Uzy memutuskan untuk menguntit Candy diam-diam. Ia mengikuti Candy yang naik taksi dengan motornya. Pemuda dari desa itu berusaha menjaga jarak kendaraannya secara hati-hati agar tidak terlihat mengikuti oleh sopir.
Setelah beberapa menit mengikuti Candy, Uzy melihat taksi Candy berhenti di depan sebuah rumah karaoke yang ramai. Hari menjelang malam. Wajar apabila tempat karaoke itu mulai banyak didatangi pengunjung. Apalagi, rumah karaoke itu memang terkenal di kota ini.
Uzy memperhatikan Candy dari kejauhan saat gadis itu bertemu dengan seorang wanita yang menyambut ramah dan akrab dengan Candy.
“Akhirnya kamu datang juga, Manis! Aku sudah nungguin dari tadi, lho.” Sayup-sayup di antara deru kendaraan di jalan, Uzy mendengar lengkingan suara si wanita kepada Candy.
“Maafin Candy, Tan. Tadi macet di jalan, jadinya agak lama sampai di sini,” balas Candy sambil tersenyum manis.
Uzy mengenakan jaketnya, bersiap-siap hendak pulang ketika jam digital di dinding kantornya menunjukkan pukul 16.55. “Hari ini enggak lembur lagi, Pak?” sapa Rani heran, tatkala melihat Uzy yang sudah siap menenteng tasnya. Uzy tersenyum. “Iya, Ran. Ada keperluan mendadak sore ini. Kamu dan teman-teman lain lembur dulu seperti biasa, ya?” sahut Uzy tenang. “Siap, Bos!” Rani memeragakan gerakan hormat bendera. Uzy tertawa melihat aksi Rudi. Uzy menghampiri Rudi yang hanya diam menyaksikan pembicaraannya dengan Rani. Uzy lalu menyerahkan kunci motornya kepada Rudi. Rudi dengan sigap menerima dan menukar kunci motor itu dengan kunci motornya sendiri. “Semoga berhasil, Pak,” kata Rudi sebelum Uzy beranjak pergi. Sebetulnya, Uzy merasa kurang enak hati karena tidak lembur lagi hari ini. Sudah jamak bahwa supervisor diharapkan untuk lembur setiap hari. Namun, ia betul-betul tak tenang memikirkan kegiatan Candy di luaran sana. Seolah-olah ada magnet kasatmata yang menariknya untuk menge
“Kenapa kamu bilang begitu, Lis? Memangnya kamu berpikir kalau Mas punya pacar?” tanya Uzy hati-hati.Lilis mengedikkan bahu. “Siapa tahu, Mas? Mas Uzy kan sudah cukup umur. Sudah punya kerjaan mapan juga. Kalau melamar anak orang, pasti enggak akan ditolak.”Uzy menarik napas lega. Sepertinya Lilis tidak tahu soal Candy. Maka, Uzy menjawab ujaran Lilis dengan suara dan ekspresi yang tenang. “Ah, mana ada cewek yang mau sama Masmu ini.”“Eh, Mas Uzy kok minder? Padahal Mas kan tampangnya lumayan. Sudah ada kerjaan lagi. Sudah dua kelebihan Mas dibanding cowok-cowok lainnya.” Lilis bersikeras.Uzy tertawa. Ia mengacak lembut ubun-ubun Lilis, hingga rambut gadis yang beranjak remaja itu teracak dan kusut. Lilis spontan menghindar.“Jangan, Mas. Penampilanku jadi enggak keren lagi nanti,” keluh Lilis.
“Mas, ayo kita sapa Mariska.” Lilis mendadak menjawil lengan Uzy. Uzy tersentak. “Jangan, Lis. Mendingan kita keluar saja dari sini. Jangan sampai Mariska melihatmu ada di sini juga.” “Lho, kenapa, Mas?” Lilis menatap Uzy dengan tatapan tak mengerti. “Kayaknya Mariska enggak akan suka kalau tahu kamu melihatnya di sini,” sahut Uzy spontan. Lagi-lagi, Lilis mengernyitkan dahi. “Kok, gitu? Seharusnya dia senang melihatku.” “Sudah, Lis. Ayo kita cari toko lain saja.” Enggan menjelaskan keadaan yang diduganya, Uzy langsung menarik tangan Lilis untuk keluar dari toko sepatu. “Kamu mau ke toko sepatu tempat Mas kerja, enggak? Kalau di sana, mungkin kamu bisa beli sepatu. Biar Mas yang bayarin.” Uzy membujuk Lilis. “Wah, beneran nih, Mas? Aku mau, dong.” Lilis melebarkan senyum mendengar janji Uzy. Akhirnya, mereka berdua keluar da
Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali ke arah Uzy dengan gaya yang genit. Bibirnya yang berpoles lipstik merah menyala, tersenyum genit. “Hai, Mas ngganteng. Kamu butuh hiburan?”Uzy begitu syok, sampai ia tak menepis tangan si gadis yang mampir di pundaknya, berusaha meraih Uzy ke dalam pelukan.“Kamu Mariska?” tanya Uzy spontan.Gadis itu kembali mengerjapkan matanya dengan gaya yang lebih genit. Bau alkohol menguar dari bibirnya yang sedikit terbuka sensual.“Kita pernah kencan ya, Mas? Mau lagi?” Gadis itu terus meracau.Uzy menatap nanar pada sosok gadis di depannya. Gadis yang wajahnya ia lihat bersama Lilis kemarin di pusat perbelanjaan. Tak salah lagi, gadis muda di depannya pastilah Mariska. Hanya saja, Mariska yang ini lebih menor dandanannya daripada kemarin.Sementara itu, orang-orang yang lewat di jalan
Uzy meneruskan perjalanannya ke kantor. Sepanjang jalan, Uzy sekuat tenaga menahan rasa sesak di dada. Uzy melajukan motornya dengan kecepatan pelan, khawatir terjadi kecelakaan seperti yang baru dialaminya. Akhirnya, Uzy sampai di kantornya dengan fisik yang selamat meskipun hatinya remuk redam. Uzy duduk di belakang mejanya dengan tatapan kosong. Dia tampak terlihat melamun dan sedih. Ia tak sanggup mengerjakan apapun selama setengah jam setelahnya. Uzy mematung, sibuk dengan kecamuk di dalam dadanya. Pada akhirnya, bunyi ketukan di pintu yang berhasil membawa Uzy kembali pada kenyataan. Uzy mengangkat kepala, lalu menyahut, “Masuk!” Pintu terbuka dan Rudi masuk ke dalam ruangan Uzy. “Saya bawa laporan penjualan kemarin, Pak,” lapor Rudi sambil melangkah mendekati meja Uzy. “Oh, iya. Letakkan saja di meja.” Uzy menanggapi tanpa nada antusias sama sekali. Rudi meletakkan sebuah map pada meja di hadapan Uzy. Ia bermaksud untuk pergi, namun raut wajah sedih Uzy mengusiknya. Walaup
Uzy berusaha untuk menolak posisi ketua panitia, namun sepertinya semua rekannya justru menganggap dirinya pilihan terbaik. Wajah Uzy mulai terlihat panik. Di tengah kebingungan Uzy, tiba-tiba sebuah suara mengatasi semua suara yang berdengung di sekitar Uzy.“Mendingan jangan Pak Uzy, deh!”Serentak, seluruh pasang mata yang ada di dalam ruangan menoleh ke arah sumber suara. Pendapat anti mainstreamitu dianggap aneh dan mencengangkan oleh kebanyakan para karyawan. Suasana mendadak senyap.“Memangnya kenapa, Rud?” tanya Rani, akhirnya ada yang angkat suara.“Yaaa, Pak Uzy kan atasan kita. Masak sih kalian mau ngerjain atasan sendiri? Namanya acara, panitia-panitiaan itu ya dari kita-kita para staf biasa atau SPG,” dalih Rudi, meyakinkan.Semua karyawan tampak mengangguk-angguk. Mereka mulai termakan oleh persuasi yang Rudi lakuka
"Well, itu tadi sedikit cerita tentang pengalamanku naik ojek online. Seperti yang kalian tahu, hidup ini seperti lelucon, dan setiap perjalanan selalu penuh dengan kejutan. Jadi, mari kita nikmati perjalanan ini dengan senyum dan tawa. Terima kasih, semuanya!" Rudi melayangkan cium jauh buat semua orang di dalam bus, membuat sebagian besar rekan-rekannya tertawa melihat tingkahnya.“Ikut stand up comedy aja kamu, Rud. Dijamin, kamu pasti kalah!” teriak Ratih dari kursi paling belakang sambil mengacungkan jempol terbalik. Beberapa teman wanita Ratih terkikik mendengar ejekan Ratih.Rudi yang hendak duduk di kursinya, menoleh mendengar perkataan Ratih.“Apa sih, Rat? Dari kemarin kamu kok sentimen banget sama aku? Ah, pasti kamu naksir berat sama aku, deh!” balas Rudi santai.Tawa menggema di dalam bus, sementara wajah Ratih merah padam mendapatkan balasan telak dari R
Uzy terus berteriak-teriak, namun anehnya sosok wanita di depannya seperti tidak mendengar. Sosok itu mengenakan gaun putih panjang hingga sebetis. Sebuah topi anyaman menutupi kepala dan menyisakan rambut hitam panjang sepunggung pemiliknya.Jarak Uzy dan wanita itu hanya lima meter lagi. Wanita itu terus berjalan pelan menuju ke kedalaman lautan di depannya. Ombak memecah pantai, membuat air laut menyapu tubuh wanita itu hingga selutut.“Mbak, jangaaan!” Uzy tak mengurangi kecepatan, ia terus berlari cepat demi dapat mencapai wanita itu.Setelah dekat, dengan penuh rasa heroik, Uzy melompat dan menangkap tubuh si wanita, mencegahnya untuk terus melarungkan diri ke laut dalam.“Aaah!” jerit melengking terdengar membelah langit siang. Suara si wanita bergema hingga ke sudut pantai yang kebetulan sepi.Uzy dan wanita itu terjatuh ke atas pasir basah, tepat
Kedatangan Uzy disambut suka cita oleh ibunya dan Lilis.“Alhamdulillah, Ibu senang kamu sudah sampai, Zy.” Ibu memeluk Uzy dengan penuh rasa syukur.Setelah saling melepas rindu dengan bertanya kabar, Uzy pun dituntun ibunya untuk duduk di ruang keluarga sekaligus ruang tamu rumah.“Cepat ambilkan jajan pasar yang sudah Ibu siapkan, Lis. Jangan lupa suguhkan tehnya,” titah Ibu kepada Lilis.Lilis patuh. Ia masuk ke dalam untuk melaksanakan semua perintah ibunya. Berdua saja duduk bersama ibunya, Uzy memutuskan untuk langsung mengungkapkan maksud kepulangannya.“Ibu, aku mau memberitahukan sesuatu yang penting. Begini, Bu … aku akan melamar seorang gadis bernama Naura.”Mata Ibu membulat lantaran tak menduga kabar penting yang disampaikan secara mendadak. Namun, Uzy menangkap nada senang ketika ibunya bertanya, &ldqu
Semuanya terjadi begitu cepat. Bahkan Uzy saja belum sempat untuk berpikir matang. Tahu-tahu saja, ia sudah dipaksa untuk menikahi gadis secantik Naura. Kalau mau jujur, sebetulnya Uzy tidak merasa terpaksa. Gadis secantik Naura, siapa yang bisa menolak? Paling-paling Uzy hanya bisa berlari ke pelukan gadis itu.“Jadi, kapan kamu mau mengajak keluargamu melamar Naura, Mas Uzy?” desak ibunya Naura, Sofia.Saat ini, Uzy dan Pak Chandra sudah berada di rumah Naura. Selepas kejadian memalukan di pantai itu, Uzy dan Pak Chandra terpaksa pulang mendahului teman-temannya. Mereka berdua memutuskan buat tidak ikut acara menyaksikan matahari terbenam. Keluarga Naura mendesak Uzy untuk ikut pulang bersama mereka.“Secepatnya, Bu. Saya harus mengabari ibu saya dulu di Klaten.” Uzy menjawab takzim, seperti dia apa adanya.“Coba ceritakan tentang keluarga Nak Uzy,” pinta Sofia p
Uzy terus berteriak-teriak, namun anehnya sosok wanita di depannya seperti tidak mendengar. Sosok itu mengenakan gaun putih panjang hingga sebetis. Sebuah topi anyaman menutupi kepala dan menyisakan rambut hitam panjang sepunggung pemiliknya.Jarak Uzy dan wanita itu hanya lima meter lagi. Wanita itu terus berjalan pelan menuju ke kedalaman lautan di depannya. Ombak memecah pantai, membuat air laut menyapu tubuh wanita itu hingga selutut.“Mbak, jangaaan!” Uzy tak mengurangi kecepatan, ia terus berlari cepat demi dapat mencapai wanita itu.Setelah dekat, dengan penuh rasa heroik, Uzy melompat dan menangkap tubuh si wanita, mencegahnya untuk terus melarungkan diri ke laut dalam.“Aaah!” jerit melengking terdengar membelah langit siang. Suara si wanita bergema hingga ke sudut pantai yang kebetulan sepi.Uzy dan wanita itu terjatuh ke atas pasir basah, tepat
"Well, itu tadi sedikit cerita tentang pengalamanku naik ojek online. Seperti yang kalian tahu, hidup ini seperti lelucon, dan setiap perjalanan selalu penuh dengan kejutan. Jadi, mari kita nikmati perjalanan ini dengan senyum dan tawa. Terima kasih, semuanya!" Rudi melayangkan cium jauh buat semua orang di dalam bus, membuat sebagian besar rekan-rekannya tertawa melihat tingkahnya.“Ikut stand up comedy aja kamu, Rud. Dijamin, kamu pasti kalah!” teriak Ratih dari kursi paling belakang sambil mengacungkan jempol terbalik. Beberapa teman wanita Ratih terkikik mendengar ejekan Ratih.Rudi yang hendak duduk di kursinya, menoleh mendengar perkataan Ratih.“Apa sih, Rat? Dari kemarin kamu kok sentimen banget sama aku? Ah, pasti kamu naksir berat sama aku, deh!” balas Rudi santai.Tawa menggema di dalam bus, sementara wajah Ratih merah padam mendapatkan balasan telak dari R
Uzy berusaha untuk menolak posisi ketua panitia, namun sepertinya semua rekannya justru menganggap dirinya pilihan terbaik. Wajah Uzy mulai terlihat panik. Di tengah kebingungan Uzy, tiba-tiba sebuah suara mengatasi semua suara yang berdengung di sekitar Uzy.“Mendingan jangan Pak Uzy, deh!”Serentak, seluruh pasang mata yang ada di dalam ruangan menoleh ke arah sumber suara. Pendapat anti mainstreamitu dianggap aneh dan mencengangkan oleh kebanyakan para karyawan. Suasana mendadak senyap.“Memangnya kenapa, Rud?” tanya Rani, akhirnya ada yang angkat suara.“Yaaa, Pak Uzy kan atasan kita. Masak sih kalian mau ngerjain atasan sendiri? Namanya acara, panitia-panitiaan itu ya dari kita-kita para staf biasa atau SPG,” dalih Rudi, meyakinkan.Semua karyawan tampak mengangguk-angguk. Mereka mulai termakan oleh persuasi yang Rudi lakuka
Uzy meneruskan perjalanannya ke kantor. Sepanjang jalan, Uzy sekuat tenaga menahan rasa sesak di dada. Uzy melajukan motornya dengan kecepatan pelan, khawatir terjadi kecelakaan seperti yang baru dialaminya. Akhirnya, Uzy sampai di kantornya dengan fisik yang selamat meskipun hatinya remuk redam. Uzy duduk di belakang mejanya dengan tatapan kosong. Dia tampak terlihat melamun dan sedih. Ia tak sanggup mengerjakan apapun selama setengah jam setelahnya. Uzy mematung, sibuk dengan kecamuk di dalam dadanya. Pada akhirnya, bunyi ketukan di pintu yang berhasil membawa Uzy kembali pada kenyataan. Uzy mengangkat kepala, lalu menyahut, “Masuk!” Pintu terbuka dan Rudi masuk ke dalam ruangan Uzy. “Saya bawa laporan penjualan kemarin, Pak,” lapor Rudi sambil melangkah mendekati meja Uzy. “Oh, iya. Letakkan saja di meja.” Uzy menanggapi tanpa nada antusias sama sekali. Rudi meletakkan sebuah map pada meja di hadapan Uzy. Ia bermaksud untuk pergi, namun raut wajah sedih Uzy mengusiknya. Walaup
Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali ke arah Uzy dengan gaya yang genit. Bibirnya yang berpoles lipstik merah menyala, tersenyum genit. “Hai, Mas ngganteng. Kamu butuh hiburan?”Uzy begitu syok, sampai ia tak menepis tangan si gadis yang mampir di pundaknya, berusaha meraih Uzy ke dalam pelukan.“Kamu Mariska?” tanya Uzy spontan.Gadis itu kembali mengerjapkan matanya dengan gaya yang lebih genit. Bau alkohol menguar dari bibirnya yang sedikit terbuka sensual.“Kita pernah kencan ya, Mas? Mau lagi?” Gadis itu terus meracau.Uzy menatap nanar pada sosok gadis di depannya. Gadis yang wajahnya ia lihat bersama Lilis kemarin di pusat perbelanjaan. Tak salah lagi, gadis muda di depannya pastilah Mariska. Hanya saja, Mariska yang ini lebih menor dandanannya daripada kemarin.Sementara itu, orang-orang yang lewat di jalan
“Mas, ayo kita sapa Mariska.” Lilis mendadak menjawil lengan Uzy. Uzy tersentak. “Jangan, Lis. Mendingan kita keluar saja dari sini. Jangan sampai Mariska melihatmu ada di sini juga.” “Lho, kenapa, Mas?” Lilis menatap Uzy dengan tatapan tak mengerti. “Kayaknya Mariska enggak akan suka kalau tahu kamu melihatnya di sini,” sahut Uzy spontan. Lagi-lagi, Lilis mengernyitkan dahi. “Kok, gitu? Seharusnya dia senang melihatku.” “Sudah, Lis. Ayo kita cari toko lain saja.” Enggan menjelaskan keadaan yang diduganya, Uzy langsung menarik tangan Lilis untuk keluar dari toko sepatu. “Kamu mau ke toko sepatu tempat Mas kerja, enggak? Kalau di sana, mungkin kamu bisa beli sepatu. Biar Mas yang bayarin.” Uzy membujuk Lilis. “Wah, beneran nih, Mas? Aku mau, dong.” Lilis melebarkan senyum mendengar janji Uzy. Akhirnya, mereka berdua keluar da
“Kenapa kamu bilang begitu, Lis? Memangnya kamu berpikir kalau Mas punya pacar?” tanya Uzy hati-hati.Lilis mengedikkan bahu. “Siapa tahu, Mas? Mas Uzy kan sudah cukup umur. Sudah punya kerjaan mapan juga. Kalau melamar anak orang, pasti enggak akan ditolak.”Uzy menarik napas lega. Sepertinya Lilis tidak tahu soal Candy. Maka, Uzy menjawab ujaran Lilis dengan suara dan ekspresi yang tenang. “Ah, mana ada cewek yang mau sama Masmu ini.”“Eh, Mas Uzy kok minder? Padahal Mas kan tampangnya lumayan. Sudah ada kerjaan lagi. Sudah dua kelebihan Mas dibanding cowok-cowok lainnya.” Lilis bersikeras.Uzy tertawa. Ia mengacak lembut ubun-ubun Lilis, hingga rambut gadis yang beranjak remaja itu teracak dan kusut. Lilis spontan menghindar.“Jangan, Mas. Penampilanku jadi enggak keren lagi nanti,” keluh Lilis.