"Kamu nggak pakai gamis putih, Tami?" tanya Ibu ketika melihatku menggunakan gamis berwarna coklat susu pagi ini. "Adanya yang ini, Bu." Aku menjawab sambil melirik baju yang kupakai."Seperti tidak niat saja. Bukankah sudah kebiasaan kalau pengajian mau umroh itu pakaiannya harus putih?""Sudahlah, Bu. Enggak usah diperdebatkan. Lagi pula Teh Tami 'kan kerjanya di belakang, " sahut Tari yang sudah cantik dengan gamis putih persis dengan yang dipakai Ibu, baik model maupun bahannya . Hanya ukurannya yang beda, karena Ibu tubuhnya berisi sedangkan Tari ramping."Kamu nggak usah duduk di depan, biar Lestari saja yang menemani Ibu menerima tamu." Ucapan Ibu selanjutnya sudah kuduga. "Iya Bu, aku ngerti, kok."Lagi-lagi aku tak bisa membantah. Sudah menjadi kebiasaan setiap ada acara kecil maupun besar di rumah Ibu, tugasku memang di dapur. Tanpa berpamitan, aku segera mengajak anak-anak keluar dari ruangan ini. "Oh ya, Bu, nanti jangan lupa pilih emasnya yang modelnya bagus, ya."Seb
[Makanya jangan terlalu percaya sama lelaki. Pantesan Mas Akbar bersikeras pengen ke kota, rupanya seperti itu.] Pesan berikutnya masuk lagi.Kuputar berulang-ulang video yang durasinya kurang dari satu menit itu. Bahkan aku mengucek mata takut salah lihat. Tapi hati ini yakin kalau itu Mas Akbar, meski dalam tampilan yang berbeda.Video yang berlatar sebuah lahan proyek itu menampakkan dua orang sedang berjalan, satu laki-laki yang sangat mirip dengan Mas Akbar dan satu lagi seorang wanita berperawakan tinggi semampai. Wanita berkacamata hitam dengan rambut sebahu itu menenteng tas mewah, celana panjang dan blazer menampilkan keindahan tubuhnya. Keduanya berjalan bersisian di bawah sebuah payung yang dipegang oleh sang pria. Keduanya hampir tanpa jarak malah. Berjalan di bawah gerimis menuju sebuah mobil. Nampak dekat dan akrab meskipun wajah keduanya tidak jelas tapi dari cara berjalan dan bentuk tubuhnya aku yakin pria itu adalah Mas Akbar.Pria yang diduga Mas Akbar itu membukak
Aku terpaksa tersenyum untuk menanggapi ucapan Siska. Setelah ini orang-orang yang ada di sana tentu akan kepo atau jangan-jangan mereka sudah pada tahu perihal video itu. Aku tak yakin jika Siska tidak bergosip.Memutuskan untuk berpamitan, segera kutarik gas motor. Tak kuhiraukan Siska yang memanggil namaku sekali lagi. Aku sudah tidak nyaman dengan tatapan orang-orang yang berada di teras rumahnya. Barusan ketika Siska membahas perihal pekerjaan Mas Akbar, orang-orang itu makan dan menoleh ke arahku. Tatapan mereka pun seperti menuntut jawaban dariku.Saat ini aku sedang menahan hatiku untuk tidak terpengaruh pada ucapan Siska. Video yang dikirim oleh wanita itu tadi siang sudah cukup membuat hatiku tergoyah. Meski aku berusaha untuk percaya pada Mas Akbar sebelum terbukti kebenarannya. Tetap saja hatiku terbakar.Siapa tahu wanita itu adalah bosnya Mas Akbar. Karena keadaan hujan jadi mereka terpaksa berdekatan dalam satu payung. Tapi jika dipikir lagi, masa sih, dengan bos yang b
"Mama nangis?" tanya Farah seraya mengguncang lenganku. Sepandai apa aku menyembunyikan air mata ini, ternyata anakku melihatnya. Segera kuusa pipiku yang basah lalu kulukis senyum senatural mungkin."Enggak, Sayang. Mama cuma kecapean dan ngantuk, jadi matanya berair." Mudah-mudahan Farah tidak sadar kalau aku sedang berbohong. Maafkan Mamamu ini, Nak."Memangnya kalau ngantuk matanya berair, ya?" Anak pintar memang rasa penasarannya cukup besar."Iya, Sayang. Farah ada pekerjaan rumah tidak?" Aku pun mengalihkan perhatian anak itu supaya tidak terus membahas tentang air mataku."Oh iya, aku lupa.""Nah, sekarang kerjakan dulu. Sekalian juga sama Suci kalau ada pekerjaan rumah, kerjakan barang-barang dengan Kak Farah, ya!" Aku beralih menatap Suci yang sedari tadi menyimak pembicaraan kakaknya denganku.Melihat kedua anak gadisku tengah serius mengerjakan PR, sementara Dani rebahan sambil memegang mainannya. Hatiku kembali teriris, tega sekali Mas Akbar bermain hati di belakangku. Ap
"Bukankah itu mobil selingkuhannya Mas Akbar?"Level penasaran Siska memang tinggi, ditambah lagi mulutnya tidak bisa dijaga. Enteng sekali dia menyebut kata selingkuhan. Bagiku, hal itu malah membuat suasana hati semakin kacau."Mungkin mirip," jawabku singkat. Aku sedang menata hati, sesungguhnya melihat mobil itu hati ini juga punya prasangka yang sama dengan Siska. Tapi aku berusaha untuk berpikir positif.Selanjutnya kami hanya saling diam. Aku tahan nafas sebelum tahu siapa saja yang turun dari mobil itu. Menguatkan hati jika apa yang akan kulihat ini adalah kenyataan yang tidak aku harapkan.Mas Akbar keluar dari pintu kemudi. Mataku tak bisa berkedip, hampir tidak percaya melihat tampilan suamiku itu. Pria yang biasanya hanya menggunakan celana panjang dan kaos oblong itu kini tampil rapi. Celana jeans yang aku taksir harganya mahal, sepatu mengkilap dan kemeja bagus. Hampir saja tidak mengenali suamiku ini, Mas Akbar nampak berwibawa dan berkarisma. Soal ganteng jangan dita
"Iya, itu ada mesin cuci tapi .... ""Tapi apa? Kamu ambil kredit, Ma?" Mas Akbar mendekat, tatapannya berubah seperti yang sedang menyelidiki. Dari semenjak menikah, pria itu paling tidak suka dengan kata kredit. "Bukan, Mas. Mana berani aku kredit." "Lalu kenapa beli mesin cuci nggak bilang-bilang?" Kali ini kedua matanya menyipit."Itu pemberian Ibu. Maaf aku belum sempat bilang, karena baru saja diantar pak Darto. Barusan Siska ke sini juga karena melihat Pak Darto mengantar benda itu. Biasa lah, Siska 'kan kepo." "Oh ... begitu .... cuman tumben aja Ibu baik."Aku tersenyum miring mendengar Mas Akbar beranggapan kalau Ibu baik. Selanjutnya aku menceritakan hal yang sebenarnya. Bahwa mesin cuci itu rusak dan tidak bisa dipakai. Benda itu ada di sini hanya untuk pajangan di rumah kami. Supaya tidak malu-maluin, itu yang dikatakan Ibu."Astagfirullah ... sampai segitunya. Bisa-bisanya Ibu beranggapan seperti itu." Mas Akbar menyugar rambutnya perlahan."Tadi juga aku mau nolak, t
Anak-anak berlarian begitu turun dari mobil, masing-masing membawa jajanan di kanan kiri tangannya. Aku tersenyum bahagia melihat mereka begitu senang. Entah dari mana Mas Akbar punya uang sebanyak ini. Tadi siang selesai makan, Mas Akbar juga memberiku uang yang cukup banyak. Padahal minggu kemarin dia juga baru saja kirim uang lewat transfer."Utamakan dulu kebutuhan anak-anak. Makanan dan keperluan lainnya." Itu pesannya ketika menyerahkan uang itu.Mas Akbar juga membawa sesuatu di tangannya, katanya lauk untuk makan. Padahal aku sudah menyiapkan ayam goreng tepung yang dipesan anak-anak. Tak apalah, sekali-kali mereka makan dengan banyak lauk. Sibuk menyiapkan makanan untuk mereka, terdengar suara salam dari arah pintu samping. Siska. Mau apa lagi wanita itu? Semenjak kedatangan Mas Akbar kemarin, Siska jadi rajin berkunjung. Tingkat penasarannya memang tinggi, jadi selalu banyak alasan untuk mengetahui apa yang terjadi di rumah orang lain."Eh, Neng Siska? Masuk, sekalian ikut
Pertemuan singkat dengan Mas Akbar bukannya mengobati kerinduan. Tapi malah menghadirkan banyak tanya. Aku yakin ada hal yang dirahasiakan oleh suamiku itu. Mirisnya, aku tidak punya waktu untuk membicarakannya. Niatnya sepulang dari mengantar Ibu, aku akan mempertanyakan perihal video itu. Tapi Mas Akbar malah tergesa-gesa kembali ke kota. Entah benar Bayu yang menyuruh, atau justru wanita itu. Aku hanya bisa mengatakan agar Mas Akbar kembali berjualan di sini. Meski hasilnya pas-pasan, tapi hatiku tenang."Kita tidak bisa selamanya hidup seperti ini. Harus ada perubahan dan sekarang lah waktunya. Mama gak mau 'kan terus menerus menjadi bahan hinaan Ibu dan para tetangga kita?" Itu yang diucapkan Mas Akbar sebagai jawaban dari permintaanku."Tapi hatiku tidak tenang.""Itu wajar, karena sebelumnya kita tidak pernah berjauhan. Yang sabar, ya.""Mas. Tolong buat aku percayai padamu.""Maksud Mama apa? Jangan berpikir macam-macam." Mas Akbar meraih dua tanganku lalu menggenggamnya."Wa
Kepergian Bapak membuatku semakin merasa bersalah. Pasalnya Bapak terkena serangan jantung setelah ada dua orang polisi mencari Mas Firman ke rumahnya. Mas firman memang akhir-akhir ini tengah dicari oleh banyak pihak. Kesalahannya semakin bertambah. Terakhir ia dilaporkan oleh salah satu temannya karena terlibat utang ratusan juta. Usut punya usut, ternyata uang itu ia gunakan untuk bermain judi online, selain bersenang-senang dengan jalang itu.Hidupku kini benar-benar kembali ke nol. Menumpang hidup di rumah Teh Tami dan mau tak mau harus bekerja untuk mencukupi hidupku bersama dua orang anak dan juga Ibu. Orang tuaku juga ikut-ikutan bangkrut karena ulah Mas firman. Untuk biaya tahlilan Bapak, Teh Tami yang menanggung. Saat ini aku mengandalkan uang kiriman Teh Tami untuk makan sehari-hari. "Tari, kita tidak mungkin terus menerus mengandalkan kakakmu. Kedepannya harus bisa mandiri. Kamu harus cari kerjaan. Anak-anak biar Ibu yang urus," ucap Ibu sore ini selepas acara tahlilan
Tangisku pecah setelah gundukan tanah basah dihadapanku ditaburi bunga-bunga beraneka rupa. Di dalamnya, jasad Bapak terbujur. Sore kemarin aku mendapat kabar dari Ibu kalau bapak berpulang secara mendadak. Padahal paginya kami masih berbincang di telepon. Lebih dari dua bulan aku tinggal di Jakarta, belum sempat pulang menengok beliau. Kami cukup direpotkan dengan urusan pindah sekolah anak-anak. Saat melakukan panggilan video, Bapak terlihat segar. Aku juga setengah tidak percaya kalau Bapak akan pergi secepat ini. "Sudah, Ma, ikhlaskan. Tidak baik meratapi kepergian seseorang yang kita sayang sebabkan itu akan menjadi beban baginya." Mas Akbar merangkulku kemudian tangan kekarnya terasa mengusap punggungku. Aku bukannya tidak ikhlas, tapi keinginanku untuk membawa Bapak berkunjung ke rumahku di Jakarta belum sempat terkabul. Beliau sempat memintaku untuk menunjukkan keadaan rumah kami di Jakarta saat kami melakukan panggilan video. Saat itu Bapak tak hentinya mengucap syukur
Niat menanyakan tentang Saras pada Mas Akbar masih harus aku tunda sampai anak-anak tidur. Biasanya mereka tidur cepat, tapi karena tadi di mobil sempat terlelap, jadi Farah sampai di rumah sangat susah disuruh masuk kamar. Begitupun dengan Suci. Setelah aku bujuk dengan alasan besok harus sekolah, akhirnya kedua anak perempuanku mau masuk kamar. Aku pun berganti pakaian dan membersihkan wajah. Lepas itu berjalan ke ruang tengah untuk menemui Mas Akbar. Meskipun dalam hati masih bingung, kalimat apa yang harus kusampaikan pada beliau untuk menanyakan perihal Saras. "Ponselmu tadi menyala dua kali." Belum juga aku duduk di sampingnya, Mas Akbar sudah menunjuk benda pipih yang tergeletak di atas meja. Aku baru ingat, ponsel itu tadi berada di tas. Mungkin karena berbunyi, Mas Akbar mengeluarkannya untuk melihat siapa yang menghubungiku. "Siapa yang telepon?" tanyaku seraya duduk di sampingnya. Lalu meraih benda tersebut. "Bi Ica." Mataku menyipit. Ada apa Bi Ica malam-malam telep
Minggu ketiga kami berada di Jakarta. Hari ini menjadi hari yang paling mendebarkan. Bagaimana tidak, kemarin sore pada saat Mas Akbar baru pulang dari kantor, beliau mengabarkan bahwa Papa dan Mama mertuaku ingin bertemu dengan kami. Kabar itu pun diperkuat oleh telepon dari Tante Devi, katanya papanya Mas Akbar, orang yang dulu paling menentang hubungan kami, sangat gembira ketika mendengar kabar menantu dan cucunya ini sudah ada di Jakarta. "Ini berkat kesabaranmu, Tami. Selama ini sudah mendampingi Akbar meskipun hidup kalian pas-pasan. Tante yakin kamu punya doa yang baik-baik untuk suami dan keluarganya." Itu yang diucapkan Tante Devi di akhir percakapan kami melalui telepon. Anak-anak pun begitu bahagia ketika mendengar akan bertemu dengan omah dan opahnya. Mereka juga bersemangat bangun pagi. Meski demikian, aku tidak lupa lupa memberi nasihat pada tiga anakku. Supaya mereka bisa menjaga sikap di rumah omah dan opahnya nanti. Terutama Farah yang sudah besar. Keluarga Mas
Seminggu kemudian, anak-anak sudah selesai ulangan. Aku pun sudah menemui kepala sekolah mereka untuk meminta izin dan mengurus surat-surat pindah. Tentu saja beliau tidak mengizinkan dengan alasan tunggu sampai kenaikan kelas. Tetapi, kalau mau izin pergi ke Jakarta diperbolehkan. Akan tetapi, surat pindah baru bisa dikeluarkan setelah anak-anak naik kelas nanti. Aku pun setuju, yang penting kami bisa berangkat ke Jakarta untuk menemui orang tuanya Mas Akbar. Mertuaku, sekaligus kakek dan neneknya anak-anakku. Sore nanti rencananya, Pak Amir akan datang menjemput kami. Tadi pagi aku sempat berpamitan pada Bapak dan Ibu, mengabarkan bahwa kami akan tinggal bersama Mas Akbar. Meskipun belum selesai mengurus surat di kantor kelurahan. Bapak sangat sedih ketika aku mengatakan akan tinggal di Jakarta. Aku juga sebenarnya tidak mau meninggalkan Bapak dalam keadaan sakit-sakitan seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, sebagai seorang istri aku harus manut pada suamiku. "Sebenarnya Bapak
Selesai menemani Bapak ke dokter, aku langsung berpamitan. Selain karena sudah tidak begitu khawatir, aku juga penasaran pada Bi Ica. Dari nada bicaranya aku tahu kalau wanita itu serius. Rasa ingin tahuku cukup besar, apalagi yang dilakukan oleh Siska lantaran Bi Ica terdengar sangat emosi. Tiba di kampungku, di warung Ceu Entin terlihat banyak orang. Awalnya kukira karena banyak yang belanja. Aka tetapi, ketika aku melintas, Bi Ica memanggilku. Otomatis aku pun mengerem mendadak. "Sini Teh Tami, mampir dulu!" "Ada apa, sih, Bi?" Aku memperhatikan beberapa orang yang tengah asik mengobrol di emper warung. "Eh, kan saya mau curhat." "Di sini? Kan banyak orang. Di rumah say aja, yuk!" Jujur saja aku risih kalau harus ngobrol di emper warung. "Di sini aja. Mereka sudah pada tahu, kok." Bi Ica melirik beberapa tetangga yang masih asyik dengan gosip mereka. Aku menggeleng perlahan. Selain karena tidak pernah bergosip di emper warung Ceu Entin, aku juga risih karena banyak orang
Aku hanya bisa memutar bola mata ketika mendengar Lestari bersikukuh ingin tidur di kamar depan. Kamar yang disiapkan untuk Farah dan anak itu terpaksa harus kubujuk susah payah. Malam ini anak-anak tidur di kamar satunya, bertiga dalam satu kasur. Sementara aku tidur di lantai. Hanya itu satu-satunya cara membuat Farah bisa mengangguk meskipun anak itu masih tetap cemberut. Tak habis pikir dengan pola pikir Tari, masih untung dia ditampung di rumahku, tapi malah banyak mengatur semaunya sendiri. Padahal aku memintanya untuk mengalah pada Farah, keponakannya. Tetapi, Tari sama sekali tidak punya rasa belas kasihan. Besoknya, Lestari bangun siang. Subuh sudah kusuruh untuk menunaikan salat dan bersiap pulang. Karena hari ini anak-anak tidak libur sekolah. Tetapi dengan malas wanita menjawab kalau anak-anaknya untuk sementara tidak sekolah dulu. Aku hanya bisa menggeleng, setidaknya Lestari harus memikirkan mereka meskipun hatinya sedang kacau. Setelah aku bujuk, jam 08.00 dia pu
"Jadi, Teteh itu habis mengecat ulang rumah dan membeli kulkas? Berarti benar kata ibu kalau sekarang Teteh banyak uang. Kemarin kupikir Ibu hanya memanas-manasi aku saja." Wajah Lestari berubah murung. Aku semakin bingung mendengar pembicaraan Lestari yang sama sekali tidak kupahami. "Memanas-manasi siapa maksudmu?" Aku duduk di hadapan Tari setelah meletakkan minuman di atas meja. Sesaat kami hanya saling tatap. Lestari mengubah posisi duduknya, ia mengambil satu buah gelas lalu menuangkan minuman dingin rasa cocopandan dari wadah yang sudah aku siapkan. "Mungkin sebentar lagi posisi kita akan bertukar." Lestari tidak melanjutkan ucapannya ia menyeruput air yang baru saja dituangkan ke dalam gelasnya. "Teteh nggak ngerti ke mana arah pembicaraan kamu." "Teh Tami tahu 'kan bagaimana Ibu? Bagaimana pandangannya mengenai uang. Kemarin aku menjadi anak kesayangannya karena aku banyak uang. Bisnis Mas Firman jalan, meski kami punya cicilan banyak. Aku bisa memberi Ibu lebih
Selama tiga hari Mang Edo mengecat rumahku. Selama itu pula Bi Ica ikut kerja juga. Wanita itu membantuku memasak untuk makan Mang Edo dan Wawan. Juga pekerjaan lainnya. Sambil bekerja, wanita itu banyak bercerita, salah satunya tentang Siska dan Bu Mirna. Katanya, dua orang itu dari dulu memang kerap menggosipkan aku. Mempengaruhi ibu-ibu di kampung ini untuk membenciku, entah apa alasannya. "Mungkin karena selama ini hidup Teh Tami tentram-tentram saja. Meskipun banyak kekurangan dalam segi materi, tapi Teh kami seperti tidak punya kesusahan tidak punya masalah juga dengan orang lain. Makanya mereka iri." Aku sendiri tidak terlalu ambil pusing dengan aduan Bi Ica. Terlanjur terbiasa digosipkan dua orang itu. Tantangan sekali punya dua tetangga yang sangat perhatian, hingga apapun yang kulakukan dan apapun yang terjadi padaku menjadi bahan perbincangan. Hari ini perabotan rumahku diantar. Tentu saja hal ini menjadi tontonan para tetanggaku, sebab aku membeli barang lebih dari s