Tiga tahun kemudian.
Seorang wanita tengah menyuapi sepotong roti untuk kedua putra kembarnya. Hari ini tidak banyak yang bisa ia dapat dari mengumpulkan barang bekas, karena hujan terus saja turun dengan derasnya.
Bersyukur dirinya bisa tinggal di penampungan sederhana bersama dengan Bu Tahu, dan teman-teman pemulung lainnya. Semua menjadi keluarga, walau ia termasuk anggota baru mereka. Semua orang di sana juga tanpa segan membantunya baik saat hamil, melahirkan, hingga mengurus bayi kembar Linda.
"Kenapa cuma makan roti? Anak kamu badannya kurus banget, Nuri," tegur Bu Yayu saat ia kembali sore itu dengan tubuh yang basah kuyup.
"Hari ini dapatnya sedikit, Bu. Mereka minta jajan tadi di jalan, jadi saya belikan roti saja karena uang untuk beli nasi tinggal hari ini dan besok. Hujan terus, saya jadi tidak bisa keliling. Kasihan anak-anak kalau kehujanan," terang Nuri sambil tersenyum getir.
"Ini, tadi Jumat berkah, ada yan
"Nuri, sini deh! Saya ada info bagus nih untuk kita, tapi itu juga kalau kamu mau," kata Bu Yayu saat siang itu pulang; mengantar makanan untuk Agus. Nuri yang tengah melipat cucian, akhirnya menghampiri Bu Yayu dengan penasaran. Jika wajah Bu Yayu berbinar, itu tandanya ada berita baik."Ada apa, Bu?" tanya Nuri yang sudah duduk di samping Bu Yayu."Saya kenal sama salah seorang lelaki yang bekerja di dapur restoran di mal. Yang makan di restoran'kan suka gak habis tuh, kalau makan, nah sama mereka ditawarin, mau gak? Ada yang masih belum dimakan, ada yang cuma makan setengah. Padahal masih ada daging atau ayam. Lumayan banget kan, kamu mau gak? Nanti setiap malam jam sembilan kita ambil, lalu kita panaskan, lumayan untuk makan besoknya, gimana?" Nuri nampak berpikir keras. Sebenarnya ia tidak tega memberikan anaknya makanan sisa, tetapi kehidupan lagi sangat sulit, sehingga ia harus menahan ego dan gengsi demi kebaikan anak-anaknya."Kamu mau
Nuri bersama kedua buah hatinya menyusuri trotoar jalan untuk mencari botol minuman bekas. Pakaian Kumal dengan jari jemari yang begitu hitam. Wajah pun menghitam tak terurus.Tak terlihat wajah lelahnya karena buah hatinya selalu bersamanya. Sebuah topi dan juga masker ia pakai agar matahari tak semakin membakar kulitnya. Tarung dan Thoriq juga memakai topi, tetapi tidak memakai masker."Pegangan, Ibu," seru Nuri saat mereka sudah berdiri di zebra cross dan bersiap untuk menyeberang. Karung besar berwarna putih pucat sudah ada di ikat di pundak hingga pinggang, sehingga ia tidak perlu terus memegangi karung berisi barang bekas itu."Temana, Bu?" tanya Tarung saat mereka masuk ke dalam perumahan sangat besar dan juga ramai kendaraan. Di sana tertulis Pondok Indah."Cari botol minuman," jawab Nuri sambil menyeringai."Kalau capek, kita istirahat di bawah pohon itu yuk!" Kedua anaknya pun mengangguk senang. Thoriq berlar
Hua ... Hua ...Suara tangis Tarung dan Thoriq pecah saat melihat ibu mereka jatuh terkulai di tanah."Ibu, bangun! Tolong, tolong!" teriak dua anak kembar itu dengan suara nyaring. Seorang lelaki yang keluar dari samping rumah besar itu berlari menghampiri dan kaget melihat Nuri pingsan."Udah, jangan nangis ya. Cup, cup, ... Ibunya biar Pakde tolong, tapi nangisnya berhenti dulu." Tarung dan Thoriq seketika diam dan ikut berjalan mengekori lelaki yang menyebut dirinya Pakde masuk ke dalam rumah besar itu."Bang, itu ikan!" kata Thoriq pada Tarung. Keduanya lupa akan ibunya, lalu seru melihat ikan yang tengah berenang di kolam hias."Dasar anak-anak!" lelaki itu tertawa kecil memperhatikan dua anak pemulung yang tadi menangis, kini sudah asik melihat ikan."Bik, cepat kemari! Bawa minyak kayu putih!" seru lelaki itu dari teras samping. Seorang perempuan setengah baya keluar dengan membawa minyak kayu putih yang dimin
Kedua kaki Nuri kembali gemetar saat Pak Tomo membuka pintu gerbang rumah. Sebuah mobil masuk dan parkir di dekat kolam ikan. Nuri baru sadar, Tarung sedang berdiri di sana, memperhatikan ikan-ikan yang berenang. Anak sulungnya itu sama sekali tidak menyadari sebuah mobil baru saja berhenti di dekatnya.Jika ia menyusul Tarung, bisa saja Tangguh mengenalinya dan itu tidak bisa ia lakukan."Thoriq, ajak Abang Tarung ke sini, di sana ada mobil, nanti mobil Om dan Tante di sana bisa lecet. Ayo, ajak Bang Tarung ke sini," bisik Nuri pada Thoriq. Si bungsu pun mengangguk, lalu berlari kecil menghampiri Tarung.Tangguh keluar dari mobil, begitu juga Dian. Wanita itu melupakan laptop yang sangat penting untuk mengurus skripsinya yang tinggal sedikit lagi selesai. Dian berlari masuk ke dalam rumah tanpa menyadari sedang banyak orang di pekarangan rumahnya."Eh, tunggu! Kalian kembar ya?" tegur Tangguh saat menyadari dua anak lelaki yang be
Aroma obat-obatan dan disinfektan sangat menusuk indera penciuman Tangguh. Namun lelaki itu masih setia menunggu wanita yang sudah sangat lama ia cari yang kini masih di bawah pengaruh obat tidur.Di brangkar sampingnya lagi ada Tarung yang juga sama diinfus oleh dokter, karena dehidrasi dan lambung. Sungguh sangat tercabik-cabik hatinya mendengar penuturan dokter tentang keadaan lambung Tarung. Apa yang terjadi pada Linda? Kenapa semua kemalangan ini ia tanggung sendiri?Apakah dua anak kembar ini adalah anak-anaknya? Jika iya, betapa berdosanya ia telah tidak tahu dan tidak benar-benar mencari mereka."Thoriq tinggal di mana?" tanya Tangguh dengan suara bergetar."Di Kampung Dusun, Om," jawab Thoriq santun sambil menarik air hidungnya. Tangguh mengeluarkan sapu tangan untuk membersihkan hidung anak kecil itu. Tidak ada rasa jijik sama sekali, yang ada rasa iba yang tidak berkesudahan.Kuku kaki yang menghitam, kulit tubuh
["Halo, Dian, saya masih di rumah sakit. Gimana? Udah selesai urusan laporannya?"]["Belum, A' ini masih sampai sore. Gimana kabar wanita yang Aa tolong? Sudah baikan?"]["Sudah sadar, tapi si kecilnya masih istirahat di bawah pengaruh obat tidur. Nanti Aa pulang, Aa cerita ya. Semangat ngerjain tugasnya."]["Ya udah, hati-hati ya, A'."]Tangguh memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana."Apa dia calon istrimu?" tanya Linda dengan suara tertahan."Iya, bisa dibilang begitu, tapi sebelum aku bertemu kamu dan anak-anak.""Mereka anak-anakku!" tegas Linda lagi masih tidak mau mengakui hal yang sebenarnya."Yah, terserah kamu saja. Aku tidak akan memaksa kamu mengaku saat ini, karena kamu masih belum sehat." Linda terdiam, ia tidak tahu mau berkata apa lagi.Di sofa, Thoriq sudah tertidur sambil menonton televisi yang menayangkan film kartun. Sesenang itu anak lelaki itu menonton hingga ia tertawa-t
Malam ini Tangguh memutuskan menginap di rumah sakit, menemani Linda dan juga anak-anaknya, walau wanita itu masih belum mengakui bahwa si Kembar adalah darah dagingnya, tetapi Tangguh begitu yakin kedua putra kecil yang ada di dekatnya ini adalah putranya.Tarung tertawa, begitu juga Thoriq saat Tangguh menghibur mereka dengan menjadi kuda. Thoriq naik di atas punggung Tangguh, berjalan keliling ruangan dengan penuh semangat. Linda tidak berkomentar apapun, jauh di lubuk hatinya sangat senang akhirnya anak-anaknya terhibur dengan sosok lelaki yang bisa membuat mereka tertawa.Tarung lebih bersemangat dan segar setelah makan nasi dengan baso halus yang dibeli oleh Tangguh secara online."Om siapa?" tanya Tarung pada Tangguh yang baru saja mendudukkan Thoriq di brangkar Tarung."Om Tangguh. Nama kita mirip ya? Nama kamu Tarung, nama Om, Tangguh. Pasti Ibu yang berikan nama bagus ini," kata Tangguh dengan senyuman lebar.Tarun
"A' gak papa, anak-anak butuh A' Tangguh. Kita masih bicara besok." Dian mengusap pundak Tangguh dengan lembut, lalu menoleh pada Linda yang tengah membuang pandangannya."Tarung, Thoriq, Tante pulang dulu ya, besok kembali lagi ke sini bawa banyak mainan," kata Dian dengan senyuman yang lebar. Ia pun melambaikan tangan pada kedua anak Linda, sebelum keluar dari ruangan."Dian baik sekali, pantas saja kamu nyaman dengannya, Guh. Jangan sungkan denganku, jika kamu ingin menikahinya, maka lanjutkan. Aku mendukungmu," kata Linda sambil membesarkan hatinya yang sedang tidak baik-baik saja. Tangguh tahu hal itu, sehingga ia tidak mau menyahuti. Ia hanya tersenyum, lalu kembali bergabung bersama kedua putranya.Keesokan harinya, kondisi Tarung sudah lebih baik. Dokter pun sudah membolehkan lelaki kecil itu melepas infus di tangannya. Tentu saja Tarung senang, karena akhirnya ia bisa berlarian di dalam ruangan ruang sakit yang menurutnya sangat bagus.
"Aah... yah... yah.... " Tangguh menjatuhkan tubuhnya di samping Linda. Ia tidak bisa melukiskan kata malu pada istrinya mengenai kekuatan di ranjangnya yang hanya bisa bertahan lima menit saja. Linda belum merasakan apa-apa, hanya nikmat pembuka saja, tetapi dirinya malah sudah selesai. Harga dirinya sebagai lelaki benar-benar sedang dipertaruhkan."Tidak apa-apa, Yah. Ibu gak papa. Ini sudah lebih baik dari bulan lalu yang benar-benar hanya dua menit saja." Linda menyentuh pundak polos suaminya. Mendekatkan tubuhnya agar berada dalam pelukan suaminya."Ini sudah dua tahun, Sayang, dan aku hanya bisa bertahan lima menit saja. Ya ampun, aku bingung harus bagaimana lagi," suara Tangguh terdengar begitu getir."Aku belum bisa mengisi rahim kamu dengan anak. Padahal si Kembar sudah ingin adik. Aku minta maaf ya," lirih Tangguh dengan mata berkaca-kaca."Tolong jangan tinggalkan aku karena lima menit ini. Aku tidak mau, Linda, aku bena
"Selamat untuk kalian berdua," kata Darwis sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman. Awalnya Tangguh ragu untuk menyambut tangan itu, tetapi karena Linda mengangguk pelan, maka Tangguh pun akhirnya menerima jabat tangan dari Darwis."Apa Linda belum menceritakan semuanya padamu? Wajah calon pengantin pria sepertinya begitu marah," sindir Darwis sambil mengulum senyum. Matanya tanpa sengaja menoleh pada dua anak lelaki yang baru saja naik ke atas pelaminan yang masing-masing tengah memegang cup es krim."Apa mereka yang waktu itu di perutmu?" tanya Darwis lagi sambil berbisik. Tangguh mengepalkan tangan, ingin sekali ia memukul lengan wajah Darwis hingga babak-belur, tetapi Linda kembali menahannya dengan mengusap punggung suaminya.Darwis berjalan menghampiri si Kembar, lalu ikut berjongkok di depan mereka."Halo, kenalkan, ini Opa Darwis. Kami siapa namanya?""Tarung, Opa.""Kalau kamu?""Toliq, Opa." Darwis terta
Tangguh ternyata membuktikan ucapannya. Tanggal pernikahan diedit menjadi lebih cepat dua Minggu dari yang ditentukan sejak awal. Semua orang menjadi super sibuk, termasuk Linda dan keluarga besarnya.Seperti hari ini, Linda tengah membagikan belasan batik dan gaun cantik untuk panitia acara pernikahannya. Tangguh yang menyiapkan semuanya, Linda hanya bagian membagikan dan mengatur siapa-siapa saja yang mendapat seragam.Thoriq dan Tarung duduk terdiam di depan televisi, di tengah keriuhan keluarga besar ibunya. Mereka baru saja dijemput pulang sekolah oleh salah satu saudara Linda, karena Linda sudah tidak diperbolehkan keluar rumah oleh Mamanya."Tarung, Thoriq, kenapa?" tanya Linda yang terheran melihat kedua anaknya murung, tetapi tidak ada yang menjawab pertanyaan itu."Kapan ayah Tarung dan Thoriq pulang? Apa nanti saat Ibu menikah lagi, ayah Tarung baru pulang kerja?" tanya Tarung dengan mata berkaca-kaca. Linda menghela nap
Walau dirinya bukanlah gadis, tetap saja mama dari Linda menginginkan anaknya untuk tidak tinggal di rumah Tangguh sampai keduanya sah sebagai suami istri.Ini adalah hari kelima Linda dan Tangguh tidak tinggal berdekatan. Keduanya sesekali bertemu karena ada urusan yang berkaitan dengan mengurus acara pernikahan, sekaligus sekolah untuk si Kembar.Seperti pagi ini, Tarung dan Thoriq sudah rapi dengan pakaian baju kaus, celana jeans, dan juga sepatu boot. Tak lupa tas ransel bergambar Spiderman sudah berada di punggung keduanya.Hari ini adalah hari pertama si Kembar masuk sekolah. Keduanya bersekolah di sekolah alam yang tidak mengenakan seragam. Tangguh sengaja memilih sekolah yang sedikit berbeda dengan yang umum, agar anaknya enjoy bermain sambil belajar."Kamu beneran gak mau sarapan?" tanya Linda pada Tangguh yang sudah duduk di teras rumah orang tua Linda sambil menyesap tehnya."Nggak, belum kepingin. Nanti saja samp
Pertemuan mengharukan pun tidak terelakkan begitu Linda sampai di rumah orang tuanya. Mama dari Linda bahkan pingsan karena terkejut melihat putri yang sudah lama menghilang, kini datang ke rumahnya dengan membawa anak kembar.Satu hal yang membuat keduanya semakin bertangisan, yaitu berita wafatnya ayah dari Linda yang baru saja enam bulan yang lalu."Maafkan Linda, Ma, maaf." Hanya itu yang bisa ia ucapkan berkali-kali di depan mamanya yang terbaring lemas karena pingsan. Tangguh sama sekali tidak berani mengeluarkan suara, walau ia ikut kaget dengan kabar ayah Linda yang sudah tiada."Mbak, ini!" Linda menerima minyak kayu putih dari tangan adik perempuannya. Dengan cekatan dan sangat hati-hati, Linda mengoleskan minyak kayu putih pada hidung dan juga kening mamanya.Wanita paruh baya itu akhirnya membuka mata dengan perlahan. Linda menyuapi sendok demi sendok teh manis hangat kepada Sang mama."Kami darimana saja?" tanyanya de
Pagi hari, keadaan rumah menjadi begitu semarak sejak hadirnya Tarung dan Thoriq. Alicia; anak dari Rucita pun sangat senang dengan dua saudara lelakinya yang berwajah sama. Sering sekali Alicia atau yang biasanya dipanggil Via, tertukar saat bermain dengan si Kembar."Abang Talung dan Abang Tolik kenapa mukanya sama sih, Mom?" tanya Cia pada Rucita yang ia panggil 'mommy'"Karena mereka kembar, Sayang. Lahirnya bersamaan keluar dari perut Uak Linda," jawab Rucita bijak. Ia tengah duduk di teras rumah Tangguh dan sedang mengepang rambut panjang putrinya."Jadi meleka antli pas mau kelual ya, Mom?" (Jadi mereka antre pas mau keluar ya, Mom) Rucita tergelak mendengar celotehan Cia."Iya, harus antre. Biar perut Uak Linda gak sakit," jawab Rucita membenarkan. Cia hanya manggut-manggut paham."Sudah rapi, Cia, sekarang Cia boleh main sama Abang kembar," kata Rucita pada putrinya. Gadis kecil itu pun bergabung dengan kakak sepupunya di depan kolam
"Linda, kamu mau'kan?" Tangguh sekali lagi bertanya pada wanitanya. Linda menghapus air matanya dengan punggung tangan. Bik Mirna tidak mau ketinggalan momen dengan merekam adegan manis di depan pintu rumah majikannya."Kalau aku menolah juga pasti kamu paksa!" Kata Linda ambigu. Tangguh tertawa, tetapi ia masih belum ingin berdiri dari simpuhannya."Terima ya, Teh," suara dari balik punggung Tangguh terdengar bergetar. Ia adalah Rucita yang kebetulan ingin mengantarkan durian ke rumah Tangguh dan sangat senang melihat momen Tangguh yang tengah melamar Linda. Tangguh tersenyum penuh haru saat menoleh ke belakang. Linda pun tidak bisa berkata-kata lagi.Rucita dan Tangguh sama-sama menunggu jawaban darinya. Apakah akhirnya ia harus menyerah dengan takdir? Apakah dengan menerima Tangguh maka luka lamanya akan sembuh?"Kita akan mulai semuanya dari awal. Aku janji akan sayang sama kamu dan anak-anak. Aku akan menjaga kalian. Aku mencintai k
Tangguh sudah berada di restoran. Sore ini, ia ada janji bertemu dengan Dian untuk membicarakan masalah mereka ke depannya. Bagaimanapun, lamaran sudah dilakukan dan dia harus memiliki adab saat memutuskan untuk tidak meneruskan sampai ke pelaminan.Cappucino hangat lolos ke dalam tenggorokannya. Menikmati rintik hujan yang tidak terlalu lebat, tetapi mampu menciptakan aroma tanah basah yang sangat nyaman masuk ke dalam indera penciumannya.Sebuah mobil sedan pintu dua masuk ke area restoran. Tangguh berdiri untuk menyambut wanita yang saat ini masih berstatus sebagai tunangannya."Mas, maaf, saya boleh pinjam payung? Mau jemput wanita yang baru tiba di sana!" Tunjuk Tangguh pada mobil Dian yang baru saja berhenti dengan begitu halus di parkiran."Boleh, ini, Mas." Pelayan lelaki itu memberikan payung cukup besar pada Tangguh."Terima kasih, Mas." Tangguh berlari menghampiri Dian yang baru saja keluar dari mobilnya. Lelaki i
"Kamu sangat pemaksa!" Ketus Linda dengan wajah cemberut. Mau tidak mau, ikhlas tidak ikhlas ia membuka mulut saat Tangguh menyuapinya dengan bubur ayam hangat yang rasanya sangat enak. Berbeda dengan bubur di rumah sakit yang rasanya hambar.Tangguh tersenyum melihat Linda makan dengan lahap dan begitu patuh tanpa suara. Si kembar memperhatikan dua orang dewasa di dekat mereka dengan seringai yang begitu lebar."Om sama Ibu pacalan," bisik Thoriq sok tahu."Pacaran itu apa?" tanya Tarung dengan wajah tidak paham."Olang dewasa yang dekat, telus ciuman, telus nanti tidulan baleng(orang dewasa yang dekat, terus ciuman, terus nanti tiduran bareng), hi hi hi ....""Gak boleh tiduran bareng kalau belum jadi pengantin. Kata Bude Yayu seperti itu," jawab Tarung dengan wajah serius."Pengantin itu apa?" gantian Thoriq yang bertanya pada abangnya. Maklum saja lidah Thoriq belum bisa menyebut huruf R dengan jelas, sehingga Tar