Maya menyusuri mall itu dengan sangat hati-hati. "Apotiknya mungkin ada di lantai dua," ujarnya setelah mereka tidak juga menemukan obat apa pun di lantai satu. Perlahan, mata pria itu menatap ragu lantai dua yang sedikit gelap tidak seperti lantai satu yang hampir segala sisinya disinari oleh matahari. Sama seperti Maya, perasaan Ben juga mulai tidak enak saat dia melihat lantai dua yang terlihat mencurigakan itu. Akan tetapi, Ben tahu anak dan istrinya tengah menunggu obat yang akan mereka bawakan saat ini. Mereka harus cepat, sebelum hal buruk benar-benar mendatangi mereka nanti.
"Baiklah. Ayo pergi," ujar Ben sambil berusaha memberanikan dirinya sendiri. Lagipula, mereka tidak juga menjumpai zombie apa pun sampai saat ini. Kepercayaan dirinya meningkat, saat keduanya mulai menaiki eskalator yang sudah mati untuk pergi ke lantai dua.
Beruntung bagi mereka, toko apotik berada tidak jauh dari eskalator dan masih memiliki sedikit cahaya dari lampu yang kadang kala berkedip menakutkan. Pria tersebut dengan semangat segera memasuki toko tersebut. Dia berhasil mencari obat yang dia butuhkan setelah pria itu mencari ke segala tempat.
"Maya, aku menemukannya! Ya Tuhan, aku benar-benar bersyukur pada-Mu hari ini......"
Dengan semangat, pria itu segera mengambil obat itu untuk dia masukan ke dalam tasnya sendiri. "Ambil yang lain. Obat adalah barang langka di zona aman nanti. Mereka akan berguna untukmu," ujar Maya memberi tahu. Entah mengapa, perasaan wanita itu semakin buruk begitu mereka tiba di lantai dua. Maya memiliki perasaan bahwa seseorang tengah mengawasi mereka dari daerah yang benar-benar gelap gulita. Senapannya selalu siap sedia, ketika dia menunggu Ben berhasil mengambil semua yang masih tersisa di apotik tersebut.
Karena tasnya sendiri telah kembali penuh dengan berbagai barang yang berhasil diamankan nya dari lantai satu, Maya memilih untuk diam di luar dan mengawasi daerah sekitarnya ketika Ben sibuk mengambil obat-obatan yang masih tersisa di sana. Alisnya dari waktu ke waktu akan berkerut, ketika Ben malah berada dalam suasana hati yang baik saat ini.
"Tidak ada zombie, dan kita berhasil menemukan banyak sumber daya kali ini. Maya, mungkinkah Tuhan akhirnya merasa sedikit iba pada manusia seperti kita?"
"... Aku tidak tahu," jawab Maya saat matanya berusaha mencari apa yang sebenarnya bersembunyi di dalam kegelapan. Maya samar-samar hampir saja melihat sepasang mata, saat Ben yang lengah keluar dari apotik dengan gerakan yang sangat santai.
"Aku sudah selesai. Apa yang sebenarnya tengah kamu lihat, Maya?"
"AWAS!"
Maya relfleks mendorong Ben pergi ketika tumpukan zombie yang bersembunyi dalam kegelapan hampir saja menyeret pria itu masuk ke dalam kegelapan. Suara raungan zombie yang menyeramkan akhirnya terdengar begitu dekat di telinga wanita itu. Entah karena alasan apa, para zombie itu terlihat seperti tengah berusaha bersembunyi dari cahaya pada saat ini. Mereka terus berusaha untuk menarik Maya ke dalam kegelapan. Banyak tangan berusaha menarik tubuhnya, sementara perasaan ngilu mulai terasa di sekujur badannya.
"Maya!"
"LARI DAN MENJAUH DARI TEMPAT INI, BEN!" teriak Maya. Tanpa perlu melihat, Maya sudah tahu bahwa dia telah digigit saat ini. Wanita itu tetap menolak untuk menyerah, saat Maya dengan gesit melepaskan tembakannya untuk memukul mundur lautan zombie itu sementara dia akhirnya ikut melarikan diri dari tempat itu. Seperti dugaannya, para zombie itu berhenti mengejarnya begitu dia pergi ke tempat yang disinari cahaya matahari. Wanita itu tertawa hambar, saat dengan nafas terengah-engah dia keluar dari mall yang sepi itu.
Sekarang pertanyaannya mengenai kemana para zombie pergi akhirnya terjawab sudah. Mungkin karena akhir-akhir ini mereka tidak mendapat asupan darah yang cukup, tubuh mereka mulai berubah dan mereka mulai takut pada cahaya kini. Mereka bersembunyi di tempat-tempat gelap untuk mencari mangsanya pada siang hari. Maya memang telah melihat kejadian yang sama di lab tempat mereka meneliti zombie selama ini. Namun sampai sekarang, belum ada teori pasti yang menjelaskan mengapa zombie yang mereka kurung di dalam lab bisa tiba-tiba hangus seperti dikabar oleh sinar matahari. Maya merasa hari ini dia benar-benar beruntung. Karena kemungkinan besar, dia menjadi saksi pertama bahwa zombie sudah mulai berubah saat ini.
Maya mendesis sakit saat dia melihat leher, tangan, dan kakinya telah berhasil di gigit oleh zombie kini. Melihat pantulannya sendiri di cermin, Maya tersenyum kecut saat dia melihat dirinya sendiri sudah tampak seperti zombie yang menyeramkan karena luka-luka yang dia terima saat ini. Darah yang keluar dari luka-luka itu tampak meyeramkan dari pantulan kaca yang mengelilingi mall lantai satu. Maya berjalan dengan tertatih-tatih ke arah pintu keluar. Dia hanya ingin segera membuktikan teorinya sendiri pada saat ini.
"Maya!"
Maya langsung terkejut, saat dia melihat Ben dan keluarganya masih berada di tempat Maya memarkirkan mobilnya bahkan setelah dia meminta Ben untuk pergi saja tadi. Kunci mobil telah sengaja wanita itu simpan di mobil untuk memudahkan kepergiannya. Tapi dengan harapan yang kecil, keluarga itu tetap bersedia menunggunya keluar dari mall besar itu dan bahkan berani mendekatinya walau tubuh Maya saat ini sudah dipenuhi oleh bekas gigitan zombie.
"Maya..."
Mata Ben berkaca-kaca saat dia melihat tubuh Maya penuh dengan luka gigitan saat ini. Mereka tahu bahwa rata-rata manusia akan berubah satu jam setelah mereka digigit oleh zombie. Tapi dengan banyaknya gigitan yang diterima Maya, wanita itu bisa berubah kapan saja pada saat ini. Ben akhirnya tidak berani bergerak terlalu dekat dengan wanita itu, saat Maya sendiri tidak ingin menakuti mereka dan berhenti beberapa meter dari sosok pria itu.
"Tidak apa-apa. Ini bukan salahmu. Lihatlah sisi baiknya, kita menemukan fakta baru tentang zombie saat ini. Mereka sepertinya takut pada cahaya apa pun. Aku melihat salah satu dari mereka hampir terbakar hanya karena cahaya redup dari lampu yang ada di apotik tadi. Kalian bisa menyampaikan fakta baru ini pada pemimpin di zona aman nanti. Tampaknya, kebebasan manusia bisa didapat kembali tidak lama lagi setelah ini."
Maya mendongkak untuk menatap matahari yang bersinar terang di atasnya. Kepalanya mulai terasa pening, saat dia dengan susah payah berusaha memberikan tas dan senapannya sendiri pada Ben.
"Bawa tas dan senapan ini bersamamu. Mereka seharusnya membiarkanmu masuk, jika kamu membawa supply sebanyak ini. Hanya saja, ingatlah untuk berhati-hati atau orang-orang jahat akan merampok hasil jarahanmu nanti. Uh... Andai saja aku memiliki kamera sekarang. Aku seharusnya bisa menunjukan pada mereka, bahwa kalian tidak mengada-ngada ketika kalian memberi tahu mereka fakta baru ini nanti."
Suara Maya semakin mengecil saat luka di tubuhnya berdenyut semakin nyeri. Sungguh tidak disangka, dia malah akan mati karena menyelamatkan seseorang pada saat ini. Matanya dengan lelah melirik gadis kecil yang ada di mobil saat ini. Tampaknya dia telah membaik, karena gadis itu sudah bisa membuka matanya kali ini.
"Ji, jika kamera, aku memilikinya Maya! Ka, kami mematikannya setelah zombie muncul namun seharusnya kamera itu masih memiliki baterai sampai saat ini."
Maya tertawa kecil mendengar bahwa kebetulan ini terlalu menyeramkan untuk dipercaya. "Ha, bagus sekali. Sepertinya Tuhan memang akhirnya mau memberi kita jalan keluar Ben. Apakah kamu mau membuktikan teoriku, Ben? Sebentar lagi sepertinya aku akan berubah. Di bawah matahari, mari kita lihat apakah aku akan mati atau tidak," ujar Maya dengan susah payah. Rasa sakit yang parah di dadanya membuat Maya hampir tidak bisa mengeluarkan suaranya lagi. Namun matanya yang masih memiliki kekuatan, terus menatap cerah Ben seakan tidak ada keputusasaan akan kematian yang sebentar lagi akan menimpanya kini.
Jika mereka memiliki bukti, Maya yakin orang-orang akan lebih mudah mempercayai ucapan Ben. Wanita itu dengan lemah bersandar di dinding mall, saat dia menunggu Ben menghampirinya lagi dengan sebuah kamera kini.
"Masih menyala... Kameranya masih menyala, Maya," ujar Ben memberi tahu. Maya tertawa hambar, saat dia menatap Ben dengan wajah sayu.
"Kamu mau melakukannya?" tanya Maya serius. Melihat istri dan anaknya terlebih dahulu, Ben akhirnya tetap mengangguk yakin. Maya telah menyelamatkan nyawanya tadi. Mengabulkan permintaan kecil wanita itu, tidak ada apa-apanya bagi Ben saat ini.
"Baiklah. Bersiaplah untuk masuk ke dalam mobil setelah ini. Kamu bisa merekam ku dari dalam mobil. Di sana lebih aman, aku juga tidak ingin membahayakan keluargamu setelah aku menyelamatkan nyawamu di dalam sana."
Maya sempat terdiam, sebelum dia bicara sekali lagi.
"Anakmu itu... Mengingatkanku pada adikku yang sudah meninggal di awal-awal kekacauan ini. Dia meninggal karena aku tidak sempat memberinya obat. Orang tua kami merupakan salah satu orang yang sejak awal terinfeksi langsung dari residu meteor itu. Aku hanya memiliki dia, namun aku tidak bisa menyelamatkannya pada saat itu."
Ben mendengarkan dengan seksama, saat Maya meneruskan ucapannya dengan susah payah.
"Aku tidak ingin keluargamu mengalami hal yang sama, Ben. Jaga mereka dengan baik. Kamu masih memiliki kesempatan untuk melakukannya, sementara aku tidak," ujar Maya mengakhiri ucapannya. Ada rasa sakit yang tajam dari lukanya setelah Maya selesai bicara. Wanita itu semakin kesulitan untuk bernafas, saat Maya bicara untuk yang terakhir kalinya.
"Pergilah... Aku sepertinya akan segera berubah," ujar Maya dengan nafas yang tersegal-segal. Ben dengan cepat segera mengangguk. "Terima kasih Maya, karena telah menyelamatkan kami hari ini," ujar Ben tulus sebelum pria itu berlari ke dalam mobil dan mengunci pintunya dengan rapat. Dari sela-sela besi yang melindungi mobil tersebut, Maya masih bisa melihat Ben benar-benar sudah mulai merekamnya saat ini. Wanita itu membuang nafas lega, saat perlahan tubuhnya semakin meronta karena rasa sakit yang menghujam seluruh tubuhnya.
Saat Maya berusaha keras untuk menahan erangan nya sendiri saat ini, wanita itu terus saja memikirkan apa saja yang sebenarnya sudah dia lakukan selama ini. Maya memikirkan tentang berapa tidak beruntungnya dia sampai harus digigit zombie saat ini. Atau mengapa dia, rela menyelamatkan orang asing dengan bayaran nyawanya sendiri sebelum ini.
Pikirannya mulai pecah ketika dari bekas gigitan zombie itu, keluar rasa panas yang membakar sel-sel di tubuh Maya. Wanita itu berusaha dengan keras untuk menahan jeritannya, saat rasa panas semakin menyiksa seluruh tubuhnya.
Perlahan tapi pasti, Maya juga merasakan sensasi haus yang sangat sulit untuk dia tahan. Perlahan pikirannya semakin memudar, saat Maya mencium bau yang menggiurkan dari mobil yang sebelumnya dia gunakan untuk sampai ke tempat ini.
Akalnya benar-benar hilang, saat Maya menyerang mobil tersebut dengan semua kemampuannya. Namun sebelum Maya sempat menyentuh mobil itu, saat perlahan-lahan tubuhnya terbakar seperti arang yang berubah menjadi abu. Rasa sakit menguasai seluruh tubuhnya, saat Maya perlahan mulai terurai menjadi abu di kota mati tersebut.
Bermula dari abu, dan kembali menjadi abu pula.
Hidup Maya berakhir hari itu. Namun kematiannya, akan menyelamatkan ribuan manusia yang masih hidup di masa depan.
Rasa sakit perlahan memudar saat Maya telah kehilangan kesadarannya. Hanya perasaan hangat dan lembut menyambutnya setelah itu. Maya tidak lagi merasakan perasaan sakit saat matanya telah benar-benar terpejam. Dunia mendadak terasa begitu sunyi, sampai Maya merasa bahwa dia berada dalam jurang kehampaan di mana dia bahkan tidak bisa mendengar suara nafasnya sendiri.Maya selalu berpikir. Bahwa ketika dia mati, mungkin dia akhirnya bisa memiliki kesempatan untuk bertemu keluarganya lagi dan mendapatkan maaf mereka setelah Maya merasa tidak bisa melindungi keluarganya sampai akhir. Maya mungkin bisa melihat adiknya lagi. Dan orang tuanya, yang terpaksa dia bunuh ketika keduanya berubah menjadi zombie dan hampir menyerang adiknya yang tengah sakit.Maya menunggu sampai keajaiban itu datang. Namun tidak peduli seberapa lama Maya menunggu, kegelapan yang meliputinya tidak juga menghilang. Perlahan perasaan tenang berubah menjadi perasaan gelisah.
Pisau yang berusaha dia pegang dengan susah payah jatuh begitu saja ke lantai setelah Maya sendiri terjatuh dengan keras. Nafas gadis itu sedikit tidak beraturan, saat kepalanya berdenyut semakin kencang dan ingatan-ingatan tidak dikenal mulai muncul di pikirannya.Awalnya ingatan-ingatan itu tampak samar dan buram seakan tengah ditutupi oleh sesuatu. Tapi seiring berjalannya waktu, suara itu terdengar semakin jelas sampai Maya merasa dirinya tengah melihat potongan film saat ini. Seorang gadis malang tengah menangis di hadapan kuburan dalam ingatan pertamanya, sebelum adegan berganti saat seorang pria membawanya ke rumah besar yang berisi banyak sekali pelayan yang menyambut kedatangan pria tersebut.Adegan kembali berganti saat gadis yang berpikir bahwa dia akan hidup nyaman mulai saat itu, malah mendapatkan neraka hidup dalam rumah besar itu. Walaupun dia merupakan anak dari pemilik rumah besar itu, gadis itu terus saja diperlakukan lebih
"Bagus sekali... Sepertinya percobaan bodohmu itu telah benar-benar merusak otakmu bukan? Menodongkan pisau buah pada calon suamimu sendiri. Apa kamu sekarang merasa bahwa kamu itu semacam pembunuh bayaran yang tidak kenal takut Nola?!"Maya benar-benar enggan untuk menatap mata Sarah ketika wanita itu akhirnya berani memarahinya lagi setelah Evan dan temannya sudah benar-benar pergi kali ini. Wanita itu benar-benar melukai kuping Maya dengan segala caciannya. Maya mengerutkan keningnya dengan jelas. Dia tidak percaya, Finola benar-benar bisa menahan semua cacian itu sepanjang hari di masa lalunya. Mungkin itu salah satu kelebihan gadis itu di antara segala kekurangannya. Ketika gadis itu mendengarkan Sarah terus bicara omong kosong, Maya benar-benar tengah mencoba menahan tangannya untuk tidak menyayat wanita itu dengan pisau buah yang sama saat ini. "Maya! Apa kamu mendengarkan aku?!""Lalu kamu ingin aku bagaimana?"Sarah menatap tidak percaya
Begitu semua orang telah ke luar, Maya segera menyeret selang infusnya agar dia bisa mencapai laci yang dimaksud perawat itu sebelumnya. Matanya berbinar saat dia melihat remote yang benar-benar ada di dalam laci tersebut. Ekspresi halusnya sama sekali tidak bisa menyembunyikan wajah seriusnya, ketika Maya menyalakan televisi dengan alis yang sedikit berkerut.Dalam keheningan, Maya terus mencari siaran yang kira-kira tengah menyiarkan berita terbaru. Walaupun sudah lima tahun berlalu semenjak meteor jatuh dan mengubah tatanan dunia, Maya masih ingat dengan jelas tanggal berapa meteor itu jatuh dan berbagai peristiwa penting dari kehidupannya sebelum ini. Maya mencoba mencari informasi sekecil apa pun dari lingkungan sekitarnya kini. Dia harus tahu dia berada di mana, tahun berapa sekarang ini, dan apakah dunia ini benar-benar sama atau tidak dengan dunia yang sebelumnya dia tempati.Karena jika Maya memang hanya mengulang waktu dengan tubuh yang berbeda, Maya jelas ha
"Kamu bilang, anak itu berani mengancam Evan menggunakan pisau ketika pria itu akhirnya mau mengunjungi anak itu?!" Di sebuah kamar, raungan seorang pria terdengar setelah pria itu selesai mendengarkan laporan yang diberikan oleh istrinya. Napas pria itu sedikit terengah-engah, setelah dia baru saja menumpahkan amarahnya secara tiba-tiba di umurnya yang sudah tidak muda lagi. Sang istri dengan perhatian berusaha menenangkan amarah suaminya dengan memeluk lengan pria itu. Wajah cantiknya yang dipoles oleh make up berusaha dibuat sesedih yang dia bisa, saat wanita itu berucap pada suaminya dengan nada yang menyedihkan. "Aku memang berhasil membuatnya berhenti. Namun setelahnya, dia malah melepaskan kemarahannya padaku Sayang. Nola biasanya tidak seperti ini. Aku tidak tahu apa yang salah, sampai dia harus menentang pertunangan ini begitu keras ketika kita hanya mencoba memikirkan kebaikannya."Pria itu dengan cepat meraih tangan istrinya ketika w
Di depan sebuah rumah sakit besar, berdiri seorang gadis yang tampak seperti baru saja mencapai usia remaja. Sosoknya kurus, setengah lengannya terlihat dari kemeja sedikit kebesaran yang kini gadis itu gunakan. Kulitnya benar-benar putih seolah-olah gadis itu tidak memiliki darah. Beberapa helai rambut berantakan yang menutupi wajah cantik gadis itu menambah kesan memikat dari gadis pendiam itu. Satu-satunya yang membuktikan bahwa dia bukan boneka hanyalah mata cerahnya yang menatap ke segalanya arah. Tampaknya tengah berusaha keras, untuk menyembunyikan perasaan tidak sabarnya untuk saat ini. "Nola, kamu akan kedinginan jika kamu hanya memakai pakaian tipis itu. Mengapa kamu tidak memakai jaket pemberian Mama? Kamu baru saja sembuh. Tidak baik bagimu untuk terkena angin ketika kamu baru saja keluar dari rumah sakit begini." Maya melirik Sarah yang berusaha bersikap baik padanya di depan orang-orang saat ini. Padahal sebelum ini, wanita itu tidak mau repot-repot men
Maya kembali terbangun ketika dia mendengar seseorang mencoba untuk membuka pintu kamarnya sendiri. Ketika Maya membuka matanya dan melihat langit-langit putih, dia tertegun sejenak saat dia sendiri tidak percaya dia bisa tidur selelap itu. Butuh beberapa saat baginya untuk bereaksi, sebelum dia dengan malas bangun dari posisi tidurnya. "Kenapa kamu tidak menjawabku jika kamu sudah bangun? Ingin berpura-pura mati lagi setelah Mama menguncimu di dalam kamar?" Maya baru saja duduk di tempat tidur ketika pintu kamarnya didorong terbuka oleh seseorang. Seorang gadis cantik dengan penampilan mewah berjalan ke tempat tidur dan mengerutkan kening padanya. Sosoknya yang cantik, benar-benar tidak cocok dengan temperamen buruknya yang sangat menyebalkan. Gadis itu mendengus saat dia melihat Maya baru saja bangun dari tidurnya. "Berpura-pura mati? Jangan mencoba untuk mati di rumah kami lagi jika kamu memang ingin mati. Kamu telah membuat Mama dan Papa melalui ha
Ya, bagus sekali. Maya mengangguk puas saat dia menatap pantulan dirinya sendiri di cermin yang ada di kamarnya. Walaupun Maya tidak mengerti tren pakaian di dunia ini, gadis itu setidaknya puas Finola memiliki beberapa pakaian pantas di lemari kecilnya itu. Tampilannya saat ini benar-benar tidak terlalu buruk menurut Maya. Maya tahu, dia harus bisa tampil baik jika dia ingin bertemu dengan Evan kali ini. Kesan pertamanya di benak pria itu sudah pasti benar-benar kacau. Maya hanya bisa memperbaiki kesannya di pertemuan kedua ini. Dia tidak boleh mengacau, atau keluarganya yang kacau ini akan benar-benar mencoba mengakhiri hidupnya. Namun untungnya, saat tengah menjelajahi ruangan Finola, Maya menemukan barang bagus yang mungkin bisa dia gunakan untuk melawan keluarga Finola di saat terdesak. Mata Maya memerhatikan benda yang kini ada di tangannya. Dia tersenyum, saat dia menyimpan benda itu di saku pakaiannya yang sekiranya tersembunyi. Tepat setelah
Setelah diyakinkan oleh Evan, suasana hati Maya membaik dengan pesat sampai gadis itu tidak keberatan untuk membalas sapaan orang-orang yang ditunjukan padanya. Sepanjang acara Maya tersenyum, menyebarkan aura positif yang juga memengaruhi Evan yang semula sedikit kesal karena gadis-gadis penggosip tersebut. Di bawah hiburan Maya, Evan akhirnya memiliki wajah yang lebih bersahabat saat mereka memasuki ruang bioskop sambil berpegangan tangan. Keduanya duduk di bangku yang telah disiapkan. Evan mengusap tangan Maya pelan, saat dia berbisik lagi pada gadis itu. "Kamu bisa memberi tahuku kapan pun kamu merasa jika film ini mulai membuatmu tidak nyaman. Ingat, kebahagiaanmu adalah prioritasku saat ini."Maya tersenyum saat dia membalas bisikan suaminya. "Aku mengerti. Terima kasih, Evan," ucapnya dengan tulus. Evan mengangguk untuk membalas ucapan istrinya tersebut. Wajahnya sangat lembut, ketika dia menatap wajah istrinya itu dengan penuh kasih sayang. Setelah semua tamu memasuki ruangan
Ketika waktunya telah tiba, Maya pergi ke tempat pemutaran perdana itu dengan Evan dan seorang supir. Karena mereka harus bersiap sebelum waktu kerja Evan habis, Kevin terpaksa tidak bisa menemani mereka untuk menyelesaikan tugas yang ditinggalkan oleh Evan. Melihat Kevin bekerja keras, Maya tanpa sadar merasa kasihan dan mulai bercanda bahwa Evan harus memberi Kevin apresiasi atas apa yang pria itu lakukan untuk mereka selama ini. Namun tanpa disangka, Evan benar-benar mengangguk untuk menanggapi ucapannya itu. Hanya ketika mereka telah berada di mobil, Evan akhirnya buka mulut tentang maksud dari anggukannya tersebut. "Aku berencana memindahkan dua puluh lima persen kekayaan keluargaku atas namanya. Aku sebenarnya ingin memberi lebih banyak. Namun melihat kepribadiannya, dia pasti akan marah jika aku memberinya terlalu banyak. Aku belum membicarakan tentang pemindahan kekayaan ini padanya. Aku ingin meminta pendapatmu terlebih dahulu. Apa kamu keberatan jika aku melakukannya, Maya?
[Kebangkitan Pewaris Tunggal Keluarga Orlando.]Maya membaca berita itu dengan alis sedikit berkerut. Bukan isi beritanya yang kali ini membuatnya kesal. Namun komentarnya, benar-benar membuat Maya kesal saat gadis itu membacanya satu per satu. Ketika Evan sakit, semua orang menilai kisah cinta mereka dengan cara yang relatif negatif. Sebagian menganggap Maya hanya menikah demi kekayaan Evan. Sementara yang lain, merasa kasihan karena Maya harus menikah dengan pria sekarat seperti Evan. Hanya sedikit orang yang benar-benar tulus mendoakan kebahagiaan hubungan mereka. Namun ketika berita kesembuhan Evan telah menyebar, orang sepertinya mulai berlomba-lomba menghapus komentar mereka yang sebelumnya dan mulai memuji mereka sebagai pasangan paling bahagia di muka bumi. Beberapa bahkan mengaku mengenalnya atau Evan, dan memuji keserasian mereka walaupun aslinya Maya tidak mengenal orang-orang itu. Sekarang Maya tahu mengapa Evan begitu terisolasi dari dunia luar selama ini. Di masa ketik
Begitu mereka sampai di rumah sakit, Diana sudah selesai diperiksa dan tengah beristirahat di ruang rawat bersama dengan teman-temannya. Kejadian itu tampaknya terlalu mengejutkan untuk gadis-gadis muda itu, hingga tidak ada yang bicara sampai Maya masuk ke dalam ruangan bersama dengan Evan dan juga Kevin. "Maaf kami datang terlambat. Bagaimana keadaan kalian saat ini?"Mata Diana langsung memerah saat dia ingat Maya lagi-lagi telah menyelamatkan nyawanya. Maya yang sadar dengan perasaan Diana segera menghampiri gadis itu. Maya membiarkan Diana memeluknya erat, sebari menangis sementara dia sendiri berusaha menenangkan Diana dengan mengelus punggungnya dengan lembut. "Tidak apa-apa. Kamu sudah aman sekarang..."Maya berbisik pelan sementara matanya menatap Evan dan Kevin yang diajak keluar oleh dua teman Diana. Maya tahu keduanya kemungkinan besar akan membicarakan tentang hasil pemeriksaan Diana atau sekedar memberi Diana ruang untuk menumpahkan perasaannya. Ya mana juga baik-baik
"Kalau begitu, Saya harap kalian bersedia mendengarkan saran dari Saya."Sementara Maya tengah berlari ke mana-mana untuk mencari Diana, Evan dan Kevin baru saja selesai bicara dengan para petinggi universitas dan sedang diantar untuk keluar dari ruangan. Mereka baru saja hendak membuka pintu, saat kepala keamanan universitas masuk dengan tergesa-gesa sampai hampir saja menabrak Evan yang berada di depan pintu. "Gawat Pak, seseorang baru saja berkelahi di dalam gudang!"Wajah orang-orang memerah karena malu saat kepala keamanan itu melaporkan masalah ketika Evan dan Kevin masih ada di ruangan itu. Mereka baru saja berjanji akan meningkatkan keamanan di dalam lingkungan universitas. Dan sekarang, seseorang malah melaporkan bahwa baru saja terjadi pertengkaran di lingkungan kampus. "Apa yang kamu katakan? Jika para mahasiswa mulai berselisih lagi, kamu bisa membawanya kemari tanpa menimbulkan keributan yang tidak perlu!"Rektor universitas memarahi sebelum Evan atau Kevin semakin menc
Di tempat lain, Diana kembali jatuh dengan keras saat seseorang menendangnya tepat di bagian perut. Temannya Evelyn dan Josephine, hanya bisa menangis saat keduanya ditahan oleh anak-anak lain agar tidak bisa membantu Diana. Sejak Diana datang ke kampus, gadis itu sudah tidak dapat menghitung berapa banyak cacian yang sudah dia dapatkan hari ini. Namun perlakuan yang dia terima dari kakak tingkatnya ini, merupakan yang terparah dari semua orang. Ketika Diana tiba di kelasnya, dia tiba-tiba saja diseret keluar oleh orang-orang kuat ini. Pakaian indah pemberian ayahnya sudah kacau karena kotoran dan sampah yang sebelumnya dilempat ke tubuhnya. Diana menatap tanah dengan mata berkaca-kaca. Dia tahu, ini merupakan hukumannya karena memiliki ayahnya yang sudah menghancurkan kehidupan banyak orang dengan tindakannya. "Ya ampun, lihatlah. Putri terhormat Tuan Anton yang luar biasa tampak seperti kotoran berjalan saat ini."Anak-anak lain tertawa saat salah satu dari mereka menghina Diana sa
"Diana memberi tahumu bahwa dia akan kembali masuk kuliah? Bagus kalau begitu. Aku akan bertemu dengan kalian di universitas nanti.""Ah, masalah universitas biar aku saja yang menangani. Katakan saja pada Diana untuk fokus menjalani studinya." "Tidak, aku hanya melakukan apa yang memang seharusnya aku lakukan sebagai keluarga. Terima kasih karena telah memberi tahuku. Sampai bertemu di kampus nanti."Evan menyaksikan saat Maya asik menelepon salah satu kenalan Diana. Setelah acara pemakaman yang dilangsungkan kemarin, Maya akhirnya yakin dia akan memulai kuliahnya pada hari ini. Gadis itu sudah siap untuk berangkat kuliah, saat salah satu teman Diana menelepon istrinya itu. "Diana akhirnya bersedia menghadiri kuliahnya lagi?" tanya Evan penasaran. Maya mengangguk. "Ya. Diana memberi tahu teman-temannya bahwa dia sudah siap masuk kuliah lagi hari ini. Aku pikir pertemuan kemarin benar-benar berhasil membuatnya lega. Aku berencana untuk menemuinya di kampus nanti. Sejak kemarin, kita
"Apa menurutmu Evan akan datang? Ini memang pemakaman pamannya. Namun orang yang mengaku sebagai pamannya ini telah membunuh orang tuanya bahkan hampir membunuh istrinya juga tidak lama ini. Aku sebenarnya tidak yakin dia akan benar-benar datang.""Ah ya... Namun aku sendiri tidak pernah menyangka Tuan Anton yang terlihat baik dan lembut sebenarnya..."Diana mendengarkan bisikan demi bisikan itu dengan bibir yang tertutup rapat. Ini jelas merupakan hari pemakaman ayahnya. Namun hampir semua tamu undangan, hanya datang untuk menjelekan ayahnya dan menertawakan keluarganya secara diam-diam. Hampir semua orang sudah tahu bahwa Anton merupakan seorang penjahat sekarang. Karena keluarganya telah jatuh, Diana tahu beberapa orang sengaja datang hanya untuk menertawakan penderitaan mereka. Kebanyakan dari mereka merupakan saingan ayahnya di masa lalu. Atau seseorang yang berusaha menjilat Evan, dengan membenci Anton secara terang-terangan. Karena terdapat banyak tamu tidak diundang dalam aca
"Nah, kamu sudah tampan sekarang."Evan diam-diam mencuri ciuman di pipi istrinya ketika Maya selesai membantunya untuk bersiap. "Kamu juga sangat cantik," bisiknya pelan saat dia melihat Maya yang menggunakan pakaian hitam serasi dengannya. Mereka akan menghadiri acara pemakaman Anton sore ini. Evan melakukannya demi sang bibi dan Diana, sekaligus sebagai awal kemunculan resminya dengan tubuh yang sudah sembuh. Selain Anton, sebagai pebisnis, Evan juga memiliki banyak musuh yang memanfaatkan sakitnya untuk mencuri beberapa proyek perusahaannya. Evan akan muncul untuk memberi mereka peringatan. Bahwa keluarganya belum hancur. Dan dia, tidak mati seperti yang diinginkan oleh orang-orang itu. "Apa kamu yakin ingin ikut denganku saat ini? Sejak kamu diterima di universitas, kamu belum juga datang untuk menghadiri kelas pertamamu. Dan sekarang... Kamu harus menunda waktu studimu lagi demi menemaniku."Maya tertawa ketika dia mendengar kekhawatiran yang dirasakan suaminya itu. "Mari kita