Veronica menoleh. Dia membelalakkan matanya saat melihat Emma di belakangnya dan pintu studio musik terbuka.“Usaha yang bagus, Nak,” kata Emma. Suaranya dalam dan aneh. Tidak seperti suara Emma biasanya."Siapa kamu?" Veronika bertanya. Dia merinding dan sangat ketakutan.Emma mengerang. Wajahnya menjadi jelek dan ada beberapa bintik merah seperti darah kering."Aku Emma," kata Emma. Dia menyeringai lalu berlari mengejar Veronica. Larinya sangat cepat. Nyaris seperti terbang.Veronika berlari dengan sangat cepat juga. Emma mengejarnya. Tak mau menyerah, Veronica berlari semakin kencang. Namun, semakin cepat ia berlari, semakin cepat pula Emma mengikutinya. Usaha Veronica mempercepat langkahnya sepertinya sia-sia. Karena kelelahan dan kaki lemah, ia terjatuh saat berlari melewati halaman luas depan fakultas kedokteran. Saat itulah Emma meraih pergelangan kakinya."Mau kemana, Nak?" tanya Ema.teriak Veronika. "Jangan ganggu aku?" katanya, “pergi!”Emma tertawa keras dan melengking. “K
“Kamu nggak bisa ngelakuin hal sepele kayak gitu?!” kata Sabrina, “dia mendorong Veronica dengan tangan kanannya.“Maaf,” kata Veronica, “Aku gagal nyampurin obat pencahar ke dalam minumannya. Tapi pas aku pulang dari kampus aku ngajak dia ke studio musik. Aku ngunci dia dari dari luar. Tapi dia bisa keluar. Dia terus berubah jadi sosok yang menakutkan dan membuatku takut.""Kalo gitu pulang sana," kata Sabrina, "Aku nggak akan ngasih kamu apa-apa karena kamu gagal."***Emma duduk di tempat tidur di kamarnya. Dia memikirkan kejadian yang menimpanya sepulang dari kampus. Mengapa Veronica ingin menyakitinya? Apakah gadis itu benar-benar kaki tangan Sabrina?Kalau dipikir-pikir, Emma hampir tidak pernah mengenal satu pun mahasiswa tingkat akhir selain Sabrina dan kedua temannya. Itu karena mereka terlalu sering mengganggunya. Rasanya tidak mungkin tanpa alasan ada orang yang memusuhinya. Kecuali, Sabrina menyuruh Veronica untuk menyakitinya.Emma berhenti melamun ketika mendengar suara
Emma kemudian meraih kucing itu dan mengangkatnya. Dengan sekuat tenaga, dia lalu mencekik kucing itu. Kucing itu mengeong dengan keras. Seolah tak punya rasa kasihan, Emma kemudian mencakar kucing itu dengan kukunya yang panjang dan tajam. Dia tidak peduli jika Tony memintanya berhenti. Dia melepaskannya begitu saja dan melemparkan kucing itu ke tanah setelah kucing itu tidak bergerak lagi.Gara-gara ulah Emma, banyak pengunjung taman yang berteriak dan berlarian. Mereka panik dan ketakutan. Tak ingin suasana semakin riuh, Tony pun lalu mengajak Emma keluar dari taman. Dengan susah payah dia merangkul Emma karena gadis itu sempat berontak saat akan diajak pergi."Ayo pulang, Emma," ajak Tony. Ia terpaksa menarik tubuh Emma.Tony tahu apa yang terjadi pada Emma. Gadis itu sepertinya kerasukan lagi. Tak ingin Emma mengganggu konsentrasinya dalam mengemudi, Tony menempatkan gadis itu di kursi belakang. Tidak di sebelah kursi pengemudi. Dia berharap secepatnya Emma yang saat ini sedang
Jake secara refleks menoleh ke sumber suara. Rupanya ada Tony. Anak laki-laki itu memandangnya dan Sabrina dengan mata curiga.Jake lalu berjalan cepat menuju Tony. “Hei, Tony,” katanya sambil berhenti di depannya, “kita cuma ngobrol.”“Cuma ngobrol?” kata Tony, “Ethan dan aku mau pulang.” Tony kemudian berbalik. Setelah berjalan beberapa langkah, dia kemudian menoleh ke arah Jake, “berdoa aja biar Emma nggak tahu semua ini.”"Sial," kata Jake. Dia kemudian berjalan mengejar Tony.“Tony, Tunggu,” kata Jake saat langkahnya hampir mencapai ruangan yang digunakan untuk makan malam.Tony menghentikan langkahnya. Dia kemudian berbalik.“Apa yang kamu lihat tadi nggak kayak yang kamu bayangkan?” kata Jake, “kita cuma gobrol. Terus tiba-tiba Sabrina jalan ngedeketin aku. Tolong jangan jangan bilang apa-apa ke Emma. Akusuka banget sama dia.”Tony menarik napas dalam-dalam. “Kali ini aku percaya sama apa yang kamu bilang,” katanya, “ayo pulang.”***Sabrina, Desy dan Anne ada di kelas. Karen
Ann menunggu dengan tidak sabar reaksi Emma. Meski tampak fokus makan, diam-diam ia melirik ke arah Emma. Namun apa yang dia harapkan ternyata tidak seperti yang dia harapkan. Bukannya diracuni, Emma malah tampak bahagia.“Jusnya enak,” kata gadis itu, “jujur aja, aku belum pernah myoba jus melon sebelumnya. Favoritku jus apel dan stroberi."Ann tersenyum, berusaha untuk tidak terpengaruh oleh reaksi Emma yang tidak terduga. “Syukur deh kalo kamu suka,” katanya.***Emma masih baik-baik saja sampai kuliahnya berakhir dan dia pulang. Gadis itu hanya merasakan sesuatu yang aneh di malam hari. Kulitnya serak dan perutnya sakit. Dia pergi ke kamar mandi beberapa kali untuk buang air besar.Emma tidak mengatakan apa pun pada Lily. Ia tidak ingin ibunya khawatir, namun di luar dugaan, wanita itu datang ke kamarnya sekitar pukul delapan malam."Emma, kamu sudah lama tidak keluar kamar," kata Lily sambil menghentikan langkahnya di depan pintu. Ia sedikit terkejut saat melihat Emma terbari
Wajah Emma berubah buruk rupa. Mata, hidung dan mulutnya berkerut-kerut. Di wajahnya terdapat bercak-bercak merah seperti bekas darah kering.Perawat kemudian lari dari kamar. Dia terlihat sangat ketakutan. Sementara itu, sang dokter membelalakkan matanya saat melihat wajah Emma.“Sulit dipercaya,” kata dokter.“Lepaskan tanganku,” kata Emma. Suaranya berat dan mengerikan.Dokter melepaskan tangan Emma. "Apa yang terjadi dengannya?" dokter bertanya pada Robin. “Apa wajahnya sering berubah seperti itu?”“Kami bisa menjelaskannya kepadamu nanti,” kata Robin, “sekarang bisakah kami menenangkannya dulu?”“Oh, tentu,” kata dokter itu. Ia kemudian meninggalkan kamar Emma.Robin lalu menghampiri Emma. “Kendalikan dirimu, Emma,” katanya tanpa benar-benar melihat wajahnya yang mengerikan, “dokternya sudah pergi. Tidak ada yang akan mengganggumu lagi.”Emma kemudian tertawa. Tawanya keras dan melengking. Lambat laun, tubuhnya berhenti bergerak dan memberontak. Lambat laun bentuk wajahnya kembal
Emma menggigit gagak. Dia menjilat darahnya seperti orang menjilat sirup. Dia sepertinya sangat menikmatinya.Melihat keanehan tersebut, Robin lalu menghampiri Emma. “Emma lepaskan burung itu,” kata Robin, “kamu tidak boleh makan ini.”Emma mengerang. Matanya melotot. Dia sepertinya tidak suka diganggu. Dia kemudian terus menggigit burung itu dengan giginya yang tajam seperti taring.Lily mendekat. Dia juga berusaha mencegah Emma. “Emma, tolong hentikan,” katanya, “burung itu kotor. Kalau kamu mau makan unggas, Ibu akan memasakkan ayam untukmu besok.”Emma berhenti menggigit burung itu. Dia menatap Lily dengan tatapan tajam. "Memasak?" dia berkata. Dia kemudian tertawa, “Aku suka memakan langsung,” lanjutnya setelah tawanya mereda, “lebih segar dan lebih lezat.” Emma kemudian tertawa lagi.Robin menggelengkan kepalanya. “Ini tidak bisa ditoleransi,” katanya. Dia kemudian mencoba meraih burung yang ada di tangan Emma. Dia dengan paksa menarik burung itu pergi.Emma melawan. Dia mendo
“Kalian masih di sini?” Nona Linda bertanya.Mendengar hal itu Sabrina dan Anne secara reflek menoleh ke sumber suara. Sementara Desy menghela napas lega. Ia bersyukur pelatih balet itu tidak mendengar pembicaraan mereka."I...iya, Miss," kata Sabrina, "Kamu belum pulang?""Saya meninggalkan sesuatu di dalam," kata Nona Linda, "Saya masuk dulu."Sabrina mengangguk. "Apa kamu lama ngeliat dia berdiri di dekat pintu, Desy?" tanyanya.“Nggak juga,” jawab Desy, “semoga saja dia beneran nggak denger apa yang kita bicarain.”***Emma merasa sangat bosan di kelas. Dia kemudian memutuskan untuk keluar kamar dan mencari Tony. Setelah berjalan melewati beberapa ruang kelas, dia melihat teman dekatnya. Tony berada di lapangan bersama beberapa siswa. Anak itu sedang bermain bola.Tiba-tiba Emma ingin ikut bergabung. Ia berjalan menuju lapangan.“Kalo aku ingin gabung, ada yang keberatan nggak?” kata Emma setengah berteriak.Semua orang di lapangan berhenti bergerak dan menoleh ke arah Emma. Tak
Hari pertama menjalani kegiatan di kampus Emma merasa sangat tidak nyaman. Dia tidak mudah berkenalan dengan orang baru karena tidak semua orang bisa memahaminya. Akibatnya, Emma jadi sering menyendiri. Baik di kelas, perpustakaan atau di kantin, dia jarang terlihat berbaur dan mengobrol dengan mahasiswa lain. Keadaan itu membuat banyak mahasiswa di kampus yang menganggap Emma sombong. Sehingga akhirnya ada banyak mahasiswa di kampus yang membenci Emma. Banyak yang memusuhi Emma secara diam-diam. Tapi tak sedikit juga yang memusuhi Emma secara terang-terangan. Akibatnya, hampir setiap hari ada saja yang membuat Emma marah dan mengamuk karena selalu ada yang mengganggunya. Puncaknya adalah saat ada yang menganggu Emma saat gadis itu makan siang sendirian di kantin.“Sombong banget sih ke mana-mana sendiri terus,” kata seorang gadis berambut sebahu.“Mungkin dia ngerasa paling cantik kali di sekolah ini. Atau dia kayak gini biar banyak yang ngedeketin. Ala-ala misterius,” kata gadis y
Karena tak ada respon setelah mengetuk pintu beberapa kali, Anne memutuskan untuk menelepon Desy. Setelah panggilan keempat baru teleponnya direspon.“Ada apa, Anne?” tanya Desy dari seberang. Suaranya terdengar sangat pelan.“Kamu ada di rumah?” tanya Anne.“Iya,” sahut Desy.“Kok ...,” Anne menghentikan kalimatnya karena dia melihat seorang bapak-bapak keluar dari rumah Desy. Sebatas yang dia ingat, itu bukan Ayah Desy. Apakah orang itu kerabatnya Desy yang dia tidak kenal sebelumnya?“Kamu masuk aja,” kata Desy.Anne seketika memutuskan sambungan telepon dan masuk ke melewati pintu yang terbuka. Setelah menutup pintu, dia berjalan ke tengah bagian rumah. Tempat yang dia tuju tentu saja kamar Desy.Anne mengerutkan kening saat masuk ke kamar Desy dan melihat ranjang gadis itu berantakan. Dia takut terjadi apa-apa dengan Desy.“Desy, kamu di mana?” tanya Anne. Dia menghembuskan napas lega saat mendegar suara keran dari kamar mandi.“Orang laki-laki yang tadi keluar dari rumah kamu si
Tiga hari setelah demo terakhir dilakukan, kedua orang tua Emma dipanggil ke kampus. Mereka berdua diminta untuk bertemu dengan Bu Marta langsung di ruangannya. “Selamat pagi,” kata Tony sambil mengetuk pintu ruangan Bu Marta ketika langkahnya terhenti di depan ruangan kepala sekolah itu.Bu Marta menatap ke arah pintu. “Selamat pagi,” katanya, “silakan masuk.”Bu Marta mengambil napas dalam sebelum berbicara dengan Robin dan Lily. “Sebelumnya saya mewakili pihak sekolah ingin mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya,” kata Bu Marta.“Apa tidak bisa dinegosiasikan lagi, Bu?” tanya Robin, “kita semua sama-sama tahu kan kalau semua kekacauan yang Emma perbuat bukan murni keinginan Emma. Ada mahluk astral yang mengendalikannya.”Bu Marta mengangguk. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin menjelaskan kepada para orangtua mahasiswa itu. Tapi mereka tak ada yang mau peduli. Alasan mereka, mereka tidak mau kekacauan itu terulang terus. Mereka tidak mau kalau nanti anak mereka dan yang lainny
Orang tua Yosi dan Burhan kompak mengajak puluhan orang tua mahasiswa lain untuk melakukan demo ke kampus. Mereka semua menuntut agar Emma dikeluarkan karena tingkahnya yang sangat meresahkan. Mereka tak hanya melakukan demo sekali, tetapi sebanyak tiga kali dalam seminggu.Fakta itu tentu saja membuat pihak sekolah bimbang. Di satu sisi, mereka tidak bisa mengabaikan permintaan wali murid. Tapi, di sisi lain, mengeluarkan Emma dari kampu begitu saja juga bukan pilihan yang paling tepat. Bagaimana pun juga, Emma adalah salah satu mahasiswa yang cukup berprestasi. Mereka bahkan mempunya beberapa rencana untuk mengikuti lomba dalam kurun waktu beberapa bulan ke depan. Dan salah satu mahasiswa yang akan mereka ikutkan untuk lomba itu adalah Emma.Tak hanya pihak sekolah yang dibuat pusing oleh demo yang dilakukan para orang tua mahasiswa itu. Emma dan orang tuanya juga dibuat pusing. Yang paling tertekan dengan kedaan itu tentu saja Emma. Hampir setiap hari dia menangis karena lelah meng
Sabrina tak peduli jika pada akhirnya Desy muak dengan sikapnya dan gadis itu meninggalkannya. Dia tetap fokus pada niatnya untuk membuat Emma dikeluarkan dari sekolah. Maka dia mencari tahu dua mahasiswa yang kemarin menjadi korban amukan Emma di kantin. Dari informasi yang berhasil Sabrina himpun dari orang-orang suruhannya. Dia menemukan nama dan kelas dua mahasiswa itu. Bahkan Sabrina juga tahu alamat rumah mereka. Tapi sebelum memutuskan untuk mendatangi orang tua mereka di rumah mereka, Sabrina memutuskan untuk menghampiri mereka di kelasnya terlebih dahulu. Yang pertama Sabrina datangi adalah Yosi. Laki-laki berpostur jangkung itu tengah duduk di kursi yang ada di depan kelas ketika Sabrina datang. “Hei, gimana kabarnya?” kata Sabrina. Dia duduk di samping Yosi, “luka kamu yang kena amukan Emma kemarin masih sakit?” “Lumayan sih. Ada beberapa luka gosong kebiruan dan luka goresan karena kena lantai dan bangku kantin,” kata Yosi, “ini masih mendingan. Si Burhan malah hari ini
Emma pikir, Sabrina memang akan benar-benar berubah. Dia pikir gadis itu akan menepati janjinya. Tapi ternyata tidak. Pada akhirnya gadis itu berulang lagi. Entah disengaja atau tidak, saat berad di kantin, tiba-tiba saja Sabrina menjatuhkan minuman yang masih agak panas dari belakang. Cairan kopi itu mengenai punggung Emma, mengenai kemejanya dan tembus hingga ke kulitnya.Emma merasakan rasa skit dan panas doi punggungnya. Seharusnya dia pergi ke toilet. Dan memang sebenarnya dia berniat pergi ke toilet. Namun, Emosinya lebih dulu meledak. Seperti biasa, mahluk astral itu menguasainya lagi. Membuatnya lepas kendali.Sadar berhasil memancing Emma, Sabrina pun tersenyum-senyum. Tetapi sebisa mungkin dia berusaha meminta maaf agar segalanya tak terlihat mencolok.“Maaf ya, Emma,” katanya kepada Emma.Emma tak menyahut. Dia mengerang dan mencengkeram pergelangan tangan Sabrina. Matanya melotot dan bola matanya berputar-putar. Dia mengerang. Lalu kuku-kukunya yang panjang mencakar kulit
Emma masuk kuliah lagi, tiga hari dari hari pertama dia di rumah sakit. Sebelum masuk ke dalam kelas, Ethan dan Jake menyambutnya di ambang pintu. Mereka mengulurkan tangan dan agak sedikit membungkuk seperti mempersilakan otang penting. Emma tersenyum melihatnya.“Kalian ini kayak aku siapa saja,” kata Emma.Baru duduk sebentar, Tony lalu berdiri lagi. Dia lalu mengajak Ethan dan Jake keluar kelas.“Aku nggak diajak nih?” tanya Emma.“Aku mau ngobrol sebentar sama mereka,” kata Tony. Dia lalu tersenyum, “ini urusan laki-laki.”Emma menghembuskan napas kasar. “Males banget deh kalo bawa-bawa gender,” katanya.“Bentar doang kok,” kata Tony.Tony, Ethan dan Jake lalu berjalan keluar kela. Mereka menghentikan langkahnya di taman. Tony lalu memilih bangku yang ada di sudut taman untuk duduk. Tempat itu lumayan jah dari jangkauan orang-orang karena kanan dan kirinya adalah barisan tembok ruang dekan.“Kamu ngapain sih ngajak kita ke sini?” tanya Jake setelah dia duduk.“Aku mau ngomong ser
Saat Sabrina masuk, Jake sedang mengobrol dengan Emma. Laki-laki itu berdiri di dekat ranjang sambil agak membungkuk, mendengarkan suara Emma yang mungkin masih terdengar pelan. Dia membelakangi Sabrina. Di sampingnya ada Ethan. Sementara itu, Tony berdiri di sisi ranjang yang lain sehingga dia menjadi orang yang lebih dulu mengetahui kehadiran Sabrina.Karena menyadari arah pandang Tony, Jake akhirnya menoleh.“S ... sore semua,” kata Sabrina.Tony tak menyahut. Emma juga. Yang menyahut adalah Jake. “Sore,” ujarnya pelan. Dia lalu menghadap Emma lagi.“Emma sakit apa? Habis jatuh kah?” tanya Sabrina karena dia melihat ada bekas jahitan di kening Emma sebelah kanan.“Iya,” sahut Sabrina pelan.“Sekarang udah mendingan apa masih sakit?” tanya Sabrina.“Udah mendingan kok,” sahut Emma.“Maaf ya, aku nggak sempet beliin apa-apa,” kata Sabrina.“Nggak apa-apa,” sahut Emma.Sejujurnya, Emma tidak yakin Sabrina tulus. Dia sebenarnya malas menanggapi gadis itu. Rasanya mustahil seorang Sabri
Saat jam istirahat siang, Jake dan Ethan kelimpungan mencari Tony dan Emma di kelasnya. Mereka bertanya-tanya ke mana perginya dua orang itu. Jake yang paling penasaran. Tentu saja. Setelah duduk di meja kantin, Jake lalu menelfon Emma. Karena tak ada tanggapan dari gadis itu, dia lalu menelfon Tony. “Aku yakin sih ini mereka pasti pergi berdua,” kata Jake selagi menunggu panggilannya mendapat respon dari Tony. “Kayaknya sih,” sahut Ethan sambil menyendok basonya. “Kamu bolos bareng Emma ya?” kata Jake setelah mendengar suara Tony dari seberang. “Bolos ... bolos kepalamu? Aku lagi jenguk Emma di rumah sakit,” sahut Tony. “Rumah sakit?” ulang Tony, “Emangnya Emma sakit apa?” “Ceritanya panjang. Entar juga kamu tahu sendiri kalo ke rumah sakit,” sahut Tony. “Di rumah sakit mana?” tanya Jake. “Biasa. Yang deket sama rumah Emma,” sahut Tony. “Siapa yang sakit?” tanya Ethan setelah Jake meletakan ponselnya di atas meja. “Emma,” jawab Jake. “Sakit apa?” sahut Ethan. Dia membelala