"Maka dari itu, Mas. Kenapa Mas malah menyuruh saya berhenti? Nanti Mas tidak ada yang merawat." Cherrine berwajah sendu menanggapi ucapan Revin tadi.
Revin tidak peduli pada apa yang dikatakan Cherrine. Tanpa menjawab, Revin langsung memulai sarapan. Dia merasa tidak nyaman selama sarapan, tetapi tidak mungkin juga ia mengetuk kamar Lisa untuk mengajaknya sarapan. Tentu aneh, bukan? Revin memutuskan untuk tidak peduli, dan segera menghabiskan sarapan itu dan berangkat bekerja.
Di kamar, Lisa hanya diam saja mendengar apa yang dikatakan Revin barusan. Padahal kapan dia seperti itu? Dia selalu bangun pagi menyiapkan sarapan untuk Revin, kecuali satu kali saat dia dirawat di rumah sakit satu malam itu.
Begitu Revin pergi, Bibi Ema datang ke rumah sambil membawa tas besarnya berisi pakaian. Revin sudah menghubungi yayasan agar Ema bekerja penuh di rumah itu. Itu artinya dia akan tinggal di rumah itu dan mendapat gaji yang l
"Tuan Revin, Nyonya Lisa sedang sarapan." Pelayan Ema mengirim foto Lisa yang sedang sarapan. Sebelumnya Revinlah yang memberi tahu pada Ema bahwa Nyonya Lisa belum sarapan melalui pesan singkat. "Baguslah. Perhatikan dia," balas Revin. "Baik, Tuan." Membaca pesan terakhir dari pelayan Ema. Revin meletakkan ponselnya pelan di atas meja kerja. "Sungguh perempuan yang merepotkan," keluhnya dengan kening mengerut, tanpa ia sadari hatinya menjadi tenang. Pengakuan Lisa akan dosa-dosanya memang membuat Revin sedikit melunak. Apalagi penyesalan itu tampak terbukti dengan kerelaan Lisa untuk bercerai tanpa menuntut apapun. *** Suara pintu diketuk, dan Alex langsung memasuki ruangan putranya. "Ada apa kau mencari Papa?" Alex langsung berjalan menuju sofa dan menghempaskan tubuhnya, dan duduk di sana. &
Saat ini, Lisa berada di kafe lantai atas. Terdengar langkah Aisyah menaiki tangga dan menghampiri Lisa yang sedang memeriksa data keuangan kafe."Mbak Lisa memanggil saya?" tanya Aisyah."Iya. Duduk dulu, Aisyah." Aisyah langsung duduk."Pendapatan kafe kita meningkat drastis. Kalian pasti sangat bekerja keras. Saya akan menambah bonus kalian bulan ini, terutama untukmu. Apa ada keluhan dari semua karyawan?" tanya Lisa penuh perhatian."Terima kasih, Mbak. Sejauh ini belum ada keluhan. Kami masih bisa beristirahat tepat waktu secara bergantian." Aisyah berucap bersemangat."Syukurlah. Besok pagi saya berencana mengunjungi panti asuhan Pelangi Anak. Kamu temani saya ya!""Baik, Mbak."Lisa pun meminta pegawainya untuk menyiapkan segala sesuatu untuk besok. Mulai dari makanan, peralatan sekolah, pakaian, mainan, dan amplop-amplop berisi ua
"Bahkan lebih baik kau tidak usah sama sekali memakai make-up jika sedang di rumah." Revin kembali berucap. Bagi Revin tanpa make-up pun Lisa sebenarnya sudah cantik. Bahkan tampak lebih muda 4 tahun dan terlihat polos sekali melebihi Erika. Revin sudah pernah melihat sendiri wajah Lisa tanpa make-up. "Begitu kutahu kalau aku sedang hamil, aku langsung berkonsultasi pada dokter tentang merk make-up, juga krim wajah yang aman untuk kupakai, Kak." Lisa menjelaskan dengan suara rendah. "Itu tidak pasti. Bisa saja doktermu itu bodoh. Setahuku tidak baik memakai make-up ke wajah saat hamil apalagi makeup yang tebal!" Lisa menelan ludahnya. Tidak tahu siapa yang benar di antara mereka. "Baiklah, aku akan memakai riasan yang tipis." Lisa memutuskan untuk mengalah. Biarlah dia terlihat semakin buruk rupa, toh kenyataannya rasa jijik Revin padanya tidak bisa diubah. Revin menghela napas. "Terserah pad
Setelah memeriksa beberapa email yang masuk, Revin merebahkan tubuhnya di ranjang. Pikirannya tertuju pada surat perjanjian tadi. Lisa sudah benar-benar menandatangani surat perjanjian cerai tanpa komentar apa pun, itu berarti dia hanya tinggal menunggu masa kehamilan Lisa degan sabar. Tiba-tiba Revin mendesah kesal saat teringat Lisa yang menolak untuk tidur di kamarnya. "Sudah baik aku menawarkan. Tidak akan ada lagi tawaran berikutnya!" tegasnya di dalam hati. Tak berapa lama, ponsel Revin berbunyi. Dengan sigap dia meraih ponsel di atas nakas dan melihat pesan obrolan yang masuk. Ternyata dari si anaconda. "Ngapain sih!" serunya kesal. Dia tidak membuka pesan itu. Sedikit pun tidak ada rasa penasaran akan isinya. Dia malah kembali meletakkan ponselnya di atas nakas dan kemudian kembali berbaring. Cherrine sedikit mengerutkan kening melihat layar ponselnya. "Mas Revin online tapi kenapa di
"Aku sama sekali tidak kegeeran, Kak," tanggap Lisa dengan suara rendah. "Tapi soal Test DNA, apa...apa tes DNA memang tidak akan berbahaya bagi kandunganku?" tanya Lisa dengan hati meragu. "Itu sebabnya aku menanyakan keadaan kandunganmu. Kalau dalam keadaan sehat mungkin akan baik-baik saja nanti," jawab Revin apa adanya. "Kata dokter, kandunganku lemah. Besok aku akan menanyakan pada dokterku apa aku boleh menjalani tes DNA." Revin menghela napas. "Baiklah, begitu saja." Setelah makan, tanpa berpamitan Revin berangkat begitu saja meninggalkan Lisa. "Tunggu sebentar, Kak!" panggil Lisa. Dia melangkah menyusul Revin. "Ada apa? Aku sudah telat." "A-aku mau mengucapkan terima kasih karena Kakak memakai jasa ART dengan jam kerja penuh," ucap Lisa sambil menundukkan wajahnya. Sebisa mungkin dia menutupi wajahnya yang jelek itu
Hari sudah sore, Lisa memutuskan untuk pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, dia langsung disambut Pelayan Ema."Nyonya pasti capek. Bibi buatin minum ya?"Lisa mengangguk pelan. "Terima kasih, Bi," ucapnya, lalu duduk di sofa dan mulai membuka ponsel. Sedari tadi dia tidak melihat ponselnya.Ada beberapa pesan obrolan yang masuk, dan salah satunya dari nomor yang tidak ia kenal. Dia pun membukanya dan mendapati foto Revin bersama Cherrine di sana. Revin tampak sedang sibuk makan, sementara Cherrine tersenyum menghadap kamera. Foto itu sepertinya di area kantor.Melihat foto itu kepala Lisa mendadak pening. Dia memijit pelipisnya."Kak Revin menyangkal hubungannya dengan Cherrine tetapi mereka bertemu saat siang hari di kantor. Sudah jelas Cherrine benar-benar selingkuhan Kak Revin. Aku tidak mau Kak Revin dekat dengan perempuan jahat itu. Aku tidak mau bayiku memiliki ibu tiri
Revin memang memiliki rasa empati melihat keadaan Lisa yang cukup mengejutkannya, tetapi ia tetap dan akan selamanya membenci perbuatan Lisa yang sudah mengakalinya, entah itu Lisa sekarang menyesal atau tidak akan perbuatan liciknya itu. Itu sebabnya saat Lisa sepertinya ingin mencoba mengatur hidupnya, dia langsung merasa jengkel. Mereka bukanlah teman baik seperti dulu. Hubungan baik mereka telah rusak. Lisalah yang telah merusaknya! Dan kebersamaan mereka saat ini hanyalah keterpaksaan karena Lisa telah menjebaknya. Tetapi dengan tidak tahu malu Lisa malah mencoba ikut campur tentang siapa pasangan hidupnya. "Tidak tahu diri. Dibaiki sedikit saja langsung melunjak," gumam Revin saat dia melangkah menaiki tangga. Setelah Revin tak tampak, Lisa memutuskan untuk pergi beristirahat. Di tengah malam menjelang dini hari, mata Lisa menyalang. "Kalau kau mulai mencoba mengatur hidupku, aku tak ak
"Bu Lisa, saya khawatir apa yang saya duga terjadi. Tampaknya ada tumor yang tumbuh di area bekas infeksi di rahim Ibu Lisa. Kita harus melakukan pemeriksaan secara keseluruhan." Tubuh Lisa bergetar mendengarnya. Waktu itu di rumah sakit lain, dokternya juga mengatakan hal yang sama, hanya saja Lisa menolak melakukannya. • • • Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, Lisa kembali bertatap muka dengan Dokter Inggrid. "Apa benar ada tumor, Dokter?" tanyanya dengan mata berkaca-kaca. Dokter Inggrid mendesah pelan. "Iya, Bu Lisa. Tumor itu jika membesar, nantinya akan menghambat pertumbuhan janin Ibu. Sangat sulit jika ibu masih mempertahankan janin itu, apalagi kandungan ibu sangat lemah. " "Saya mohon, Dokter. Tolong obati tumor saya supaya janin saya bisa bertahan." Air mata Lisa mengalir begitu saja. Rahimnya sudah lemah ditambah
Lisa tetap diam. Hatinya menjadi semakin resah. Sebaliknya daripada menjawab Revin, Lisa mengalihkan pandangannya pada Damian. Dia seolah menunggu kode, tetapi Damian hanya diam tidak berkata apa-apa.Akhirnya dia beralih menatap Revin. Dengan gugup dan malu dia berkata, "Kau bilang, kau... mengetahui fakta tentangku. A-apa kau juga tahu bahwa dulu sewaktu masa sekolah, aku...aku...pernah mengalami..." Lisa diam tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Baginya ini sangat menyedihkan dan memalukan. Tapi tiba-tiba Revin memeluknya membuat Lisa terkejut dan melebarkan mata."Tidak usah kau jelaskan, Sayang! Aku tahu semua hal buruk yang menimpamu. Pria itu sudah mendapatkan ganjarannya di penjara. Begitu pula dengan Nafa, mantan ibu tirimu. Sampai sekarang dia masih berada di sana."Mendengar itu, air mata Lisa tiba-tiba jatuh tanpa bisa ia kendalikan. Tubuhnya bergetar dan dia mulai menangis. Dia sudah tahu tentang nasib pria itu dan nasib Nafa dari Damian, tapi saat pria ini yang mengataka
Revin terdiam mendengar ucapan Damian yang dari sejak lima tahun lalu sebenarnya selalu ia pikirkan. Apakah Lisa memang membencinya? Apakah itu adalah fakta? Sampai sekarang Revin tidak tahu jawabannya. Dan itu benar-benar berhasil membuatnya merasa gelisah dan dihantui. Tapi dia selalu mengingat saat terakhir ia berbicara pada Lisa waktu itu di mana Lisa masih memberikan perhatian pada luka di sudut bibirnya. Jika Lisa memang membencinya, mana mungkin ia masih memperhatikan hal kecil seperti itu sementara dirinya sendiri sudah di ambang maut. Entahlah! Revin tidak bisa menerkanya."Aku akan membuatnya mencintaiku," jawab Revin singkat pada Damian.Damian kembali mendengkus. "Rasa percaya dirimu terlalu tinggi."Revin mengerutkan kening. "Batu pun akan berlubang jika terus terkena tetesan air. Asalkan aku bertekun berbuat sebaik mungkin untuknya, aku akan mendapatkan hasilnya. Tapi itu bisa terjadi kalau kalian semua setuju untuk tidak ikut campur dalam hubungan kami."Damian menghela
"Mereka tidak terlibat," jawab Damian jujur.Revin sedikit lega mendengarnya ternyata orang tuanya masih memiliki hati nurani. Dia lalu bersedekap. "Kau menyembunyikan istriku selama lima tahun, aku bisa saja menjebloskanmu ke dalam penjara, Damian."Damian menatap Revin. "Laporkan saja, tapi Lisa akan semakin membencimu jika kau melakukan itu.""Dia kehilangan ingatan. Dia lupa padaku, jadi dia tidak memiliki rasa benci," tanggap Revin.Damian mendengkus. "Aku bisa membuatnya membencimu.""Apa pun itu akibatnya. Aku tetap bisa melaporkanmu kalau aku berkehendak," tegas Revin dengan kening mengerut tidak suka akan ancaman Damian.Damian geram mendengarnya. "Lima tahun lalu, Lisa mengalami mati suri. Harusnya kau berterima kasih padaku. Kalau bukan karena aku, Lisa pasti sudah dikubur hidup-hidup. Akulah satu-satunya yang menyadari bahwa Lisa masih hidup karena aku terus memperhatikannya dengan seksama dan langsung membawanya ke rumah sakit untuk memastikan penglihatanku!"Mereka semua
Di ruang rawat, mata Revin terus tertuju pada Lisa. Dan tangannya tak pernah lepas menggenggam tangan Lisa. Sesekali ia mengusap kepala Lisa pelan dengan rasa sayang."Lisa, aku mencintaimu," ucapnya dengan wajah sendu. Hingga detik ini ia masih tidak menyangka bahwa Tuhan telah sangat berbaik hati memberinya kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya pada Lisa."Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang Kau berikan padaku ini, Tuhan," ucap Revin di dalam hati dengan penuh rasa syukur.Pikirannya terus berputar merancang masa depan apa yang akan ia jalani bersama Lisa dan putri mereka satu-satunya."Itu sangat bagus jika Lisa benar-benar lupa," gumam Revin. "Aku berharap dia bisa lupa untuk selamanya. Bukankah sangat bagus jika Lisa lupa akan hal yang menyakitkan dalam hidupnya? Aku hanya tinggal membuat kenangan yang baru untuk kami. Kenangan-kenangan baru yang indah yang pantas untuk dikenang."Walaupun hilangnya sebagian ingatan Lisa sama dengan melupakan hubungan mereka, bagi R
Revin sungguh terpesona saat melihat Lisa keluar dari area toilet. Melihat Lisa secara langsung seperti ini, membuat keyakinan Revin mencapai seratus persen bahwa wanita yang berfoto dengan Lalisa memang adalah Lisa, istrinya. Lisa benar-benar masih hidup! Rasanya seperti mimpi bagi Revin. Tapi dia sadar betul bahwa ini adalah kenyataan! Kenyataan yang sungguh menakjubkan! Lisa terlihat sangat cantik, sama saat pertama kali ia mengenalnya di masa kuliah dulu. Jika dibandingkan dengan masa itu, Lisa sama sekali tidak ada perubahan.Namun, Revin tentu masih sangat mengingat tubuh kurus Lisa dengan perut membuncit dan penyakitan. Saat itu Lisa terlihat sangat menyedihkan. Tapi kini sosok Lisa yang seperti itu sudah tidak ada. Memikirkan hal ini, jelas sekali menunjukkan bahwa Lisa menjalani hidupnya dengan sangat baik selama lima tahun ini."Ternyata Lisa telah mengambil keputusan yang tepat untuk bersembunyi dariku dan Lalisa," ucap Revin dalam hati dengan patah semangat. Sejujurnya dia
"Ini adalah hari bahagia Damian, aku harus semangat, setidaknya untuk hari ini," ucap Lisa di dalam hati.Ia menatap penampilannya di depan cermin toilet. Cermin itu ukurannya memanjang sehingga beberapa wanita bisa bercermin di cermin yang sama secara bersamaan. Saat ia sibuk memperbaiki penampilannya Lisa pun segera menyadari sesuatu. Di dalam cermin, dia melihat pantulan seorang gadis kecil yang sedang menatapnya dengan intens di belakang. Lisa otomatis berbalik dan menatap si gadis kecil. Dia pun langsung terpesona melihat boneka cantik itu."Hai, kenapa sendirian?" sapa Lisa dengan senyuman lembut."Aku tidak sendiri. Papaku ada di luar menunggu." Lalisa langsung melangkah menghampiri Lisa, mendongak menatapnya dengan mata berbinar."Oh begitu.... Siapa namamu?" tanya Lisa sambil merundukkan punggungnya."Namaku Lalisa. Nama Kakak siapa?""Wah! Nama kita hampir sama. Nama Kakak, Lisa.""Mamaku namanya Lisa juga!" ucap Lalisa."Oh ya?""Iya, tapi sudah meninggal," sambung Lalisa ce
"Entahlah!" jawab Lisa dengan rasa ragu. "Apa aku menulis seperti itu di buku harianku? Aku ingin melihat buku harianku itu.""Kau tidak percaya padaku? Aku berkata jujur.""Pokoknya aku ingin melihatnya. Mana tahu aku bisa mengingat masa beberapa tahunku yang hilang.""Buku hariannya tidak ada padaku. Aku tidak tahu sekarang ada di mana. Mereka yang menyimpannya."Lisa menghela napas. "Apa papa sedih saat aku meninggal?" tanya Lisa penasaran"Tepatnya dia dihantui rasa bersalah. Soalnya apa yang dituduhkan mamaku soalmu sudah terbukti tidak benar. Dia mengira bahwa ia sudah tidak memiliki kesempatan untuk menebus kesalahannya padamu. Mungkin itu juga yang membuatnya terkena stroke saat itu juga."Lisa diam merenungkan ucapan Damian. Papanya menyesal? Jika itu benar, bukankah itu bagus! Bukankah itu hal yang diinginkan Lisa selama ini bahwa papanya akhirnya menyadari kebenaran bahwa ia tidak bersalah?"Harusnya kalau kau melihat papaku menyesal, kau tidak perlu membawaku pergi, Damian.
Damian menolak panggilan itu, tetapi saat dia kembali membuka suara, ponselnya berbunyi kembali."Dari siapa? Angkat saja dulu," ucap Lisa, tapi Damian malah mengaktifkan mode pesawat agar telepon tidak dapat masuk."Yang mau kukatakan lebih penting. Jujur, Lisa. Aku sangat terkejut karena kemarin kau tiba-tiba datang kemari tanpa pemberitahuan.""Kalau kuberitahu, kau pasti tidak mengizinkan. Kau terlalu mengkhawatirkanku, padahal aku baik-baik saja sekarang."Damian menghela napas. Lisa datang ke ibukota, cepat atau lambat rahasia yang ia simpan pasti akan terbongkar. Semalaman Damian memikirkan hal ini. Dan kesimpulan yang ia tarik adalah lebih baik jika dia duluan yang mengungkapkan. Walaupun tentu saja tidak semua langsung ia beritahu. Beberapa hal akan dia tahan dulu. Dia takut mental Lisa malah terganggu kembali jika ia memberitahu semuanya sekaligus. "Berjanjilah kau tidak akan marah. Ada rahasia yang ingin kuberitahu." "Baiklah, apa itu?" jawab Lisa cepat. Lisa yakin sepenuhn
"Bu! Apa Lisa sudah kembali? Aku tidak melihatnya di sana," seru Damian dengan wajah pucat dan napas tidak beraturan begitu sampai ke dalam rumah."Tenanglah, Nak. Dia sudah kembali. Mungkin dia sedang mandi sekarang," jawab ibu tiri Damian dengan suara tenang.Seketika hati Damian melega. Dia pun pergi ke lantai atas untuk menunggui Lisa. Tidak berapa lama Lisa pun muncul. Secara fisik dia sehat. Berat badannya pun normal. Lisa terlihat sangat cantik dan awet muda dengan rambut hitam lurus sebahu. Dia tidak lagi mengecat rambutnya. Dan walaupun usianya sudah 26 tahun, ia terlihat seperti berusia 20 tahun."Lisa!" seru Damian menghampiri Lisa, dan langsung memeluknya."Kenapa pergi ke kuburan sendirian?" tanyanya tak paham setelah melepas pelukannya.Lisa tersenyum. "Kau mengkhawatirkanku?""Kau tahu akulah manusia yang terus mengkhawatirkanmu," lugas Damian dengan bibir cemberut."Kau kan banyak urusan karena akan wisuda, jadi aku memutuskan pergi sendiri. Aku sudah lama sekali tidak