Bab 19: Pelukan yang Tertunda
Dua hari dua malam aku menghilang dari orang tua dan Ismi. Gawai aku matikan dan hanya muncul di kantor sampai jam kerja selesai. Lalu, kembali mendekap sendirian dalam keheningan.
Dua hari penuh, aku tenggelam sembari memikirkan apa yang terjadi dengan keluarga ini. Semenjak memutuskan melamar Ismi, bayang-bayang yang muncul di pikiranku hanyalah tentang bahagianya pernikahan kami nanti. Istri yang salihah, cantik dan rupawan, serta mertua yang bersahabat. Lalu, ada bayi-bayi cantik dan tampan dilahirkan olehnya yang akan kami didik sebaik mungkin.
Ternyata, impian itu runtuh dalam waktu kurang dari satu bulan. Kini, hanya tersiksa angan semata.
Aku memalingkan muka dan menghadap ke arah dinding sebuah kamar. Sejak kemarin, aku mengurung diri di salah satu kamar hotel sendirian, hanya menyalakan TV agar tidak terlalu sunyi.
Namun, ada sesuatu yang cukup mengganggu diriku. Dalam dua hari
Bab 20: Surat dari Ibu dan BapakTidak kuminta banyak hal darimuSelain kesediaan untuk menerimaku seutuhnya dalam hidupmuJika sudah begitu, aku berjanji jarak dan waktu tidak akan pernah menjadi pemisah di antara aku dan kamu.-Untaian Hati Ismi Diana--Keesokan paginya, aku terbangun di sisi ranjang ibu. Perempuan yang kuhiraukan semalaman sampai tertidur itu ternyata sudah membuka kedua matanya.Dia mengusap pucuk kepalaku dengan sangat lembut. Tatapan matanya jatuh saat kami saling beradu pandang, kemudian ibu berpaling dengan segera.“Bu?” panggilku.Khawatir padanya, aku beranjak dari duduk. Aku memilih untuk menatapnya dengan lebih dalam dan lamat, tidak lupa mengecek sisa air infus serta kondisi tubuhnya yang semalam menghangat.“Kenapa pulang?”Suara ibu berat dan dalam saat
Bab 21: Senyuman Ismi “Kamu belum lupa dengan kesepakatan kita ‘kan?” Aku bertanya pada Ismi sebelum berangkat kerja pagi ini. Tepat setelah menemukan kenyataan jika bapak dan ibu sudah kembali ke Ledok Sambi, sekarang aku ingin sekali menegaskan kembali pada Ismi perihal hubungan kami.Perempuan itu hanya mengiyakan perkataanku. Tangannya terulur, menyerahkan bekal yang sudah dibuatnya sejak pagi.Aku menghela napas melihat Ismi begini. Sebenarnya, aku juga tidak tega melakukannya.“Baik, Mas ... kalau begitu izinkan aku mencari pekerjaan, supaya nanti aku tidak kalang-kabut sendirian,” lirihnya.Intonasi bicara Ismi mendadak turun drastis. Bibirnya berat berkata hingga terlihat bergetar. Lebih dari itu, suaranya sengau dan dalam, seolah sedang menahan diri agar tidak menangis.“Jangan buru-buru, aku tidak memaksa!” potongku sebelum air mata sempat jatuh di pipi Ismi.
Bab 22: Perkara Tidak Peka“Apa lagi ini?” seruku usai pulang lari pagi mengelilingi perumahan.Ini hari minggu yang tenang setelah peluncuran aplikasi berhasil dilakukan perusahaan. Akhirnya, aku bisa berlibur tanpa harus melihat layar laptop atau gawai.Setelah sekian lama juga, aku bisa kembali berputar-putar di sekeliling kompleks. Menyapa tetangga yang lama tidak pernah kulihat lagi hadirnya. Lalu, mampir di sebuah warung nasi uduk terlezat dan membeli lauk terbaik mereka, ayam berbumbu yang gurih.Dulu, aku selalu membeli sebungkus. Sekarang, karena ada Ismi aku harus membeli dua. Ditambah kerupuk dan beberapa gorengan sebagai selingan.Meski sempat digoda oleh nenek penjual karena porsinya berubah, aku bergegas kembali ke rumah dengan perasaan bahagia. Kubayangkan aku duduk di ruang keluarga, menyalakan TV dan menonton kartun serta berita pagi sembari menikmati nasi uduk ini.Tapi, semua baya
Bab 23: Ismi Jadi TerkenalPerempuan itu mulai membangun bisnis seorang diri dari sebuah ruangan kecil itu. Pagi sampai siang, dia akan mengaduk berbagai jenis bahan untuk membuat sabun. Lalu sorenya dia akan mengecek pesanan sabun dari aplikasi marketplace.Kurir datang dan pergi dari rumahku. Pelanggan-pelanggan ada yang langsung mampir ke rumah dan membeli dalam jumlah besar, walaupun harga sabun natural buatan Ismi jauh lebih mahal dibanding sabun di pasaran.Memang, aku mengakui hasilnya. Setelah Ismi membuka bisnis ini dan sabun-sabun di rumah diganti dengan hasil karyanya, aku merasakan perubahan drastis di tubuh. Kulitku jadi lembut dan kenyal, jauh dari reaksi alergi, seolah Ismi memang meracik sabun untuk diriku.Entahlah, karena aku sendiri tidak pernah bertanya padanya. Egoku terlampau tinggi untuk menunjukkan ketertarikan pada apa yang dilakukan olehnya.“Mas, aku pergi dulu, ya? Hari ini
Bab 24: Petaka Kedua untuk IsmiSejak hari itu, kehidupan di kantor berubah drastis. Banyak karyawan perempuan yang terus mendatangi mejaku hanya untuk bertanya apa mereka bisa membuat pesanan melaluiku.Tidak berhenti sampai di situ saja, bahkan atasan-atasanku yang lain mulai meminta bagian. Mereka dengan terang-terangan bertanya apa aku bisa membantu istri mereka yang menggemari Ismi. Atau mungkin membuatkan janji temu dengan perempuan itu.Awalnya, aku mencoba untuk menolak sebisa mungkin. Lambat laun, permintaan itu berubah menjadi desakan dan sedikit ancaman. Terutama dari dua perempuan yang sejak awal meminta bantuan dariku.“Bisa, ya?” tegasnya lagi usai rapat evaluasi dari aplikasi terbaru.Aku memicingkan mata mendengar permintaan yang sama. Jenuh, dan cukup muak, tapi tidak ada yang bisa kulakukan. Terlebih, aku masih butuh pekerjaan di kantor ini.“Ok. Nanti aku cob
Bab 25: Diamnya Ismi dan Berubahnya HatikuSetelah magrib tiba, aku keluar dari rumah dengan dua polisi yang datang memeriksa TKP. Pria-pria berwibawa yang bersedia datang setelah menerima laporan dariku itu terus mengecek dan memastikan keadaan dari Ismi.Mereka seperti enggan berangkat, bahkan berusaha untuk terus menguak lebih jauh tentang kondisi Ismi yang kini terbaring di dalam kamar kami. “Maaf, Pak ... apa Anda yakin jika istri Anda tidak memerlukan bantuan medis?”Aku menggelengkan kepala dengan tegas. Bukan karena tidak ingin Ismi dirawat setelah begitu terluka, namun aku hanya tidak ingin Ismi kembali diperlakukan seperti seorang korban, meski dia sedang menyandang status itu.Biar untuk malam ini, aku sendiri yang akan menemaninya. Biar kali ini, aku sendiri yang akan merawatnya. Akulah yang bertanggungjawab terhadap Ismi.“Terima kasih atas perhatian Anda, Pak. Saya hanya ingin masalah i
“Ismi? Jawab aku, Ismi!”Aku terburu-buru saat memasukkan kunci ke lubang pintu. Berulang kali benda kecil dan pipih itu terjatuh, ditambah keringat yang mengucur dengan derasnya di setiap jengkal kulit hingga baju kaos yang aku gunakan mulai lembab di bagian depan.Berbagai pikiran buruk terus membuatku gagal mengontrol diri. Hingga akhirnya, kudengar sahutan lembut dari arah dalam.Aku mundur sejengkal, berharap kedua telinga ini tidak salah menangkap suara. Mungkin, memang Ismi yang sedang berusaha membuka pintu.Benar saja, hanya selang beberapa detik, pintu yang hampir membuatku gila terbuka pelan. Sangat pelan hingga ingin rasanya aku mendobrak dengan sekuat tenaga dan mengeluarkan Ismi dari sana.Di hadapanku, Ismi menundukkan wajah pucatnya. Bibirnya kering seperti musim panas, wajahnya layu, tidak ada gairah setetes pun di sana. Ditambah lagi, tubuhnya yang membungkuk seperti tidak punya tenaga untuk menopang.“Ism
Bab 27: Salah Paham“Jadi, kamu berbaikan lagi dengan Ismi?” Kudengar suara perempuan nan pintar itu membelah hiruk-pikuk di sebuah kafe trendi.Dia menyilangkan kaki dengan anggun, kemudian memainkan jemari lentiknya yang berhiaskan kuteks di bibir cangkir. Farah tersenyum kemudian, tidak ingin langsung menjawab dan membiarkanku menanti dengan penuh bimbang.“Apa bapak dan ibu masih salah paham denganku?” lanjutnya kembali.Farah masih memasang ekspresi tenang. Mungkin, pria lain akan mengira jika Farah sedang begitu santai, namun aku yang sudah mengenalnya cukup lama tentu mengerti jika apa yang dirasakan olehnya saat ini adalah kebimbangan.“Kamu ingin tahu soal Ismi, ibu dan bapak, atau soal kita?” balasku padanya dengan suara yang lebih renyah.Aku tidak ingin membuat suasana reuni kampus hari ini berubah menjadi muram hanya karena permasalahan perasaan yang tidak kunjun
Bab 38: Penghujung Cerita (TAMAT)“Ini bagaimana, maksudnya?” Aku berseru tanpa sadar pada ibu dan bapak.Keduanya serentak melirik ke arahku. Ibu membenarkan kerudungnya sedikit dan bapak langsung tersenyum.Beliau melipat tangan di dada, kemudian bersandar pada sofa. Ekspresinya seolah berkata jika dirinya telah melakukan sesuatu yang sangat besar hingga wajar untuk disombongkan.“Pak?” Aku memanggil bapak.Penasaran dengan apa yang telah terjadi sebenarnya, hingga bapak dan ibu memasang wajah berseri seperti ini. Jika memang mereka berdua tahu soal masa lalu, lantas kenapa tidak ada yang membicarakannya denganku dan Ismi?Selama ini, kami berdua saling terjebak di dalam labirin gelap. Aku membiarkan Ismi kesulitan sendirian, sedang diriku berusaha mencari jalan keluar sendirian.Andai saja saat itu aku benar-benar berhasil membebaskan diri, tentu saja saat ini kami tidak akan duduk begini. Mungkin, Ismi sudah kembali ke rumah almarhum orang tuanya, dan bapak serta ibu sedang memelu
“Mas, apa Bapak dan Ibu sudah tiba? Kenapa lampu di rumah ini menyala?” papar Ismi saat aku menghentikan laju mobil di depan rumah.Aku bergegas menengok. Benar dugaan Ismi, lampu rumah kami menyala, terlihat terang dari jendela dan lubang anginnya.Tapi, apa mungkin bapak dan ibu langsung berangkat setelah aku menghubungi mereka berdua? Bagaimana cara mereka masuk jika sudah tiba?“Mas, sepertinya begitu,” sambung Ismi.Perempuan itu menyentuh lenganku. Tangannya terasa dingin dan manik matanya bergoyang saat kuperhatikan. Sepertinya, dia gugup akan sesuatu hingga tidak bisa mengontrol tenang pada dirinya sendiri.“Ah, maaf!” ucapnya tiba-tiba.Ismi menarik tangannya dariku seperti terkejut. Tidak ingin mengubah suasana dan perasaannya, aku menahan gerak Ismi.“Jangan melepasnya, aku tidak akan pernah menolak lagi,” ingatku pada Ismi. Senyum
Bab 36: Jogja LagiMalam itu, untuk pertama kalinya aku dan Ismi menembus jarak yang selama ini menjadi sekat pemisah di antara kami berdua. Tidak ada lagi batasan yang mencekikku dan Ismi, menarik kami dari hubungan dalam dan manis yang seharusnya kami rajut sejak lama berdua.Kami telah berdamai, menerima dengan lapang dada segala permasalahan yang pernah menimpa. Melepas segala rasa sakit dan kecewa antara satu sama lain, dan memilih untuk saling terbuka.Meski pernikahan kami diawali dengan rasa sakit, malam itu aku dan Ismi berhasil menghiasinya dengan obat serta pupuk terbaik. Perlahan-lahan, hubungan yang layu kembali mekar, penuh gairah dan kami berharap akan tumbuh subur hingga akhir hayat.Aku tersenyum paginya, memandangi pantai Kuta Bali yang masih sepi. Tiba-tiba saja hujan mengguyur hingga kegiatan kami untuk berwisata ditunda oleh pihak perusahaan.Bukan karena indahnya pantai Kuta, melainkan manisnya w
Bab 35: Titik Temu Perasaan Kami BerduaAku tidak bodoh, tentu saja tidak. Melihat ekspresi Ismi yang panik dan histeris itu, aku mulai mencoba menghubungkan satu per satu momen hingga menemukan titik terang.Perempuan yang belum lama ini kuambil dari kedua orang tuanya itu semakin terisak. Dia menutup kedua mata dan memilih untuk tetap diam meski aku masih mencoba menyusun potongan demi potongan kenangan dan kaitannya dengan tangisan Ismi.Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan hanyalah memerhatikan Ismi dengan saksama. Perempuan di depanku ini entah mengapa mulai terasa sangat familier. “Ismi?” panggilku hampir setengah berteriak.Aku ikut menyibak selimut karena terkejut dengan pikiranku sendiri, lalu duduk bersila di sebelah perempuan itu. Sedangkan Ismi masih mengatur napas yang memberat akibat ulahnya sendiri.“Aku tidak sedang bercanda sekarang! To-tolong jelaska
Bab 34: Seranjang Lagi“Mas?” Ismi kembali memanggil namaku dengan suaranya yang mendayu.Sejenak, aku merasa darah berdesir di setiap untaian nadi, lalu menembus cepat hingga ke otak. Di sana, aliran itu mengaktifkan sesuatu yang selama ini terpendam, sebuah hal yang mengundang gejolak hingga berpakaian setipis ini pun di malam dingin terasa begitu panas.“Mas, makanlah lagi?” sambung istriku.Kupalingkan muka padanya. Dua insan yang sedari tadi mengembuskan desah tidak sopan itu sudah berlalu. Mereka meninggalkan balkon dengan pintu terbuka hingga aku dan Ismi leluasa melanjutkan makan malam kami yang tertunda.“Makanannya lezat-lezat, ya? Perusahaan besar memang beda,” ujar Ismi kembali.Meski dia tidak mengucapkannya dengan jelas, aku paham sekali kalau Ismi sedang berbasa-basi. Wajahnya yang bening itu terlihat memerah di bawah sinar rembulan, dan gerak-geriknya begitu r
Bab 33: Ho-ney-moon “Ini kamar kalian!” Wanita yang selalu mengaku sebagai penggemar Ismi berseru saat kami check in di sebuah hotel berbintang. Hotel mewah yang berbatasan langsung dengan pantai Kuta Bali itu menyambut rombongan kami dengan ramah. Mereka menghidangkan welcome drink dan memberikan kami ruang tunggu untuk meluruskan kaki. Segalanya terasa eksklusif, menjunjung tinggi kenyamanan tamu meski kami datang ke sini karena ditraktir oleh perusahaan, meski kami datang karena diperintah oleh sebuah organisasi besar yang di bawahnya kami mencari makan. Aku duduk di sebuah sofa berbentuk setengah lingkaran berwarna merah, di sebelahku Ismi menempatinya dengan sangat tenang, bahkan punggungnya tegak tanpa bersandar. Selain kami, tiga pasangan lain memilih berdiri, menikmati camilan atau sekadar melempar pandang ke pantai Kuta. Sisanya adalah para perempuan dan laki-laki lajang yang memilih sofa berlawanan.
Bab 32: Momen di PesawatWajahku murung setelah menikmati sarapan hingga naik ke pesawat. Bukan tanpa alasan, kehadiran tiba-tiba dari makhluk super arogan itulah penyebabnya.Aku tidak tahu kenapa seseorang yang bekerja di proyek yang berbeda bisa ikut bersama kami dalam perjalanan ini. Terlebih, dia akan bergabung dan menginap di hotel yang sama denganku.Biasanya, karyawan di kantorku tidak pernah ikut bergabung dengan divisi atau tim lain saat mereka menerima bonus dari perusahaan, apa lagi jika perjalanan jauh. Setiap tim hanya melihat dengan iri sembari berdoa agar giliran mereka tiba nanti .Sesuai dengan jadwal keberangkatan, kami terbang dari Jogja ke Bali dengan menumpang salah satu mas kapai berplat merah milik Indonesia. Aku dan Ismi duduk berdekatan usai dipersilakan oleh salah satu pramugari.Tidak ingin terlihat buruk, aku aktif membantu Ismi. Perempuan itu juga menerimanya dengan senang hati. Mungkin i
Bab 31: KejutanWeekend! Aku melepas sebuah senyum lega saat melihat Ismi benar-benar menepati janjinya. Dia mengeluarkan sebuah koper kecil dari kamarnya yang juga kecil itu.Hal paling membahagiakan untukku adalah Ismi terlihat sangat cantik dengan gamis panjang berwarna birunya itu. Berpadu dua bahan lembut polos dan bermotif bunga serta kerudung yang disampir di bahu namun tetap menutup dada.Sedangkan aku, hanya ber-kaos biasa dan menutupinya dengan jaket kulit. Jauh berbeda jika dibandingkan dengan penampilan Ismi yang serba rapi.“Apa ada lagi yang ingin dibawa, Mas?” Ismi menegurku yang berdiri di ambang pintu kamar.Sebuah koper kecil sudah tergeletak di tengah ruangan, menunggu milik Ismi bergabung. Sisanya? Sudah pasti tidak ada.Kami hanya akan tinggal selama dua hari di Bali kar
Bab 30: Hati Kami Perlahan Mencair“Ini, semua pesanan kalian!” Aku berkata dengan suara kesal usai meletakkan sebuah kardus berat di atas meja panjang.Kardus itu aku bawa dari rumah dan telah kuisi dengan puluhan batang sabun terakhir milik Ismi yang siap pakai. Tidak kupedulikan warna, tekstur atau bentuknya, asal sabunnya bisa dipakai maka aku angkut sekalian.Semenjak kejadian pelecehan itu, aku memilih untuk membantu Ismi dengan menjual semua sabun-sabun Ismi kepada rekan kerjaku. Mereka bahagia luar biasa, bahkan tidak protes meski sabun yang mereka mau tidak tersedia.“Ini batch terakhir, sudah kosong di rumah!” tegasku kembali meski di depanku ada dua atasan perempuan yang merupakan penggemar Ismi.Merekalah asal-muasal aku berjualan sabun di kantor. Sebab merekalah, aku terus diteror oleh para penggemar Ismi.“Terakhir?” Perempuan itu mendengkus.Dia