“Tu-tunggu-- Ah!” Lagi, Elara mendesah spontan saat Arion bergerak dengan lebih agresif dan membuat Elara nyaris kehilangan keseimbangan.Lututnya sudah terasa seperti jeli. Kedua tungkai kakinya pun mendadak kehilangan kekuatan.Tubuh Elara merosot, namun kedua lengan kokoh Arion menahan tubuh gadis itu.Arion melepas cumbuannya di leher Elara dan membungkuk.Dengan sekali entakan, tubuh gadis itu berada dalam gendongannya.“A--rion…” Napas Elara tersendat.Ia bisa merasakan gerah menyerbu setiap lipatan tubuhnya dan rasa hangat yang asing menjalari setiap persendiannya.Ia ingin memberontak, melawan, menahan, memprotes --apapun itu, untuk menghentikan Arion dari membuatnya mabuk.Ia harus tetap dalam keadaan sadar.Mereka belum bicara. Dia belum menginterogasi pria ini.Bagaimana…Bagaimana bisa Elara justru pasrah dan membiarkannya begitu saja?Ia harus melawan ‘arus hangat cenderung panas’ yang menyesatkan ini!“He-hentikan Mi-mister Arion…”Itu dimaksudkan menjadi kalimat peringat
Pintu besar berlapis baja itu, terbuka.Arion masuk ke dalamnya diikuti empat orang berwajah sangar dengan senjata di tangan mereka.Sumber pencahayaan dalam ruangan hanya berasal dari enam lampu temaram --lampu pijar yang sebenarnya sudah dilarang di seluruh Amerika, yang di pasang di enam titik dinding ruangan itu.Terdapat lima orang berpakaian gelap dengan masing-masing senjata di tangannya --serta Max yang langsung mengangguk memberi salam hormat pada Arion.Pria berwajah tampan namun dingin itu mematrikan tatapan ke arah seseorang yang duduk terikat oleh lakban yang mengelilingi tubuh dan tangan ke belakang. Begitu pula dengan kaki dan tak luput, mulutnya pun tertutup lakban.Langkah kaki Arion terhenti di depan seseorang tersebut tanpa melepas tatapannya yang berkilat tajam.Max yang sejak tadi sudah ada di dalam ruangan, segera melangkah --mendekat pada sosok yang terikat di kursi, dan langsung membuka lakban yang menutupi mulutnya dengan kasar.“Shit! Fuck you all! Mengapa kal
Elara mengesah dan mengembus napas --entah ke berapa kalinya.Kepalanya juga sudah mendongak dan melirik jam duduk serta susunan angka yang ada dalam layar ponselnya.Sama. Mereka menunjukkan angka yang sama. Jam 00:57 am.Sudah lewat tengah malam, namun belum ada kabar ataupun tanda-tanda Arion akan segera pulang.“Apa yang kulakukan?” Elara menggigit bibir bawahnya. “Apakah aku menunggu pria itu?”“Ya! Aku menunggunya! Ah, payah kau Elara Willow!” Gadis itu kemudian bangkit dari duduknya di atas sofa.“Tidak, aku normal kan? Yang kutunggu adalah suamiku sendiri. Itu pantas,” gumam Elara sambil menyugar rambut sisi kanan.Sesaat ia memandangi lantai ruang tengah yang masih dipenuhi kuntum mawar merah. Ia telah mematikan semua nyala lilin --khawatir terjadi hal yang membahayakan unit apartemen ini dan juga dirinya.Di luar kekhawatiran tersebut, Elara dapat melihat ‘hal manis’ dalam diri Arion, pria dingin yang tanpa aturan itu.Ia dilanda dilema.Sebelum menginjakkan kaki ke dalam un
“Itu masalahku, Lenora. Kupikir kau tidak perlu mencampurinya,” Arion menjawab setelah ia terdiam sepersekian detik.‘Tapi Arion, ini sudah terlalu lama.’ Suara di seberang sana tidak berputus asa. ‘Aku terpikir untuk mengundang mereka makan malam. Kapan kau bisa datang?’Arion mengeratkan pegangannya pada ponsel. “Aku sibuk.”‘Aku tahu kau sibuk, Arion. Tapi setidaknya luangkan waktu untuk pertemuan dua keluarga. Ini bukan masalah keluarga Goldwin saja, tapi keluarga kita juga akan terlihat buruk di hadapan publik.’“Lenora, aku--”‘Lakukanlah setidaknya satu kali saja. Kita makan malam dengan keluarga Goldwin. Mereka akan melihat bahwa kita masih memiliki rasa tanggung jawab.’ Lenora langsung memutus apapun penolakan Arion dan membuat pria itu merasa bersalah jika menolaknya.‘Setelah makan malam itu, kau boleh sibuk lagi. Oke?’ bujuk Lenora.
Elara terbangun dengan kaget.Kedua matanya terbuka dan merasakan satu bobot yang menekan pinggangnya. Ia melirik ke bawah.“A-apa--” Ia menahan mulutnya dari memekik.Satu tangan kekar dengan bulu halus yang maskulin terlihat melingkari perut gadis itu, membuat kedua kelopak mata Elara kian tertarik ke atas.Pupil matanya membesar karena terkejut.Kepalanya segera menoleh ke belakang dan mendapati seraut wajah tampan yang memukau, tengah terpejam dan tertidur dengan sangat pulas.“A-Arion…” desis Elara. Pria itu masih berposisi menyamping, memeluk Elara dari belakang.Kemeja pria itu masih sama dengan yang dikenakan semalam. Hanya saja, posisi lengan kemeja telah tergulung hingga siku, sehingga Elara bisa menyaksikan betapa kokoh dan jantannya lengan pria itu dengan salur urat yang begitu gagah.Kedua mata gadis itu mengerjap --mengusir pikiran aneh yang mulai hendak singgah.“Kapan ia pulang? Di mana ini?” Elara memindai sekitar dan baru menyadari dirinya berada di dalam kamar pria
Masih di hari yang sama.Itu menjelang petang saat Elara dan Jeanne menuju satu restoran di perbatasan San Francisco.Dua jam lalu, Jeanne baru saja mendapat panggilan dari pihak restoran tersebut, setelah sejak satu bulan lalu ia mengirimkan lamarannya ke sana.“Bukankah ini aneh?” Elara berdecak. “Kau seharusnya melamar posisi yang masih sesuai dengan jurusan atau gelarmu. Mungkin di bagian manajerial? Tapi kau malah melamar di bagian dapur. Apa itu masuk akal?”Omelan Elara bukan menjadi hal aneh dan mengagetkan di telinga Jeanne.Itu sudah bisa ditebak oleh sahabat Elara tersebut. Karenanya, Jeanne tutup mulut saat meminta Elara menemaninya datang ke restoran dan baru mengatakan posisi yang ia ambil, setelah mereka tiba di pelataran parkir.Jeanne benar-benar membiarkan Elara berpikir bahwa dirinya melamar untuk posisi marketing ataupun sekretaris.Dan jawaban ringan Jeanne, membuat Elara kian meradang karena kesal.“Kelak aku akan menjadi seorang istri. Karena itu, bekerja di bag
Tidak mudah.Sungguh tidak mudah.Mendengar apa yang Elara dengar, dengan telinganya sendiri. Melihat dengan matanya sendiri. Kalimat itu benar keluar dari pria itu.Pria bermanik kelabu yang kejam dan tak berperikemanusiaan --namun juga hangat dan mulai membuat diri Elara nyaman, dan kini ternyata semua itu adalah palsu.Semua hanya permainan pria itu.Ada satu sudut hati yang menyesali, mengapa ia harus menoleh ke arah ruangan itu dan tanpa sengaja melihat sosok yang sangat ia kenali itu --di dalam sana.Entah berbicara dengan siapa --Elara tidak mengenal lawan bicara Arion, karena lelaki itu duduk membelakangi.Namun ia merasa suara itu cukup familiar.Tapi….Apa gunanya?Semua penyesalan dan pikiran-pikiran itu.Apa gunanya?Elara hanya serupa mainan yang sedang disukai pria itu.Tentu saja.Memang dirinya siapa?Bahkan bagi pria yang tanpa pekerjaan tetap seperti Ario
Elara bergerak aktif --sangat aktif malah. Seperti menyibukkan diri dengan mondar mandir kesana kemari.Mengambil piring, cangkir, meletakkannya. Lalu beredar lagi, seperti ada yang terlupa dan bahkan menuju laci kitchen set, membukanya, namun tidak mengambil apa-apa dari sana.Arion bergeming dengan kening mengernyit. Tapi ia tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya memandangi dalam diam semua yang dilakukan gadis itu.Rambutnya yang diikat di belakang, bergoyang cepat. Menandakan si pemilik tubuh menggerakkan badannya dengan berlebih.“Ada apa denganmu?” Arion tak tahan untuk diam lebih lama.“Membuat pancake,” jawab singkat Elara.“Aku tidak bertanya kau lagi apa.” Pria itu lalu bergerak mendekat.Ia menangkap lengan Elara dan membalikkan tubuhnya agar menghadap dirinya. Menatap tepat di matanya.Karena sedari tadi, Elara menjawab Arion tanpa mengangkat kepala --seolah enggan melihat waja
Aveline menjerit keras, suaranya memenuhi lorong sempit yang hanya diterangi lampu jalanan buram.Tubuhnya gemetar saat sebuah tangan kuat tiba-tiba meraih pinggangnya."Apa maksudnya ini?!" Aveline berteriak lagi, mencoba melawan, tapi tak ada yang mendengarnya.Udara malam yang dingin membuatnya semakin waspada, namun pria di depannya begitu cepat.Sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, bibirnya langsung tertutup oleh sesuatu yang hangat dan mendesak—bibir pria yang kini mencengkeramnya erat.Aveline meronta-ronta, hatinya dipenuhi kepanikan.Tubuhnya kaku saat pria itu memeluknya dengan kuat, membuka jaket kulit hitamnya seolah bersiap melakukan sesuatu yang lebih buruk.Mata Aveline melebar ketakutan.‘Tidak mungkin,’ pikirnya, ‘Apakah dia akan memperkosaku?’Ia semakin panik, berusaha membebaskan diri dari genggaman pria itu.Namun, pria itu begitu kuat.Semua tenaga Aveline seolah menguap, terjebak dalam dekapannya yang erat.Lalu, suara langkah kaki terdengar dari kejauhan.Sekelo
Langit sore yang kemerahan menyelimuti San Francisco Bay, tempat di mana sebagian besar kehidupan cinta sepasang insan berkisah.Suara ombak yang berdeburan pelan di pantai menciptakan melodi yang damai, selaras dengan angin sepoi-sepoi yang menyapu lembut permukaan laut.Elara berdiri di ujung dermaga kayu, menatap cakrawala yang tampak tanpa batas, tempat di mana langit bertemu lautan.Matanya menerawang, namun wajahnya kini memancarkan ketenangan yang baru.Dalam dekapan hangatnya, bayi kecil mereka terlelap, wajahnya damai seperti ibunya.Sudah lama sejak pertarungan hidup dan mati di acara peresmian Imera Sky Tower, dan sejak saat itu, kehidupan Elara dan Arion berubah drastis.Banyak hal yang telah dilalui—pengkhianatan, luka, cinta yang terlupakan dan kemudian dipulihkan.Namun hari ini, di bawah cahaya senja yang lembut, semuanya terasa sempurna.Tiba-tiba, langkah kaki yang berat namun mantap terdengar dari belakangnya.Elara tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.A
Arion duduk di ujung ranjang, pandangannya terpaku pada sosok mungil yang ada dalam dekapannya.Bayi perempuan itu terlelap dengan tenang, tubuhnya begitu kecil dan lembut seperti boneka porselen.Pipinya yang kemerahan tampak menggemaskan, kulitnya sehalus sutra dengan bulu-bulu halus yang masih tersisa di atas kepalanya.Mata bayi itu masih tertutup, namun ketika sempat terbuka sesaat, Arion melihat dengan jelas iris matanya yang kelabu, warna yang sama seperti miliknya—sebuah tanda tak terbantahkan bahwa bayi itu adalah darah dagingnya.Bibir kecilnya bergerak perlahan, seakan sedang menghisap udara, dan tangannya yang mungil mengepal erat, menggenggam sepotong kain selimut.Arion tersenyum kecil, hatinya penuh dengan rasa takjub yang tak pernah ia sanggup perkirakan sebelumnya.Di dalam ruangan itu, hanya suara napas lembut bayi perempuannya yang terdengar, membuatnya seperti terhanyut dalam keajaiban kecil yang ia pegang.Sudah lebih dari setengah jam, namun Arion tak bisa melepa
Arion mengangguk pelan, melanjutkan penjelasannya. “Selama aku menjalankan peranku sebagai The Draven, orang itu mengambil peran menjadi diriku, Arion Ellworth. Sehingga tidak ada yang curiga. Kecelakaan di Sunol itu terjadi pada doppelganger-ku.”Elara terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. “Jadi... orang itu? Apakah dia tewas dalam kecelakaan itu? Bagaimana aku bisa membedakan kalian? Bagaimana jika suatu saat aku salah mengenali orang itu sebagai dirimu?”Arion tersenyum melihat kepanikan sang istri. “Jangan khawatir, Honey. Orang itu berhasil selamat oleh orang-orangku. Wajahnya tidak sepenuhnya mirip denganku. Hanya postur tubuh dan perilakunya yang serupa. Aku membuatnya menjalani operasi plastik untuk mengubah beberapa bagian, seperti rahang dan hidung saja. Namun, saat dia menjalankan peran sebagai aku, dia menggunakan prosthetic mask yang dibuat menyerupai wajahku.”Elara memandang Arion, dengan sorot kompleks. “Astaga… sampai seperti itu kau m
Elara dan Arion berdiri di tengah keheningan, menghadap sebuah makam dengan batu nisan marmer yang megah. Di atasnya terukir dengan indah: Imelda Ellworth. Satu buket mawar putih mewah yang segar ditempatkan rapi di atas pusara, memberikan sentuhan penuh penghormatan. Pemakaman ini, yang terletak di Cypress Lawn Memorial Park, San Francisco—tempat peristirahatan terakhir para keluarga kaya dan terpandang—dikelilingi oleh pohon-pohon ek yang menjulang tinggi. Jalanan berkerikil putih menghubungkan setiap makam, dan di kejauhan terlihat pemandangan laut yang tenang, menambah suasana damai nan elegan. Udara pagi terasa sejuk, disertai suara angin yang membelai lembut pepohonan. Elara memandang ke sekeliling area pemakaman yang tampak megah, penuh dengan nisan-nisan yang terbuat dari batu marmer putih dan hitam. Di antara semua itu, nisan Imelda berdiri sebagai salah satu yang paling indah, seperti sebuah karya seni yang mencerminkan kehidupan seseorang yang telah meninggalkan jejak
Arthur Ellworth, atau Clay Mallory, kini duduk di sudut sel gelap penjara federal, matanya kosong menatap dinding dingin yang tak lagi bergema dengan wibawa yang pernah ia miliki.Hanya bayangan suram yang tersisa, menggantung di antara kesadaran dan kehancuran. Di penjara ini, waktu seolah-olah melambat, setiap detik menjadi siksaan yang tidak berujung.Hari ini, seorang penjaga penjara menghampiri pintu selnya.Wajah penjaga itu datar, tidak ada belas kasihan, tidak ada penghormatan.Hanya secarik kertas yang dilempar ke lantai di depan Arthur, yang langsung mengenal lambang Ellworth di atasnya.Tangannya yang dulu perkasa sekarang gemetar ketika meraih kertas itu.Di dalamnya, satu pesan singkat yang menghantamnya dengan kejam: "Semua aset, kekayaan, dan perusahaan yang pernah kau curi telah dikembalikan kepada pemiliknya yang sah—Aiden Ellworth."Arthur meremas kertas itu dengan tangannya yang gemetar, rasa panas menjalar da
Markas utama di San Bernardino tampak penuh ketegangan. Di ruang pertemuan besar, cahaya lampu gantung memantul di atas meja panjang tempat para eksekutif utama The Draven berkumpul. Ketiga Executor—Albert, Isaac, dan Samuel—duduk di posisi masing-masing, menatap sosok Arion Ellworth, pria yang selama ini mereka kenal sebagai The Draven, pemimpin mereka yang tak terbantahkan. Samuel, Executor wilayah San Jose, adalah pria bertubuh tegap dengan garis wajah tegas. Rambutnya mulai memutih, namun sorot matanya masih tajam, mencerminkan kekuatan dan ketenangan yang ia bawa selama bertahun-tahun memimpin wilayahnya. Isaac, Executor wilayah Mount Horeb, Wisconsin, berbeda. Tubuhnya ramping, wajahnya lebih halus, tetapi matanya menyiratkan kejeniusan yang sering kali tersembunyi di balik sikapnya yang tenang. Ia terkenal sebagai ‘otak cadangan’ di balik banyak rencana besar yang berhasil dijalankan The Draven. Albert, Executor wilayah San Bernardino, adalah yang termuda. Dengan rahang pers
Aiden tersenyum tipis, sebuah senyuman yang mengandung ketegasan, bahkan ancaman halus di baliknya.“The Orcus bukan ancaman bagi pemerintah. Kami tidak pernah bergerak melawan kalian, Donovan. Jika ada yang perlu kau pahami, ketahuilah ini: The Orcus hanya berurusan dengan mereka yang mengincar kami atau mereka yang berada dalam wilayah kami. Kami adalah perisai, bukan pedang.”Donovan menatapnya, tak sepenuhnya yakin apakah pernyataan itu adalah bentuk pembelaan atau manipulasi.Aiden melanjutkan, kali ini dengan suara yang lebih dalam dan penuh makna. “The Orcus tidak akan pernah menjadi ancaman bagi pemerintah Amerika Serikat… kecuali, jika pemerintah membuat kami tidak punya pilihan lain.”Kalimat itu menggantung di udara, begitu dingin dan tajam seperti bilah pedang yang tersembunyi di balik kata-kata.Donovan tahu, ini bukan ancaman langsung, tapi sebuah peringatan yang tak bisa diabaikan.Aiden sangat c
Matahari pagi yang hangat menyinari kamar tidur mewah di mana Elara sedang berdiri, merapikan dasi Arion dengan penuh perhatian.Arion Ellworth, dengan tubuh tegapnya dan postur sempurna, tampak gagah dalam setelan formal berwarna gelap yang membingkai fisiknya dengan sempurna.Mata kelabu pria itu berkilauan, menambah kesan misterius sekaligus memikat.Ketampanannya terasa tak terbantahkan, membuat Elara sejenak terpana, seperti kembali mengenang saat pertama kali bertemu dengannya.Arion telah kembali ke wujud lamanya—kuat, berwibawa, dan penuh energi—setelah beberapa bulan melemah akibat Couvade Syndrome.Selama sekitar 4 bulan, pria yang biasanya tegas dan tak tergoyahkan ini harus terkapar karena gejala kehamilan palsu yang dialaminya.Namun, kini di bulan kelima kehamilan Elara, semua gejala itu telah sirna.Tidak ada lagi mual, muntah, atau kelelahan yang membebani Arion. Dia kembali pada dirinya yang dulu, dengan e