Aku masih berfikir tentang apa yang sebenarnya terjadi dan siapa yang harus kulerai dari ayah? Mungkinkah Mas Akbar? Tapi tak mungkin kalau Mas Akbar bukankah pasti Dian ngomong itu. Sepanjang perjalanan aku hanya Diam tak mau bertanya takut menganggu kosentrasinya. Cukup sekitar tujuh menit aku telah sampai didepan rumah. Mobil itu? Terdengar suara kegaduhan dari dalam sana. "Enak sekali kamu! Apa minta maafmu dapat mengembalikan nyawa Resti, Hah.... " Suara Ayah dapat kudengar sampai pintu. Bukk... Bogem mentah kembali Ayah layangkan. "Ayah, sudah... Sudah, Yah!" Ibu mulai menangis. Aku yang baru saja masuk di buat bingung. Si... Siapa orang itu? Om-om yang tadi telah menolongku. "Ada apa ini, Bu?" aku berusaha bertanya pada Ibu. "Ada apa ini, Yah?" aku berusaha mendekat pada ayah walau takut.Sorot mata ayah masih tajam menatap laki-laki itu yang sudah babak belur di buatnya. Aku yang masih bingung tak dapat menemukan jawaban. Ayah dan Ibu tak mau memjawab apa yang kutanyak
PoV Akbar"Dek, siapa temanmu yang sering sama kamu itu?" tanyaku pada Shinta saat di rumah."Yang mana, Kak?" "Itu loh yang sering ikut-ikutan kalau kamu minta uang.""Oh, Rian, Mas. Dia anak sebelah desa." Aku mengangguk anguk mengerti. Sebenarnya aku sedikit suka padanya. Dian anaknya cantik dan tak malu-malu. Terbukti ketika Shinta tak masuk sekolah karena sakit, dia tanpa ragu meminta uang layaknya Shinta. Sayang kalau aku pacaran sama dia itu artinya aku tak dapat serius dengannya. Padahal usiaku sudah mapan dan ingin segera menikah. "Kenapa, Mas? Mas naksir sama dia?" tanya Shinta membuat aku yang tengah melamun tersadar dan tersenyum. "Ngga tau nih, Dek." aku garuk kepala yang tak gatal. Ternyata Shinta justru mendukungku. Dia sangat setuju kalau aku pacaran sama Dian. Pikirnya pasti asik punya temen sekaligus pacar Kakaknya. Akhirnya kutembak Dian. Kami pun jadian, kulihat mereka makin dekat bagai kakak dan adik. Cuma ya itu, anak masih labil kadang lebih egois. Ngga ma
"Indah!" panggil Ayah ketika aku di dalam tengah bermain dengan Faza, setelah tadi aku berkata dan masuk kedalam. "Ya, Yah. " Aku keluar dengan mengendong Faza. "Kamu siap-siap, nanti sore kita akan ikut dengan Beni kekota!" ucap Ayah membuat mataku membulat. 'Oh, jadi dia namanya Beni, orang yang mengaku Ayah biologisku!' gumamku dalam hati. "Untuk apa, Yah, kita kekota?" tanyaku penasaran. "Ikut saja," jawab Ayah santai. "Terus siapa saja? Cuma aku dan... " tanyaku tak mampu menyebutnya Ayah dan memanggil namanya juga segan. "Akan Ayah temani!" Seketika Ayah menjawab. "Aku ikut ya, Yah? " tiba-tiba Dian menyela. Ayah menatap sekilas. "Aku juga ingin kekota, Yah, Pliss!" bujuk Dian. "Iya, nanti kita mampir kerumah Mbak Rian juga. Kebetulan searah." Ayah berkata santai. Aku masih enggan untuk bertanya lebih lanjut. Kulihat sekarang ayah sudah berdamai dengan Beni. Tak ada lagi kemarahan di matanya. Sesekali mengobrol tentang bisnis yang saya sendiri tak mengetahuinya. "Ind
"Bagai istana, Mbak rumahnya. Lihatlah lukisan guci dan sofa semua yang kelas atas. Dian tahu karena sering lihat di internet semua furniture ini." Cerocos Dian sambil sesekali memegang Guci dan mengelus sofa. "Kalau kalian mau istirahat, itu kamarnya." Beni menunjuk beberapa kamar yang ada di ruangan depan. Mungkin itu kamar tamu. Jumplahnya tak hanya satu ada sekitar empat pintu.Aku yang memang sudah capek menggendong Faza segera berjalan menuju kamar yang di tunjuk. "Eh, Indah. Kamarmu tidak di situ. Mari ikut Ayah keatas." laki-laki bernama Beni itu berhasil menghentikan langkahku. "Tapi, Pak! Biarkan aku satu kamar saja dengan Dian," jawabku dengan sedikit segan. "Indah... Rumah ini nantinya akan jadi milikmu, masa pemilik rumah tidur di kamar tamu. Kalau kamu merasa takut sendirian ajak Dian kekamar atas."Seketika Dian membesarkan mata dan mengangguk setuju. Aku tak dapat lagi menolak. Pak Beni memanggil ART-nya untuk mengantar kami kekamar atas. Aku baru bisa memanggil Pa
"Oh, Maaf, Mbak. Saya tidak tahu," jawab pemuda itu dengan sopan. "Mari ikut saya ke resto itu. Pak Beni dan Pak Bowo sudah menunggu."Kami segera mengikuti kemana pemuda itu melangkah, menuju sebuah rumah besar tapi dengan ruangan lebar hanya ada kursi dan meja. Di jauh belakang sana seperti bale kecil dengan nuansa jawa layaknya joglo. "Nduk, Sini! Kemana aja kalian. Jangan jauh-jauh tanpa ada yang memberi arahan takut tersesat." Pak Beni berkata. Aku hanya mengangguk. Dianlah yang mengatakan kalau kita memang sudah tersesat jauh. Beruntung secepatnya bertemu dengan Asisten Pak Beni. Pak Beni tertawa, mendengar cerita Dian yang bercerita dengan nada kesal dan memanyunkan bibirnya. "Oh, Ya perkenalkan ini Santo. Orang kepercayaan Ayah." Pak Beni memperkenalkan pemuda tadi. Dia mengelurkan tangan. "Indah." "Dian!" Masih bermuka jutek si Dian padanya. Pemuda itu tersenyum, "Santo."Akhirnya kami pun duduk dan menikmati minuman hanyat. Satu poci kecil terbuat dari tanah liat da
"Apaan si, Mbak!" Dian melempar bantal padaku yang tengah rebahan. Kutangkis dengan satu tangan takut kena pada Faza dan akhirnya bangun. Dian membanting badanya sendiri pada tempat tidur, aku kaget dan kesal karena tingkah Dian membuat Faza kembali terbangun karena getaran di atas kasur. "Ih! Apa-apaan si kamu, Yan," dengusku kesal. Dia tak mendengarkan kata-kataku justru asik menatap keatas langit-langit. "Masa sih, aku jatuh cinta sama si Santo itu?" gerutunya. Aku malah mengkerutkan kening. Ternyata ucapanku di anggap serius. "Dia memang perjaka, belum menikah di umurnya yang sudah tiga puluh tahun." Lagi Dian mengedumel sendiri. Aku justru kaget mendengar semua penuturannya. "Dia tinggal bersama ibunya dengan sebuah rumah yang ia bangun sendiri dari hasil kerja bersama Om Beni." Wah! Sedetail itu Dian sudah tahu tentang Santo. Aku sendiri tak tahu menahu tentang Santo sejauh itu. "Kamu tahu Santo sudah sejauh itu?" aku mengeser tubuhku menatap Dian yang berada di samping
PoV MertuaNamaku Anti, ibu dari tiga orang anak. Suamiku meninggal dua tahun yang lalu. Untuk menyambung hidup aku putuskan untuk berjualan aneka makanan dan jajanan yang kujajakan keliling. Beruntung Anak pertamaku laki-laki dan sudah bekerja sebagai Satpam di sebuah sekolah Menengah Atas yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumah. Aku ingin dia tak segera menikah, karena masih ada dua adiknya Shinta dan Dea yang masing-masing baru menginjak SMA dan SMP. Namun namanya lajang tak aku tentang ketika dia berpacaran dengan anak seumuran adiknya, teman satu kelas Shinta. Namanya Dian. "Bu, Mas Akbar sudah jadian sama temanku loh," Shinta mengadu padaku. "Iya? Anak mana?" tanyaku penasaran. "Itu loh, Bu, yang pernah aku ajak main kesini." Aku berusaha mengingat ingat teman Shinta yang pernah kesini. Memang beberapa kali Shinta pulang membawa temannya. "Yang namanya Dian, Bu!""Oh, yang sering main kesini itu, teman karibmu itu, Kok bisa?" "Ya ngga tahu, jadiannya aja pas aku ngga
"Iya, Bu. Alhamdulillah kabar kami baik-baik saja, ada apa ya, Bu?" tanyaku penasaran kenapa tiba-tiba Ibu Mertua menelfon."Ngga boleh ya, tanya kabar menantu sama cucuku." Ibu mertua berkata seolah begitu perhatian padaku. "Ee... Boleh saja si, Bu. Cuma tak kira tadi mau minta persyaratan untuk mengajukan gugatan cerai." Kulirik Santo. Kulihat dia sedikit terkejut. "Mas Akbar sudah WA dari kemarin tapi memang belum sempat kubalas. Kesibukanku menyita banyak waktu, Bu. Bilangkan pada Mas Akbar ya untuk bersabar." "Eh, Anu... Ndah! Apa sebaiknya kamu pikirkan lagi tentang perceraian ini. Kasian Faza loh kalau sekecil itu sudah jadi korban orang tuanya bercerai." Kata-kata Ibu mertua membuat aku kaget. Bukankah perceraian ini dia sendiri yang menginginkan. Bahkan sebelum-sebelumnya juga tak semanis ini. "Maaf, Bu. Kemarin Akbar bilang perceraian ini permintaan ibu. Jadi kenapa sekarang... ""Sudah, sudah ya, Ndah. Nanti aku bicarakan dengan Akbar. Biar batalkan saja gugatan cerainy
"Tak usah berkata demikian, aku sudah memaafkan dan melupakan semua yang terjadi dulu, hidupku sekarang hanya ingin menatap kedepan dengan baik." Aku berkata tanpa menatapnya."Ndah ... Apa kamu tak ingin Faza punya ayah lagi?" tutur Mas Akbar."Tentu, tapi mungkin belum saatnya. Nanti tiba waktunya pun, Faza akan memiliki ayah lagi." Aku menjawab dengan baik."Bukan itu, maksudku, apa kamu tak ingin ayahnya Faza kembali padamu?" Seketika aku menoleh, kenapa ia begitu percaya diri mengatakan hal demikian?"Apa? Aku ngga salah dengar kan, Mas? Tak pernah terfikir olehku sedikitpun hal itu, kamu sudah berkeluarga, lebih baik urus saja istrimu dengan baik, perlakuan dia dengan baik dan jangan pernah buat kecewa!" Aku berkata dengan tegas."Tapi, Ndah?""Sudah, Mas. Jika tujuan kamu kesini hanya untuk memgemis kembali padaku, lebih baik sekarang kamu pulang! Aku tak punya pintu untuk kamu lagi!" Aku mulai ngegas, rasanya benar-benar tak tahu malu itu orang.Dia pun akhirnya pergi setelah
"Ya sudah, Sus, bawa Faza masuk!Sepertinya dia ketakutan." Aku menyuruh babysitter untuk membawa Faza.Kalau begini niat aku menenangkan pikiran dikampung ini rasanya sia-sia.Aku pun memilih untuk masuk, hari sudah sore langit mendung dan kabut sepertinya akan turun. Jika sudah begini, dingin akan mengerayap.Beberapa kali aku bersin, mungkin karena sudah terbiasa dengan udara kota, jadi sekarang terkena dingin sedikit saja menjadi flu.Alhamdulilah Faza akhirnya tertidur setelah berdrama ingin minta pulang ke kota.Aku merebahkan diri di atas sofa, air jahe sudah terhidang. Mbak Saras tetangga sebelah rumah lah yang membantu aku selama disini.Pagi ini aku memilih untuk berjalan-jalan. Menghabiskan waktu dengan menikmati kuliner yang biasanya ada di pasar pagi, pasar kaget yang ada setiap pagi dengan menjual berbagai makanan khas daerahku.Ternyata masih banyak yang mengenali aku, walau mereka bilang aku makin glowing, mereka menyapa aku ramah."Indah? Indah kan ya?" ujar Teh Lusi,
Rasanya kata-kata yang baru keluar dari mulut Pak Riki bagai sebuah belati! Apa seperti inikah sikap yang sebenarnya? Apa hanya karena rasa cemburu yang mendalam hingga tanpa sadar dia mengatakan hal yang begitu melukai, tanpa dengan baik-baik menanyakannya? "Pak... Saya memang seorang janda dan saya juga bukan manusia suci. Saya memang masih luput dari dosa, tapi asal bapak tahu saya tak serendah seperti apa yang bapak katakan. Terima kasih atas penilaian bapak tanpa tahu sebenarnya!" tanpa terasa air mata ini mengalir begitu saja. Sakit ini membuat aku lemah. Terlebih lagi aku masih trauma bila teringat peristiwa di mana aku diperlakukan tak baik oleh Irwan. Seketika aku berlari keluar, tanpa lagi peduli pada Pak Riki yang memanggil. Ketika membuka pintu aku berpapasan dengan Agung yang juga akan masuk kedalam. "Mbak!" sapanya. Aku tak berani menatapnya karena air mata ini masih merembas di pipiku. Secepatnya aku berlalu dari sana. Kuberlari tanpa melihat kedepan, aku sibuk menu
"Tanyakan saja pada dia, Pak! Apakah yang aku ucapkan bohong atau sebuah kebenaran! " cetusku lagi. Seketika mata Pak Riki membulat tajam pada Tanti. "Kalau memang dia anaknya Irwan, tuntut saja untuk bertangung jawab! Dia itu laki-laki. Kalau masih mengelak, coba buktikan dengan tes DNA. Jangan jadi laki-laki pengecut yang maunya meniduri wanita hanya dengan bermodalkan pamer kekayaan!" cetusku lagi membuat Tanti terkaget. "Ka-kamu kenal Irwan?" tanya Tanti. "Yah... Kenal, karena aku hampir saja jadi korban nafsu bajingan tengik itu!" emosiku berapi-api mengingat kejadian beberapa minggu yang lalu. "Indah! A-apa maksud kamu?" tanya Pak Riki dengan terbata. Aku menatap sekilas wajah Pak Riki. Kenapa karena emosi aku sampai keceplosan tentang hal ini. Segera aku berlari keluar, tak lagi kupedulikan Pak Riki yang terus memanggil namaku. Aku sakit bila mengingat peristiwa itu. Bagaimana aku di lecehkan untuk pertama kalinya oleh laki-laki. Aku berjalan menuju taman rumah sakit, men
Aku berjalan mendekat ketempat di mana Pak Riki terbaring, mencoba mengulas senyum walau ekor mataku tetap menangkap pada sosok Tanti yang terlihat tak senang. "Maaf, Pak. Kemarin HPku lowbatt dan ketinggalan di rumah, jadi tak tahu tentang kecelakaan bapak," ucapku. Pak Riki terlihat tersenyum, "Ngga papa, Ndah. Alhamdulillah masih di beri umur walau kondisinya seperti ini.""Alhamdulillah... Semoga lekas pulih ya, Pak.""Hai... Dia itu kakinya patah dua-duanya karena terkencet bodi mobil!" ucap Tanti tiba-tiba. Aku memandangnya aneh,"hanya patah tulang kan, Pak?" tanyaku pada Pak Riki tanpa menatap kearah Tanti. "Iya, Ndah, hanya patah tulang, insya Allahh kalau telaten dan benar-benar hati-hati masih bisa jalan. Cuma butuh waktu," ucap Pak Riki dengan sedih. "Kemungkinannya fivety-fivety. Lagi Tanti menyela.""Itu masih besar kok, Tan. Masih bisa di usahakan sembuh."Kali ini terlihat Tanti mulai geram, mungkin dia kesal karena menghadapiku yang masih saja sabar menerima semua
Aku makin sibuk dengan segala pekerjaan kantor, hingga tak ada waktu untuk sekedar bermain HP. Kadang Pak Riki memang kirim chat dan hanya kujawab sekali dua kali. Bukan tanpa respon tapi aku sendiri benar-benar sibuk dengan semua urusan kantor. "Mbak, Aku boleh izin pulang, Nggak?" tanya Shinta takut-takut. Aku dapat melihat raut wajah ketakutannya. Mungkin dia tak enak karena baru sebulan lebih bekerja di sini. "Ada apa, Shin? Apa kamu tak betah?" tanyaku kemudian. "Nggak, Mba. Aku dapat kabar dari Dea kalau ibu sakit dan sampai masuk rumah sakit," jawabnya sambil menunduk, ada bulir bening yang hampir jatuh di sana. "Ya Allah... Sekarang kamu pesan tiket pulang!" "Iya, Mbak." kulihat Shinta segera meraih HPnya. "Kalau gitu, aku pamit, Mbak. Nanti kalau ibu sudah sembuh aku usahakan berangkat lagi secepatnya." "Baik, Shin. Salam buat Ibu. Oh, Ya... Ambil gajimu ke Sekretaris ya. Bilang saja aku sudah suruh siapkan." "Iya, Mba. Makasih banyak, maafkan semua kesalahan Ibuku di
"Siapa yang membawa aku kerumah sakit dan bagaimana kondisiku saat di temukan?" aku benar-benar penasaran dengan apa yang terjadi padaku. Ibu tersenyum, "Sebaiknya besok saja ya ibu ceritakan. Setidaknya Allah masih menyayangimu." Ibu membawaku masuk kekamar, perasaan itu masih berkecambuk. Benarkah aku sudah di nodai ketika aku pingsan? Rasanya aku jijik sekali dengan tubuhku. Kenapa ini harus terjadi! Aku memeluk Faza, rasanya kangen sekali beberapa hari tak bertemu. Hanya dia yang membuat aku semangat menjalani hari-hari berikutnya. Hpku berdering, di layar ponsel tertera nama Pak Riki. Aku ragu untuk mengangkatnya. Benarkah dia sudah tahu apa yang aku alami, malu sekali rasanya. "Hallo... " kuucapkan setelah memencet tombol dial. "Hallo, Ndah! Gimana kabarmu?" tanya Pak Riki di seberang sana. "Alhamdulillah baik, Pak." "Kenapa beberapa hari tak pernah akrif HPmu?" tanyanya lagi. "Maaf, Pak. Aku terlalu sibuk." "Oh... Baiklah. Kalau sudah dengar kamu baik-baik saja, rasan
Segera kuberusaha melepaskan tangan satu dari pinggangnya. Secepatnya aku berusaha berlari menuju keluar, tapi naas kerudungku di tariknya. "Mau lari kemana, Cantik! Aku takakan menyakitimu kalau kamu nurut! Tenanglah, akan kubuat kamu mabuk kepayang dan selalu terbayang-bayang." Rasanya muak sekali mendengar ucapannya. "Lepaskan aku!" sergahku."Tak usah munafik, Sayang. Ayahmu saja sudah percaya padaku. Bahkan dia mendukung kita menikah!" Kugelengkan kepala cepat. Aku rasa tak mungkin Ayah membiarkan aku menikahi laki-laki brengsek itu. "Lepaskan! Aku tak sudi punya suami piktor macam kamu!" "Hhaaa... Ha... Baru kali ini aku bertemu wanita yang bilang begitu! Biasanya mereka justru bilang aku lelaki sempurna, romantis, gagah dalam ranjang dan juga kaya! Apalagi yang di cari dari laki-laki seperti diriku ini."Cuihh! Aku ludahi dia dengan penuh emosi, "Tak semua wanita gila harta! Aku jijik dengan laki-laki sepertimu!" Plakk!! Satu tamparan mendarat di pipiku, aku terhuyung jat
Aku masih terbengong dengan ucapan Pak Riki. Sungguh aku tak punya pikiran sampai sejauh itu. Terlebih ketika kejadian kemarin di restoran. Rasanya enggan untuk tertarik padanya, karena aku bukan tipe pelakor. Asal nyaman dan suka tak peduli sudah ada pemiliknya. "Ma-maaf, Pak! Aku tak punya pikiran sejauh itu. Aku tak mau menjalin hubungan, aku bukan lagi ABG atau anak gadis yang berpacaran." Kuucapkan dengan tegas. "Maaf jika tadi kata yang aku ucapkan salah, Ndah! Maksud aku juga begitu. Entah keberanian dari mana aku dapat ungkapkan ini sekarang. A-aku tak ingin jawabanmu sekarang tapi setidaknya aku sudah ungkapkan sekarang dan aku bisa pergi dengan tenang." Kali ini dia meremas tangannya. Aku masih terdiam, ketika tiba-tiba Ayah Beni datang dan mengajak ngobrol Pak Riki. Mereka membahas tentang kepergian Pak Riki yang ke Sidney untuk urusan kemenangam tender dan pembelian sebagian saham yang di lelang. "Berapa lama kamu di sana?" tanya Ayah Beni. "Belum tahu, Pak. Sekiranya