Lisa sedang menelepon Aisyah, salah satu pegawai kepercayaannya di kafe.
"Aisyah, kalau besok pagi petugas panti asuhan datang, kasih saja dua juta ya. Soalnya besok pagi saya ada kuliah," ucap Lisa memberi tahu.
Sejak Lisa membuka kafe dan pendapatannya lumayan, Lisa memang memutuskan untuk menjadi salah satu donatur tetap di sebuah panti asuhan khusus untuk anak-anak penyandang cacat, panti asuhan 'Pelangi Anak'. Alasannya, ya, dia ingin saja melakukannya. Tidak ada alasan khusus. Waktu itu, petugas panti asuhan datang ke kafenya untuk mencari donatur. Dan setelah ia berkunjung langsung ke panti asuhan tersebut, melihat langsung keadaan di sana, Lisa pun memutuskan untuk menjadi donatur tetap panti asuhan tersebut. Walaupun sumbangannya mungkin tidak sebesar donatur-donatur kaya lainnya, tetapi Lisa ikhlas melakukannya.
"Iya, Mbak. Beres! Ngomong-ngomong, nasi goreng sapi lada hitamnya, makin banyak yang minat lh
Selamat malam, Readers! ^^ Dukung novel baru ini dengan memberi vote dan rate bintang 5 ya, Kak! ^^ Terima kasih.^^ ❤️
Dua minggu lebih telah berlalu sejak kejadian Revin yang datang tiba-tiba ke apartemen Lisa pada tengah malam, lalu melakukan hal itu pada Lisa.Lisa sudah membeli alat tes kehamilan. Dan pagi ini, sewaktu bangun tidur, dia menggunakan alat tes itu. Jantung Lisa berdebar-debar. Sungguh, dia takut sekali hamil. Dia sudah menghitung waktu, dan sudah waktunya dia melihat hasil tesnya.Deg!Garis dua. Dia hamil! Seketika tubuh Lisa menjadi lemas seperti jelly. Dia bersandar di dinding dan kemudian merosot duduk di lantai. Lisa menghela napas berat."Bagaimana ini? Apa aku harus memberi tahu hal ini pada Kak Revin? Bagaimana kalau Kak Revin marah dan kecewa padaku? Bagaimana kalau Kak Revin tidak mau bertanggung jawab? Kak Revin menginginkan istri yang baik, istri yang sempurna. Sementara diriku?"Di mata Revin dia hanyalah jalang, perempuan murahan, yang hanya digunakan Revin untuk m
Dua minggu lebih Revin tidak pulang ke rumah. Renata, mamanya Revin, selalu menghubunginya agar kembali pulang. Setelah merenungkan apa yang terjadi, Revin pada akhirnya memutuskan untuk pulang. Lebih baik dia mengalah saja, walaupun sebenarnya dia cukup keberatan jika disalahkan atas apa yang dia lakukan pada Anna. Menurut Revin, dia tidak punya salah pada Anna. Saat dia meraba bokong Anna perlahan dan kemudian Anna melarang, dia mau menurut untuk tidak melakukannya lagi. Saat dia meminta cium bibir, dan Anna tidak mau, Revin juga tidak marah. Saat Revin mengajak untuk berhubungan intim dan Anna menolak keras, dia juga bisa terima. Begitu pula saat dia ingin memeriksa keperawanan Anna di mobil waktu itu, Revin sama sekali tidak memaksa Anna. Dia hanya membujuk! Kalau dia memang memaksa, pasti dia sudah berhasil memeriksa Anna dengan jarinya. Revin hanya menyentuh roknya, tetapi Anna sudah keburu naik pitam dan menamparnya hingga dua kali.
"Apa yang terjadi sebenarnya?" ucap Revin saat Lisa menutup kembali pintu apartemennya. Lisa langsung melangkah dan duduk di sofa, di hadapan Revin. "Seperti yang tadi kuberitahu di pesan tadi, aku...hamil, Kak," ucap Lisa gugup. "Jangan bercanda. Apa maksudmu hamil? Bukankah kau selama ini minum pil kontrasepsi?" tanya Revin serius. Suaranya menyimpan emosi yang masih tertahan. Lisa menelan ludahnya. Dia bingung cara menjelaskannya. "Aku berhenti meminumnya sebulan lebih ini." BRAKKK! Revin menggebrak meja dengan keras, membuat Lisa terkesiap seketika karena sangat terkejut. Rahang Revin mengeras dan giginya merapat. "Kau menjebakku Lisa," ucapnya dengan suara dingin, penuh emosi. "Aku tidak menjebak Kakak. Ini di luar dugaan," jelas Lisa cepat. "Apa alasanmu berhenti minum itu dan kenapa kau tidak me
"Tidak, aku tidak mau! Aku mau sendirian saja. Kalau Papa malu, aku akan segera pindah dari kota ini. Jangan usik keluarga mereka. Kehamilanku tidak ada hubungannya dengan keluarga itu!" teriak Lisa. Melihat tangan ayahnya naik hendak menamparnya lagi, Lisa hanya bisa memejamkan mata rapat-rapat. Tetapi pukulan itu tidak juga didapat, Lisa pun membuka mata, dan mendapati ayahnya sudah menarik tangannya dari udara. Tuan Wijaya menghela napas berat. Dia terlalu emosi mengetahui kehamilan Lisa untuk kedua kalinya. Itu sebabnya dia menampar Lisa hingga dua kali. Tetapi biar bagaimana pun Lisa adalah putrinya. Tuan Wijaya benar-benar berpikir bahwa ini lebih mudah untuk diselesaikan melihat putra keluarga Abimana masih lajang. Lisa akan hidup dengan baik jika menjadi menantu dari keluarga Abimana. Dan mungkin ke depannya Lisa tidak akan liar lagi mencari laki-laki karena sudah bersuami. "Aku bisa saja memaksamu, dan kau tentu tidak akan bisa menolak bagaimana pun caranya. Tetapi kali ini
Revin mengetuk pintu dan langsung masuk ke ruangan ayahnya. Saat ini ia sedang berada di kantor. "Ada apa Papa memanggilku?" tanya Revin setelah duduk di hadapan ayahnya. "Hendra baru saja mengajukan kerja sama dengan perusahaan kita. Padahal baru kemarin ia menjadi besan. Setelah Papa selidiki lebih saksama, Perusahaan Wijaya sedang mengalami krisis." Revin mendengkus tidak suka mendengarnya. "Jadi, apa Papa menerimanya?" "Mau bagaimana lagi?" jawab Alex sambil memberikan dokumen kerja sama. Revin sekilas membaca dokumen tersebut. "Harusnya Papa menolaknya! Lisa sudah menjebakku untuk menikahinya. Sekarang keluarganya terang-terangan mengambil untung dari pernikahan ini. Jangan-jangan ini salah satu tujuan Lisa menjebakku! Demi menyelamatkan perusahaan papanya." Revin mengepalkan tangannya, kebenciannya terhadap Lisa semakin bertambah. Alex menghela nafas panjang. "Dalam kerja sama ini, kita akan lebih berhati-hati. Papa akan pastikan agar kita tidak merugi." Revin menghembuska
Lisa mengolesi kakinya yang melepuh dengan salep yang diresepkan dokter padanya. Salep itu terasa dingin, di kulit kakinya. Kata dokter, luka melepuh ini tidak akan berbekas, membuat hati Lisa melega. Lisa juga mengolesi kulit memarnya yang ada di bahu dan paha dengan salep yang berbeda. Lisa memang selalu memperhatikan penampilannya. Itu sebabnya kulitnya sangat mulus, lembut dan kencang, baik yang terlihat maupun yang tak terlihat. Lisa menatap pelayan yang sibuk bersih-bersih dengan lincah di rumah barunya dengan Revin. Tadi dia menghubungi sebuah yayasan terpercaya untuk mengirimnya seorang pelayan wanita yang umurnya tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. Dan dalam waktu singkat pelayan berusia 37 tahun itu sudah berada di rumahnya. Lisa menghela napas. Ia merasa membutuhkan asisten rumah tangga setelah merasakan dirinya yang gampang lelah. Tetapi Revin sedang membencinya. Apa Revin akan langsung mengatainya pemalas dan manja karena hal ini? Rumah mereka memang memiliki dua l
Saat ini Revin berada di klub malam bersama Evans. Revin-lah yang menelepon Evans untuk bertemu. Sebagai sahabat, Evans tentu bersedia untuk datang menemui Revin, walaupun sebenarnya Evans lebih suka di rumah dan memeluk istrinya di ranjang sepanjang malam. "Bagaimana jadinya? Jangan sampai aku duluan yang wisuda." Evans terkekeh setelah mengatakan kalimat itu. Revin tersenyum kecut. "Kalau soal itu semua sudah beres. Satu-satunya yang tidak beres adalah perasaanku yang sedang kacau balau," ucap Revin. Evans menghela napas. Dia tahu Revin sangat stres akan pernikahan yang sama sekali tidak diinginkannya. "Semua sudah terlanjur terjadi. Ambil hikmahnya saja." Revin mendengkus. "Satu-satunya hikmah yang kuambil adalah jangan mudah percaya pada mulut wanita." Setelah berucap seperti itu, Revin menuang anggur ke gelas dan meminumnya. "Kau benar. Tapi hikmah yang paling utama, kau harus menanamkan pada calon anakmu kelak agar memiliki moral yang baik, salah satu manfaatnya agar ia tida
Sakit pada bagian perut bawah Lisa akhirnya mereda. Lisa perlahan mengusap perutnya dengan minyak esensial peppermint agar ia merasa rileks dan nyamam. Besok, ia berencana akan pergi ke dokter kandungan untuk memeriksa kandungannya. Lisa benar-benar takut jika harus mengalami keguguran lagi. Dia sangat menyayangi janinnya, buah cintanya dengan Revin. Belum lagi, jika Lisa mengingat betapa sakitnya rasanya dikuret, dan juga ketika ia demam tinggi karena infeksi akibat luka parut kuretan di dinding rahimnya, rasanya Lisa tidak akan kuat menjalaninya. Lisa kembali mengusap perutnya yang masih rata dengan sayang. Baru sebulan janin itu bersemayam di perutnya, tetapi naluri keibuannya sudah memenuhi perasaannya. "Sayang...Tetap kuat ya.. Jangan tinggalkan mama," lirih Lisa. Air mata Lisa mengalir begitu saja. Dia merasa hidupnya sangat berat, khususnya ketika ia sedang menghadapi kebencian dan kemarahan Revin. Seluruh tubuh Lisa langsung terasa lemas sekali ketika suaminya itu membentakn
Lisa tetap diam. Hatinya menjadi semakin resah. Sebaliknya daripada menjawab Revin, Lisa mengalihkan pandangannya pada Damian. Dia seolah menunggu kode, tetapi Damian hanya diam tidak berkata apa-apa.Akhirnya dia beralih menatap Revin. Dengan gugup dan malu dia berkata, "Kau bilang, kau... mengetahui fakta tentangku. A-apa kau juga tahu bahwa dulu sewaktu masa sekolah, aku...aku...pernah mengalami..." Lisa diam tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Baginya ini sangat menyedihkan dan memalukan. Tapi tiba-tiba Revin memeluknya membuat Lisa terkejut dan melebarkan mata."Tidak usah kau jelaskan, Sayang! Aku tahu semua hal buruk yang menimpamu. Pria itu sudah mendapatkan ganjarannya di penjara. Begitu pula dengan Nafa, mantan ibu tirimu. Sampai sekarang dia masih berada di sana."Mendengar itu, air mata Lisa tiba-tiba jatuh tanpa bisa ia kendalikan. Tubuhnya bergetar dan dia mulai menangis. Dia sudah tahu tentang nasib pria itu dan nasib Nafa dari Damian, tapi saat pria ini yang mengataka
Revin terdiam mendengar ucapan Damian yang dari sejak lima tahun lalu sebenarnya selalu ia pikirkan. Apakah Lisa memang membencinya? Apakah itu adalah fakta? Sampai sekarang Revin tidak tahu jawabannya. Dan itu benar-benar berhasil membuatnya merasa gelisah dan dihantui. Tapi dia selalu mengingat saat terakhir ia berbicara pada Lisa waktu itu di mana Lisa masih memberikan perhatian pada luka di sudut bibirnya. Jika Lisa memang membencinya, mana mungkin ia masih memperhatikan hal kecil seperti itu sementara dirinya sendiri sudah di ambang maut. Entahlah! Revin tidak bisa menerkanya."Aku akan membuatnya mencintaiku," jawab Revin singkat pada Damian.Damian kembali mendengkus. "Rasa percaya dirimu terlalu tinggi."Revin mengerutkan kening. "Batu pun akan berlubang jika terus terkena tetesan air. Asalkan aku bertekun berbuat sebaik mungkin untuknya, aku akan mendapatkan hasilnya. Tapi itu bisa terjadi kalau kalian semua setuju untuk tidak ikut campur dalam hubungan kami."Damian menghela
"Mereka tidak terlibat," jawab Damian jujur.Revin sedikit lega mendengarnya ternyata orang tuanya masih memiliki hati nurani. Dia lalu bersedekap. "Kau menyembunyikan istriku selama lima tahun, aku bisa saja menjebloskanmu ke dalam penjara, Damian."Damian menatap Revin. "Laporkan saja, tapi Lisa akan semakin membencimu jika kau melakukan itu.""Dia kehilangan ingatan. Dia lupa padaku, jadi dia tidak memiliki rasa benci," tanggap Revin.Damian mendengkus. "Aku bisa membuatnya membencimu.""Apa pun itu akibatnya. Aku tetap bisa melaporkanmu kalau aku berkehendak," tegas Revin dengan kening mengerut tidak suka akan ancaman Damian.Damian geram mendengarnya. "Lima tahun lalu, Lisa mengalami mati suri. Harusnya kau berterima kasih padaku. Kalau bukan karena aku, Lisa pasti sudah dikubur hidup-hidup. Akulah satu-satunya yang menyadari bahwa Lisa masih hidup karena aku terus memperhatikannya dengan seksama dan langsung membawanya ke rumah sakit untuk memastikan penglihatanku!"Mereka semua
Di ruang rawat, mata Revin terus tertuju pada Lisa. Dan tangannya tak pernah lepas menggenggam tangan Lisa. Sesekali ia mengusap kepala Lisa pelan dengan rasa sayang."Lisa, aku mencintaimu," ucapnya dengan wajah sendu. Hingga detik ini ia masih tidak menyangka bahwa Tuhan telah sangat berbaik hati memberinya kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya pada Lisa."Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang Kau berikan padaku ini, Tuhan," ucap Revin di dalam hati dengan penuh rasa syukur.Pikirannya terus berputar merancang masa depan apa yang akan ia jalani bersama Lisa dan putri mereka satu-satunya."Itu sangat bagus jika Lisa benar-benar lupa," gumam Revin. "Aku berharap dia bisa lupa untuk selamanya. Bukankah sangat bagus jika Lisa lupa akan hal yang menyakitkan dalam hidupnya? Aku hanya tinggal membuat kenangan yang baru untuk kami. Kenangan-kenangan baru yang indah yang pantas untuk dikenang."Walaupun hilangnya sebagian ingatan Lisa sama dengan melupakan hubungan mereka, bagi R
Revin sungguh terpesona saat melihat Lisa keluar dari area toilet. Melihat Lisa secara langsung seperti ini, membuat keyakinan Revin mencapai seratus persen bahwa wanita yang berfoto dengan Lalisa memang adalah Lisa, istrinya. Lisa benar-benar masih hidup! Rasanya seperti mimpi bagi Revin. Tapi dia sadar betul bahwa ini adalah kenyataan! Kenyataan yang sungguh menakjubkan! Lisa terlihat sangat cantik, sama saat pertama kali ia mengenalnya di masa kuliah dulu. Jika dibandingkan dengan masa itu, Lisa sama sekali tidak ada perubahan.Namun, Revin tentu masih sangat mengingat tubuh kurus Lisa dengan perut membuncit dan penyakitan. Saat itu Lisa terlihat sangat menyedihkan. Tapi kini sosok Lisa yang seperti itu sudah tidak ada. Memikirkan hal ini, jelas sekali menunjukkan bahwa Lisa menjalani hidupnya dengan sangat baik selama lima tahun ini."Ternyata Lisa telah mengambil keputusan yang tepat untuk bersembunyi dariku dan Lalisa," ucap Revin dalam hati dengan patah semangat. Sejujurnya dia
"Ini adalah hari bahagia Damian, aku harus semangat, setidaknya untuk hari ini," ucap Lisa di dalam hati.Ia menatap penampilannya di depan cermin toilet. Cermin itu ukurannya memanjang sehingga beberapa wanita bisa bercermin di cermin yang sama secara bersamaan. Saat ia sibuk memperbaiki penampilannya Lisa pun segera menyadari sesuatu. Di dalam cermin, dia melihat pantulan seorang gadis kecil yang sedang menatapnya dengan intens di belakang. Lisa otomatis berbalik dan menatap si gadis kecil. Dia pun langsung terpesona melihat boneka cantik itu."Hai, kenapa sendirian?" sapa Lisa dengan senyuman lembut."Aku tidak sendiri. Papaku ada di luar menunggu." Lalisa langsung melangkah menghampiri Lisa, mendongak menatapnya dengan mata berbinar."Oh begitu.... Siapa namamu?" tanya Lisa sambil merundukkan punggungnya."Namaku Lalisa. Nama Kakak siapa?""Wah! Nama kita hampir sama. Nama Kakak, Lisa.""Mamaku namanya Lisa juga!" ucap Lalisa."Oh ya?""Iya, tapi sudah meninggal," sambung Lalisa ce
"Entahlah!" jawab Lisa dengan rasa ragu. "Apa aku menulis seperti itu di buku harianku? Aku ingin melihat buku harianku itu.""Kau tidak percaya padaku? Aku berkata jujur.""Pokoknya aku ingin melihatnya. Mana tahu aku bisa mengingat masa beberapa tahunku yang hilang.""Buku hariannya tidak ada padaku. Aku tidak tahu sekarang ada di mana. Mereka yang menyimpannya."Lisa menghela napas. "Apa papa sedih saat aku meninggal?" tanya Lisa penasaran"Tepatnya dia dihantui rasa bersalah. Soalnya apa yang dituduhkan mamaku soalmu sudah terbukti tidak benar. Dia mengira bahwa ia sudah tidak memiliki kesempatan untuk menebus kesalahannya padamu. Mungkin itu juga yang membuatnya terkena stroke saat itu juga."Lisa diam merenungkan ucapan Damian. Papanya menyesal? Jika itu benar, bukankah itu bagus! Bukankah itu hal yang diinginkan Lisa selama ini bahwa papanya akhirnya menyadari kebenaran bahwa ia tidak bersalah?"Harusnya kalau kau melihat papaku menyesal, kau tidak perlu membawaku pergi, Damian.
Damian menolak panggilan itu, tetapi saat dia kembali membuka suara, ponselnya berbunyi kembali."Dari siapa? Angkat saja dulu," ucap Lisa, tapi Damian malah mengaktifkan mode pesawat agar telepon tidak dapat masuk."Yang mau kukatakan lebih penting. Jujur, Lisa. Aku sangat terkejut karena kemarin kau tiba-tiba datang kemari tanpa pemberitahuan.""Kalau kuberitahu, kau pasti tidak mengizinkan. Kau terlalu mengkhawatirkanku, padahal aku baik-baik saja sekarang."Damian menghela napas. Lisa datang ke ibukota, cepat atau lambat rahasia yang ia simpan pasti akan terbongkar. Semalaman Damian memikirkan hal ini. Dan kesimpulan yang ia tarik adalah lebih baik jika dia duluan yang mengungkapkan. Walaupun tentu saja tidak semua langsung ia beritahu. Beberapa hal akan dia tahan dulu. Dia takut mental Lisa malah terganggu kembali jika ia memberitahu semuanya sekaligus. "Berjanjilah kau tidak akan marah. Ada rahasia yang ingin kuberitahu." "Baiklah, apa itu?" jawab Lisa cepat. Lisa yakin sepenuhn
"Bu! Apa Lisa sudah kembali? Aku tidak melihatnya di sana," seru Damian dengan wajah pucat dan napas tidak beraturan begitu sampai ke dalam rumah."Tenanglah, Nak. Dia sudah kembali. Mungkin dia sedang mandi sekarang," jawab ibu tiri Damian dengan suara tenang.Seketika hati Damian melega. Dia pun pergi ke lantai atas untuk menunggui Lisa. Tidak berapa lama Lisa pun muncul. Secara fisik dia sehat. Berat badannya pun normal. Lisa terlihat sangat cantik dan awet muda dengan rambut hitam lurus sebahu. Dia tidak lagi mengecat rambutnya. Dan walaupun usianya sudah 26 tahun, ia terlihat seperti berusia 20 tahun."Lisa!" seru Damian menghampiri Lisa, dan langsung memeluknya."Kenapa pergi ke kuburan sendirian?" tanyanya tak paham setelah melepas pelukannya.Lisa tersenyum. "Kau mengkhawatirkanku?""Kau tahu akulah manusia yang terus mengkhawatirkanmu," lugas Damian dengan bibir cemberut."Kau kan banyak urusan karena akan wisuda, jadi aku memutuskan pergi sendiri. Aku sudah lama sekali tidak