadapan mereka menoleh ke Laila yang berdiri di samping Artin, menggandeng tangannya.
Beberapa hari setelah pertarungan dengan Beastmaster berlalu dengan cukup damai. Tidak ada serangan apapun yang datang pada malam hari atau siang hari. Meski begitu, Artin dan Laila tetap rutin bersiaga, terutama di malam hari. Tentu saja, tugas mereka kali ini menjadi lebih mudah karena dukungan Fang, yang juga tanpa lelah berkeliling di sekitar rumah Laila. Sebuah portal berbentuk lingkaran kembali muncul mengambang di langit. Namun bedanya, kali ini tidak hanya ada satu, melainkan puluhan. Itu sebabnya militer dan beberapa Guild besar juga telah membagi kekuatan mereka secara merata untuk menangkal kemungkinan yang akan terjadi. Artin menyandarkan tubuhnya ke sofa besar di ruang utama rumah Laila. Malam itu, dia kembali bersiap untuk melakukan jadwal jaga seperti malam-malam sebelumnya. Awalnya, sulit untuk mengubah jam tidur dari malam ke siang, namun perlahan akhirn
Artin membaringkan tubuhnya di atas batu besar, yang setengahnya terendam di tepian danau. Suara serangga terdengar saling bersahutan. Dan angin yang bertiup dari permukaan danau berulang kali menghembuskan aroma kesegaran, membuat ketenangan yang coba Artin cari dengan segera terwujud di dalam dirinya.Suara percikan air, terdengar. Setelah beberapa saat Laila membenamkan dirinya, di badan besar danau yang memantulkan cahaya bulan dengan sempurna malam itu.Artin masih memastikan mereka aman dengan meminta Fang untuk terus berkeliling dan menyisir area di sekitar mereka.“Kakak…”Beberapa percikan air mengenai wajah Artin. Tetesan air yang segera berlomba antara membeku atau mengering diterpa angin. Artin terbangun dari lamunannya, menyadari bahwa akhirnya, Laila mencoba berinteraksi kembali deng
Mereka, anggota Beastmaster, tampak bersikeras dengan niat mereka. Mereka tidak akan mundur sedikit pun sampai mencapai apa yang mereka inginkan. Membawa orang sebanyak ini padahal targetnya hanya dua orang. Laila sudah mencapai batasnya. Pertarungan lain yang dia lakukan akan benar-benar membahayakan nyawanya. Sedangkan, Artin yakin bahwa mereka tidak akan mundur sedikit pun setelah mengetahui, dua dari rekan mereka juga telah kehilangan nyawanya di tangan Laila. "Laila, bisakah kamu pergi menyelamatkan diri?” Artin mencoba berbisik pada Laila yang berlutut di belakangnya. Laila telah melakukan pertarungan dengan tiga orang sekaligus. Ia mampu bertahan hingga saat ini saja sudah merupakan prestasi yang cukup membanggakan. Artin bukan tidak memercayai Laila, tapi tentu saja, ada batas
"Sekali lagi, jangan mendekat kecuali aku meminta!"Laila berteriak, lalu meremas alat kecil di tangannya. Perhatiannya kembali pada dua orang yang berada tak jauh darinya. Laila panik dengan apa yang baru saja terjadi, tapi ada hal lain yang perlu dia khawatirkan kali ini, yaitu dua orang yang sedang dia hadapi.'Kenapa aku harus mendapatkan kekuatan ini? Meskipun, pada awalnya, aku pikir kucing itu lucu. Tapi tidak seperti ini!!!'Laila berulang kali membayangkan apa yang akan terjadi padanya jika bulu-bulu di tubuhnya tetap ada bahkan setelah pertempuran usai. Selain itu, dia juga tidak akan percaya diri bertarung di depan siapa pun jika harus melakukannya dengan bentuk barunya.'Apa yang harus aku lakukan. Ini sangat memalukan. Apakah aku masih bisa kembali ke bentuk asliku?’
Sepasang sayap transparan mengepak cepat. Tubuh Laila terlempar ke udara, menukik ke bawah dan jatuh kembali ke tanah dengan berlutut. Laila berhasil menghindari serangan pria dengan tangan reptil itu. Laila berdiri, memasang kuda-kuda, mengepalkan tinjunya. Matanya menatap tajam ke tiga orang yang berdiri tidak jauh darinya. “Kakak, tolong benar-benar beri aku kesempatan kali ini. Biarkan aku menyelesaikan ini sendiri.” Laila berbicara kepada Artin melalui alat komunikasi di telinganya. Sejauh ini, lawan yang dihadapi Laila tampak lebih kuat dari yang dia duga. Namun kali ini, Laila bertekad untuk membuktikan dirinya. Dia tidak bisa bergantung pada Artin selamanya. [Oke, bagaimana dengan Fang? Oke. Aku percaya kamu]
Sayap transparan yang mengepak di sekitar kepala Laila membuat tubuhnya terbang cepat menembus angin. Bahkan cahaya bulan pun tidak bisa menangkap bayangannya. Kedua telapak tangannya mengepal dan meremas dengan kukunya yang membuat luka di telapak tangannya. Bekas luka yang biasanya ditimbulkan oleh pisau yang dia gunakan dalam pertempuran telah benar-benar membuat Laila mati rasa dengan sensasi perih yang dia rasakan."Mereka benar-benar membuatku kesal."Laila telah berusaha sekeras mungkin menahan diri, bahkan ketika mereka dengan sengaja mengeroyok Artin malam sebelumnya. Laila telah menyimpan perasaan gelisah di hatinya, yang kali ini tidak lagi sanggup dia tahan.'Aku akan memastikan mereka merasakan sakit yang tidak akan bisa terlupakan hingga jiwa mereka meninggalkan tubuhnya.’Laila masih ingat denga