Home / Horor / Teror Kumara Merah / 5. Pohon Keramat

Share

5. Pohon Keramat

last update Last Updated: 2021-11-17 13:42:00

"Mas, Mas, bangun, Mas!"

Parmin membuka matanya tatkala mendengar suara panggilan seseorang. Hah, dia menghela napas, rupanya dirinya hanya mimpi. Mimpi yang sangat mengerikan, batinnya. Jantungnya terasa berdegup dengan kencang.

"Maaf, saya bangunkan. Masnya enggak apa-apa?" tanya supir.

"Ga papa, Mas Pir. Saya hanya mimpi." Parmin menyeka keringat di dahinya.

"Masnya kecapekan, ya? Tidur sampe mengingau keras, gitu?"

"Mungkin, Mas." Parmin tersipu malu. Namun, selain rasa malu, ia pun merasa resah. Mimpinya begitu nyata dan mengerikan. Rasa takut dan kagetnya masih terasa hingga dia terbangun. Apakah gadis itu masih mengikutinya bahkan, hingga ke kampung halaman?

"Sudah sampai mana, Mas Supir?" tanya Parmin.

"Ini mau masuk gerbang tol kalijati, Mas." Parmin pun bersiap-siap untuk turun ketika papan nama petunjuk arah kecamatannya terlihat dengan jelas.

Turun dari travel, Parmin celingak celinguk di depan agen. Ponselnya sudah kehabisan baterai sejak sore. Tak ia hiraukan tawaran opang--ojek pangkalan-- yang menawarkan jasa. Sebelum berangkat, ia sudah menghubungi teman sedesanya untuk menjemput.

"Kang Parmin, saya di sini!" seseorang melambai-lambaikan tangan di depan warung mie ayam yang ada tulisan agen bus malam.

"Wah, Ricky, kamu toh. Sudah bujangan, gagah sekarang, aku pangling." Parmin menyalami dan menepuk-nepuk pundak Ricky, temannya. Dahulu, dia adalah adik sepengajiannya di kobong. Saat merantau masih sangat kecil dan sering digendongnya.

"Kang Parmin juga. Logatnya udah njawani, udah kaya orang sana aja. Kelamaan merantau." Ricky terkekeh.

"Kang Min ngantuk enggak? Mau ngopi dulu?"

"Enggak, kita lanjut saja." Setelah membayar segelas kopi, Ricky menstarter motornya dan mereka pun melaju dengan kendaraan roda dua membelah jalanan.

Sepanjang perjalanan mereka mengobrol untuk mengusir sepi. Melalui Ricky, Parmin bisa mengetahui bahwa keadaan ibu dan adiknya baik-baik saja. Hatinya lega.

Memasuki desanya yang terletak jauh di pedalaman harus melewati kebun-kebun rambutan dan hutan karet, kesunyian kembali menyergap mereka. Jalanan tampak sepi dan gelap. Tidak semua jalan mulus meski sudah di aspal. Kondisi air selokan jalan yang tidak rapi, dan pepohonan yang rimbun hingga menutupi bahu jalan, saat musim hujan seringkali tetesan dan genangan air membuat rusak jalan. Ricky harus hati-hati mengendarainya agar tidak melindas batu besar atau lubang dan beralhir dengan terjungkal tengah malam.

Bayangan-bayangan pohon besar yang tertimpa sinar rembulan tampak gelap seperti mengerikan. Semakin masuk ke dalam semakin sepi dan tak melihat cahaya dari rumah-rumah penduduk yang berjauhan. Kini mereka telah melewati perkebunan penduduk dan memasuki kawasan hutan karet yang sangat gelap.

Parmin merasakan tengkuknya begitu dingin. Dia merapatkan jaket kulitnya. Ricky yang sejak tadi berceloteh pun mulai diam. Entah mengapa. Kesunyian hutan karet seakan membungkam mulutnya. Mungkin karena pemuda di depannya mulai merasa takut. Konon hutan karet pada malam hari sering memakan korban baik begal maupun penampakan. Parmin sendiri yang asalnya tidak pernah takut semenjak kejadian teror itu mulai merasa waswas.

Saat ini mereka tengah berada di kebun karet dan sebentar lagi melewati dua batang pohon keramat yang terkenal. Suasana makin terasa mencekam ketika kendaraan yang mereka tumpangi semakin mendekat area pohon keramat. Dari kejauhan bayangan gelap rimbun pepohonan dan jalan yang suram semakin terlihat jelas. Saat itu mereka hampir mendekati pohon, semakin semakin jelas bayangan-bayangan hitam pohon besar yang mengerikan itu.

"Kang Parmin, Akang lihat jalan, ya. Saya akan merem," bisik Ricky tiba-tiba.

"Astagfirullah, Ky. Jangan bilang kamu mau merem karena takut? Jangan lakukan hal gegabah nanti berbahaya."

"Tapi, aku takut, Kang. Serem banget di depan. Aku enggak mau lihat penampakkan. Hiiy!"

"Kamu di depan terang, di belakang ada aku yang jagain. Lha, gimana sama nasibku aku yang di belakang, tokh?"

Ricky malah semakin ketakutan. Kendaraan pun semakin berat. Ia membayangkan di belakang Parmin ada sesosok yang menarik pundak pemuda itu.

"Aduh, kenapa motor ini terasa berat?"

"Sudah fokus saja. Kita akan segera melewatinya."

"Ya Allaah, astagfirullaah, Allaahu Akbar, Lahaolawa laquwatta illabillaah. Saking takutnya Ricky semua lafaz doa dan ayat-ayat yang ia ingat dilafalkan. Namun, karena ketakutannya yang ada bacaannya malah kacau balau.

Sejujurnya Parmin pun merasa takut. Keringat dingin terasa mengalir di pundaknya. Punggungnya sangat berat serasa digayuti beban ransel puluhan kilo. Padahal ia hanya menggendong ransel kecil berisi pakaian karena oleh-oleh di letakkan di depan.

Hah, hanya sebentar saja, cuma beberapa detik akan terlewati. Tokh, aku sudah terbiasa sejak kecil melewatinya saat nonton layar tancap, tetapi mengapa sekarang terasa lebih mengerikan?

Parmin tetap fokus ke depan takut Ricky melakukan hal bodoh memejamkan mata. Saat ini motor hampir melewati pohon keramat dan bayangan gelap terasa merangkum mereka.

"Allah, Allah, Allah!" Ricky komat kamit. Mendadak motor oleng dan berhenti.

"Ah, kenapa ini?" panik Ricky. Ia berusaha menstabilkan motor dan menarik gas. Namun, semakin ia gas motor semakin berhenti. Seperti ada yang menahan bannya. Parmin berinisiatif turun. Sudah tak pedulikan lagi rasa takut. Semakin lama berdiam diri di sana Ricky akan semakin ketakutan.

"Tenang, Ky. Kita periksa dulu."

Parmin turun mencari ponsel dari saku celananya. Dengan menggunakan senter dari ponsel ia memeriksa bannya. Sebuah akar pohon yang menjalar membelit ban entah datang dari mana. Belitannya sangat erat mengenai jeruji motor lalu naik ke rantai. Sangat aneh. Akar itu sangat erat membelit. Mungkin karena tadi dipaksakan maju.

"Apa yang terjadi Kang?" Ricky mengeluarkan ponselnya juga berusaha menerangi. Ia tak ingin terjebak dalam kegelapan yang sangat menakutkan.

"Ada akar yang membelit. Aku akan coba keluarkan." Parmin mencoba menariknya. Namun sangat susah.

"Ada arit," Ricky ingat dia masih menyimpan alat untuk mencari rumput itu di sana, selain ngojek Ia memang membantu orang tuannya memelihara domba. Dengan tergesa membuka jok motor. Sialnya, kuncinya seperti macet.

"Sial, apalagi ini!"

"Tenang, Ky. Sini aku yang buka." Parmin mengambil alih.

Parmin lebih tenang dalam memasukan dan memutar kunci jok, maka dengan mudah dalam sekejap terbuka. Di sana ada arit. Parmin mengambilnya, lalu sekuat tenaga digunakan untuk mengarit akar pohon itu.

"Tahan, Ky!" pintanya.

Ricky menahan motor agar tidak oleng. Akhirnya setelah beberapa kali mengerahkan tenaga, Parmin berhasil membuat akar pohon itu terputus. Parmin lalu menyingkirkan akar-akar pohon itu ke sisi jalan.

Entah kenapa, seperti ada yang menarik Ricky untuk menoleh ke arah Parmin melempar. Dalam kegelapan ia melihat akar-akar itu bergerak dan berubah menjadi ular lalu pergi menjauh.

"U-ulaar!" teriak Ricky.

Parmin juga terkejut. Lalu memasukan arit ke jok motor. Secepatnya ia mengambil alih menstarter dan menarik Ricky untuk duduk di atas jok motor.

Dalam ketegangan terdengar tawa mengerikan dari atas pohon. Ricky menjerit ketakutan.

"Aaaa, hantuuu!"

"Naik, Ky!" Ricky yang masih syok tersentak dan segera sadar lalu naik ke atas jok." Pegangan yang kuat!" Parmin menarik gas kuat-kuat. Ricky memeluk erat.

Motor melaju dengan cepat. Ricky masih sempat menoleh di atas sana, ada bayangan putih yang menertawakan mereka.

"Cepat, Kang!"

"Tenang, jangan panik. Hanya menakut-nakuti!" Parmin berusaha menenangkan Ricky. Namun, ia tak menyadari ada sesosok bayangan merah yang saling melesat sesaat setelah mereka pergi.

***

.

Related chapters

  • Teror Kumara Merah   6. Pocong di Rumah Emak

    Pintu terbuka dan sesosok putih menyambut mereka, berdiri di tengah- tengah pintu dalam ruangan gelap. Ricky kaget pun menjerit dengan keras. "Aaaa Pocooong!" teriaknya, kemudian berbalik hendak mengambil langkah seribu. Namun, belum sempat kakinya melangkah, Parmin keburu mencekal kerah bajunya. "Berhenti!" "Ha-hantuuu, lepaasss!" Ricky yang panik, semakin ketakutan mengira Parmin adalah hantu yang mencekalnya. "Berhenti, Ky! Ini aku! Itu emakku, bukan hantu!" "Bukan, kamu hantu! Eh-eh, be-benarkah?" tanya tak percaya. "Parmin, kamu datang, Nak?" Emak berdiri di tengah pintu menggunakan kain telekung putih sepertinya baru selesai tahajud. Mendengar suara Emak yang sangat dikenalnya, Ricky menahan langkahnya dan kemudian berbalik. "Astagfirullaah, Emaaak, ngagetin aja. Kirain teh hantu!" "Eh, kamu ngatain emak hantu? Kualat nanti kamu, Ky! Lagian atuda, kalian sendiri yang malam-malam gini menggedor-gedor, emak ya baru selesai sholat la

    Last Updated : 2021-12-02
  • Teror Kumara Merah   7. Siapa yang Mengawasi Kasih?

    Mata Parmin terbuka mendengar sayup-sayup suara Azan yang membangunkannya. Sementara itu, Ricky masih terlelap di kasurnya dengan sangat nyaman. Padahal, semalam tidurnya sangat gelisah sampai mengganggu Parmin beberapa kali, hingga akhirnya ia pindah tidur di lantai beralas tikar. "Sudah shalat, Min?" Emak menyambutnya di pintu dapur membawa ceret berisi air panas dan ubi cilembu panggang. Aroma wangi yang menguar terhidu penciuman Parmin. Terasa harum dan manis. Ubi Cilembu salah satu makanan khas Cilembu. Jika dipanggang dengan oven akan mengeluarkan cairan yang kental seperti madu. Parmin mencomotnya dan meraih segelas teh panas yang dihidangkan emak. Meski sudah sepuh, emak perempuan yang rajin. Sejak jam empat shubuh sudah berjibaku di dapur. Padahal parmin tahu sendiri emaknya selalu bangun untuk menunaikan shalat malam, mengaji quran dan membaca wiridan serta amalan tolak bala. Emaknya, sejak masih muda, sangat taat menunaikan ritual. "Ricky belum ban

    Last Updated : 2021-12-02
  • Teror Kumara Merah   8. Gadis Blonde di Hotel Tua

    Setelah berhari-hari, Parmin dan keluarga tenang tanpa merasa ada yang mengawasi. Tidur pun pulas tanpa mimpi buruk. Saat mengontak Ricky, tidak ada kejadian yang perlu dikhawatirkan. Parmin berpikir, mungkin selama ini karena dia terlalu merindukan kampung halaman dan keluarga hingga hidupnya tidak tenang. Hari ini Parmin akan membeli sepatu olahraga dan pakaian untuk adik dan emaknya. Namun, karena sepatunya jarang ada di toko kecil, Kasih memintanya berbelanja di Pasar Pujasera Subang. Sekalian jalan-jalan. Sisa uang penjualan warung kopinya, lebih dari cukup untuk membelikan kedua perempuan tersayangnya pakaian. Parmin diantar Ricky sampai ke jalan raya Kalijati. Dari sana mereka naik mobil angkot-- angkutan umum-- trayek Purwadadi- Kalijati-Subang. Parmin menatap Kasih yang duduk di kursi depan, tersenyum menatap pemandangan sepanjang jalan. Detik itu juga, Parmin merasa dirinya telah kehilangan banyak waktu yang berharga. Namun, dia masih bersyukur adiknya

    Last Updated : 2021-12-02
  • Teror Kumara Merah   9. Anna van Sittard

    Di sebuah mansion khas Belanda yang megah terjadi kesibukan besar. Para babu dari pribumi bekerja dengan giat membersihkan rumah dan melayani tuan dan nyonya rumah. Sementara itu, Anna van Sittard, seorang noni besar keluarga berambut pirang bermata biru menghabiskan sarapan sepotong besar ontbijtkoek yang terbuat dari tepung gandum hitam dicampur rempah asli Hindia Belanda seperti jahe, madu, kayu manis dan cengkeh. Segelas teh manis menjadi penutupnya. Anna sangat menyukai hidangan paginya itu. William van Sittard, pappie dari Anna dan Betty, mammie-nya Anna. Mereka mengobrol banyak hal. Sesekali Papi Anna melemparkan guyonan-guyonan kecil pada Mami, perempuan pemilik senyum elegan. Sementara Anna, tersenyum manis, bahagia melihat kedua orang tuanya harmonis. "Anna, " panggil William. Pemilik mata biru biru jernih yang menurun pada putrinya. "Ya, Papi?" "Mulai hari ini, Papi akan berkantor di gedung adminstrasi Inggris. Hari ini sudah resmi menjadi mili

    Last Updated : 2021-12-02
  • Teror Kumara Merah   11. Teror Kumara Merah 1

    Parmin berdiri dengan tubuh dan kaki yang gemetar. "A-adik saya Kasih, sa-saya akan menjemputnya, Pak!" ucapnya panik dan memburu pintu. "Tahan, dia!" perintah Kang Wisnu. Para kru pun mencegah Parmin dengan menahannya di depan pintu. "Kang Min!" Ricky yang kaget menyaksikan kejadian itu menghampiri dengan cemas. "Jangan bertindak gegabah. Tenang, jangan takut. semua sudah terkendali. Lihatlah, sudah tidak apa-apa. Adikmu baik-baik saja." Kang Wisnu menenangkan seraya menunjuk ke arah monitor. Di dalam layar terlihat Kasih yang tampak sudah ditenangkan oleh Penjelajah yang menemaninya. Lampu lilin pun berhasil dinyalakan kembali. Ketiga bayangan sinar merah yang tadi terlihat pun sudah menghilang. Namun, Parmin seakan-akan merasakan kemampuan dadakan melihat ke mana perginya sinar merah itu melesat. Semuanya terlihat dengan jelas di depan matanya, padahal mereka ada di dalam ruangan tertutup. Mata Parmin terbelalak. Sedang Kang Wisnu menatap tajam ke arah

    Last Updated : 2022-04-15
  • Teror Kumara Merah   12. Teror Kumara Merah 2

    Parmin, Kasih beserta dua teman mereka tidak langsung pulang selepas menerima penyerahan hadiah. Uang hadiah ditransfer ke rekening Parmin karena Kasih masih di bawah umur. Selama ini kalau transfer menggunakan rekening Ricky atau dulu melalui wesel pos. Untuk merayakan mereka berkeliling di kota Subang. Belanja pakaian untuk Kasih, Emak, bahkan dua temannya. Kasih pun memaksa kakaknya membeli baju baru yang lebih kekinian, katanya. "Menurut Kasih, Aa itu memiliki tampang yang seperti artis remaja Stefan Williams, loh," katanya. "Hanya saja gaya berpakaian dan rambut yang sederhana membuat Aa kayak wong ndeso." Mau tidak mau Parmin tergelak mendengar pujian yang diakhiri ejekan itu. "Stefan Williams itu siapa, sih?""Ih, Aa enggak gaul. Itu lho, pemeran utama Film anak langit. Yang bule itu. Cakep banget. Motornya juga keren.""Apa? Steffan Williams itu mirip Kang Parmin?Huekekekek! Kalau si mirip si Emen, sih, iya. " Ricky tertawa mengejek. "Seriusan, ih.

    Last Updated : 2022-04-15
  • Teror Kumara Merah   10. Uji Nyali

    Parmin terbangun dari tidurnya. Mimpi lagi, pikirnya. Bukan mimpi buruk seperti sebelumnya. Namun, mimpi yang aneh dan perasaannya segitu buruk. Seakan-akan dia melihat langsung kejadian dan memahami perasaan masing-masing penghuninya. "Sebenarnya perasaan apa ini?" batin Parmin memegangi dadanya. Seperti ada rasa sedih yang menyakitkan, ada rasa benci yang menyesakkan, ada rasa kecewa dan amarah yang sangat meluap-luap dan membuat tidak nyaman. Peristiwa di mimpi itu, meski tidak semua kejadian dan perkataan bisa diingat. Namun, Parmin bisa jelas mengingat ekspresi dan rasa yang berkecamuk dalam dada. Parmin melihat jam dinding. Tepat pukul dua pagi. Sayup suara emaknya mengaji terdengar di keheningan. Rupanya suara emak yang membangunkannya dari mimpi yang membuat dirinya sesak napas itu. Sampai menjelang pagi, Parmin tak bisa memejamkan mata kembali. Pada akhirnya, ia hanya duduk dan membuat coretan-coretan di sebuah buku tentang mimpinya. Semenjak kejadian di Wat

    Last Updated : 2022-04-15
  • Teror Kumara Merah   11. Rumah Peninggalan Kolonial

    "Ada apa, Min?" Sesosok berpakaian putih menyembul dari balik pintu."Ah!" Parmin kembali terkejut. Rupanya itu emak yang masih memakai telekung. Kebiasaan emak, berkeliaran saat gelap dengan masih mengenakan alat shalatnya. "Kamu mimpi buruk, Nak? Perbanyak istigfar dan berdoa sebelum tidur," nasehat emak. "Astagfirullah al adzim," ujar Parmin lirih. Mengapa sih, mimpi itu datang lagi. Kini bercampur aduk dengan Kumara yang ingin mengikutinya dengan Kumara yang ingin menerornya. "Sebenarnya, apa hubunganku dengan mereka? Mengapa pula ia bisa melihat dan berhubungan dengan mereka?" gumam Parmin. "Apa, Nak? Kamu ngomong apa?""Mak, aku selalu didatangi kumara merah. Bukan hanya satu, namun tiga.""Kumara Merah?" Emak terperanjat. " Apa mereka mengganggumu, Nak?""Mereka ada yang menjaga dan ada juga yang mengganggu. Namun, bagi Min, rasanya mereka semua mengusik ketenangan. Min pun tak ingin mereka mengganggu Kasih dan Emak.""Bagaimana wujud mereka

    Last Updated : 2022-04-18

Latest chapter

  • Teror Kumara Merah   13. Mimpi Sadar

    Ricky terdiam. Dia mengingat-ingat sosok penampakkan gadis di dalam sel penjara itu. Gadis Londo, bergaun putih. Tak ada yang dia ingat dengan jelas dari sosok yahg diduga hantu itu, kecuali wajahnya yang menakutkan. Eh, tapi tunggu dulu. Ia ingat, entah mengapa di antara bayangan hitam putih itu terlihat cahaya kehijauan keluar dari dadanya. Saat diperjelas ingatannya, Ricky tersentak kaget. Sosok itu mengenakan kalung dengan liontin yang mirip dengan yang digenggamnya. Ricky gemetar dan menjatuhkan kalung, dengan sigap Parmin menangkapnya."Ky!""Ah, untunglah, kalau tidak tertangkap mungkin bisa pecah," gumam Parmin. "Ma-maf, aku kaget.""Kau melihatnya juga, kan?""I-iyaa, aku melihat d-dia memakai kalung bercahaya hijau dan sangat mirip dengan liontin ini.""Nah, aku pun melihatnya. Entah kenapa sangat jelas terlihat. Seakan sebuah petunjuk untuk kita.""Apa hubungannya?""Pasti ada hubungannya. Aku yakin. Aku mendengar suara sosok itu memanggil namaku, tapi bukan Parmin.""Apa

  • Teror Kumara Merah   12. Rahasia Bunker Tua

    Pada akhirnya, Parmin hanya bisa berangkat berdua saja dengan Ricky karena temannya itu tak bisa, katanya sedang pergi ke kota Subang mengurus KTP di discukdapil. Parmin turun dari motor, Ricky menyimpan kendaraannya di halaman depan. Saat pertama menginjakkan kaki di sana suasana dingin dan sunyi menyambut kedatangan mereka. Rumah itu bergaya Belanda. Pondasi yang tinggi dari batu kali, dinding batu bata disemen. Kusen dan daun pintu terbuat dari kayu jati. Namun, karena waktu menjadi aus dan engselnya lepas di beberapa tempat. Ada beberapa ruangan di dalam. Satu ruang depan, dua kamar, kamar mandi, dan satu dapur. Saat mereka memasuki ruangan terlihat kusam dan kotor. Banyak cangkang kwaci, kacang, minuman doping, dan obat batuk sachet berserakan di sana. Botol-botol bir kalengan pun berserakan. Bahkan sebuah bungkus kondom tergeletak begitu saja. Parmin menggeleng-geleng. Dia sudah mengerti apa yang mereka lakukan di ruang kosong itu. Sepertinya, tempat itu sudah l

  • Teror Kumara Merah   11. Rumah Peninggalan Kolonial

    "Ada apa, Min?" Sesosok berpakaian putih menyembul dari balik pintu."Ah!" Parmin kembali terkejut. Rupanya itu emak yang masih memakai telekung. Kebiasaan emak, berkeliaran saat gelap dengan masih mengenakan alat shalatnya. "Kamu mimpi buruk, Nak? Perbanyak istigfar dan berdoa sebelum tidur," nasehat emak. "Astagfirullah al adzim," ujar Parmin lirih. Mengapa sih, mimpi itu datang lagi. Kini bercampur aduk dengan Kumara yang ingin mengikutinya dengan Kumara yang ingin menerornya. "Sebenarnya, apa hubunganku dengan mereka? Mengapa pula ia bisa melihat dan berhubungan dengan mereka?" gumam Parmin. "Apa, Nak? Kamu ngomong apa?""Mak, aku selalu didatangi kumara merah. Bukan hanya satu, namun tiga.""Kumara Merah?" Emak terperanjat. " Apa mereka mengganggumu, Nak?""Mereka ada yang menjaga dan ada juga yang mengganggu. Namun, bagi Min, rasanya mereka semua mengusik ketenangan. Min pun tak ingin mereka mengganggu Kasih dan Emak.""Bagaimana wujud mereka

  • Teror Kumara Merah   10. Uji Nyali

    Parmin terbangun dari tidurnya. Mimpi lagi, pikirnya. Bukan mimpi buruk seperti sebelumnya. Namun, mimpi yang aneh dan perasaannya segitu buruk. Seakan-akan dia melihat langsung kejadian dan memahami perasaan masing-masing penghuninya. "Sebenarnya perasaan apa ini?" batin Parmin memegangi dadanya. Seperti ada rasa sedih yang menyakitkan, ada rasa benci yang menyesakkan, ada rasa kecewa dan amarah yang sangat meluap-luap dan membuat tidak nyaman. Peristiwa di mimpi itu, meski tidak semua kejadian dan perkataan bisa diingat. Namun, Parmin bisa jelas mengingat ekspresi dan rasa yang berkecamuk dalam dada. Parmin melihat jam dinding. Tepat pukul dua pagi. Sayup suara emaknya mengaji terdengar di keheningan. Rupanya suara emak yang membangunkannya dari mimpi yang membuat dirinya sesak napas itu. Sampai menjelang pagi, Parmin tak bisa memejamkan mata kembali. Pada akhirnya, ia hanya duduk dan membuat coretan-coretan di sebuah buku tentang mimpinya. Semenjak kejadian di Wat

  • Teror Kumara Merah   12. Teror Kumara Merah 2

    Parmin, Kasih beserta dua teman mereka tidak langsung pulang selepas menerima penyerahan hadiah. Uang hadiah ditransfer ke rekening Parmin karena Kasih masih di bawah umur. Selama ini kalau transfer menggunakan rekening Ricky atau dulu melalui wesel pos. Untuk merayakan mereka berkeliling di kota Subang. Belanja pakaian untuk Kasih, Emak, bahkan dua temannya. Kasih pun memaksa kakaknya membeli baju baru yang lebih kekinian, katanya. "Menurut Kasih, Aa itu memiliki tampang yang seperti artis remaja Stefan Williams, loh," katanya. "Hanya saja gaya berpakaian dan rambut yang sederhana membuat Aa kayak wong ndeso." Mau tidak mau Parmin tergelak mendengar pujian yang diakhiri ejekan itu. "Stefan Williams itu siapa, sih?""Ih, Aa enggak gaul. Itu lho, pemeran utama Film anak langit. Yang bule itu. Cakep banget. Motornya juga keren.""Apa? Steffan Williams itu mirip Kang Parmin?Huekekekek! Kalau si mirip si Emen, sih, iya. " Ricky tertawa mengejek. "Seriusan, ih.

  • Teror Kumara Merah   11. Teror Kumara Merah 1

    Parmin berdiri dengan tubuh dan kaki yang gemetar. "A-adik saya Kasih, sa-saya akan menjemputnya, Pak!" ucapnya panik dan memburu pintu. "Tahan, dia!" perintah Kang Wisnu. Para kru pun mencegah Parmin dengan menahannya di depan pintu. "Kang Min!" Ricky yang kaget menyaksikan kejadian itu menghampiri dengan cemas. "Jangan bertindak gegabah. Tenang, jangan takut. semua sudah terkendali. Lihatlah, sudah tidak apa-apa. Adikmu baik-baik saja." Kang Wisnu menenangkan seraya menunjuk ke arah monitor. Di dalam layar terlihat Kasih yang tampak sudah ditenangkan oleh Penjelajah yang menemaninya. Lampu lilin pun berhasil dinyalakan kembali. Ketiga bayangan sinar merah yang tadi terlihat pun sudah menghilang. Namun, Parmin seakan-akan merasakan kemampuan dadakan melihat ke mana perginya sinar merah itu melesat. Semuanya terlihat dengan jelas di depan matanya, padahal mereka ada di dalam ruangan tertutup. Mata Parmin terbelalak. Sedang Kang Wisnu menatap tajam ke arah

  • Teror Kumara Merah   9. Anna van Sittard

    Di sebuah mansion khas Belanda yang megah terjadi kesibukan besar. Para babu dari pribumi bekerja dengan giat membersihkan rumah dan melayani tuan dan nyonya rumah. Sementara itu, Anna van Sittard, seorang noni besar keluarga berambut pirang bermata biru menghabiskan sarapan sepotong besar ontbijtkoek yang terbuat dari tepung gandum hitam dicampur rempah asli Hindia Belanda seperti jahe, madu, kayu manis dan cengkeh. Segelas teh manis menjadi penutupnya. Anna sangat menyukai hidangan paginya itu. William van Sittard, pappie dari Anna dan Betty, mammie-nya Anna. Mereka mengobrol banyak hal. Sesekali Papi Anna melemparkan guyonan-guyonan kecil pada Mami, perempuan pemilik senyum elegan. Sementara Anna, tersenyum manis, bahagia melihat kedua orang tuanya harmonis. "Anna, " panggil William. Pemilik mata biru biru jernih yang menurun pada putrinya. "Ya, Papi?" "Mulai hari ini, Papi akan berkantor di gedung adminstrasi Inggris. Hari ini sudah resmi menjadi mili

  • Teror Kumara Merah   8. Gadis Blonde di Hotel Tua

    Setelah berhari-hari, Parmin dan keluarga tenang tanpa merasa ada yang mengawasi. Tidur pun pulas tanpa mimpi buruk. Saat mengontak Ricky, tidak ada kejadian yang perlu dikhawatirkan. Parmin berpikir, mungkin selama ini karena dia terlalu merindukan kampung halaman dan keluarga hingga hidupnya tidak tenang. Hari ini Parmin akan membeli sepatu olahraga dan pakaian untuk adik dan emaknya. Namun, karena sepatunya jarang ada di toko kecil, Kasih memintanya berbelanja di Pasar Pujasera Subang. Sekalian jalan-jalan. Sisa uang penjualan warung kopinya, lebih dari cukup untuk membelikan kedua perempuan tersayangnya pakaian. Parmin diantar Ricky sampai ke jalan raya Kalijati. Dari sana mereka naik mobil angkot-- angkutan umum-- trayek Purwadadi- Kalijati-Subang. Parmin menatap Kasih yang duduk di kursi depan, tersenyum menatap pemandangan sepanjang jalan. Detik itu juga, Parmin merasa dirinya telah kehilangan banyak waktu yang berharga. Namun, dia masih bersyukur adiknya

  • Teror Kumara Merah   7. Siapa yang Mengawasi Kasih?

    Mata Parmin terbuka mendengar sayup-sayup suara Azan yang membangunkannya. Sementara itu, Ricky masih terlelap di kasurnya dengan sangat nyaman. Padahal, semalam tidurnya sangat gelisah sampai mengganggu Parmin beberapa kali, hingga akhirnya ia pindah tidur di lantai beralas tikar. "Sudah shalat, Min?" Emak menyambutnya di pintu dapur membawa ceret berisi air panas dan ubi cilembu panggang. Aroma wangi yang menguar terhidu penciuman Parmin. Terasa harum dan manis. Ubi Cilembu salah satu makanan khas Cilembu. Jika dipanggang dengan oven akan mengeluarkan cairan yang kental seperti madu. Parmin mencomotnya dan meraih segelas teh panas yang dihidangkan emak. Meski sudah sepuh, emak perempuan yang rajin. Sejak jam empat shubuh sudah berjibaku di dapur. Padahal parmin tahu sendiri emaknya selalu bangun untuk menunaikan shalat malam, mengaji quran dan membaca wiridan serta amalan tolak bala. Emaknya, sejak masih muda, sangat taat menunaikan ritual. "Ricky belum ban

DMCA.com Protection Status