Aluna tiba di sebuah bar dan memasukinya tanpa ragu, wanita itu lalu memesan sebuah wine yang langsung ia teguk dengan nikmatnya. Setelah dua kenyataan yang ia hadapi dengan kerapuhan, kini Elisa seperti kembali pada dunia yang dulu pernah ia tinggalkan demi menyusun rumah tangga bersama Bima. Namun, semua pengorbanan yang dilakukan oleh Elisa rupanya harus berhenti sampai di pernikahan yang baru saja menginjak usia empat tahun, wanita itu menangis, namun terkadang ia tertawa menyikapi kisahnya yang tak ia sangka akan seperti ini. Degup musik terdengar begitu kenceng dan nyaring, sesekali wanita itu menggelengkan kepala ikut menikmati irama yang ada. "Aku benar-benar nggak nyangka mas, ternyata kamu setega ini sama aku, apa si salah aku sama kamu mas, kamu minta aku untuk meninggalkan semua perbuatan burukku di masa lalu, dan merubah diriku seperti yang kamu inginkan, menjadi wanita rumahan dengan segala aktifitasnya. Tapi apa, kamu justru mencari kesenangan di luar rumah dengan
Langkah kaki Elisa hampir tiba di depan pintu utama, setelah semalaman ia memutuskan untuk tidak pulang, kini ia kembali dengan perasaan yang sedang jauh lebih tenang dari sebelumnya. Saat pintu terbuka Elisa menelan saliva dengan kasar, matanya tertuju pada ruang tamu, di mana ia melihat ada dua manusia yang sedang bercengkrama dengan mesra. Dengan penuh emosi, Elisa menghampiri mereka, Margaret dan Bima pun seketika menatap ke arah Elisa yang kini sudah ada di hadapan mereka. "Apa-apaan ini!" celetuk wanita itu menahan diri. "Sayang, kamu udah pulang rupanya, Mama pikir hari ini kamu nggak pulang lagi, Mama ke sini karena Bima ngasih tau kalau kamu nggak pulang, dan dia kelaparan karena nggak ada yang masakin," ucap Margaret tanpa merasa bersalah sedikit pun. "Oh ya, jadi hanya sebatas itu artinya aku di mata kamu, Mas," runtuk Elisa menatap Bima marah. "Elisa, ayolah, kenapa si kamu nggak berdamai aja sama keadaan. Apa kamu berharap kalau aku akan kebingungan mencari k
Membuka pintu mobil, berlari menghampiri Elisa yang terduduk seorang diri. Menyadari Hendy sudah datang, dengan cepat Elisa menghapus air matanya yang jatuh tak terkendali. "Tidak perlu di hapus, dan tidak perlu kamu menyembunyikan kalau saat ini kamu sedang bersedih. Elisa, yang sabar ya," ucap Hendy menatap wajah ayu Elisa dengan tatapan sejuknya. Membuat Elisa bertambah sedih dan tak mampu membendung air matanya, sehingga wanita itu kini kembali menangis di hadapan Hendy. Namun bukannya meminta Elisa untuk berhenti, Hendy justru meminta Elisa menangis sejadi-jadinya hingga wanita itu merasa cukup lega, dan Hendy masih tetap menemani sampai akhirnya Elisa sendiri yang memutuskan untuk berhenti. "Aku lelah," ucap Elisa lirih. "Kalau begitu, istirahat. Ayo, aku akan antar kamu ke kontrakan kamu," sahut Hendy menanggapi. "Tunggu Hen, kontrakannya nggak mewah-mewah kan? Yang masih terjangkau untuk aku bayar, karena aku keluar dari rumah mas Bima sama sekali nggak bawa
Elisa berdiri di depan cermin yang ada di kamarnya, wanita itu sudah memakai pakaian kantoran yang ia beli semalam bersama Hendy, ia mengikat satu rambutnya dengan make up tipis yang tidak terlalu mencolok. Sempat ragu, namun wanita itu terlihat meyakinkan diri sendiri dengan tekat yang ia bulatkan, menghembuskan nafas pelan dan mengangkat dagunya, wanita tersebut juga meraih ijazah yang ia simpan selama ini, sebagai modal pertamanya melangkah. "Bismillah, kuawali hari ini dengan memasrahkan semuanya padamu Ya Allah, aku sudah kehilangan putriku, aku juga kehilangan sosok mama, dan sekarang aku harus merelakan suamiku, tidak ada lagi harapan yang bisa aku pertahankan selain hidupku sendiri, tolong kuatkan langkah kakiku, aku tidak mau terpuruk dan rapuh hanya karena ujian ini." lirih Elisa berusaha memasrahkan diri. Mengulas senyum, lalu memutar tubuhnya dan keluar dari kamar. Ojek online yang ia pesan sudah datang, ia harus tiba di kantor tepat waktu, karena ia tak ingin jik
Telpon berdering beberapa kali, membuat Margaret merasa kesal lantaran Joylein selalu saja menjadi pengganggu saat dimana dirinya sedang membutuhkan Bima. "Nggak usah diangkat!" perintah wanita itu dengan nada tinggi. "Kenapa Ma, aku harus angkat dulu telpon dari Joylien, dia nyari aku pasti karna aku gak masuk kerja beberapa hari ini," ucap Bima yang hendak bangkit dari tempat tidur. "Bima, meskipun kamu tidak mendapatkan pemasukan dari wanita itu, tapi kamu dapat pemasukan dari Mama! Sama saja kan, itu," celetuk Margaret kesal. "Iya aku tahu, tapi Joylien perlu tahu kenapa aku nggk masuk kerja beberapa hari ini." sergah Bima masih saja dengan pendiriannya. Margaret menghela nafas berat, rasanya ia sangat kesal ketika perintahnya sama sekali tidak didengar oleh Bima, tatapan mata wanita itu berpaling ketika Bima mulai meraih benda pipih miliknya dan pergi setelah telepon itu terhubung. Joylien nampak mencaci Bima lewat sambungan telpon, lantaran sudah beberapa hari
"Joylien!" Suara Angga memecah gendang telinga, pria itu nampak tidak sabar menunggu kedatangan sang istri untuk melayaninya, sehingga ia memilih mencari dan akhirnya menemukan Joylien di dapur. Dengan kasar Angga menarik rambut istrinya sehingga` membuat waita itu mendngak ke atas dan menahan skit "Auuw, Mas ... sakit," rintih wanita itu menahan pergelangan tangan Angga. "Sakit kamu bilang! Ini akibatnya kalau kamu nggak pasang telinga, aku sejak tadi sudah berteriak memanggil kamu, tapi kamu sama sekali tidak mendengar, kamu sengaja agak aku marah kan sama kamu, kamu rindu kan dengan siksaa ini" ucap pria gila itu yang terus menarik rambut Joyien tanpa henti. "Nggak Mas, aku nggak sengaja, kamu liat sendiri kan kalau aku lagi masa, tolong Mas, jangan siksa aku seperti ini." Joylien memasang wajah melas berharap jika suaminya itu bisa melepaskan dirinya. Karena melihat di sekelilng jika saat itu Joylien memang sedang menyiapkan makanan, akhirnya ia pun berusaha meredam ama
"Oh, jadi kamu memilih duduk di sini daripada menemani aku makan di dalam tadi," hardik Angga mengeratkan gigi gerahamnya dengan kuat. Pria itu menarik paksa pergelangan tangan Joylien hendak membawanya masuk ke mobil. "Auww Mas, sakit!" pekik wanita itu berusaha berlepas diri. Membuat Angga terlihat semakin geram, lantaran suara keras Joylien yang mengeluh sakit cukup kuat, sehingga orang-orang yang ada di sekitar nampak memperhatikan mereka berdua termasuk Bima, dari kejauhan pria itu sudah sangat geram, lantaran melihat selingkuhannya itu disakiti oleh pasangannya sendiri. Namun karena sudah mendapatkan perintah dari Joylien untuk tidak melakukan apapun, membuat Bima akhirnya tetap diam di tempat duduknya, menahan emosi dan rasa kesal yang ada di hatinya. "Pulang, atau aku akan membuatmu lebih sakit dari ini," bisik pria itu dengan tatapan menghunus tajam. "Ya, aku pulang kok, tapi jangan kayak gini dong Mas, sakit," ucap Joylien enggan jika suaminya itu memperlakuka
Elisa kembali ke kantor dengan perasaan yang tidak karuan, pertemuan tak sengaja dengan Bima membuat moodnya tiba-tiba berantakan. Ia sampai tidak sadar jika saat ini ada seorang pria yang sedang memperhatikan raut wajahnya yang ayu itu. Pria itu adalah Hendy, ia datang berniat untuk mengajak makan siang bersama, namun yang ia temui justru terlihat begitu banyak pikiran. Sampai tidak menyadari bahwa di ruangannya ada tamu. "Ehem!" Suara deheman akhirnya menyadarkan Elisa yang saat itu tengah menatap ke arah jendela dengan tatapan kosong, wanita itu mengulas senyum, setelah mengetahui jika Hendy sast ini sudah ada di hadapannya. "Hen, kamu dari tadi di sini?" tanya wanita itu. "Kurang lebih hampir lima menitan si, nggak dari tadi banget," ucap Hendy mengulas senyum. "Ada apa? Apa kita punya kerjaan hari ini?" tanya Elisa kembali. "Nggak ada, aku ke sini mau ngajak kamu makan siang, kamu belum makan, kan?!" tandas pria itu menatap Elisa dalam. Elisa yang menggeleng
Elisa melangkah dengan semangat baru, di mana ia memberikan senyuman terbaiknya saat memasuki wilayah kantor, dengan memakai dress berwarna hitam, dan hills berwarna senada ia pun dengan percaya diri mengayunkan kedua kakinya. Tak hanya karyawan, bahkan Elisa membagikan senyumannya pada semua pekerja di kantor itu, mulai OB dan OG yang ia temui di jalanan menuju ruangannya, beberapa menit sudah berlalu, kini wanita tersebut membuka pintu ruangan setelah menoleh ke ruangan Hendy, namun rupanya pria itu belum datang. "Salamat pagi, semoga hari ini tetap semangat sampai sore." Begitu lah cara Elisa membahagiakan diri, mengucapkan kalimat positif saat ia memasuki ruangannya, tak lama setelah itu ia pun menutup kembali pintu dan berjalan menuju tempat duduk. Saat tiba di sana, Elisa dikejutkan dengan kehadiran setangkai bunga mawar yang masih segar, menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu mulai ingat jika dirinya sedang berada di ruangan sendiri. "Eh, ini bunga siapa, kok ada di m
"Elisa, tunggu!"Sebuah suara menghentikan langkah kaki Elisa yang sengaja pergi dari tempat itu, karena ia mengenali suara yang memanggilnya beberapa detik yang lalu, akhirnya ia pun memutar tubuh lalu berhadapan langsung dengan Bima. Sebuah senyuman diberikan oleh Bima pada saat melihat wajah cantik Elisa yang telah berubah, wanita tersebut nampak sangat terurus setelah mereka resmi berpisah. "Ada apa Mas?" tanya Elisa menegur Bima yang terpaku dalam diam. "Emm, Elisa ... Kamu apa kabar? Lama kita tidak berjumpa," sapa Bima mengulas senyum salah tingkah. "Kabarku baik." jawab Elisa singkat. Bima yang tak mendapatkan senyuman penuh cinta seperti yang selalu Elisa berikan dulu, membuat pria itu menyadari jika wanita yang kini berada di hadapannya sudah bukan Elisa yang ia kenal, hingga membuatnya terlihat bingung akan membuka pembicaraan seperti apa. Meskipun tak dapat dipungkiri jika sebenarnya Bima sangat merindukan Elisa. "Emm, Elisa, sekarang kamu tinggal di mana?" tanya Bim
"Sayang, lebih baik sekarang kamu ke kantornya Hendy, bawa makan siang kek, atau segelas kopi, Mama pikir dia akan senang dan kebiakanmu akan terkesan di hatinya," usul Karin, wanita itu tidak hanya sudah jatuh hati pada Hendy, tetapi ada niat lain yang terselubung di hatinya. "Emangnya nggak papa ya Ma, seorang perempuan mendatangi laki-laki? Kayaknya kurang pantas, Ma," ucap Dewi yang merasa keberatan. "Sayang, kesempatan emas seperti ini jangan dilewatkan, nggak perlu takut atau gengsi, lagi pula keluarga Hendy itu udah seneng banget sama kamu, tinggal kamu taklukin hatinya Hendy," sahut Karin meyakinkan. "Ya udah, aku harus bawa apa, Ma." jawab wanita itu akhirnya setuju. Senyum pun terpancar, dengan semangat Karin mengajak Dewi pergi ke dapur, lalu mengajaknya untuk mengolah beberapa menu masakan yang akan ia bawa ke kantor, dan setelah selesai, Karin pun meminta Dewi untuk berdandan. Hampir menghabiskan waktu satu jam, kini Dewi sudah berpenampilan sangat cantik d
"Untuk apa aku bersedih Hen, semua sudah hancur, kehilangan suami tidak sebanding dengan kehilangan seorang anak, aku bisa melewati masa sulit di saat aku kehilangan anakku, dan sekarang aku yakin, jika aku juga pasti akan bisa melewati masa sulit saat kehilangan suami," ucap wanita itu dengan tegarnya. "Kamu memang hebat Elisa, tidak salah Tuhan memilihmu untuk menerima ujian seperti, karena Tuhan tahu, kau sangat kuat dan berhati besar." tandas Hendy memberikan pujian. Elisa hanya mengulas senyum kecil kala mendengar segelintir pujian yang diucapkan tulus dari Hendy, seorang pria yang sudah menemaninya sejauh ini. Tanpa pamrih dan tanpa mengharap imbalan apapun. Wanita itu kini meminta Hendy untuk mengantarkannya ke rumah, ia ingin istirahat setelah melewati hari-hari yang cukup panjang nan melelahkan itu. ***Tibanya di rumah, Hendy sama sekali tidak menyadari jika di rumah mewah milik kedua orang tuanya itu sudah hadir seorang tamu yang sejak tadi menunggu kedatangannya, d
Langkah kaki Bima kini tiba di rumah yang selama ini ia banggakan, di mana dulu ia yakin bahwa rumah itu akan mengantarkan kebahagiaan baginya pada pernikahannya dengan Elisa. Sampai ia lupa bahwa wanita yang ia nikahi tiga tahun yang lalu bukan lah wanita yang menggila akan harta dan kemewahan. "Bima, dari mana saja kamu?" Tiba-tiba sebuah pertanyaan menghentikan langkah kaki pria itu, menoleh ke belakang dan menyadari siapa yang telah menegurnya, siapa lagi kalau bukan Margaret. "Aku sedang mencari keberadaan Elisa Ma, dan aku berhasil menemukan dia tadi," ucap Bima mengulas senyum, pria itu bahkan lupa bahwa saat ini ia sedang berbicara dengan siapa. "Oh ya, lalu apa katanya?" tanya Margaret basa basi. "Aku ingin mengajaknya Elisa pulang, tapi Elisa tidak mau, aku juga sebenarnya ingin tahu di mana tempat tinggalnya, tapi Elisa juga menyembunyikannya dariku, bahkan Elisa bilang kalau dia sudah mengajukan gugatan cerai ke pengadilan." papar Bima merasa sangat kecewa.
Elisa kembali ke kantor dengan perasaan yang tidak karuan, pertemuan tak sengaja dengan Bima membuat moodnya tiba-tiba berantakan. Ia sampai tidak sadar jika saat ini ada seorang pria yang sedang memperhatikan raut wajahnya yang ayu itu. Pria itu adalah Hendy, ia datang berniat untuk mengajak makan siang bersama, namun yang ia temui justru terlihat begitu banyak pikiran. Sampai tidak menyadari bahwa di ruangannya ada tamu. "Ehem!" Suara deheman akhirnya menyadarkan Elisa yang saat itu tengah menatap ke arah jendela dengan tatapan kosong, wanita itu mengulas senyum, setelah mengetahui jika Hendy sast ini sudah ada di hadapannya. "Hen, kamu dari tadi di sini?" tanya wanita itu. "Kurang lebih hampir lima menitan si, nggak dari tadi banget," ucap Hendy mengulas senyum. "Ada apa? Apa kita punya kerjaan hari ini?" tanya Elisa kembali. "Nggak ada, aku ke sini mau ngajak kamu makan siang, kamu belum makan, kan?!" tandas pria itu menatap Elisa dalam. Elisa yang menggeleng
"Oh, jadi kamu memilih duduk di sini daripada menemani aku makan di dalam tadi," hardik Angga mengeratkan gigi gerahamnya dengan kuat. Pria itu menarik paksa pergelangan tangan Joylien hendak membawanya masuk ke mobil. "Auww Mas, sakit!" pekik wanita itu berusaha berlepas diri. Membuat Angga terlihat semakin geram, lantaran suara keras Joylien yang mengeluh sakit cukup kuat, sehingga orang-orang yang ada di sekitar nampak memperhatikan mereka berdua termasuk Bima, dari kejauhan pria itu sudah sangat geram, lantaran melihat selingkuhannya itu disakiti oleh pasangannya sendiri. Namun karena sudah mendapatkan perintah dari Joylien untuk tidak melakukan apapun, membuat Bima akhirnya tetap diam di tempat duduknya, menahan emosi dan rasa kesal yang ada di hatinya. "Pulang, atau aku akan membuatmu lebih sakit dari ini," bisik pria itu dengan tatapan menghunus tajam. "Ya, aku pulang kok, tapi jangan kayak gini dong Mas, sakit," ucap Joylien enggan jika suaminya itu memperlakuka
"Joylien!" Suara Angga memecah gendang telinga, pria itu nampak tidak sabar menunggu kedatangan sang istri untuk melayaninya, sehingga ia memilih mencari dan akhirnya menemukan Joylien di dapur. Dengan kasar Angga menarik rambut istrinya sehingga` membuat waita itu mendngak ke atas dan menahan skit "Auuw, Mas ... sakit," rintih wanita itu menahan pergelangan tangan Angga. "Sakit kamu bilang! Ini akibatnya kalau kamu nggak pasang telinga, aku sejak tadi sudah berteriak memanggil kamu, tapi kamu sama sekali tidak mendengar, kamu sengaja agak aku marah kan sama kamu, kamu rindu kan dengan siksaa ini" ucap pria gila itu yang terus menarik rambut Joyien tanpa henti. "Nggak Mas, aku nggak sengaja, kamu liat sendiri kan kalau aku lagi masa, tolong Mas, jangan siksa aku seperti ini." Joylien memasang wajah melas berharap jika suaminya itu bisa melepaskan dirinya. Karena melihat di sekelilng jika saat itu Joylien memang sedang menyiapkan makanan, akhirnya ia pun berusaha meredam ama
Telpon berdering beberapa kali, membuat Margaret merasa kesal lantaran Joylein selalu saja menjadi pengganggu saat dimana dirinya sedang membutuhkan Bima. "Nggak usah diangkat!" perintah wanita itu dengan nada tinggi. "Kenapa Ma, aku harus angkat dulu telpon dari Joylien, dia nyari aku pasti karna aku gak masuk kerja beberapa hari ini," ucap Bima yang hendak bangkit dari tempat tidur. "Bima, meskipun kamu tidak mendapatkan pemasukan dari wanita itu, tapi kamu dapat pemasukan dari Mama! Sama saja kan, itu," celetuk Margaret kesal. "Iya aku tahu, tapi Joylien perlu tahu kenapa aku nggk masuk kerja beberapa hari ini." sergah Bima masih saja dengan pendiriannya. Margaret menghela nafas berat, rasanya ia sangat kesal ketika perintahnya sama sekali tidak didengar oleh Bima, tatapan mata wanita itu berpaling ketika Bima mulai meraih benda pipih miliknya dan pergi setelah telepon itu terhubung. Joylien nampak mencaci Bima lewat sambungan telpon, lantaran sudah beberapa hari