Sedangkan diluar toilet, Hana langsung mengajak Maira untuk pergi. Baru sekitar dua belas menit berlalu, anak Hafiz mengampitkan tangan di kedua paha. Melihat kelakuan gadis tersebut, ia segera memegang bahu Hana."Hana, kalau pengen pipis, ayo pipis dulu di toilet! Gak baik kalau ditahan gitu," seru Maira. Hana mengeryitkan alis menatap bingung Maira. "Kok Mama tau aku lagi tahan pengen pipis? Gak mau ah, Mah ... aku pengen jalan sampe ke sana dulu," sahut gadis itu. Maira langsung menggelengkan kepala, ia menarik lengan Hana untuk mengikuti pergi ke toilet."Gak boleh gitu ya! Kalau kamu pengen pipis harus cepet ke toilet. Kalau kamu ditahan terus nanti pipis di celana lho ... emang gak malu," lontar wamita tersebut. Gadis kecil itu langsung cemberut mendengar perkataan Maira. Tetapi, ia mengangguk mengiyakan ucapan sang calon Mama, dua orang wanita melihat hal tersebut segera melebarkan netra. Dia lekas mengambil benda pipih milik sendiri dan mereka kejadian ini. "Harus dilapo
Dewi yang mendengar anaknya dituduh segera mendekati calon menantunya. Dia menyuruh Hafiz untuk memutarkan kembali dan semua yang di dekat lelaki ini ingin melihat. Mata melebar kala melihat dari video tersebut jika Maira menarik paksa Hana. "Gak mungkin anakku gitu, Fiz. Lagi titipin di rumah Ibu aja. Dia telaten banget ngurus Hana, Maira sayang sama anakmu," bela Dewi. Hafiz menoleh menatap calon mertua kala ia berkata demikian. Lelaki tersebut memilih menganggukan kepala, sedangkan Mala segera memegang bahu pria itu."Dia itu Ibunya cewek itu, Fiz. Pasti dia belain anaknya lah, apalagi kan kamu itu mapan. Mereka gak akan lepasin begitu aja dan ngaku kalau cewek yang bakal kamu nikahin kasar sama Hana." Dewi mendengar perkataan Mala langsung melotot. Dia hendak mendekati wanita itu tetapi ditahan sang putra. "Sabar, Bu. Kita paham sikap Maira, mana mungkin dia nyakitin anak kecil. Dia kan pengen bangun punya anak jadi gak mungkin dia lakuin itu," seru David. Mendengar perkataan
Mereka kini makan bersama di ruangan tersebut saat kedatangan Maira, Hana, Shella. Mala yang hendak mengeluarkan suara untuk menyemprot calon istri Hafiz, tidak jadi saat Anggrek memerintahkan untuk segera makan. Keheningan terjadi sampai beberapa menit, setelah selesai mengisi perut. Maira yang baru saja ingin meneguk air karena berhadapan duduk dengan Mala, wanita tersebut merebutnya. Perempuan itu mengerutkan kening melihat tingkah orang di depan yang selalu menatap sinis. "Tante tuh apa-apaan sih, jangan kaya anak kecil dong. Ini, Sayang, kamu minum aja punya aku," seru Hafiz. Maira langsung menoleh menatap calon suaminya lalu mengangguk dan mengambil gelas tersebut. Mala melihat hal ini mengepalkan tangan, sedangkan anak kecil berserta Shella segera menggoda calon pengantin ini. "He! Kalian masih pada bocah kecil gini apa-apaan sih," sentak Mala. Anggrek melihat tingkah Mala bersidekap ia bahkan beberapa kali menghela napas. "Bisa gak kalau ngomong jangan ngegas gitu, La. K
Melihat keberanian Maira yang mengajak seperti ini, mereka yang menyudutkan wanita itu saling pandang. Sedangkan Yani dan Mala membuang muka dan tangannya terkepal menahan kesal. "Sial! Dia terlalu berani, berarti dia memang mengajak Hana buat ke toilet," batin Mala. Sedangkan Shella, remaja itu langsung bangkit membuat orang memandang kala ia bersuara. "Ayo! Kalau kalian gak percaya sama perkataan aku, kita buktiin sesuatu perkataan Ka Maira. Kita cek CCTV," kata Shella. Melihat ada seorang yang membela Maira, Anggrek tersenyum kecil. Ia langsung menatap Mala dan Yani. Sedangkan Dewi memandang Kedua perempuan itu dengan tatapan datar. "Ayo, kenapa kalian diam aja? Kenapa gak bersemangat seperti menuduh anakku tadi. Walau kami miskin, kami gak mungkin melakukan cara seperti itu. Maira sangat menyayangi Hana! Jadi kalau bisa jangan asal menuduh, aku Ibunya lebih tau sifat anakku." Anggrek yang merasakan calon besannya memendam amarah langsung mendekat. Sedangkan Maira segera meng
Seringai muncul dari bibir Hafiz, lelaki itu bahkan merenggangkan otot leher lalu segera membuka pintu. Bruk!"Akh ... maafkan aku, Mas," ucap Syafa mendesah. Wanita itu menubruk tubuh Hafiz membuat badan mereka menempel. Kini Syafa tengah berada di atas badan lelaki tersebut. Sedangkan calon suami Maira berakting terkejut bahkan melotot kala Syafa mempertontonkan belahan dada. "Maafkan aku, Mas." Dia berkata sekali lagi, yang pasti dengan nada menurutnya terdengar seksi. Tetapi, wanita itu masih dalam posisi seperti ini. Sama sekali tidak bangkit. Hafiz meneguk ludah saat sekali lagi perempuan tersebut membuka kancing pakaiannya. Membuat kini memperlihatkan bra berwarna merah. "Minggir, apa yang kamu lakuin sih," usir pria tersebut. Lelaki itu langsung mendorong tubuh Syafa dari atas tubuhnya. Saat dirinya bangkit, wanita tersebut segera bangkit dan memeluk badan Hafiz. "Mas, maafkan kecerobohanku ya. Sebagai permintaan maaf, kamu boleh melakukan apapun dengan tubuhnya," lont
Syafa terus tersenyum membayangkan ia akan bercinta dengan Hafiz. Wanita tersebut segera keluar dan melirik kesetiap sudut yang tidak menemukan keberadaan Maira dan Hafiz. "Kamu tenang aja, mana mungkin aku kegoda sama cewek murahan seperti dia. Aku cuma mau memberikan pelajar agar dia tidak menganggu kamu lagi."Hafiz berusaha menenangkan calon istrinya lalu menyeringai kala tersadar sesuatu. Lelaki itu segera mendekatkan wajah ke muka Maira, membuat perempuan tersebut melotot tidak mengedipkan mata sama sekali. "Tunggu, kayanya kita tidak perlu perjanjian di atas kertas lagi? Kita jalani pernikahan ini dengan sunguh-sunguh, karena aku beberapa hari ini sadar. Kalau udah jatuh dalam pesona kamu," ucap Hafiz. Napas Hafiz saat berbicara menerpa wajahnya, ia sampai meneguk ludah beberapa kali. Lalu dengan memberanikan diri dia lebih mendekatkan bibir ke telinga sang calon suami. "Apakah aku boleh menyukaimu? Apakah aku boleh meminta kamu untuk membalas perasaanku," lontar Maira. "K
Maira memutarkan bola mata malas saat sang sepupu berkata demikian. Bahkan bersidekap dan memiringkan kepala kala Syafa menunjuk wajahnya. Dengan kasar Hafiz menepis lengan wanita tersebut agar tak mengarahkan satu jari pada kekasih hati. "Jangan ucapan dan sikapmu! Kata siapa aku ingin melakukan itu sama kamu? Memikirkan saja membuatku ingin segera mandi kembang tujuh rupa dalam tujuh hari tujuh malam," omel Hafiz. "Aku bertanya seperti itu cuma ... buat memberikan hadiah bawahanku yang udah bekerja keras, seperti anu kamu gatal kan, makanya dengan senang hati membantumu agar tidak gatal lagi buat memuaskan anak buahku."Mata kedua perempuan itu membulat, Maira sangat terkejut dengan ucapan vulgar sang calon suaminya. "Mau kan? Aku bakal telepon mereka sekarang. Mungkin mereka belum puas? buat memberikan pelajaran sama salah satu cewek yang mau merusak rumah tangga yang mau kubangun.""Tambah satu cewek lagi pasti mereka senang? Kamu jangan berpikir aku hanya mengancam. Ingin liat
Hafiz menggelengkan kepala tanda ia tidak melakukan hal keterlaluan."Dia orangnya bebas, Ra. Dia sering melakukan itu cuma sama orang yang tertentu. Ini hanya ancaman agar dia tidak menganggu hubungan kita. Kalau dia masih keukeh mau masuk, aku dengan senang hati menyebalkan ini diberita, dia akan dapet hukum sosial karena di video ini tidak ada keterpaksaan malahan dia melawan sangat buas bukan."Maira hanya menggelengkan kepala lalu saat melihat jam di pergelangan tangan. Lelaki itu menyuruh untuk sang kekasih tidur karena nanti sekitar jam tiga akan bangun karena acara dimulai jam enam pagi. Sedangkan Syafa, wanita tersebut menarik jauh dari rombongan, ia mengajak Devi untuk pulang membuat Ibunya kebingungan."Gak mau ah, kita di rumah gak bakal bisa makan enak gini. Kalau di sini lihat makanan mewah semua, bahkan gaun yang nanti kita pake di acara nikahan Maira. Bagus banget tau gak, dan harganya semua mahal. Mana mungkin Ibu meninggalkan kesempatan ini, Ibu bis pamer nanti ke ib
"Mas," panggil wanita itu.Dia tidak menanggapi, lelaki itu melangkah lebar dan mengambil kunci. Maira hendak mengejar tetapi sangat kesulitan. "Jangan tunggu aku! Aku gak bakal pulang," seru lelaki itu. Pria tersebut menutup pintu dengan kencang, Maira menatap nanar adegan di depannya. Lalu berusaha mendekati benda tersebut dan membuka, terlihat kendaraan roda empat milik Hafiz telah melaju."Mas ...."Anggrek segera mendekati menantunya lalu mengusap pundak wanita tersebut. "Sayang, tenangin diri kamu. Jangan begini, kamu lagi hamil lho," seru wanita itu.Maira langsung memeluk sang mertua dan menangis tersedu-sedu. Sedangkan Hana masih syok karena kemarahan Hafiz. Gadis kecil itu bergegas mendekati Maira dan memeluk wanita tersebut. "Mama, jangan nangis. Nanti biar Hana bantuin minta maaf sama Papa," ujar gadis itu.Wanita paling tua dari mereka langsung membelai puncuk kepala Hana. Sedangkan Maira segera memeluk anak sambungnya. Anggrek segera mengajak sang menantu untuk masuk
Setelah berkata demikian wanita itu langsung mematikan sambungan telepon, tanpa mendengarkan perkataan sang suami. Sedangkan Hafiz hanya menggelengkan kepala lalu mengetik pesan pada Maira. [Makanan udah mateng, kamu turun makan dulu. Susu juga udah aku buatin,] [Karna kamu gak mau ketemu, aku ke kantor aja kalau gitu ya.]Mata Maira melebar membaca deretan pesan sang suami. Dengan berusaha secepat mungkin ia turun dari ranjang lalu melangkah membuka pintu. Mulutnya baru saja hendak berteriak tetapi, terhenti kala seseorang menarik membuat wanita itu tertarik ke pelukan lalu terhalang perut. "Haha ... untung di depannya bantal, kalau bukan perutku pasti sakit."Lelaki itu ikut terbahak karena ucapan sang istri. Setelah melihat Maira memegang perut, pria tersebut menebak jika Maira merasa sakit akibat tertawa. Ia segera memperintah untuk berhenti."Udah, jangan ketawa mulu. Nanti perutmu sakit, mendingan ayo makan," ajak Hafiz.Dia menganggukan kepala lalu ikut melangkah bersama san
Seharian ini lelaki itu dikerjain sang istri, ia didandani seperti ibu hamil. Tetapi keletihan tersebut tergantikan dengan tawa bahagia sang istri."Yang ... udah ya, aku udah ngerasain kok ini. Capek banget baru beberapa jam juga, udah ya aku lepasin semua," pinta Hafiz. Maira yang tertawa langsung cemberut, wanita itu menggelengkan kepalanya. Membuat Hafiz mendapatkan tanggapan tersebut menghela napas. "Ya udah kalau gak boleh, sekarang kita makan yuk! Aku lapar nih," ajak lelaki itu.Wanita itu mengangguk lalu dibantu berdiri oleh sang suami. Ia menggenggam tangan lelaki tersebut kala terulur, dan melangkah bersama ke ruang makan. Terlihat meja yang hanya tersaji buah-buahan, Maira segera duduk di kursi dan Hafiz lekas melihat isi kulkas. "Mau makan apa, Yang?" tanya Hafiz.Semenjak Bi Wati sudah tidak bekerja, lelaki itu mulai belajar memasak kembali. Karena dia sangat sulit percaya dengan orang lain, dan hanya menyuruh pembantu membereskan kediaman saja. Kalau memasak itu ad
Maira akhirnya menelepon nomor handphone Maira, telepon langsung tersambung. Wanita itu segera bertanya pada tetapi ia terdiam kala jawaban dari yang mengangkat."Kamu bohong kan, padahal seminggu yang lalu aku telepon sama Bibi lho," pekik wanita itu. Anggrek yang mendengar teriakan Maira terkejut, bahkan Hana yang terlelap terbangun. Gadis kecil itu kaget kala melihat Mama sambungnya menangis sangat kencang."Ada apa, Ra? Siniin handphonenya!" pinta wanita itu.Dia langsung merebut handphone itu karena tak kunjung diberikan oleh Maira. Hana membantu menenangkan wanita tersebut yang terus menangis tersedu-sedu. Sedangkan Anggrek sekarang tau kenapa menantunya menangis sampai begini. "Makasih ya, kalau gitu saya matiin teleponnya."Setelah mematikan sambungan telepon tersebut, Anggrek segera menelepon handphone anaknya. Hafiz yang memilih bekerja melirik benda pipih itu lalu mengeryitkan alis saat snag Mama menelepon."Kebiasaan banget," gerutu lelaki itu. Hafiz segera mengangkat t
Lima hari berlalu, keinginan Wati untuk pensiun tidak bisa dicegah. Kini mereka tengah mengantarkan wanita itu untuk kembali ke kampung. Hana yang mengetahui hal tersebut terus memeluk perempuan paruh baya ini. "Bibi ... kenapa Bibi pulang, apa Bibi gak sayang sama Hana. Apa Hana nakal bikin Bibi marah," cerocos gadis tersebut. Sesampai di kediaman wanita itu, Hana sudah terlelap karena kelelahan menangis. "Jaga kesehatan ya kalian," ucap Wati.Mereka menganggukan kepala sebagai jawaban, lalu segera pamit karena Hafiz hendak kembali ke kantor. "Maaf mengganggu waktu kalian jadinya," tutur wanita itu. Hafiz dan Maira langsung menggeleng, lalu wanita yang suka dipangil Neng oleh Wati itu memeluk perempuan tersebut."Pokoknya nanti Bibi harus angkat telepon aku," rengek Maira. Wati hanya menganggukan kepala pelan, lalu mereka segera pulang. Hana yang terbangun tidak mendapati perempuan yang menjaganya sangat lama itu menangis kembali. Maira berusaha menenangkan Hana.*** Waktu te
Maira bernapas lega setelah menaruh kue ulang tahun itu ke kulkas. Suara telepon terdengar, Wati terkejut karena hal tersebut. Ia mengelus dada sedangkan Hana tertawa melihat keterkejutan sang pengasuh. "Tuan Hafiz yang nelepon, Neng," lapor Wati. Maira menyuruh wanita ituhmengangkat telepon Hafiz. Sedangkan dia menyuruh sang supir untuk memarkirkan kendaraan di garasi. "Bi! Udah ditangkep belum hewan itu, pokoknya harus di tangkep ya, Bi!" seru lelaki itu. Terdengar suara lelaki itu sedikit gemetar. Wati merasa bersalah karena hal tersebut. "Udah ketangkep Tuan, Tuan bisa keluar sekarang. Nyonya Maira juga udah pulang nih," balas Wati.Hafiz langsung mematikan sambungan telepon, lalu tak lama lelaki itu keluar dari kamar. Tubuh pria tersebut masih gemetar. "Sini Mas, kamu takut banget ya."Lelaki itu menganggukan kepala, ia mendekati Maira dan duduk di tengah-tengah para perempuan. Mereka segera memeluk pria tersebut."Kita peluk nih, Pah. Papa jangan takut lagi ya," ucap Han
Maira menyipitkan mata mendengar suara Thania. "Beneran kamu Nia? Kok bisa kamu ngemis gini, emang harta Mas Reyhan habis?" tanya wanita itu. Mendengar deretan pertanyaan Maira, wanita itu langsung menatap sinis sang mantan teman."Gak usah pura-pura gak tau, kamu! Aku begini gara-gara kamu. Pasti kamu bilang kalau anakku bukan anak Mas Reyhan, kan! Kamu menghasut dia kan," sentak wanita itu.Alis Maira sampai menyatu mendengar sentakan wanita di hadapannya ini. "Dia tau kalau kamu bukan hamil anaknya? Lagian emang bukan anak Mas Reyhan, kan. Ngaku aja kamu, karena Mas Reyhan itu mandul.""Lagian main nuduh aja, aku gak pernah ketemu dia semenjak menikah. Hidupku udah bahagia, Nia, ngapain ngurusin kalian. Kita jalani masing-masing aja," lontar Maira. Setelah mengatakan hal itu semua mobil melaju, Maira segera menyuruh sang supir agar menjalankan kendaraan roda empat ini. Sedangkan Hana, gadis kecil tersebut mengeluarkan suara."Mah, Tante-Tante yang tadi itu yang pernah ngomelin
Mendapatkan notifikasi balasan dari istrinya, ia segera membaca lalu mengelus dada kala mendapatkan deretan permintaan istrinya lagi. "Kenapa gak minta beliin aja sih, Yang. Kamu demen banget buat aku nyobain hal baru," keluh lelaki itu."Untung cinta, kalau enggak. Huh ...."Hafiz langsung bangkit dari duduknya lalu melangkah menuju dapur. Wati yang mau keluar, terkejut dengan kedatangan sang majikan yang tiba-tiba."Kenapa jalan Tuan gak kedengaran suara," lontar wanita itu. Pria tersebut tidak menjawab, malah helaan napas yang terdengar. Wati mengerutkan kening kala sang majikan mengambil cobek dan ulekan. "Bi, ini gimana caranya buat sambel rujak?" tanya Hafiz. Mendengar pertanyaan Hafiz, Wati segera melihat kulkas mengambil bahan untuk membuat rujak. "Tuan pengen ngerujak? Sini biar saya aja yang bikinin," ucap Wati. Lelaki itu menggeleng, lalu menganggukan kepala saat paham. "Ini biar saya yang siapin ya, terus Tuan yang ulek," lontar perempuan tersebut. Hafiz hanya meng
Hafiz langsung menyuruh Wati untuk tidak mengatakan hal itu. Ia segera bangkit dan melangkah keluar, dia lekas menoleh menatap wanita tersebut. "Kamu ikut, Bi. Sekalian videoin sebagai bukti kalau aku yang beneran minta mangga itu ke pemiliknya," ajak pria tersebut. Wati langsung menganggukan kepala, ia segera mengeluarkan benda pipih miliknya dan menvideokan lelaki itu yang melangkah. Saat sampai di kediaman sang tetangga, Hafiz segera memencet bel. Pintu terbuka terlihat seorang wanita yang perkiraan lebih muda dari pengasuh Hana. "Boleh minta tolong panggilin pemilik rumah ini gak," pinta Hafiz. Wanita itu mengerutkan keningnya tetapi menganggukan kepala mengiyakan permintaan Hafiz. Dia pamit sebentar untuk memanggil sang majikan. Beberapa menit kemudian, keluar seorang wanita yang lebih tua dari perempuan tadi. "Ada apa ya, Hafiz?" tanya wanita itu. Hafiz menundukan kepala dan mengatur napasnya. Sedangkan wanita paruh baya itu mengerutkan kening melihat pembantu pria tersebu