“Kau yakin sudah merasa baik?” Masih di posisi yang sama yaitu kursi pengemudi, Gabriel bertanya pada Xaviera yang duduk di sampingnya. Mobil Gabriel berhenti tepat di depan gedung besar NOWZ COMPANY. Xaviera mengangguk yakin. “Iya, aku tidak mau bercuti lama-lama. Pekerjaanku pasti sudah menumpuk.” Gabriel mengambil napas panjang, pandangannya bergerak liar ke sekitar. “Bagaimana dengan bos-mu itu?” “Bagaimana apanya?” Xaviera bertanya balik. “Apa dia pernah mengalami kecelakaan?” Xaviera mengerutkan keningnya, bingung dengan pertanyaan Gabriel yang tiba-tiba. Hingga akhirnya ia dengan ragu menggeleng. “Kenapa bertanya seperti itu?” “Aku rasa ada yang salah dengan otaknya. Bagaimana manusia bisa sangat kaku seperti itu? Bos-mu tidak terlihat seperti manusia, tapi lebih mirip robot. Bahkan jika ada kontes paling mirip dengan robot, aku rasa robot aslinya akan kalah dengan bos-mu itu.” Plak! Xaviera membalas kalimat panjang Gabriel dengan pukulan di lengannya, hingga mem
Hari itu, Xaviera merasa sangat bersemangat saat mengajak Gabriel pergi ke toko buku kesukaannya. Meskipun Gabriel tidak terlalu suka menghabiskan waktu di toko buku, ia tetap setia menemani tunangannya. Xaviera berlari-lari kecil antara rak-rak buku, matanya berbinar saat melihat judul-judul buku yang menarik hatinya.Gabriel, yang biasanya tidak begitu antusias dengan buku, mencoba mencari cara untuk menikmati waktu mereka bersama. Ia mengikuti Xaviera dari satu rak ke rak lain, sesekali membantu mengambilkan buku yang terlalu tinggi untuk dijangkau oleh Xaviera.Saat Xaviera menemukan buku yang sangat ia cari-cari, wajahnya berseri-seri. “Lihat ini, Gabi! Akhirnya aku menemukan buku ini,” ucapnya sambil melompat kecil. Gabriel hanya tersenyum melihat kegembiraan yang tak terbendung dari tunangannya itu.Meski tidak menyukai toko buku, Gabriel mulai merasa ada kebahagiaan tersendiri dalam menemani Xaviera. Ia menyadari bahwa kebahagiaan Xaviera adalah kebahagiaan untuknya juga. Get
Keputusan Alejandro menambah kamera di balkon kamar Xaviera memang tak salah. Hal tersebut sangatlah menguntungkannya, karena memang Xaviera begitu menyukai tempat tersebut. Seperti malam ini, contohnya. Xaviera duduk dengan kaki terlipat dan mulut tiada henti mengunyah kacang. Beruntunglah malam ini Xaviera hanya seorang diri, karena Gabriel masih di tempat kerjanya. Kalau saja ada Gabriel di sana, tidak mungkin suasana hati Alejandro baik seperti sekarang ini. Tanpa sadar tangan Alejandro terangkat, dan mengusap dahinya sendiri. “Dia tidak pernah berubah, tetap sama seperti dulu.” Alejandro sangat menyukai penampilan Xaviera yang sekarang. Memakai hotpants dan dipadukan dengan kaus oversize, serta rambut yang dikuncir kuda. “Lihatlah caranya mengunyah kacang, seperti tupai kecil.” Alejandro tersenyum tipis melihat rekaman Xaveria yang memenuhi layar laptopnya. “Akan sangat menyenangkan jika aku berhasil menangkap dan mengurung tupai kecil ini.” Xaviera, yang sibuk menikmat
'Aku harap kau tidak akan salah paham lagi. Aku tidak sengaja menumpahkan kopi-ku ke pakaian bos-ku, jadi aku membawa dia ke apartemen kita. Aku harus mengganti pakaiannya dan mengobati lukanya. Cepatlah kembali, aku tidak nyaman hanya berdua dengannya'. Begitulah pesan yang Xaveria kirim pada Gabriel. Dengan menjadikan alasan mengambil obat sebagai alibi, diam-diam Xaviera memainkan ponselnya. Xaviera tentu tak ingin kembali terjadi pertengkaran dengan Gabriel, sehingga ia melakukan hal tersebut. Sekian waktu menunggu tak ada balasan, Xaveria akhirnya memutuskan untuk kembali menemui Alejandro di ruang tamu. Alejandro menatap Xaviera dengan pandangan yang tajam namun tidak marah. Dia mengusap lengannya dengan tangan yang lain, sementara Xaviera dengan cepat mengambil kotak P3K dari lemari. “Bisa tolong gulung lengannya, Mr? Saya akan mengobati lengan Mr.” Xaviera berujar dengan pandangan tak lepas dari lengan Alejandro. Begitu Alejandro menuruti permintaannya, mata Xaviera lan
Kantor masih sangat sepi, bahkan belum ada satu pun orang yang terlihat, namun Alejandro sudah lebih dulu menapaki kakinya di sana. Dengan duduk di ruangannya, kedua netra Alejandro tak lepas dari layar laptopnya. Tanpa dijelaskan pun sepertinya kalian semua tahu apa yang sedang dilakukan Alejandro, memangnya apalagi kalau bukan memantau kegiatan Xaviera. Alejandro menggunakan jadi telunjuknya menggeser touchpad dan meng-klik salah satu rekaman kamera, yang di mana kamera tersembunyi terletak di atas langit-langit kamar. Sehingga pemandangan yang Alejandro saksikan sekarang adalah Gabriel dan Xaviera yang masih berada di tempat tidur. Mata Xaviera terbuka lebar saat sinar mentari menyelinap masuk melalui celah jendela kamar mereka. Perasaan terkejut menyergapnya saat melihat Gabriel, yang biasanya masih terlelap di sampingnya, sudah bangun lebih dulu dengan raut wajah serius membuat jantungnya berdegup kencang. “Gabi ...” Suara serak Xaviera mengusik telinga Gabriel, hingga membu
“Xaviera!” Suara Alejandro memanggil, membuat Xaviera yang berada di kursi kerjanya dengan gelagapan berdiri. “Iya, Mr. ada yang bisa saya bantu?” “Masuk cepat!” kata Alejandro kembali berteriak, ia saat ini masih berada di dalam ruangannya. “Baik, Mr.” Xaveria menoleh pada telepon kantor yang menghubungkannya dengan Alejandro, dan tergeletak di meja kerjanya. Padahal hanya dengan meng-klik satu kali, Alejandro bisa dengan mudah menghubunginya. Terkadang Xaviera tak mengerti mengapa Alejandro lebih memilih berteriak daripada menggunakan telepon tersebut. Aneh memang bos-nya itu. Begitu masuk, Xaviera disuguhi pemandangan berupa punggung lebar Alejandro yang sedang berdiri menghadap sebuah lemari besar berisi piala berupa penghargaannya sebagai seorang pengusaha, juga di sisi lain terdapat puluhan berkas yang berjejer rapi. “Aku kesulitan menemukan berkas kerja sama dengan perusahaan GORES, bantu aku mencarinya!” Alejandro berujar tanpa memandang Xaveria yang masih berdiri d
Xaviera melangkah di sepanjang lorong NOWZ COMPANY dengan senyum percaya diri. Pakaian formal berupa rok span selutut berwarna yang dipadukan dengan blouse putih, membalut tubuh indahnya. Serta rambut panjangnya yang diikat rapi, menambah kesan apik pada dirinya.“Mr. Alejandro pasti senang mendengar berita ini.” Sambil memegang sebuah map berwarna hitam di tangannya, Xaviera bergumam pelan.Langkah kakinya yang terbalut heels, membawa Xaviera menuju ruang CEO berada. Namun sebelum itu, Xaviera mengetuk pintu terlebih dahulu tentunya. “Maaf mengganggu, Mr. ini saya, Xaviera.”Bukan suara perintah yang biasa Xaviera dengar dari sang bos, melainkan pintu yang dibuka langsung oleh Alejandro. “Kau sudah kembali?” ujar pria yang hanya memakai kemeja tanpa jas itu.“Iya, Mr. saya membawa kabar baik.”“Masuk!” titah Alejandro singkat.Karena permintaan pertemuan dengan klien yang berbarengan, sementara keduanya sangatlah penting bagi Al
Xaviera saat ini berada di ruang kendali CCTV menatap layar monitor dengan mata yang penuh harapan. Ruangan itu dipenuhi deretan monitor yang menunjukkan berbagai sudut kantor. Xaviera duduk dengan tubuhnya yang tegang, rambutnya yang sebelumnya terikat rapi, kini sudah tidak lagi.Di samping Xaviera, operator CCTV dengan serius mengganti-ganti tampilan kamera, mencoba membantu Xaviera menemukan rekaman yang tepat.“Apakah ini meja Anda, Nona?” tanya operator itu, menunjuk ke sebuah sudut yang terpampang di salah satu layar.“Iya, itu dia,” jawab Xaviera dengan nada berharap, matanya tidak berkedip menatap layar. “Tolong diperbesar!” pinta Xaviera sambil semakin mendekatkan dirinya dan menatap penuh layar tersebut.Rekaman itu memperlihatkan sudut meja kerja Xaviera, namun karena posisi kamera yang tidak menguntungkan, hanya sebagian kecil saja yang terlihat. Xaviera menggigit bibirnya, merasa frustrasi. Tidak ada tanda-tanda yang aneh, tidak ada
“Kau semakin berani ya, Xaviera?” Alejandro berucap pelan, sambil dirinya bertumpu kedua tangannya. Tatapan Alejandro tertuju pada Xaviera yang terekam sedang berada di salah satu ruangan. “Kau tidak membalas pesan-ku, kau menolak telepon-ku, dan kau tidak mempedulikan ancaman-ku. Dari mana kau dapat keberanian sebesar itu, Xaviera?”Alejandro merasa kesal dengan tindakan yang Xaviera pilih. Alejandro paling tidak suka diabaikan, terlebih lagi oleh Xaveria, namun Xaviera justru melakukannya. “Mari kita lihat apa kau juga akan melakukan hal yang sama kali ini?” Alejandro, dengan seringai khasnya, mengambil selembar foto yang kemudian ia masukkan di dalam sebuah amplop putih beserta selembar kertas tulisan tangannya.Keluar meninggalkan ruangan kegemarannya, Alejandro menemui sopir pribadinya. “Antarkan ini. Ingat, kau hanya perlu meletakkannya di depan pintunya dan jangan sampai ada satu orang pun yang mengetahui kedatanganmu!”“Baik, Mr. Alejandro.” Pria berusia lanjut yang sudah be
Xaviera menutup matanya, menikmati kenyamanan yang disajikan untuknya. Bukan hanya karena udara pagi hari yang terasa menghangatkan tubuhnya, namun juga pelukan Gabriel yang sangat menenangkan. Saking nyaman dengan posisinya, Xaviera sampai menutup mata. Semua masalah dan beban berat yang akhir-akhir ini dipikulnya seorang diri, sejenak Xaviera lupakan. Di sana, di balkon kamar, hanya ada Gabriel dan Xaviera, ditemani dengan cinta yang setiap harinya semakin tumbuh.“Mi amor, ada yang ingin aku tanyakan padamu,” ujar Gabriel, sambil mengecup lembut dahi Xaviera.“Hem, tanyakanlah.” Xaviera memang merespon, namun tidak mengubah posisinya sedikit pun.“Ini tentang rencanamu yang ingin berhenti dari pekerjaanmu. Apa bos-mu itu setuju?”Padahal Xaviera berusaha sekuat tenaga melupakan nama Alejandro dan segala hal yang berhubungan dengannya, namun Gabriel justru bertanya. Terkejut, Xaviera sontak membuka matanya.“Apa ada kompensasi yang harus kau ganti karena melanggar kontrak?” tanya G
Xaviera duduk memeluk lututnya seorang diri di kamarnya. Setelah siang tadi meninggalkan NOWZ COMPANY dengan tanpa memberikan Alejandro jawaban, Xaviera masih merenungi pilihan yang ditawarkan padanya. Tidak ada yang lebih baik dari kedua pilihan itu, keduanya sama-sama menjerumuskan dan menyakitkan Xaviera. Bingung, takut, cemas dirasakannya dalam waktu yang bersamaan. Xaviera tidak menyadari berapa lamanya ia diam seperti patung seperti itu. Bahkan hingga malam harinya ketika Gabriel pulang, kedua telinga Xaviera seperti tertutup, sehingga tidak mendengar seruan Gabriel. “Mi amor ...” Panggilan lembut dan usapan di kepala yang Gabriel lakukan, membuat Xaviera gelagapan. “Kenapa kau terkejut sekali? Seperti melihat hantu saja.” Gabriel terkekeh pelan karena respon Xaviera. “Atau jangan-jangan kau mengira aku hantu, ya? Mana ada hantu setampan diriku.” Gabriel kembali bergurau, namun Xaviera tetap pada diamnya. Bola mata Xaviera yang jernih bergerak mengikuti langkah Gab
Kedua netra Xaviera yang berkaca-kaca masih terpaku pada layar tablet Alejandro. Meski video tersebut minim penerangan, namun Xaviera sangat mengenali kamarnya, tata letak dan barang-barang di kamarnya. “Ke–kenapa Anda bisa ada di sana?” ujar Xaviera dengan suara bergetar. “Kau tidak mengingatnya, Xaviera?” Alejandro balik bertanya. Ekspresi Xaviera membuatnya tersenyum licik. “Anda hanya perlu menjawabnya! Kapan ini terjadi?” Sesaat Xaviera terdiam, mencoba mengingat kejadian tersebut. Xaviera mencoba menyangkalnya. Jangankan bercinta, Xaviera bahkan tidak memiliki perasaan sedikit pun untuk Alejandro. Bagaimanapun juga Xaviera selama ini menganggap Alejandro hanya sebagai atasannya. Namun video itu? Bagaimana mungkin bisa terjadi? Dalam hati Xaviera merutuki dirinya. Semakin lama menyaksikan video tersebut, membuat Xaviera merasa menjadi orang paling bodoh di dunia. 'Bagaimana mungkin aku bisa bercinta dengannya, tapi aku sama sekali tidak mengingatnya.' Xaviera bergumam
Xaviera yang duduk di depan meja riasnya, tiada bosannya memandang pantulan wajah Gabriel dari kaca di depannya. Pria yang menyandang sebagai tunangannya itu dengan sangat perhatian membantu mengeringkan rambutnya. “Kenapa melihatku seperti itu, hm?” ujar Gabriel, tentu ia menyadari tatapan Xaviera dan baru berani bertanya sekarang. “Kenapa kau mencintaiku?” Bukannya menjawab, Xaviera justru memberikan pertanyaan lain, yang membuat tangan Gabriel seketika berhenti bergerak. “Pertanyaan macam apa itu?” Xaviera menggeleng pelan. “Aku hanya penasaran,” jawabnya dengan senyum yang tak lekang di wajah cantiknya. Gabriel meletakkan hairdryer yang sudah dimatikannya tersebut, lalu berlutut di hadapan Xaviera. “Aku tidak butuh alasan khusus untuk mencintai ciptaan Tuhan seindah dirimu.” Gabriel menatap mata Xaviera yang berbinar, penuh rasa penasaran yang tulus. “Setiap kali aku melihatmu, hatiku terasa hangat, seperti ada sinar matahari yang selalu mengikutiku,” ucap Gabriel dengan le
“Akh, kepalaku sakit.” Xaviera melenguh, tangannya merambat memijat pangkal hidungnya, berharap dapat mengurangi rasa tak nyaman yang menyerang kepalanya. “Gabi ...” Xaviera menatap pintu kamarnya, berharap dapat melihat sosok Gabriel di sana, namun pria itu tak menunjukkan tanda-tanda akan kembali. Ponselnya yang berbunyi menandakan panggilan masuk, memecah keheningan kamar. Buru-buru Xaviera mengambilnya. Melihat nama Gabriel tertera di sana, membuat sudut bibir Xaveria terangkat.“Halo, Sayang.” Xaviera menyapa gembira, namun yang terdengar dari ponselnya bukanlah suara hangat Gabriel yang amat sangat disukainya, melainkan suara bising hingga membuat telinganya berdengung.“Sayang, apa kau masih di tempat kerjamu?” Perlahan senyuman Xaviera menghilang, ketika Gabriel mengatakan ia tidak bisa pulang cepat, lantaran pekerjaannya membutuhkannya. Diam-diam Xaviera menoleh ke arah balkon, melihat langit yang sudah gelap. “Ya sudah, tidak masalah. Kau selesaikan saja pekerjaanmu. Fok
Alejandro berdiri di tengah ruang kerja luas dengan dinding berlapis kaca yang memantulkan cahaya rembulan. Sang ayah berdiri di depannya dengan dahi berkerut dan mata yang berapi-api. Tangannya terkepal, seolah menggenggam amarah yang siap meledak kapan saja. Udara di ruangan itu seakan membeku, setiap suara terdengar lebih keras dan setiap gerakan terlihat lebih tajam. Ayah Alejandro—seorang pria paruh baya dengan aura otoritas yang kuat, memulai serangannya dengan suara yang keras dan tegas, “Kau tahu betul, Alejandro, betapa pentingnya hubungan keluarga kita dengan keluarga Isabel. Keluarga mereka telah banyak membantu kita. Bagaimana bisa kau begitu tega menolak membantu ketika dia membutuhkanmu?” Alejandro menggertakkan giginya, merasakan beratnya beban yang selama ini dipaksakan ke pundaknya. Dia menghirup nafas dalam-dalam, menyiapkan diri untuk konfrontasi yang sudah lama ia hindari. Ayah Alejandro merah wajahnya, nadanya meningkat, “Kau tidak mengerti pentingnya menj
“Argh! Shh!” Suara Xaviera meringis, seakan menjadi sinyal bagi Gabriel, membuat Gabriel yang semula berada di luar langsung berlari ke kamar mereka. “Mi amor!” Gabriel memekik kuat ketika melihat Xaviera terduduk di lantai. Segera, Gabriel berlari lalu mengangkat Xaviera dan mendudukinya di pinggir tempat tidur. “Kau baik-baik saja?” Gabriel dengan cemas menyingkirkan rambut Xaviera, sehingga wajah pucat Xaviera dapat dilihatnya dengan jelas. “Gabi, aku haus.” Xaviera hanya mampu mengeluarkan beberapa kata saja, karena sejujurnya tenggorokannya sangat kering dan sakit. “Tunggu sebentar, biar aku ambilkan.” Gabriel kembali berlari keluar dari kamar, dan tak lama datang kembali dengan membawa segelas air. “Ini, minumlah!” Gabriel membantu Xaviera meminumnya, lalu mengusap bibir Xaveria yang kering. “Apa ada lagi yang kau inginkan?” Xaviera menggeleng. “Aku hanya ingin dirimu. Tolong peluk aku!” Xaviera bukan meminta, namun terdengar seperti memohon. Gabriel tentu tak
Semalaman Xaviera seorang diri di apartemen, hanya berteman kesunyian. Berharap Gabriel datang untuk memeluknya, dan menenangkannya di tengah gempuran rasa takutnya, namun itu semua hanya angan. Matahari sudah menampakkan dirinya, namun Gabriel tidak juga menunjukkan tanda-tanda akan datang. Sementara Xaviera yang masih duduk di lantai, hanya bisa memeluk lututnya sendiri. “Gabi ...” Secara kebetulan, panggilan Xaveria terkabulkan. Sang pemilik nama yang terus Xaviera panggil, akhirnya menampakkan dirinya. “Mi amor!” Gabriel tentu terkejut sekaligus cemas melihat keadaan Xaviera. Langsung saja ia melepaskan sepatunya dan berlari mendatangi, lalu berakhir memeluk Xaviera. “Gabi ....” “Iya, ini aku. Kau kenapa, Sayang? Kenapa duduk di lantai seperti ini?” Gabriel mengusap lembut rambut kecoklatan Xaviera. “Aku menunggumu,” jawab Xaviera lemah. Gabriel meregangkan pelukannya dan mengusap Wajah cantik Xaviera yang pucat dan kulitnya terasa hangat. “Apa kau tidak membaca pes