“Siapa dia, Pak? Karyawati sini, bukan?” desak Risa lagi. Rasa penasaran membuatnya kehilangan sopan santun terhadap atasan. Namun demikian, Uzy tak mau mempersoalkan hal itu, apalagi sampai memarahi Risa. Bukan gaya Uzy memarahi apalagi sampai menghardik karyawan.
“Bukan, dong. Wanita ini sudah aku sukai sejak pertama kali kuliah. Bisa dibilang, dia cinta pertamaku.” Akhirnya, Uzy mengaku juga.
“Wah, wah. Jadi penasaran sama seleranya Pak Uzy. Pasti cantik dan high class, ya?” ujar Risa penuh semangat. Risa tak sadar, sedari tadi hanya dirinya seorang yang mengobrol. Adapun Rudi dan Viko lebih banyak menyimak percakapan.
Uzy tersenyum. “Mungkin suatu hari nanti akan aku bawa dia kemari,” kata Uzy sambil mengulum senyum.
“Wah, semoga segera menikah ya, Pak Uzy!” Rudi berkata sungguh-sungguh.
“Selamat, Pak
Petang menjelang. Uzy bersiap-siap untuk pulang tepat waktu. Ia sengaja tidak lembur hari ini karena janjinya kepada Candy untuk membantunya pindah kost sore ini.“Tumben enggak lembur, Pak?” tegur Rudi dengan mimik wajah keheranan. Uzy terkenal sebagai karyawan yang sangat rajin, hampir setiap hari ia lembur. Oleh karena itulah, terlihat aneh apabila Uzy tidak lembur.“Ada urusan yang harus diselesaikan sore ini,” kilah Uzy sambil tersenyum.“Bukan janjian sama cewek, kan?” celetuk Rudi yang memang sudah akrab dengan Uzy. Status mereka yang berbeda level, yaitu atasan dan bawahan, tidak menjadikan hubungan pertemanan di antara mereka menjadi berjarak jauh.“Hahaha!” Uzy hanya tertawa, enggan menjawab pertanyaan Rudi yang dianggapnya tidak serius. Jadi, Uzy merasa tidak perlu menjawab cetusan Rudi tersebut. “Pulang duluan, ya.” Uzy pun
Akan tetapi, Uzy tak mungkin mencegah Candy untuk makan di restoran. Selain sudah telanjur menawarkan, ia gengsi untuk menelan ludah sendiri. Apalagi, ia baru ingat bahwa Candy memang sudah terbiasa hidup mewah.Mereka berdua berjalan keluar dari rumah kost menuju restoran terdekat. Di restoran yang nyaman, mereka duduk di meja yang dipahat indah dan memesan hidangan favorit Candy. Suasana menjadi santai saat mereka menikmati makanan dan berbincang-bincang. Sejenak, Uzy lupa akan tagihan yang harus dibayarnya untuk makan malam ini.Mereka mengobrolkan masa lalu saat masih menjadi mahasiswa. Uzy menceritakan pengalaman kerjanya sampai akhirnya dia lulus menjadi sarjana dengan nilai tertinggi. Candy berdecak kagum.“Wah, kamu hebat Uzy. Aku enggak menyangka kamu pemuda yang gigih dan ulet.” Candy menatap penuh penghargaan ke arah Uzy. Uzy merasa melambung ke udara saat Candy memujinya. Ia sangat s
“Saya mengerti, Candy. Setiap orang punya waktu dan kebutuhan mereka sendiri. Tidak apa-apa jika kamu membutuhkan waktu untuk memikirkannya. Apapun keputusanmu, aku akan selalu di sini untukmu.” Uzy berhasil merangkai kata agar tetap manis didengar. Kepiawaiannya menjadi bagian penjualan di toko sepatu sedikit banyak telah mempengaruhi kemampuannya dalam berkomunikasi, sehingga Uzy kini menjadi pemuda yang luwes dalam bermanis kata.Candy membalas genggaman tangan Uzy. “Terima kasih, Uzy, karena pengertianmu. Aku sangat menghargainya. Aku tidak ingin merusak hubungan baik yang telah kita bangun dengan terburu-buru. Aku akan memikirkannya dengan matang.”Pramusaji datang membawa makan malam. Seketika, suasana romantis yang terbangun pun buyar. Mereka kembali fokus pada makanan yang tersaji di hadapan. Candy mengajak Uzy bercakap-cakap tentang hal lainnya, sehingga Uzy pun tak lagi membahas soal lamaran.
Uzy merasa curiga sekaligus dilanda cemburu. Namun, ia berusaha untuk tidak marah. Suara Uzy terdengar datar saat berkata, “Candy, aku ingin bicara serius sama kamu. Bisa kita masuk ke dalam saja?” tanya Uzy yang tak mau isi pembicaraannya didengar oleh banyak orang. “Boleh. Sebentar saja, ya? Aku takut terlambat,” sahut Candy sambil memeriksa arloji mungil nan manis yang melingkar di pergelangan tangannya yang putih mulus. Mereka berdua naik kembali ke kamar Candy. Setelah berdua saja di dalam kamar, barulah Uzy mengungkapkan maksud hatinya. “Candy, aku mau tanya soal uang di kartu ATM yang aku kasih ke kamu kemarin dulu. Aku baru aja memeriksa saldo tabungan dan ternyata uangnya sudah habis. Bisa kamu jelaskan mengapa?” Wajah Candy yang semula manis berubah masam mendengar pertanyaan Uzy. Warna merah memenuhi rona wajahnya. Ia terlihat tersinggung dengan pertanyaan Uzy. “Jadi kamu mempertanyakan ke mana uang itu pergi? Bukannya kamu sudah membebaskan aku untuk menggunakan uang d
Uzy memutuskan untuk menguntit Candy diam-diam. Ia mengikuti Candy yang naik taksi dengan motornya. Pemuda dari desa itu berusaha menjaga jarak kendaraannya secara hati-hati agar tidak terlihat mengikuti oleh sopir.Setelah beberapa menit mengikuti Candy, Uzy melihat taksi Candy berhenti di depan sebuah rumah karaoke yang ramai. Hari menjelang malam. Wajar apabila tempat karaoke itu mulai banyak didatangi pengunjung. Apalagi, rumah karaoke itu memang terkenal di kota ini.Uzy memperhatikan Candy dari kejauhan saat gadis itu bertemu dengan seorang wanita yang menyambut ramah dan akrab dengan Candy.“Akhirnya kamu datang juga, Manis! Aku sudah nungguin dari tadi, lho.” Sayup-sayup di antara deru kendaraan di jalan, Uzy mendengar lengkingan suara si wanita kepada Candy.“Maafin Candy, Tan. Tadi macet di jalan, jadinya agak lama sampai di sini,” balas Candy sambil tersenyum manis.
Uzy mengenakan jaketnya, bersiap-siap hendak pulang ketika jam digital di dinding kantornya menunjukkan pukul 16.55. “Hari ini enggak lembur lagi, Pak?” sapa Rani heran, tatkala melihat Uzy yang sudah siap menenteng tasnya. Uzy tersenyum. “Iya, Ran. Ada keperluan mendadak sore ini. Kamu dan teman-teman lain lembur dulu seperti biasa, ya?” sahut Uzy tenang. “Siap, Bos!” Rani memeragakan gerakan hormat bendera. Uzy tertawa melihat aksi Rudi. Uzy menghampiri Rudi yang hanya diam menyaksikan pembicaraannya dengan Rani. Uzy lalu menyerahkan kunci motornya kepada Rudi. Rudi dengan sigap menerima dan menukar kunci motor itu dengan kunci motornya sendiri. “Semoga berhasil, Pak,” kata Rudi sebelum Uzy beranjak pergi. Sebetulnya, Uzy merasa kurang enak hati karena tidak lembur lagi hari ini. Sudah jamak bahwa supervisor diharapkan untuk lembur setiap hari. Namun, ia betul-betul tak tenang memikirkan kegiatan Candy di luaran sana. Seolah-olah ada magnet kasatmata yang menariknya untuk menge
“Kenapa kamu bilang begitu, Lis? Memangnya kamu berpikir kalau Mas punya pacar?” tanya Uzy hati-hati.Lilis mengedikkan bahu. “Siapa tahu, Mas? Mas Uzy kan sudah cukup umur. Sudah punya kerjaan mapan juga. Kalau melamar anak orang, pasti enggak akan ditolak.”Uzy menarik napas lega. Sepertinya Lilis tidak tahu soal Candy. Maka, Uzy menjawab ujaran Lilis dengan suara dan ekspresi yang tenang. “Ah, mana ada cewek yang mau sama Masmu ini.”“Eh, Mas Uzy kok minder? Padahal Mas kan tampangnya lumayan. Sudah ada kerjaan lagi. Sudah dua kelebihan Mas dibanding cowok-cowok lainnya.” Lilis bersikeras.Uzy tertawa. Ia mengacak lembut ubun-ubun Lilis, hingga rambut gadis yang beranjak remaja itu teracak dan kusut. Lilis spontan menghindar.“Jangan, Mas. Penampilanku jadi enggak keren lagi nanti,” keluh Lilis.
“Mas, ayo kita sapa Mariska.” Lilis mendadak menjawil lengan Uzy. Uzy tersentak. “Jangan, Lis. Mendingan kita keluar saja dari sini. Jangan sampai Mariska melihatmu ada di sini juga.” “Lho, kenapa, Mas?” Lilis menatap Uzy dengan tatapan tak mengerti. “Kayaknya Mariska enggak akan suka kalau tahu kamu melihatnya di sini,” sahut Uzy spontan. Lagi-lagi, Lilis mengernyitkan dahi. “Kok, gitu? Seharusnya dia senang melihatku.” “Sudah, Lis. Ayo kita cari toko lain saja.” Enggan menjelaskan keadaan yang diduganya, Uzy langsung menarik tangan Lilis untuk keluar dari toko sepatu. “Kamu mau ke toko sepatu tempat Mas kerja, enggak? Kalau di sana, mungkin kamu bisa beli sepatu. Biar Mas yang bayarin.” Uzy membujuk Lilis. “Wah, beneran nih, Mas? Aku mau, dong.” Lilis melebarkan senyum mendengar janji Uzy. Akhirnya, mereka berdua keluar da
Kedatangan Uzy disambut suka cita oleh ibunya dan Lilis.“Alhamdulillah, Ibu senang kamu sudah sampai, Zy.” Ibu memeluk Uzy dengan penuh rasa syukur.Setelah saling melepas rindu dengan bertanya kabar, Uzy pun dituntun ibunya untuk duduk di ruang keluarga sekaligus ruang tamu rumah.“Cepat ambilkan jajan pasar yang sudah Ibu siapkan, Lis. Jangan lupa suguhkan tehnya,” titah Ibu kepada Lilis.Lilis patuh. Ia masuk ke dalam untuk melaksanakan semua perintah ibunya. Berdua saja duduk bersama ibunya, Uzy memutuskan untuk langsung mengungkapkan maksud kepulangannya.“Ibu, aku mau memberitahukan sesuatu yang penting. Begini, Bu … aku akan melamar seorang gadis bernama Naura.”Mata Ibu membulat lantaran tak menduga kabar penting yang disampaikan secara mendadak. Namun, Uzy menangkap nada senang ketika ibunya bertanya, &ldqu
Semuanya terjadi begitu cepat. Bahkan Uzy saja belum sempat untuk berpikir matang. Tahu-tahu saja, ia sudah dipaksa untuk menikahi gadis secantik Naura. Kalau mau jujur, sebetulnya Uzy tidak merasa terpaksa. Gadis secantik Naura, siapa yang bisa menolak? Paling-paling Uzy hanya bisa berlari ke pelukan gadis itu.“Jadi, kapan kamu mau mengajak keluargamu melamar Naura, Mas Uzy?” desak ibunya Naura, Sofia.Saat ini, Uzy dan Pak Chandra sudah berada di rumah Naura. Selepas kejadian memalukan di pantai itu, Uzy dan Pak Chandra terpaksa pulang mendahului teman-temannya. Mereka berdua memutuskan buat tidak ikut acara menyaksikan matahari terbenam. Keluarga Naura mendesak Uzy untuk ikut pulang bersama mereka.“Secepatnya, Bu. Saya harus mengabari ibu saya dulu di Klaten.” Uzy menjawab takzim, seperti dia apa adanya.“Coba ceritakan tentang keluarga Nak Uzy,” pinta Sofia p
Uzy terus berteriak-teriak, namun anehnya sosok wanita di depannya seperti tidak mendengar. Sosok itu mengenakan gaun putih panjang hingga sebetis. Sebuah topi anyaman menutupi kepala dan menyisakan rambut hitam panjang sepunggung pemiliknya.Jarak Uzy dan wanita itu hanya lima meter lagi. Wanita itu terus berjalan pelan menuju ke kedalaman lautan di depannya. Ombak memecah pantai, membuat air laut menyapu tubuh wanita itu hingga selutut.“Mbak, jangaaan!” Uzy tak mengurangi kecepatan, ia terus berlari cepat demi dapat mencapai wanita itu.Setelah dekat, dengan penuh rasa heroik, Uzy melompat dan menangkap tubuh si wanita, mencegahnya untuk terus melarungkan diri ke laut dalam.“Aaah!” jerit melengking terdengar membelah langit siang. Suara si wanita bergema hingga ke sudut pantai yang kebetulan sepi.Uzy dan wanita itu terjatuh ke atas pasir basah, tepat
"Well, itu tadi sedikit cerita tentang pengalamanku naik ojek online. Seperti yang kalian tahu, hidup ini seperti lelucon, dan setiap perjalanan selalu penuh dengan kejutan. Jadi, mari kita nikmati perjalanan ini dengan senyum dan tawa. Terima kasih, semuanya!" Rudi melayangkan cium jauh buat semua orang di dalam bus, membuat sebagian besar rekan-rekannya tertawa melihat tingkahnya.“Ikut stand up comedy aja kamu, Rud. Dijamin, kamu pasti kalah!” teriak Ratih dari kursi paling belakang sambil mengacungkan jempol terbalik. Beberapa teman wanita Ratih terkikik mendengar ejekan Ratih.Rudi yang hendak duduk di kursinya, menoleh mendengar perkataan Ratih.“Apa sih, Rat? Dari kemarin kamu kok sentimen banget sama aku? Ah, pasti kamu naksir berat sama aku, deh!” balas Rudi santai.Tawa menggema di dalam bus, sementara wajah Ratih merah padam mendapatkan balasan telak dari R
Uzy berusaha untuk menolak posisi ketua panitia, namun sepertinya semua rekannya justru menganggap dirinya pilihan terbaik. Wajah Uzy mulai terlihat panik. Di tengah kebingungan Uzy, tiba-tiba sebuah suara mengatasi semua suara yang berdengung di sekitar Uzy.“Mendingan jangan Pak Uzy, deh!”Serentak, seluruh pasang mata yang ada di dalam ruangan menoleh ke arah sumber suara. Pendapat anti mainstreamitu dianggap aneh dan mencengangkan oleh kebanyakan para karyawan. Suasana mendadak senyap.“Memangnya kenapa, Rud?” tanya Rani, akhirnya ada yang angkat suara.“Yaaa, Pak Uzy kan atasan kita. Masak sih kalian mau ngerjain atasan sendiri? Namanya acara, panitia-panitiaan itu ya dari kita-kita para staf biasa atau SPG,” dalih Rudi, meyakinkan.Semua karyawan tampak mengangguk-angguk. Mereka mulai termakan oleh persuasi yang Rudi lakuka
Uzy meneruskan perjalanannya ke kantor. Sepanjang jalan, Uzy sekuat tenaga menahan rasa sesak di dada. Uzy melajukan motornya dengan kecepatan pelan, khawatir terjadi kecelakaan seperti yang baru dialaminya. Akhirnya, Uzy sampai di kantornya dengan fisik yang selamat meskipun hatinya remuk redam. Uzy duduk di belakang mejanya dengan tatapan kosong. Dia tampak terlihat melamun dan sedih. Ia tak sanggup mengerjakan apapun selama setengah jam setelahnya. Uzy mematung, sibuk dengan kecamuk di dalam dadanya. Pada akhirnya, bunyi ketukan di pintu yang berhasil membawa Uzy kembali pada kenyataan. Uzy mengangkat kepala, lalu menyahut, “Masuk!” Pintu terbuka dan Rudi masuk ke dalam ruangan Uzy. “Saya bawa laporan penjualan kemarin, Pak,” lapor Rudi sambil melangkah mendekati meja Uzy. “Oh, iya. Letakkan saja di meja.” Uzy menanggapi tanpa nada antusias sama sekali. Rudi meletakkan sebuah map pada meja di hadapan Uzy. Ia bermaksud untuk pergi, namun raut wajah sedih Uzy mengusiknya. Walaup
Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali ke arah Uzy dengan gaya yang genit. Bibirnya yang berpoles lipstik merah menyala, tersenyum genit. “Hai, Mas ngganteng. Kamu butuh hiburan?”Uzy begitu syok, sampai ia tak menepis tangan si gadis yang mampir di pundaknya, berusaha meraih Uzy ke dalam pelukan.“Kamu Mariska?” tanya Uzy spontan.Gadis itu kembali mengerjapkan matanya dengan gaya yang lebih genit. Bau alkohol menguar dari bibirnya yang sedikit terbuka sensual.“Kita pernah kencan ya, Mas? Mau lagi?” Gadis itu terus meracau.Uzy menatap nanar pada sosok gadis di depannya. Gadis yang wajahnya ia lihat bersama Lilis kemarin di pusat perbelanjaan. Tak salah lagi, gadis muda di depannya pastilah Mariska. Hanya saja, Mariska yang ini lebih menor dandanannya daripada kemarin.Sementara itu, orang-orang yang lewat di jalan
“Mas, ayo kita sapa Mariska.” Lilis mendadak menjawil lengan Uzy. Uzy tersentak. “Jangan, Lis. Mendingan kita keluar saja dari sini. Jangan sampai Mariska melihatmu ada di sini juga.” “Lho, kenapa, Mas?” Lilis menatap Uzy dengan tatapan tak mengerti. “Kayaknya Mariska enggak akan suka kalau tahu kamu melihatnya di sini,” sahut Uzy spontan. Lagi-lagi, Lilis mengernyitkan dahi. “Kok, gitu? Seharusnya dia senang melihatku.” “Sudah, Lis. Ayo kita cari toko lain saja.” Enggan menjelaskan keadaan yang diduganya, Uzy langsung menarik tangan Lilis untuk keluar dari toko sepatu. “Kamu mau ke toko sepatu tempat Mas kerja, enggak? Kalau di sana, mungkin kamu bisa beli sepatu. Biar Mas yang bayarin.” Uzy membujuk Lilis. “Wah, beneran nih, Mas? Aku mau, dong.” Lilis melebarkan senyum mendengar janji Uzy. Akhirnya, mereka berdua keluar da
“Kenapa kamu bilang begitu, Lis? Memangnya kamu berpikir kalau Mas punya pacar?” tanya Uzy hati-hati.Lilis mengedikkan bahu. “Siapa tahu, Mas? Mas Uzy kan sudah cukup umur. Sudah punya kerjaan mapan juga. Kalau melamar anak orang, pasti enggak akan ditolak.”Uzy menarik napas lega. Sepertinya Lilis tidak tahu soal Candy. Maka, Uzy menjawab ujaran Lilis dengan suara dan ekspresi yang tenang. “Ah, mana ada cewek yang mau sama Masmu ini.”“Eh, Mas Uzy kok minder? Padahal Mas kan tampangnya lumayan. Sudah ada kerjaan lagi. Sudah dua kelebihan Mas dibanding cowok-cowok lainnya.” Lilis bersikeras.Uzy tertawa. Ia mengacak lembut ubun-ubun Lilis, hingga rambut gadis yang beranjak remaja itu teracak dan kusut. Lilis spontan menghindar.“Jangan, Mas. Penampilanku jadi enggak keren lagi nanti,” keluh Lilis.