Reyhan mendorong istri pertama, ia berjongkok memandang wanita yang sudah dinikahinya dulu. Sebelum menahan Maira, lelaki itu telah memakai boxer.
"Lihat! Kenapa kamu gak mengikuti saran Thania?" tanya Reyhan.Maira menatap nyalang sang suami, ia bahkan menunjuk wajah pria tersebut."Gimana aku bisa bersolek, kalau uang yang kamu berikan gak cukup, Mas!" sentak Maira. Reyhan melotot mendengar Maira yang berkata dengan nada tinggi, bahkan dia menunjuk wajahnya. Membuat Reyhan murka dan menampar sang istri."Beraninya kamu berkata dengan nada begitu! Menunjuk wajah Mas lagi!" bentak Reyhan. Mata Maira semakin berkaca-kaca, ia memegang pipi yang baru saja ditampar sang suami."Mas berani menampar Maira di hadapan jalang itu!" geram Maira. Thania membulatkan matanya, dengan kasar melemparkan bantal kepada Maira."Aku bukan jalang, Ra! Aku istri suamimu," hardik Thania. Maira menoleh memandang teman yang menusuk dari belakang itu. Ia bangkit dan menyerang Thania membuat Reyhan terkejut."Kamu bisa nyakitin istriku, Ra!"Reyhan mendekati dua wanita itu lalu mendorong Maira sampai terjatuh dari kasur. Ia memekik menahan rasa sakit, menatap kecewa pada suaminya. "Mas ... kamu lebih belain dia!"Maira berkata dengan suara serak, membuat Thania menyeringai melihat sang teman yang sangat menyedihkan."Harus! Karena Thania ini sedang mengandung anakku."Maira menatap tak percaya akan hal yang dikatakan sang suami. Ia bangkit dan melangkah bersandar di dinding. Mata wanita itu tersiratkan rasa kecewa begitu besar."Sebenarnya kalian sudah berapa lama bermain di belakangku," lirih Maira pelan.Maira yang tidak mendapatkan jawaban, ia hanya tersenyum kecut. Wanita itu melangkah ke lemari dan mencari koper lalu memasukan pakaiannya."Kalian bajingan!"Reyhan yang melihat itu langsung mendekati Maira, ia menarik lengan istrinya membuat wanita tersebut terduduk ke lantai."Apa maumu, ha! Udah nyakitin aku dengan kelakuan sekarang apalagi yang mau kamu," pekik Maira.Lelaki itu menyeringai, ia memegang dahu Maira agar membalas tatapannya."Karna kamu udah tau Thania adalah istriku, Mas bakal aja dia tinggal di sini. Kamu mau ke mana rapihin baju, ha!"Maira tidak menjawab, ia memilih memasukan pakaiannya lagi."Kayanya dia mau pergi deh, Mas," seru Thania.Reyhan bangkit dari jongkoknya lalu bersidekap menatap remeh ke arah Maira."Benarkah? Apakah wanita ini berani," cibir Reyhan.Reyhan memilih mendaratkan bokong ke ranjang, tatapan sinis dilayangkan pada istri pertamanya."Kenapa harus gak berani, ya jelas aku berani dong! Ngapain juga di sini kalau cuma membuat sakit hati aja," sahut Maira.Maira berusaha agar nada suara tidak terdengar gemetar. Ia memandang lelaki itu dengan tajam, Reyhan yang melihat itu hanya tersenyum sinis."Ahh ... kita liat aja, sampai kapan kamu bertahan. Nanti juga bakal ngemis ke sini, biar kamu ditampung olehku," ujar Reyhan.Maira yang mendengar itu memandang kesal Reyhan, setelah selesai merapikan pakaian. Ia bangkit dan mendekati suaminya."Aku gak bakal sudi dateng lagi ke sini, mendingan ayo cepat! Talak aku sekarang," seru Maira lantang.Reyhan hendak menampar Maira lagi tapi ia urungkan. Lelaki itu mengepalkan tangan."Belagu banget ya, oke kalau itu mau kamu. Aku talak kamu, Maira."Mendengar perkataan Reyhan, ia langsung melangkah pergi. Tidak mengatakan sepatah katapun."Berhenti! Mas akan antar kamu sampe keluar, takut kamu mengambil sesuatu kalau tidak diawasi," seru Reyhan.Maira mengepalkan tangan mendengar itu, ia memilih keluar dan langsung dikejar oleh Reyhan. Lelaki tersebut menarik Maira dan menampar sang mantan istri. "Kamu gila, ha! Main tampar aja. Kita udah gak ada hubungan apapun, ayo cepat antar aku keluar," hardik Maira. Wanita itu mendorong Reyhan tetapi tidak berhasil. Dia pasti kala kuat dengan lelaki tersebut. "Dasar lemah, hanya berani cewek," cibir Maira akhirnya. Reyhan mengepalkan tangan, ia menunjuk-nunjuk wajah Maira. "Kamu ini! Cepat pergi, awas saja kalau nanti nangis-nangis minta di tampung lagi," sentak Reyhan. Maira hanya mencebik lalu melangkah dengan cepat seraya menggeret kopernya. Ia melirik jam di dinding, masih dini hari, menarik napas lalu mendongak agar air mata tidak berjatuhkan. "Ayo cepat! Katamu mau pergi dari rumahku bukan." Reyhan mendorong Maira, beruntung wanita itu tidak terjatuh. Perempuan tersebut menoleh sekilas menatap kesal mantan suaminya lalu melangkah dengan cepat. "Dasar miskin! Gak tau diri
Maira berjalan pelan lalu melirik sekitar. Ia mendongak menatap langit yang masih gelap. Dia menarik dan membuang napas kasar. "Dasar, aku tertipu dengan kebaikannya dulu," gumam Maira.Wanita itu merogoh ponselnya, lalu menelepon seseorang. "Tolong jemput, aku ada di jalan ...," pinta Maira.Seseorang yang masih dalam keadaan setengah sadar itu. Berusaha membuka mata. "Dijalan mana? Kamu yang bener aja Dek. Ini pasti masih malam, Abang ngantuk Dek jangan ganggu," tutur David.Maira menghela napas, bahkan wanita itu masih sesegukan. Membuat David terheran mendengar hal tersebut. "Kenapa kamu begitu? Apa kamu baru saja menangis?" tanya David bertubi-tubi."Abang ... cepat jemput Maira!" Tangisan itu akhirnya keluar lagi. David terkejut ia langsung duduk dan bergegas keluar tanpa mengganti pakaian."Abang akan ke sana, tunggu Abang!" perintah David. Maira mengangguk walau tidak terlihat oleh sang Kakak. Setelah itu ia mematikan ponsel karena baterainya tinggal sedikit lagi. Memel
David yang melihat riak wajah adiknya berubah langsung menarik lengan Maira. Membuat dekapan Ibu dan anak tersebut terlepas. "Kamu tuh apa-apaan sih! Dav, Ibu lagi melepas rindu sama adekmu lho," cecar wanita itu. Wanita itu mengikuti anaknya, sedangkan Maira langsung memandang sang Kakak yang mengulas senyum. Lelaki tersebut menyuruh sang adik untuk duduk di sofa. "Ibu ini, harusnya anak dateng tuh disuguhi dulu ke, takut Maira capek gitu. Ini malah dicecar sama pertanyaan," gerutu David. Ibu mereka langsung berdecak menatap kesal David. Ia memilih duduk di samping Maira, dia memegang tangan putrinya. "Kamu istirahat dulu, setelah merasa lebih baik tolong ceritakan, kali aja kami bisa bantu," ujarnya dengan nada lembut.Maira mengangguk, ia mengulas senyuman. Mendekap sang Ibu lagi dan menangis di pelukan wanita itu. "Nangis sepuasmu, Nduk. Setelah itu jangan sampai air mata berhargamu ini berjatuhan lagi," lontar sang Ibu.Sedangkan David memilih membantu membawakan koper Mair
Maira terdiam mendengar pertanyaan Bapaknya, ia menarik nafas dan menghembuskannya dengan kasar."Bapak udah minum obat belum?" tanya Maira. Wanita itu mengelak tidak menjawab pertanyaan Bapaknya. Membuat lelaki tersebut menghela napas lalu memilih untuk tidak bertanya lagi."Allhamdulillah udah, lagian Bapak udah agak enakan, nanti kalau udah pagi mau berangkat nguli," ucap lelaki itu. Semua langsung terkejut mendengar ucapan lelaki itu mereka dengan kelompok menggeleng."Jangan kerja dulu lah, Pak! Nunggu sehat aja, jangan maksain," seru Maira. "Iya benar apa kata Maira, Mas. Mendingan kamu izin dulu," lontar sang istri. Terlihat lelaki itu menghela nafas."Kalau nanti Bapak gak kerja kita makan apa, Bu! Sedangkan David cuma ngadelin duit ngojek," lirih lelaki itu. Maira yang mendengar itu memegang lengan cinta pertamanya. Senyuman kecil terlukis di bibir wanita tersebut. "Tenang aja kalau cuma buat makan, mah, Pak. Kami akan usahakan cari uang, sekarang Bapak cukup fokus ke k
Wanita itu langsung mengusap air yang berjatuhkan dari kelopak mata. Ia bangkit dan melangkah untuk memandang pantulan dirinya di cermin retak. Masih terasa pipi yang basah akibat dia menangis."Ngapain kamu nangisin cowok brengsek itu, Maira! Bodoh banget sih," omelnya.Tangan wanita itu menjitak kening setelah mengomel pada dirinya sendiri. "Ayo semangat Maira." Monolognya. Wanita itu memegang perut karena merasakam mulas. Ia berlari ke kamar mandi lalu menggedornya. "Siapa di dalam? Ayo cepat keluar! Udah gak tahan nih," teriak Maira. David yang mendengar itu langsung membuka pintu setelah memakai handuk. Sedangkan Maira dengan cepat menarik lengan lelaki tersebut lalu lekas mentup pintu."Bang, itu anduk baru punya Abang bukan? Kalau iya buat aku ya," teriak Maira. David yang mendengar itu mengiyakan. Maira langsung mengusir sang Kakak untuk pergi menjauh dari bilik mandi. "Udah sono pergi! Nanti bom Abang pingsan lagi," usir Maira.David berdecak kesal mendengar usiran adi
"Ya! Pokoknya kamu harus cerai," seru David.Lelaki itu melangkah pergi setelah mengatakan demikian. Sangat terlihat, jika dia sangat kesal. Sedangkan Dewi memandang putrinya dan langsung menarik Maira dalam dekapan. "Udah, jangan mikirin itu dulu. Mendingan sekarang bantu Ibu, nanti kita jualan bareng," tutur Dewi. Mendengar perkataan Dewi membuat Maira mengulas senyum kecil. Dia menganggukkan kepala lalu mulai melakukan pekerjaan lagi. Beberapa menit berlalu, akuirnya mereka selesai memasak. "Akhirnya selesai juga, Bu." Maira mengatakan itu seraya merenggangkan otot. Pegal karena lumayan lama bergelut di dapur. Wanita tersebut melihat Dewi yang memijat tangan."Sini, Bu! Biar aku aja yang mijit," seru Maira. Wanita itu langsung menarik Dewi agar ikut duduk lesehan di lantai. Maira dengan telaten memijat Ibunya. "Pasti Ibu pegel banget ya, ngaduk adonan yang lumayan banyak. Sini biar Maira pijat pake kekuatan cinta, biar gak pegel lagi," seloroh Maira. Dewi yang mendengar pu
"Bu ... jangan, nanti aja kalau Bapak udah sehat," pinta Maira.Mendengar perkataan anaknya, Dewi menggeleng sebagai jawaban. "Lebih bagus sekarang, Ra. Dari pada nanti, Bapak bakal bingung. Apalagi kita harus cari uang buat nanti kamu ke pengadilan," seru David. Lelaki yang dipanggil Bapak itu menoleh. Melirik David lalu memandang putrinya yang tengah memilih baju. "Apa yang kalian kata, kenapa segala bawa pengadilan. Ayo cepat jelaskan!" tuntut lelaki itu. Maira yang melihat sang Bapak kebingungan hanya menuduk. Semakin meremas pakaiannya, ia menarik napas dan mengembuskan perlahan. Lalu mendongak memandang wajah lelaki itu. "Pak, Maira mau cerai dengan Mas Reyhan," lontar wanita itu. Wanita itu terus menatap wajah Bapaknya, tatapan penuh keyakinan, sedih dan marah bersatu."Apa masalah kalian begitu besar, Nak. Sampai mau cerai dengan Reyhan?" tanya lelaki itu. Saat hendak mengucapkan pertanyaan itu. Lelaki tersebut menghela napas panjang. Maira yang mendengar perkataan Bapa
"Cinta dan benci itu bersatu, Bu. Tapi lebih dominan benci, kalau hilangin rasa cinta itu butuh waktu bukan, karna aku udah lumayan lama bersamanya," sahut Maira pelan. Dewi mengangguk paham sedangkan David yang hendak protes langsung dicubit sang Ibu membuat lelaki itu mengaduh. Maira menoleh mengeryitkan alis memandang Kakaknya yang memekik."Kamu tuh ngapain sih, Bang! Ngejerit gitu," seru Maira. "Kamu ini kenapa sih, Bang! Suasana begini malah teriak, apa biar makin heboh," cibir Maira kesal. Mendengar perkataan David, ia menatap wajah adiknya."Nah gitu, mendingan kamu marah dari pada nampakin wajah sedih gitu. Kamu jadi jelek tau," kelakar David.Maira yang mendengar itu melotot lalu bangkit dan mulai menyerang David dengan gelitikan. Orang tua mereka memandang anaknya, lalu saling menatap dan mengulas senyum."Kalian ini, ayo makan! Nanti keburu dingin lho," tegur Dewi. Mendengar ucapan Dewi, mereka langsung berhenti lalu saling sikut menyalahkan. Lelaki yang menyandang st
"Mas," panggil wanita itu.Dia tidak menanggapi, lelaki itu melangkah lebar dan mengambil kunci. Maira hendak mengejar tetapi sangat kesulitan. "Jangan tunggu aku! Aku gak bakal pulang," seru lelaki itu. Pria tersebut menutup pintu dengan kencang, Maira menatap nanar adegan di depannya. Lalu berusaha mendekati benda tersebut dan membuka, terlihat kendaraan roda empat milik Hafiz telah melaju."Mas ...."Anggrek segera mendekati menantunya lalu mengusap pundak wanita tersebut. "Sayang, tenangin diri kamu. Jangan begini, kamu lagi hamil lho," seru wanita itu.Maira langsung memeluk sang mertua dan menangis tersedu-sedu. Sedangkan Hana masih syok karena kemarahan Hafiz. Gadis kecil itu bergegas mendekati Maira dan memeluk wanita tersebut. "Mama, jangan nangis. Nanti biar Hana bantuin minta maaf sama Papa," ujar gadis itu.Wanita paling tua dari mereka langsung membelai puncuk kepala Hana. Sedangkan Maira segera memeluk anak sambungnya. Anggrek segera mengajak sang menantu untuk masuk
Setelah berkata demikian wanita itu langsung mematikan sambungan telepon, tanpa mendengarkan perkataan sang suami. Sedangkan Hafiz hanya menggelengkan kepala lalu mengetik pesan pada Maira. [Makanan udah mateng, kamu turun makan dulu. Susu juga udah aku buatin,] [Karna kamu gak mau ketemu, aku ke kantor aja kalau gitu ya.]Mata Maira melebar membaca deretan pesan sang suami. Dengan berusaha secepat mungkin ia turun dari ranjang lalu melangkah membuka pintu. Mulutnya baru saja hendak berteriak tetapi, terhenti kala seseorang menarik membuat wanita itu tertarik ke pelukan lalu terhalang perut. "Haha ... untung di depannya bantal, kalau bukan perutku pasti sakit."Lelaki itu ikut terbahak karena ucapan sang istri. Setelah melihat Maira memegang perut, pria tersebut menebak jika Maira merasa sakit akibat tertawa. Ia segera memperintah untuk berhenti."Udah, jangan ketawa mulu. Nanti perutmu sakit, mendingan ayo makan," ajak Hafiz.Dia menganggukan kepala lalu ikut melangkah bersama san
Seharian ini lelaki itu dikerjain sang istri, ia didandani seperti ibu hamil. Tetapi keletihan tersebut tergantikan dengan tawa bahagia sang istri."Yang ... udah ya, aku udah ngerasain kok ini. Capek banget baru beberapa jam juga, udah ya aku lepasin semua," pinta Hafiz. Maira yang tertawa langsung cemberut, wanita itu menggelengkan kepalanya. Membuat Hafiz mendapatkan tanggapan tersebut menghela napas. "Ya udah kalau gak boleh, sekarang kita makan yuk! Aku lapar nih," ajak lelaki itu.Wanita itu mengangguk lalu dibantu berdiri oleh sang suami. Ia menggenggam tangan lelaki tersebut kala terulur, dan melangkah bersama ke ruang makan. Terlihat meja yang hanya tersaji buah-buahan, Maira segera duduk di kursi dan Hafiz lekas melihat isi kulkas. "Mau makan apa, Yang?" tanya Hafiz.Semenjak Bi Wati sudah tidak bekerja, lelaki itu mulai belajar memasak kembali. Karena dia sangat sulit percaya dengan orang lain, dan hanya menyuruh pembantu membereskan kediaman saja. Kalau memasak itu ad
Maira akhirnya menelepon nomor handphone Maira, telepon langsung tersambung. Wanita itu segera bertanya pada tetapi ia terdiam kala jawaban dari yang mengangkat."Kamu bohong kan, padahal seminggu yang lalu aku telepon sama Bibi lho," pekik wanita itu. Anggrek yang mendengar teriakan Maira terkejut, bahkan Hana yang terlelap terbangun. Gadis kecil itu kaget kala melihat Mama sambungnya menangis sangat kencang."Ada apa, Ra? Siniin handphonenya!" pinta wanita itu.Dia langsung merebut handphone itu karena tak kunjung diberikan oleh Maira. Hana membantu menenangkan wanita tersebut yang terus menangis tersedu-sedu. Sedangkan Anggrek sekarang tau kenapa menantunya menangis sampai begini. "Makasih ya, kalau gitu saya matiin teleponnya."Setelah mematikan sambungan telepon tersebut, Anggrek segera menelepon handphone anaknya. Hafiz yang memilih bekerja melirik benda pipih itu lalu mengeryitkan alis saat snag Mama menelepon."Kebiasaan banget," gerutu lelaki itu. Hafiz segera mengangkat t
Lima hari berlalu, keinginan Wati untuk pensiun tidak bisa dicegah. Kini mereka tengah mengantarkan wanita itu untuk kembali ke kampung. Hana yang mengetahui hal tersebut terus memeluk perempuan paruh baya ini. "Bibi ... kenapa Bibi pulang, apa Bibi gak sayang sama Hana. Apa Hana nakal bikin Bibi marah," cerocos gadis tersebut. Sesampai di kediaman wanita itu, Hana sudah terlelap karena kelelahan menangis. "Jaga kesehatan ya kalian," ucap Wati.Mereka menganggukan kepala sebagai jawaban, lalu segera pamit karena Hafiz hendak kembali ke kantor. "Maaf mengganggu waktu kalian jadinya," tutur wanita itu. Hafiz dan Maira langsung menggeleng, lalu wanita yang suka dipangil Neng oleh Wati itu memeluk perempuan tersebut."Pokoknya nanti Bibi harus angkat telepon aku," rengek Maira. Wati hanya menganggukan kepala pelan, lalu mereka segera pulang. Hana yang terbangun tidak mendapati perempuan yang menjaganya sangat lama itu menangis kembali. Maira berusaha menenangkan Hana.*** Waktu te
Maira bernapas lega setelah menaruh kue ulang tahun itu ke kulkas. Suara telepon terdengar, Wati terkejut karena hal tersebut. Ia mengelus dada sedangkan Hana tertawa melihat keterkejutan sang pengasuh. "Tuan Hafiz yang nelepon, Neng," lapor Wati. Maira menyuruh wanita ituhmengangkat telepon Hafiz. Sedangkan dia menyuruh sang supir untuk memarkirkan kendaraan di garasi. "Bi! Udah ditangkep belum hewan itu, pokoknya harus di tangkep ya, Bi!" seru lelaki itu. Terdengar suara lelaki itu sedikit gemetar. Wati merasa bersalah karena hal tersebut. "Udah ketangkep Tuan, Tuan bisa keluar sekarang. Nyonya Maira juga udah pulang nih," balas Wati.Hafiz langsung mematikan sambungan telepon, lalu tak lama lelaki itu keluar dari kamar. Tubuh pria tersebut masih gemetar. "Sini Mas, kamu takut banget ya."Lelaki itu menganggukan kepala, ia mendekati Maira dan duduk di tengah-tengah para perempuan. Mereka segera memeluk pria tersebut."Kita peluk nih, Pah. Papa jangan takut lagi ya," ucap Han
Maira menyipitkan mata mendengar suara Thania. "Beneran kamu Nia? Kok bisa kamu ngemis gini, emang harta Mas Reyhan habis?" tanya wanita itu. Mendengar deretan pertanyaan Maira, wanita itu langsung menatap sinis sang mantan teman."Gak usah pura-pura gak tau, kamu! Aku begini gara-gara kamu. Pasti kamu bilang kalau anakku bukan anak Mas Reyhan, kan! Kamu menghasut dia kan," sentak wanita itu.Alis Maira sampai menyatu mendengar sentakan wanita di hadapannya ini. "Dia tau kalau kamu bukan hamil anaknya? Lagian emang bukan anak Mas Reyhan, kan. Ngaku aja kamu, karena Mas Reyhan itu mandul.""Lagian main nuduh aja, aku gak pernah ketemu dia semenjak menikah. Hidupku udah bahagia, Nia, ngapain ngurusin kalian. Kita jalani masing-masing aja," lontar Maira. Setelah mengatakan hal itu semua mobil melaju, Maira segera menyuruh sang supir agar menjalankan kendaraan roda empat ini. Sedangkan Hana, gadis kecil tersebut mengeluarkan suara."Mah, Tante-Tante yang tadi itu yang pernah ngomelin
Mendapatkan notifikasi balasan dari istrinya, ia segera membaca lalu mengelus dada kala mendapatkan deretan permintaan istrinya lagi. "Kenapa gak minta beliin aja sih, Yang. Kamu demen banget buat aku nyobain hal baru," keluh lelaki itu."Untung cinta, kalau enggak. Huh ...."Hafiz langsung bangkit dari duduknya lalu melangkah menuju dapur. Wati yang mau keluar, terkejut dengan kedatangan sang majikan yang tiba-tiba."Kenapa jalan Tuan gak kedengaran suara," lontar wanita itu. Pria tersebut tidak menjawab, malah helaan napas yang terdengar. Wati mengerutkan kening kala sang majikan mengambil cobek dan ulekan. "Bi, ini gimana caranya buat sambel rujak?" tanya Hafiz. Mendengar pertanyaan Hafiz, Wati segera melihat kulkas mengambil bahan untuk membuat rujak. "Tuan pengen ngerujak? Sini biar saya aja yang bikinin," ucap Wati. Lelaki itu menggeleng, lalu menganggukan kepala saat paham. "Ini biar saya yang siapin ya, terus Tuan yang ulek," lontar perempuan tersebut. Hafiz hanya meng
Hafiz langsung menyuruh Wati untuk tidak mengatakan hal itu. Ia segera bangkit dan melangkah keluar, dia lekas menoleh menatap wanita tersebut. "Kamu ikut, Bi. Sekalian videoin sebagai bukti kalau aku yang beneran minta mangga itu ke pemiliknya," ajak pria tersebut. Wati langsung menganggukan kepala, ia segera mengeluarkan benda pipih miliknya dan menvideokan lelaki itu yang melangkah. Saat sampai di kediaman sang tetangga, Hafiz segera memencet bel. Pintu terbuka terlihat seorang wanita yang perkiraan lebih muda dari pengasuh Hana. "Boleh minta tolong panggilin pemilik rumah ini gak," pinta Hafiz. Wanita itu mengerutkan keningnya tetapi menganggukan kepala mengiyakan permintaan Hafiz. Dia pamit sebentar untuk memanggil sang majikan. Beberapa menit kemudian, keluar seorang wanita yang lebih tua dari perempuan tadi. "Ada apa ya, Hafiz?" tanya wanita itu. Hafiz menundukan kepala dan mengatur napasnya. Sedangkan wanita paruh baya itu mengerutkan kening melihat pembantu pria tersebu