Hafiz menggelengkan kepala tanda ia tidak melakukan hal keterlaluan."Dia orangnya bebas, Ra. Dia sering melakukan itu cuma sama orang yang tertentu. Ini hanya ancaman agar dia tidak menganggu hubungan kita. Kalau dia masih keukeh mau masuk, aku dengan senang hati menyebalkan ini diberita, dia akan dapet hukum sosial karena di video ini tidak ada keterpaksaan malahan dia melawan sangat buas bukan."Maira hanya menggelengkan kepala lalu saat melihat jam di pergelangan tangan. Lelaki itu menyuruh untuk sang kekasih tidur karena nanti sekitar jam tiga akan bangun karena acara dimulai jam enam pagi. Sedangkan Syafa, wanita tersebut menarik jauh dari rombongan, ia mengajak Devi untuk pulang membuat Ibunya kebingungan."Gak mau ah, kita di rumah gak bakal bisa makan enak gini. Kalau di sini lihat makanan mewah semua, bahkan gaun yang nanti kita pake di acara nikahan Maira. Bagus banget tau gak, dan harganya semua mahal. Mana mungkin Ibu meninggalkan kesempatan ini, Ibu bis pamer nanti ke ib
Dia sangat menyeramkan, aku harus menjauhinya," gumam Syafa. Beruntung kamar ini kedap suara, jadi jeritan apapun di ruangan ini tidak terdengar oleh orang lain. Padahal tempat wanita itu untuk tidur banyak pelayan berlalu lalang karena sibuk mendekorasi.*** Waktu bergulir sangat cepat, Maira dibangunkan oleh Ajeng kala jam sudah menunjuk angka tiga dini hari. Wanita itu sangat kesal karena sang calon ratu hari ini sulit sekali dibangunkan."Ra, bangun! Si Hafiz masuk kamar kita," pekik Ajeng. Mendengar teriakan Ajeng dan ucapan wanita itu. Maira langsung spontan bangun membuat keningnya bertabrakan dengan dahi Ajeng. Mereka sama-sama jerit kesakitan lalu tertawa bersama. "Aish ... ketinggalan lagi aku sama sahabatku ini, semoga pernikahan kali ini adalah titik awal kebahagianmu, Ra." Maira mengulas senyum mendengar perkataan sahabat yang kini merangkap menjadi calon kakak ipar. Ia segera mendekat wanita itu dan mengucapkan terimakasih bertubi-tubi. Suara bel kamar terdengar mem
Hafiz tertawa kecil kala melihat benda pipih itu langsung berganti layar. Biasanya ia yang selalu melakukan hal tersebut, kini giliran sang calon istri membuat ia menggelengkan kepala. Lalu dia lekas memasukan handphone ke saku lalu menoleh berbicara dengan pelayan yang tengah bersiap-siap semua. Di depan pintu adalah pengambilan undangan dan amplop. Yang masuk akan diberikan tanda seperti para wanita yang membawa tas dipakaikan pita di jinjingannya. Sedangkan pria adalah sapu tangan yang ditaruh di kantong jas / pakaian. Lelaki tersebut melihat souvenir yang telah Anggrek siapkan jika mereka nanti keluar. Sedangkan Maira ia langsung melangkah cepat membuat Dewi yang tadi mengkhawatirkannya mengerutkan kening. "Gak usah bingung gitu, Bu. Maira cuma syok karena calon suaminya udah rapi. Sekarang dia pasti pengen cepet-cepet buat sampe ke ruangan rias," jelas Ajeng. Dewi menganggukan kepala paham saat dijelaskan oleh calon menantunya. Sesampai di ruang rias, wanita itu langsung dud
Beberapa jam berlalu, kini para tamu undangan mulai pamit pulang. Karena waktu telah menunjuk jam dua belas malam. Susana yang tadi ramai kini sunyi. Anggrek segera mengajak menantunya untuk mengisi perut. Pengantin perempuan ini langsung diperintahkan duduk oleh sang mertua. Sedangkan Hafiz mengikuti mereka. "Huh, apa Maira aja yang disuguhin, Mah. Kok Mama pilih kasih banget sih," gerutu Hafiz. "Anakmu itu aku atau Maira sih, lagian aku juga capek lho, Mah."Anggrek mendengar itu mendelik ia menganggap suara Hafiz seperti angin lewat. Lelaki tersebut langsung mendengkus kala tidak ditanggapi sedikit pun. Dia segera mencari Hana dan saat hendak berteriak Shella segera membekam mulutnya. "Jangan berisik, Om. Hana baru aja tidur," ucap Shella. Lelaki itu langsung menganggukan kepala, ia segera meminta ke tempat Hana terlelap. Dia lekas mendekat kala melihat anaknya tengah tidur digendongan Ali. "Sini, Pak. Biar Hafiz bawa ke kamarnya," pinta pria tersebut. Ali segera mengangguk k
Seminggu berlalu, kini Maira telah tinggal di kediaman sang suami. Wanita itu menggeliat di atas kasur, gedoran pintu terdengar. Perempuan tersebut berusaha membuka mata. "Mama! Kenapa bobo di kamar Papa sih, kan lagi malam bobo di kamar Hana," teriak gadis itu. Kini kebiasaan Hana adalah menggedor pintu kamar setiap pagi. Selalu saja begini sejak awal pindah di kediaman Hafiz. Dia segera membuka mata dan menyingkirkan tangan sang suami yang mendekapnya. "Dua menit lagi, Sayang!" pinta Hafiz. Wanita itu mendengkus lalu mendaratkan cubitan di tangan Hafiz. Lelaki tersebut langsung memekik kesakitan, ia segera membuka mata dan terduduk. "Kamu tuh kebiasaan banget sih, main cubit-cubit aja," gerundel lelaki itu. Sang istri hanya memutarkan bola matanya, ia segera merapikan pakaian dan segera bangun lalu membuka pintu. Anak sambung langsung berlari lalu menyerbu Hafiz yang di kasur. "Papa tuh gimana sih, kenapa Mama dibawa ke sini! Harusnya Mama kan sama Hana. Hana kan yang pengen
Sedangkan di kediaman Thania, wanita itu bergulat dengan kekasihnya. Perempuan tersebut berani membuat lelaki ini karena sudah beberapa hari Reyhan tidak pulang. "Gimana kabarnya anak, Papa?" tanya lelaki itu. Kini keduanya tengah bergelung dalam selimut, lelaki itu bertanya dengan membelai perut kekasihnya yang besar. Di sana ada hasil mereka yang terus berhubungan. "Bagusnya lakimu itu gak perlu pulang sekalian, aku jadi bisa tinggal di rumah ini," ujar sang kekasih. Thania hanya diam, ia mempunyai rasa pada dua lelaki. Mendapatkan sang kekasih hanya bangkam membuat dia kesal. Pria tersebut langsung menampar Thania."Mas! Kamu apa-apaan sih," sentak wanita itu. Pria tersebut mendengkus, ia langsung turun dari ranjang dan segera memakai pakaian. "Kamu yang apa-apaan! Apa kamu menyukai pria itu, ingat! Janin yang ada di dalam perutmu itu anakku," hardik pria tersebut. Lelaki yang berhasil menghamilinya mengambil gesper, dia mencambuk kaki Thania membuat wanita itu menjerit. Den
Dua bulan berlalu ...Hana sangat memanjakan Maira, apalagi saat mengetahui jika sang Mama tengah mengandung adiknya. Gadis kecil itu berusaha menjadi dewasa dan bisa diandalkan. "Sayang, kamu udah mandi?" tanya Maira.Saat membuka pintu kamar anak sambungnya, tubuh gadis kecil itu dililit handuk. Sedangkan rambutnya basah, sedangkan di kaki masih tersisa sabun.Mendengar pertanyaan Maira, Hana mengangguk dengan semangat."Hana pinter kan, pokoknya nanti Hana yang jagain dedek bayi," seru gadis itu. Maira mengulas senyum mendengar penuturan anaknya. Ia menganggukan kepala lalu mendekati sang putri, membawa Hana ke kamar mandi kembali. "Mau ngapain ke kamar mandi lagi, Mah. Akukan udah mandi," ucap Hana. Wanita itu tidak menyahuti, ia memilih mengambil shower dan menyalakan lalu membasuh kaki anaknya. "Ini, kaki kamu masih ada sabunnya, emang gak kerasa gitu ada sabun di kakimu, Han," kata Maira. Mendengar perkataan Maira, Hana menggeleng sambil cengar-cengir. Melihat tingkah ana
Hafiz langsung menyuruh Wati untuk tidak mengatakan hal itu. Ia segera bangkit dan melangkah keluar, dia lekas menoleh menatap wanita tersebut. "Kamu ikut, Bi. Sekalian videoin sebagai bukti kalau aku yang beneran minta mangga itu ke pemiliknya," ajak pria tersebut. Wati langsung menganggukan kepala, ia segera mengeluarkan benda pipih miliknya dan menvideokan lelaki itu yang melangkah. Saat sampai di kediaman sang tetangga, Hafiz segera memencet bel. Pintu terbuka terlihat seorang wanita yang perkiraan lebih muda dari pengasuh Hana. "Boleh minta tolong panggilin pemilik rumah ini gak," pinta Hafiz. Wanita itu mengerutkan keningnya tetapi menganggukan kepala mengiyakan permintaan Hafiz. Dia pamit sebentar untuk memanggil sang majikan. Beberapa menit kemudian, keluar seorang wanita yang lebih tua dari perempuan tadi. "Ada apa ya, Hafiz?" tanya wanita itu. Hafiz menundukan kepala dan mengatur napasnya. Sedangkan wanita paruh baya itu mengerutkan kening melihat pembantu pria tersebu
"Mas," panggil wanita itu.Dia tidak menanggapi, lelaki itu melangkah lebar dan mengambil kunci. Maira hendak mengejar tetapi sangat kesulitan. "Jangan tunggu aku! Aku gak bakal pulang," seru lelaki itu. Pria tersebut menutup pintu dengan kencang, Maira menatap nanar adegan di depannya. Lalu berusaha mendekati benda tersebut dan membuka, terlihat kendaraan roda empat milik Hafiz telah melaju."Mas ...."Anggrek segera mendekati menantunya lalu mengusap pundak wanita tersebut. "Sayang, tenangin diri kamu. Jangan begini, kamu lagi hamil lho," seru wanita itu.Maira langsung memeluk sang mertua dan menangis tersedu-sedu. Sedangkan Hana masih syok karena kemarahan Hafiz. Gadis kecil itu bergegas mendekati Maira dan memeluk wanita tersebut. "Mama, jangan nangis. Nanti biar Hana bantuin minta maaf sama Papa," ujar gadis itu.Wanita paling tua dari mereka langsung membelai puncuk kepala Hana. Sedangkan Maira segera memeluk anak sambungnya. Anggrek segera mengajak sang menantu untuk masuk
Setelah berkata demikian wanita itu langsung mematikan sambungan telepon, tanpa mendengarkan perkataan sang suami. Sedangkan Hafiz hanya menggelengkan kepala lalu mengetik pesan pada Maira. [Makanan udah mateng, kamu turun makan dulu. Susu juga udah aku buatin,] [Karna kamu gak mau ketemu, aku ke kantor aja kalau gitu ya.]Mata Maira melebar membaca deretan pesan sang suami. Dengan berusaha secepat mungkin ia turun dari ranjang lalu melangkah membuka pintu. Mulutnya baru saja hendak berteriak tetapi, terhenti kala seseorang menarik membuat wanita itu tertarik ke pelukan lalu terhalang perut. "Haha ... untung di depannya bantal, kalau bukan perutku pasti sakit."Lelaki itu ikut terbahak karena ucapan sang istri. Setelah melihat Maira memegang perut, pria tersebut menebak jika Maira merasa sakit akibat tertawa. Ia segera memperintah untuk berhenti."Udah, jangan ketawa mulu. Nanti perutmu sakit, mendingan ayo makan," ajak Hafiz.Dia menganggukan kepala lalu ikut melangkah bersama san
Seharian ini lelaki itu dikerjain sang istri, ia didandani seperti ibu hamil. Tetapi keletihan tersebut tergantikan dengan tawa bahagia sang istri."Yang ... udah ya, aku udah ngerasain kok ini. Capek banget baru beberapa jam juga, udah ya aku lepasin semua," pinta Hafiz. Maira yang tertawa langsung cemberut, wanita itu menggelengkan kepalanya. Membuat Hafiz mendapatkan tanggapan tersebut menghela napas. "Ya udah kalau gak boleh, sekarang kita makan yuk! Aku lapar nih," ajak lelaki itu.Wanita itu mengangguk lalu dibantu berdiri oleh sang suami. Ia menggenggam tangan lelaki tersebut kala terulur, dan melangkah bersama ke ruang makan. Terlihat meja yang hanya tersaji buah-buahan, Maira segera duduk di kursi dan Hafiz lekas melihat isi kulkas. "Mau makan apa, Yang?" tanya Hafiz.Semenjak Bi Wati sudah tidak bekerja, lelaki itu mulai belajar memasak kembali. Karena dia sangat sulit percaya dengan orang lain, dan hanya menyuruh pembantu membereskan kediaman saja. Kalau memasak itu ad
Maira akhirnya menelepon nomor handphone Maira, telepon langsung tersambung. Wanita itu segera bertanya pada tetapi ia terdiam kala jawaban dari yang mengangkat."Kamu bohong kan, padahal seminggu yang lalu aku telepon sama Bibi lho," pekik wanita itu. Anggrek yang mendengar teriakan Maira terkejut, bahkan Hana yang terlelap terbangun. Gadis kecil itu kaget kala melihat Mama sambungnya menangis sangat kencang."Ada apa, Ra? Siniin handphonenya!" pinta wanita itu.Dia langsung merebut handphone itu karena tak kunjung diberikan oleh Maira. Hana membantu menenangkan wanita tersebut yang terus menangis tersedu-sedu. Sedangkan Anggrek sekarang tau kenapa menantunya menangis sampai begini. "Makasih ya, kalau gitu saya matiin teleponnya."Setelah mematikan sambungan telepon tersebut, Anggrek segera menelepon handphone anaknya. Hafiz yang memilih bekerja melirik benda pipih itu lalu mengeryitkan alis saat snag Mama menelepon."Kebiasaan banget," gerutu lelaki itu. Hafiz segera mengangkat t
Lima hari berlalu, keinginan Wati untuk pensiun tidak bisa dicegah. Kini mereka tengah mengantarkan wanita itu untuk kembali ke kampung. Hana yang mengetahui hal tersebut terus memeluk perempuan paruh baya ini. "Bibi ... kenapa Bibi pulang, apa Bibi gak sayang sama Hana. Apa Hana nakal bikin Bibi marah," cerocos gadis tersebut. Sesampai di kediaman wanita itu, Hana sudah terlelap karena kelelahan menangis. "Jaga kesehatan ya kalian," ucap Wati.Mereka menganggukan kepala sebagai jawaban, lalu segera pamit karena Hafiz hendak kembali ke kantor. "Maaf mengganggu waktu kalian jadinya," tutur wanita itu. Hafiz dan Maira langsung menggeleng, lalu wanita yang suka dipangil Neng oleh Wati itu memeluk perempuan tersebut."Pokoknya nanti Bibi harus angkat telepon aku," rengek Maira. Wati hanya menganggukan kepala pelan, lalu mereka segera pulang. Hana yang terbangun tidak mendapati perempuan yang menjaganya sangat lama itu menangis kembali. Maira berusaha menenangkan Hana.*** Waktu te
Maira bernapas lega setelah menaruh kue ulang tahun itu ke kulkas. Suara telepon terdengar, Wati terkejut karena hal tersebut. Ia mengelus dada sedangkan Hana tertawa melihat keterkejutan sang pengasuh. "Tuan Hafiz yang nelepon, Neng," lapor Wati. Maira menyuruh wanita ituhmengangkat telepon Hafiz. Sedangkan dia menyuruh sang supir untuk memarkirkan kendaraan di garasi. "Bi! Udah ditangkep belum hewan itu, pokoknya harus di tangkep ya, Bi!" seru lelaki itu. Terdengar suara lelaki itu sedikit gemetar. Wati merasa bersalah karena hal tersebut. "Udah ketangkep Tuan, Tuan bisa keluar sekarang. Nyonya Maira juga udah pulang nih," balas Wati.Hafiz langsung mematikan sambungan telepon, lalu tak lama lelaki itu keluar dari kamar. Tubuh pria tersebut masih gemetar. "Sini Mas, kamu takut banget ya."Lelaki itu menganggukan kepala, ia mendekati Maira dan duduk di tengah-tengah para perempuan. Mereka segera memeluk pria tersebut."Kita peluk nih, Pah. Papa jangan takut lagi ya," ucap Han
Maira menyipitkan mata mendengar suara Thania. "Beneran kamu Nia? Kok bisa kamu ngemis gini, emang harta Mas Reyhan habis?" tanya wanita itu. Mendengar deretan pertanyaan Maira, wanita itu langsung menatap sinis sang mantan teman."Gak usah pura-pura gak tau, kamu! Aku begini gara-gara kamu. Pasti kamu bilang kalau anakku bukan anak Mas Reyhan, kan! Kamu menghasut dia kan," sentak wanita itu.Alis Maira sampai menyatu mendengar sentakan wanita di hadapannya ini. "Dia tau kalau kamu bukan hamil anaknya? Lagian emang bukan anak Mas Reyhan, kan. Ngaku aja kamu, karena Mas Reyhan itu mandul.""Lagian main nuduh aja, aku gak pernah ketemu dia semenjak menikah. Hidupku udah bahagia, Nia, ngapain ngurusin kalian. Kita jalani masing-masing aja," lontar Maira. Setelah mengatakan hal itu semua mobil melaju, Maira segera menyuruh sang supir agar menjalankan kendaraan roda empat ini. Sedangkan Hana, gadis kecil tersebut mengeluarkan suara."Mah, Tante-Tante yang tadi itu yang pernah ngomelin
Mendapatkan notifikasi balasan dari istrinya, ia segera membaca lalu mengelus dada kala mendapatkan deretan permintaan istrinya lagi. "Kenapa gak minta beliin aja sih, Yang. Kamu demen banget buat aku nyobain hal baru," keluh lelaki itu."Untung cinta, kalau enggak. Huh ...."Hafiz langsung bangkit dari duduknya lalu melangkah menuju dapur. Wati yang mau keluar, terkejut dengan kedatangan sang majikan yang tiba-tiba."Kenapa jalan Tuan gak kedengaran suara," lontar wanita itu. Pria tersebut tidak menjawab, malah helaan napas yang terdengar. Wati mengerutkan kening kala sang majikan mengambil cobek dan ulekan. "Bi, ini gimana caranya buat sambel rujak?" tanya Hafiz. Mendengar pertanyaan Hafiz, Wati segera melihat kulkas mengambil bahan untuk membuat rujak. "Tuan pengen ngerujak? Sini biar saya aja yang bikinin," ucap Wati. Lelaki itu menggeleng, lalu menganggukan kepala saat paham. "Ini biar saya yang siapin ya, terus Tuan yang ulek," lontar perempuan tersebut. Hafiz hanya meng
Hafiz langsung menyuruh Wati untuk tidak mengatakan hal itu. Ia segera bangkit dan melangkah keluar, dia lekas menoleh menatap wanita tersebut. "Kamu ikut, Bi. Sekalian videoin sebagai bukti kalau aku yang beneran minta mangga itu ke pemiliknya," ajak pria tersebut. Wati langsung menganggukan kepala, ia segera mengeluarkan benda pipih miliknya dan menvideokan lelaki itu yang melangkah. Saat sampai di kediaman sang tetangga, Hafiz segera memencet bel. Pintu terbuka terlihat seorang wanita yang perkiraan lebih muda dari pengasuh Hana. "Boleh minta tolong panggilin pemilik rumah ini gak," pinta Hafiz. Wanita itu mengerutkan keningnya tetapi menganggukan kepala mengiyakan permintaan Hafiz. Dia pamit sebentar untuk memanggil sang majikan. Beberapa menit kemudian, keluar seorang wanita yang lebih tua dari perempuan tadi. "Ada apa ya, Hafiz?" tanya wanita itu. Hafiz menundukan kepala dan mengatur napasnya. Sedangkan wanita paruh baya itu mengerutkan kening melihat pembantu pria tersebu