Bab 15: Di Luar Dugaan
“Di mana kamar Ibu dan Bapak?” seru ibuku saat kami tiba di Jogja.
Mereka langsung menerobos ke dalam dengan tergesa-gesa. Tidak lupa, ibu mengedarkan pandangan ke segala arah. Dia terlihat bergumam, sibuk memerhatikan sampai lupa akan keadaan kami yang sedang berduka.
Ditinggalkannya kami bertiga, ibu memilih berjalan menuju kamar yang kini diisi oleh Ismi sendirian. Di sana, dia berdiri, tatapan matanya terus memendar, seperti sedang memindai sesuatu.
Sontak aku melirik ke arah Ismi. Ada terlalu banyak bukti yang tertinggal jika hubungan kami tidak manis seperti harapan mereka. Ditambah lagi, kami sudah pisah ranjang sebelum musibah ini menimpa Ismi.
“Za, kamu enggak izinkan Ismi mengubah dekor rumah, ya? Kok masih suram begini, sih?” omelnya.
Ibu langsung beranjak, memegang gorden gelap yang tidak pernah kuganti sejak rumah ini terbeli. Lalu, dia mengitar
Bab 16: Antara Farah dan Ismi“Aku di depan kantor, Za!” ucap gadis ramah itu padaku melalui panggilan telepon.Sontak aku terkejut mendengar pengakuannya saat fokusku masih tertaut dengan ribuan kode-kode di layar . Kupastikan sekali lagi nama yang tertera di benda pipih tersebut, benar ‘Farah’ yang tertulis di sana.Tidak ada angin dan hujan, gadis itu menelepon, memberi kabar mengejutkan saat aku sedang sibuk dengan pekerjaan. Jam setengah dua belas, sebentar lagi memang waktunya istirahat. Farah seolah sudah memperkirakan ini semua.“O-okey!” Aku menjawabnya singkat.Lalu, panggilan itu diakhiri oleh Farah. Hal yang membuatku segera mengedarkan pandangan ke segala sudut ruangan.Beberapa teman kerjaku seperti kesetanan di balik layar. Ada yang belum pulang sejak kemarin, ada juga yang tidak berhenti memijat mata dan kening. Ada yang sibuk mengompres muka, ada yang memilih berolahraga r
Bab 17: Tatapan Orang-Orang ItuMelepasmu dari hidupkuDan mungkin lukai hati, lebih dari ini ....Kita ....“Galau banget lagunya, Za!” Farah protes usai merebut earphone yang aku gunakan untuk mendengarkan lagu.Satu jam yang lalu, gadis itu muncul kembali di kantor. Untungnya, masa-masa kritis kami telah selesai, dan sebentar lagi kami akan meresmikan peluncuran aplikasi terbaru. Karena itulah, aku bisa keluar untuk menghirup napas dengan bebas setelah terkurung selama satu bulan di perusahaan.“Kamu kenapa, sih?” usiknya lagi.Farah mencoba mengambil gawai yang aku selipkan di saku jeans. Buru-buru aku menghindari Farah, karena tidak hanya hal itu tidak sopan, aku khawatir tangannya salah pegang dan bisa mendarat di tempat terlarang.“Ih?” Farah merengut melihatku mengambil langkah mundur. Dia langsung m
Bab 18: Perintah Bapak “Anak tidak tahu diuntung!” Bapak mencelaku malam itu dengan suara yang membelah bak guntur.Dia yang selama ini tidak pernah melayangkan tangannya, malam itu melakukannya hingga dua kali. Tamparan di pipi kanan, lalu di pipi kiri. Hendak diulanginya lagi ketiga kali namun Ismi lebih dulu menahannya dengan tubuhnya sendiri.“Cukup, Bapak ... jangan pukul Mas Reza,” pintanya.Ismi berdiri menggantikan ibu untuk membelaku. Dia tidak gentar meski amarah bapak meledak-ledak, melainkan tetap bertahan di sana. Padahal, bisa saja dia ikut terluka.“Minggir, Ismi. Minggir, aku tidak butuh bantuanmu!” ucapku dengan nada penuh penekanan. Tidak tersentuh sedikit pun hati ini meski Ismi berusaha menyelamatkanku dari amukan bapak.Kubisikkan kata-kata itu di telinga Ismi, berharap dia memahami niat hati ini. Aku belum ingin bapak dan ibu mengetahui permasalahan di
Bab 19: Pelukan yang TertundaDua hari dua malam aku menghilang dari orang tua dan Ismi. Gawai aku matikan dan hanya muncul di kantor sampai jam kerja selesai. Lalu, kembali mendekap sendirian dalam keheningan.Dua hari penuh, aku tenggelam sembari memikirkan apa yang terjadi dengan keluarga ini. Semenjak memutuskan melamar Ismi, bayang-bayang yang muncul di pikiranku hanyalah tentang bahagianya pernikahan kami nanti. Istri yang salihah, cantik dan rupawan, serta mertua yang bersahabat. Lalu, ada bayi-bayi cantik dan tampan dilahirkan olehnya yang akan kami didik sebaik mungkin.Ternyata, impian itu runtuh dalam waktu kurang dari satu bulan. Kini, hanya tersiksa angan semata.Aku memalingkan muka dan menghadap ke arah dinding sebuah kamar. Sejak kemarin, aku mengurung diri di salah satu kamar hotel sendirian, hanya menyalakan TV agar tidak terlalu sunyi.Namun, ada sesuatu yang cukup mengganggu diriku. Dalam dua hari
Bab 20: Surat dari Ibu dan BapakTidak kuminta banyak hal darimuSelain kesediaan untuk menerimaku seutuhnya dalam hidupmuJika sudah begitu, aku berjanji jarak dan waktu tidak akan pernah menjadi pemisah di antara aku dan kamu.-Untaian Hati Ismi Diana--Keesokan paginya, aku terbangun di sisi ranjang ibu. Perempuan yang kuhiraukan semalaman sampai tertidur itu ternyata sudah membuka kedua matanya.Dia mengusap pucuk kepalaku dengan sangat lembut. Tatapan matanya jatuh saat kami saling beradu pandang, kemudian ibu berpaling dengan segera.“Bu?” panggilku.Khawatir padanya, aku beranjak dari duduk. Aku memilih untuk menatapnya dengan lebih dalam dan lamat, tidak lupa mengecek sisa air infus serta kondisi tubuhnya yang semalam menghangat.“Kenapa pulang?”Suara ibu berat dan dalam saat
Bab 21: Senyuman Ismi “Kamu belum lupa dengan kesepakatan kita ‘kan?” Aku bertanya pada Ismi sebelum berangkat kerja pagi ini. Tepat setelah menemukan kenyataan jika bapak dan ibu sudah kembali ke Ledok Sambi, sekarang aku ingin sekali menegaskan kembali pada Ismi perihal hubungan kami.Perempuan itu hanya mengiyakan perkataanku. Tangannya terulur, menyerahkan bekal yang sudah dibuatnya sejak pagi.Aku menghela napas melihat Ismi begini. Sebenarnya, aku juga tidak tega melakukannya.“Baik, Mas ... kalau begitu izinkan aku mencari pekerjaan, supaya nanti aku tidak kalang-kabut sendirian,” lirihnya.Intonasi bicara Ismi mendadak turun drastis. Bibirnya berat berkata hingga terlihat bergetar. Lebih dari itu, suaranya sengau dan dalam, seolah sedang menahan diri agar tidak menangis.“Jangan buru-buru, aku tidak memaksa!” potongku sebelum air mata sempat jatuh di pipi Ismi.
Bab 22: Perkara Tidak Peka“Apa lagi ini?” seruku usai pulang lari pagi mengelilingi perumahan.Ini hari minggu yang tenang setelah peluncuran aplikasi berhasil dilakukan perusahaan. Akhirnya, aku bisa berlibur tanpa harus melihat layar laptop atau gawai.Setelah sekian lama juga, aku bisa kembali berputar-putar di sekeliling kompleks. Menyapa tetangga yang lama tidak pernah kulihat lagi hadirnya. Lalu, mampir di sebuah warung nasi uduk terlezat dan membeli lauk terbaik mereka, ayam berbumbu yang gurih.Dulu, aku selalu membeli sebungkus. Sekarang, karena ada Ismi aku harus membeli dua. Ditambah kerupuk dan beberapa gorengan sebagai selingan.Meski sempat digoda oleh nenek penjual karena porsinya berubah, aku bergegas kembali ke rumah dengan perasaan bahagia. Kubayangkan aku duduk di ruang keluarga, menyalakan TV dan menonton kartun serta berita pagi sembari menikmati nasi uduk ini.Tapi, semua baya
Bab 23: Ismi Jadi TerkenalPerempuan itu mulai membangun bisnis seorang diri dari sebuah ruangan kecil itu. Pagi sampai siang, dia akan mengaduk berbagai jenis bahan untuk membuat sabun. Lalu sorenya dia akan mengecek pesanan sabun dari aplikasi marketplace.Kurir datang dan pergi dari rumahku. Pelanggan-pelanggan ada yang langsung mampir ke rumah dan membeli dalam jumlah besar, walaupun harga sabun natural buatan Ismi jauh lebih mahal dibanding sabun di pasaran.Memang, aku mengakui hasilnya. Setelah Ismi membuka bisnis ini dan sabun-sabun di rumah diganti dengan hasil karyanya, aku merasakan perubahan drastis di tubuh. Kulitku jadi lembut dan kenyal, jauh dari reaksi alergi, seolah Ismi memang meracik sabun untuk diriku.Entahlah, karena aku sendiri tidak pernah bertanya padanya. Egoku terlampau tinggi untuk menunjukkan ketertarikan pada apa yang dilakukan olehnya.“Mas, aku pergi dulu, ya? Hari ini
Bab 38: Penghujung Cerita (TAMAT)“Ini bagaimana, maksudnya?” Aku berseru tanpa sadar pada ibu dan bapak.Keduanya serentak melirik ke arahku. Ibu membenarkan kerudungnya sedikit dan bapak langsung tersenyum.Beliau melipat tangan di dada, kemudian bersandar pada sofa. Ekspresinya seolah berkata jika dirinya telah melakukan sesuatu yang sangat besar hingga wajar untuk disombongkan.“Pak?” Aku memanggil bapak.Penasaran dengan apa yang telah terjadi sebenarnya, hingga bapak dan ibu memasang wajah berseri seperti ini. Jika memang mereka berdua tahu soal masa lalu, lantas kenapa tidak ada yang membicarakannya denganku dan Ismi?Selama ini, kami berdua saling terjebak di dalam labirin gelap. Aku membiarkan Ismi kesulitan sendirian, sedang diriku berusaha mencari jalan keluar sendirian.Andai saja saat itu aku benar-benar berhasil membebaskan diri, tentu saja saat ini kami tidak akan duduk begini. Mungkin, Ismi sudah kembali ke rumah almarhum orang tuanya, dan bapak serta ibu sedang memelu
“Mas, apa Bapak dan Ibu sudah tiba? Kenapa lampu di rumah ini menyala?” papar Ismi saat aku menghentikan laju mobil di depan rumah.Aku bergegas menengok. Benar dugaan Ismi, lampu rumah kami menyala, terlihat terang dari jendela dan lubang anginnya.Tapi, apa mungkin bapak dan ibu langsung berangkat setelah aku menghubungi mereka berdua? Bagaimana cara mereka masuk jika sudah tiba?“Mas, sepertinya begitu,” sambung Ismi.Perempuan itu menyentuh lenganku. Tangannya terasa dingin dan manik matanya bergoyang saat kuperhatikan. Sepertinya, dia gugup akan sesuatu hingga tidak bisa mengontrol tenang pada dirinya sendiri.“Ah, maaf!” ucapnya tiba-tiba.Ismi menarik tangannya dariku seperti terkejut. Tidak ingin mengubah suasana dan perasaannya, aku menahan gerak Ismi.“Jangan melepasnya, aku tidak akan pernah menolak lagi,” ingatku pada Ismi. Senyum
Bab 36: Jogja LagiMalam itu, untuk pertama kalinya aku dan Ismi menembus jarak yang selama ini menjadi sekat pemisah di antara kami berdua. Tidak ada lagi batasan yang mencekikku dan Ismi, menarik kami dari hubungan dalam dan manis yang seharusnya kami rajut sejak lama berdua.Kami telah berdamai, menerima dengan lapang dada segala permasalahan yang pernah menimpa. Melepas segala rasa sakit dan kecewa antara satu sama lain, dan memilih untuk saling terbuka.Meski pernikahan kami diawali dengan rasa sakit, malam itu aku dan Ismi berhasil menghiasinya dengan obat serta pupuk terbaik. Perlahan-lahan, hubungan yang layu kembali mekar, penuh gairah dan kami berharap akan tumbuh subur hingga akhir hayat.Aku tersenyum paginya, memandangi pantai Kuta Bali yang masih sepi. Tiba-tiba saja hujan mengguyur hingga kegiatan kami untuk berwisata ditunda oleh pihak perusahaan.Bukan karena indahnya pantai Kuta, melainkan manisnya w
Bab 35: Titik Temu Perasaan Kami BerduaAku tidak bodoh, tentu saja tidak. Melihat ekspresi Ismi yang panik dan histeris itu, aku mulai mencoba menghubungkan satu per satu momen hingga menemukan titik terang.Perempuan yang belum lama ini kuambil dari kedua orang tuanya itu semakin terisak. Dia menutup kedua mata dan memilih untuk tetap diam meski aku masih mencoba menyusun potongan demi potongan kenangan dan kaitannya dengan tangisan Ismi.Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan hanyalah memerhatikan Ismi dengan saksama. Perempuan di depanku ini entah mengapa mulai terasa sangat familier. “Ismi?” panggilku hampir setengah berteriak.Aku ikut menyibak selimut karena terkejut dengan pikiranku sendiri, lalu duduk bersila di sebelah perempuan itu. Sedangkan Ismi masih mengatur napas yang memberat akibat ulahnya sendiri.“Aku tidak sedang bercanda sekarang! To-tolong jelaska
Bab 34: Seranjang Lagi“Mas?” Ismi kembali memanggil namaku dengan suaranya yang mendayu.Sejenak, aku merasa darah berdesir di setiap untaian nadi, lalu menembus cepat hingga ke otak. Di sana, aliran itu mengaktifkan sesuatu yang selama ini terpendam, sebuah hal yang mengundang gejolak hingga berpakaian setipis ini pun di malam dingin terasa begitu panas.“Mas, makanlah lagi?” sambung istriku.Kupalingkan muka padanya. Dua insan yang sedari tadi mengembuskan desah tidak sopan itu sudah berlalu. Mereka meninggalkan balkon dengan pintu terbuka hingga aku dan Ismi leluasa melanjutkan makan malam kami yang tertunda.“Makanannya lezat-lezat, ya? Perusahaan besar memang beda,” ujar Ismi kembali.Meski dia tidak mengucapkannya dengan jelas, aku paham sekali kalau Ismi sedang berbasa-basi. Wajahnya yang bening itu terlihat memerah di bawah sinar rembulan, dan gerak-geriknya begitu r
Bab 33: Ho-ney-moon “Ini kamar kalian!” Wanita yang selalu mengaku sebagai penggemar Ismi berseru saat kami check in di sebuah hotel berbintang. Hotel mewah yang berbatasan langsung dengan pantai Kuta Bali itu menyambut rombongan kami dengan ramah. Mereka menghidangkan welcome drink dan memberikan kami ruang tunggu untuk meluruskan kaki. Segalanya terasa eksklusif, menjunjung tinggi kenyamanan tamu meski kami datang ke sini karena ditraktir oleh perusahaan, meski kami datang karena diperintah oleh sebuah organisasi besar yang di bawahnya kami mencari makan. Aku duduk di sebuah sofa berbentuk setengah lingkaran berwarna merah, di sebelahku Ismi menempatinya dengan sangat tenang, bahkan punggungnya tegak tanpa bersandar. Selain kami, tiga pasangan lain memilih berdiri, menikmati camilan atau sekadar melempar pandang ke pantai Kuta. Sisanya adalah para perempuan dan laki-laki lajang yang memilih sofa berlawanan.
Bab 32: Momen di PesawatWajahku murung setelah menikmati sarapan hingga naik ke pesawat. Bukan tanpa alasan, kehadiran tiba-tiba dari makhluk super arogan itulah penyebabnya.Aku tidak tahu kenapa seseorang yang bekerja di proyek yang berbeda bisa ikut bersama kami dalam perjalanan ini. Terlebih, dia akan bergabung dan menginap di hotel yang sama denganku.Biasanya, karyawan di kantorku tidak pernah ikut bergabung dengan divisi atau tim lain saat mereka menerima bonus dari perusahaan, apa lagi jika perjalanan jauh. Setiap tim hanya melihat dengan iri sembari berdoa agar giliran mereka tiba nanti .Sesuai dengan jadwal keberangkatan, kami terbang dari Jogja ke Bali dengan menumpang salah satu mas kapai berplat merah milik Indonesia. Aku dan Ismi duduk berdekatan usai dipersilakan oleh salah satu pramugari.Tidak ingin terlihat buruk, aku aktif membantu Ismi. Perempuan itu juga menerimanya dengan senang hati. Mungkin i
Bab 31: KejutanWeekend! Aku melepas sebuah senyum lega saat melihat Ismi benar-benar menepati janjinya. Dia mengeluarkan sebuah koper kecil dari kamarnya yang juga kecil itu.Hal paling membahagiakan untukku adalah Ismi terlihat sangat cantik dengan gamis panjang berwarna birunya itu. Berpadu dua bahan lembut polos dan bermotif bunga serta kerudung yang disampir di bahu namun tetap menutup dada.Sedangkan aku, hanya ber-kaos biasa dan menutupinya dengan jaket kulit. Jauh berbeda jika dibandingkan dengan penampilan Ismi yang serba rapi.“Apa ada lagi yang ingin dibawa, Mas?” Ismi menegurku yang berdiri di ambang pintu kamar.Sebuah koper kecil sudah tergeletak di tengah ruangan, menunggu milik Ismi bergabung. Sisanya? Sudah pasti tidak ada.Kami hanya akan tinggal selama dua hari di Bali kar
Bab 30: Hati Kami Perlahan Mencair“Ini, semua pesanan kalian!” Aku berkata dengan suara kesal usai meletakkan sebuah kardus berat di atas meja panjang.Kardus itu aku bawa dari rumah dan telah kuisi dengan puluhan batang sabun terakhir milik Ismi yang siap pakai. Tidak kupedulikan warna, tekstur atau bentuknya, asal sabunnya bisa dipakai maka aku angkut sekalian.Semenjak kejadian pelecehan itu, aku memilih untuk membantu Ismi dengan menjual semua sabun-sabun Ismi kepada rekan kerjaku. Mereka bahagia luar biasa, bahkan tidak protes meski sabun yang mereka mau tidak tersedia.“Ini batch terakhir, sudah kosong di rumah!” tegasku kembali meski di depanku ada dua atasan perempuan yang merupakan penggemar Ismi.Merekalah asal-muasal aku berjualan sabun di kantor. Sebab merekalah, aku terus diteror oleh para penggemar Ismi.“Terakhir?” Perempuan itu mendengkus.Dia