Plakk.Revan menepuk pelan uluran tangan sahabatnya ke arah Adnessa, "Apa-apaan syarat seperti itu?" ucapnya sedikit cemburu. Ia merasa tidak suka melihat Aldynata menggoda Adnessa.Aldynata mengedikkan bahunya mendengar pertanyaan Revan, seolah acuh tak acuh dengan sahabatnya itu yang hampir terbakar cemburu. Dengan sengaja, Aldynata justru kembali mengulurkan tangannya ke arah Adnessa, seolah menantang Revan."Ha-hanya berdansa saja, kan?!" tanya Adnessa terbata, sedikit ada keraguan di hatinya untuk menerima uluran tangan Aldynata. Ia merasa tidak nyaman dengan situasi ini.Revan yang melihat itu mendengus kesal. Sebelum semuanya terlambat, dengan cepat Revan menerima uluran tangan Aldynata yang sebenarnya pria itu tunjukkan untuk Adnessa. Ia tidak ingin Adnessa berdansa dengan Aldynata.Adnessa dan Aldynata seketika menatap aneh ke arah Revan. Mereka berdua merasa bingung dengan tindakan Revan yang tiba-tiba.Aldynata segera menarik tangannya kembali, "Gue gak suka bambu, ya, anyi
Shhhh," desis Axcel, merasakan denyutan tajam yang menghantam kepalanya. Ia mengerjap, kelopak matanya terasa berat, dan pandangannya kabur. Ada sesuatu yang berat menimpa tubuhnya, sesuatu yang hangat dan lembut.Axcel tersentak, matanya melebar saat melihat siapa yang tidur di sampingnya, menindih tubuhnya dengan selimut yang melorot. Erika. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, dan bibirnya sedikit bengkak. Membuat Erika yang tengah terlelap di sampingnya ikut tersentak dan terbangun."Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Axcel dengan suara serak, tenggorokannya terasa kering. Penampilannya sangat berantakan, kemejanya kusut, dan matanya merah menatap Erika dengan tatapan dingin dan penuh pertanyaan.Erika menarik selimut yang sedikit melorot, membenarkannya untuk menutupi tubuhnya yang telanjang. Sebelum ia mengangkat wajahnya, menatap mata Axcel dengan intensitas yang membuat bulu kuduk Axcel meremang, "Kamu jahat sekali, Axcel," sahutnya, menjawab pertanyaan Axcel dengan nada le
Apa aku tidak salah dengar?' Adnessa menatap Revan dengan mata berkaca-kaca, hatinya sedikit terenyuh dengan ketulusan Revan. Ia tidak menyangka Revan akan mengatakan hal itu di depannya, mempertaruhkan persahabatan yang telah lama terjalin demi dirinya, demi melindunginya. Sedangkan selama ini, dirinya seolah terus mempermainkan perasaan Revan yang selalu berkorban untuknya.Axcel terdiam, rahangnya mengeras. Ia merasa terpojok dan tidak berdaya. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia merasa Revan benar-benar serius dengan ucapannya."Lo tidak bisa melakukan ini, Van," ucap Axcel dengan suara lirih, berusaha meyakinkan Revan. "Adnessa adalah milik gue.""Milik lo?" Revan tertawa sinis. "Sejak kapan Adnessa menjadi milik lo? Lo bahkan tidak bisa menjaganya. Lo hanya membuatnya menderita," ucap Revan yang tidak bisa lagi menahan kekesalan dan kekecewaannya, sia-sia dirinya menahan perasaan selama ini, membiarkan Adnessa terus bersama Axcel. Namun, Axcel justru menyia-nyiakannya, tida
Akhirnya Axcel melepaskan cekikannya di leher Erika, setelah gadis itu mengatakan sesuatu yang kembali membuatnya bimbang. Kata-kata Erika tadi seperti belati yang menusuk langsung ke jantungnya, membuatnya kehilangan kendali atas amarahnya."Uhuk uhuk uhukkkk," Erika memegang lehernya yang terasa sakit, bekas cekikan Axcel membekas merah di sana. Ia terbatuk-batuk, berusaha mengisi paru-parunya dengan udara sebanyak mungkin. Matanya menatap Axcel dengan campuran rasa takut dan kemenangan.Sedangkan Axcel, ia segera melangkah pergi dari tempat itu, membawa pikirannya yang kalut untuk menenangkan diri. Ia merasa seperti berada di labirin yang gelap, tidak tahu jalan keluar. Ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan siapa yang bermain-main dengannya.Sedangkan Axcel, ia segera melangkah pergi dari tempat itu, membawa pikirannya yang kalut untuk menenangkan diri. Ia merasa seperti berada di labirin yang gelap, tidak tahu jalan keluar. Ia harus mencari tahu apa yang sebenarny
Gadis cantik dengan penampilan sedikit tomboy itu menatap dingin ke arah pria yang duduk bersebelahan dengan ibunya, Margaretha Moore. Adnessa Aisy, seorang mahasiswi di salah satu universitas bergengsi di kotanya itu terang-terangan memperlihatkan ketidak sukaannya dengan pria yang sekarang sudah bersetatus sebagai ayahnya. Matanya menyipit, meneliti setiap gerak-gerik pria itu, seolah mencari celah atau kekurangan yang bisa ia gunakan untuk membenarkan prasangkanya."Ckkk, ini konyol," gerutu Adnessa pelan, namun cukup jelas untuk didengar oleh ibunya.Adnessa menyilangkan kedua tangannya di depan dada, ekspresinya menunjukkan penolakan mentah-mentah. Pantas saja wanita yang selalu sibuk dengan pekerjaannya itu rela menyempatkan waktu untuk mengajaknya pergi keluar seperti ini. Biasanya, Margaretha lebih sering mengirim pesan singkat atau menelepon daripada meluangkan waktu untuk bertemu langsung. Ternyata, ada alasan lain di balik itu semua.Ya, memang benar, tujuan Margaretha kali
"Kenapa tidak memfotoku saja?!" gumam Adnessa, ketika melangkah melewati Axelio yang masih saja menatapnya dengan tatapan aneh. Ia mempercepat langkahnya, sedikit kesal dengan perhatian Axelio yang menurutnya berlebihan. Ia merasa seperti sedang diawasi oleh pengawal, bukan oleh seorang kakak tiri.Axelio menghela napas. Ia tahu Adnessa tidak suka dengan kehadirannya, tapi ia juga tidak bisa mengabaikan tanggung jawab yang diberikan Jhonatan dan Margaretha. Kota ini memang bukan tempat yang ramah bagi anak-anak, apalagi bagi seseorang yang baru pertama kali datang. Ia ingat betul pesan Margaretha, "Axelio, tolong jaga Adnessa baik-baik. Dia masih beradaptasi dengan kota ini.""Adnessa, tunggu sebentar," kata Axelio, berusaha menyamai langkah gadis itu. Ia tidak ingin terlihat terlalu mengejar, tetapi juga tidak ingin kehilangan jejaknya di tengah keramaian.Adnessa tidak mengindahkan panggilan Axelio. Ia terus berjalan, bahkan hampir menabrak seorang ibu yang sedang mendorong kereta ba
BYURRRRR ...Pada akhirnya, Adnessa dan Axelio sama-sama terjatuh kedalam kolam. Axelio yang saat itu tengah memeluk Adnessa, tanpa sengaja melihat tubuh adik tirinya yang terlihat menggoda dengan keadaan yang basah kuyup, tanpa terkecuali, hingga menampakan lekuk tubuhnya yang indah, bahkan dadanya pun terlihat jelas menonjol.'Sebenarnya, ini sebuah musibah atau berkah?!' batin Axelio seraya mengusap kasar wajahnya. Entah kenapa, Axelio menjadi sedikit gusar hingga kesulitan untuk menelan salifanya.'Apa-apaan ini? Kenapa dia menatap ku seperti itu?' Spontan, Adnessa menyilangkan kedua tangannya di depan dada, dan segera mendorong Axelio untuk menjauh.'Shittt,' hal itu membuat Axelio seketika sadar dengan apa yang baru saja dia pikirkan. Lagi pula, pria dewasa mana yang tidak berfikiran buruk ketika di suguhkan dengan pemandangan seperti itu?Setelah pelukan itu terlepas, tanpa sepatah kata, Adnessa berbalik badan dan berjalan menepi, meninggalkan Axelio yang masih terdiam menatapn
Karena suara Revan yang cukup keras, membuat semua orang yang berada di sekitar menatap kearah mereka berdua.Dengan raut wajah yang terlihat tidak nyaman, akhirnya Adnessa menjelaskan bagaimana dirinya bisa menjadi putri di keluarga Hansel, "Ckkk, ibu ku menikah dengan om Jhonatan. Jadi, mau tidak mau, saya menjadi adik tiri Axel!" Revan mengangguk paham, "Ohhh, seperti itu. Sepertinya, nanti kita akan sering bertemu!"Adnessa hanya mengedikkan bahunya, dan terus melangkahkan kaki mengelilingi tempat itu. Semakin lama, Adnessa merasa tempat ini lumayan nyaman dan matanya terpana ketika melihat sebuah area kolam dari kejauhan."Van!" Revan yang tengah bersemangat menemani Adnessa berkeliling harus menghentikan langkahnya, setelah mendengar suara seseorang memanggilnya."Woy, bro! Siapa ini?" tanya seorang pria yang sepertinya kenal dekat dengan Revan.Seperti pria lain pada umunya ketika melihat gadis cantik yang belum pernah dijumpai. Pria itu menatap kearah Adnessa dengan pandanga
Akhirnya Axcel melepaskan cekikannya di leher Erika, setelah gadis itu mengatakan sesuatu yang kembali membuatnya bimbang. Kata-kata Erika tadi seperti belati yang menusuk langsung ke jantungnya, membuatnya kehilangan kendali atas amarahnya."Uhuk uhuk uhukkkk," Erika memegang lehernya yang terasa sakit, bekas cekikan Axcel membekas merah di sana. Ia terbatuk-batuk, berusaha mengisi paru-parunya dengan udara sebanyak mungkin. Matanya menatap Axcel dengan campuran rasa takut dan kemenangan.Sedangkan Axcel, ia segera melangkah pergi dari tempat itu, membawa pikirannya yang kalut untuk menenangkan diri. Ia merasa seperti berada di labirin yang gelap, tidak tahu jalan keluar. Ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan siapa yang bermain-main dengannya.Sedangkan Axcel, ia segera melangkah pergi dari tempat itu, membawa pikirannya yang kalut untuk menenangkan diri. Ia merasa seperti berada di labirin yang gelap, tidak tahu jalan keluar. Ia harus mencari tahu apa yang sebenarny
Apa aku tidak salah dengar?' Adnessa menatap Revan dengan mata berkaca-kaca, hatinya sedikit terenyuh dengan ketulusan Revan. Ia tidak menyangka Revan akan mengatakan hal itu di depannya, mempertaruhkan persahabatan yang telah lama terjalin demi dirinya, demi melindunginya. Sedangkan selama ini, dirinya seolah terus mempermainkan perasaan Revan yang selalu berkorban untuknya.Axcel terdiam, rahangnya mengeras. Ia merasa terpojok dan tidak berdaya. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia merasa Revan benar-benar serius dengan ucapannya."Lo tidak bisa melakukan ini, Van," ucap Axcel dengan suara lirih, berusaha meyakinkan Revan. "Adnessa adalah milik gue.""Milik lo?" Revan tertawa sinis. "Sejak kapan Adnessa menjadi milik lo? Lo bahkan tidak bisa menjaganya. Lo hanya membuatnya menderita," ucap Revan yang tidak bisa lagi menahan kekesalan dan kekecewaannya, sia-sia dirinya menahan perasaan selama ini, membiarkan Adnessa terus bersama Axcel. Namun, Axcel justru menyia-nyiakannya, tida
Shhhh," desis Axcel, merasakan denyutan tajam yang menghantam kepalanya. Ia mengerjap, kelopak matanya terasa berat, dan pandangannya kabur. Ada sesuatu yang berat menimpa tubuhnya, sesuatu yang hangat dan lembut.Axcel tersentak, matanya melebar saat melihat siapa yang tidur di sampingnya, menindih tubuhnya dengan selimut yang melorot. Erika. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, dan bibirnya sedikit bengkak. Membuat Erika yang tengah terlelap di sampingnya ikut tersentak dan terbangun."Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Axcel dengan suara serak, tenggorokannya terasa kering. Penampilannya sangat berantakan, kemejanya kusut, dan matanya merah menatap Erika dengan tatapan dingin dan penuh pertanyaan.Erika menarik selimut yang sedikit melorot, membenarkannya untuk menutupi tubuhnya yang telanjang. Sebelum ia mengangkat wajahnya, menatap mata Axcel dengan intensitas yang membuat bulu kuduk Axcel meremang, "Kamu jahat sekali, Axcel," sahutnya, menjawab pertanyaan Axcel dengan nada le
Plakk.Revan menepuk pelan uluran tangan sahabatnya ke arah Adnessa, "Apa-apaan syarat seperti itu?" ucapnya sedikit cemburu. Ia merasa tidak suka melihat Aldynata menggoda Adnessa.Aldynata mengedikkan bahunya mendengar pertanyaan Revan, seolah acuh tak acuh dengan sahabatnya itu yang hampir terbakar cemburu. Dengan sengaja, Aldynata justru kembali mengulurkan tangannya ke arah Adnessa, seolah menantang Revan."Ha-hanya berdansa saja, kan?!" tanya Adnessa terbata, sedikit ada keraguan di hatinya untuk menerima uluran tangan Aldynata. Ia merasa tidak nyaman dengan situasi ini.Revan yang melihat itu mendengus kesal. Sebelum semuanya terlambat, dengan cepat Revan menerima uluran tangan Aldynata yang sebenarnya pria itu tunjukkan untuk Adnessa. Ia tidak ingin Adnessa berdansa dengan Aldynata.Adnessa dan Aldynata seketika menatap aneh ke arah Revan. Mereka berdua merasa bingung dengan tindakan Revan yang tiba-tiba.Aldynata segera menarik tangannya kembali, "Gue gak suka bambu, ya, anyi
Axcel menarik tangan Erika yang ia sangka Adnessa itu ke dalam pelukannya, ia memeluknya dengan sangat erat. Ia merasa sangat merindukan Adnessa, dan ia ingin merasakan kehangatan dan kenyamanan yang hanya bisa diberikan oleh Adnessa.Sedangkan Erika, ia terkejut mendengar Axcel memanggil nama Adnessa. Ia merasa sangat marah dan cemburu. Ia tidak menyangka Axcel akan memikirkan Adnessa di saat seperti ini."Aku di sini, Xel," ucap Erika dengan suara lembut, berusaha menenangkan Axcel. Ia ingin Axcel melihatnya, bukan Adnessa. Ia ingin Axcel melupakan Adnessa dan mencintainya.Axcel menggelengkan kepalanya, "Bukan kamu, Ness," ucapnya dengan suara serak. "Aku merindukanmu." Ia memeluk Erika semakin erat, berharap ia bisa merasakan kehadiran Adnessa.Erika mengepalkan tangannya, menahan amarah yang membara di dadanya. Ia merasa sangat terhina dan direndahkan. Ia tidak menyangka Axcel akan begitu mencintai Adnessa, meskipun mereka sudah berpisah."Axcel, aku di sini," ucap Erika lagi, be
Adnessa melangkahkan kakinya mundur beberapa langkah, melihat Axcel berdiri di depannya. Perasaannya seketika berubah menjadi campur aduk. Ia menatap was-was ke sekeliling Axcel, mencari seseorang yang mungkin saja ikut hadir bersamanya. Dirinya benar-benar sudah tidak ingin ikut terlibat dalam masalah Axcel dan Erika lagi."Ada apa?" tanya Axcel, melihat Adnessa menatap aneh ke arahnya. Axcel yang merasa khawatir, spontan menyentuh lengan Adnessa, mencoba untuk mengikis jarak dan dinding penghalang yang hadir di antara mereka setelah malam pertunangan itu. Ia merasa Adnessa semakin menjaga jarak dengannya.Merasakan sentuhan Axcel, Adnessa segera menarik tangannya membuat Axcel tersenyum miring dengan tatapan mata yang ikut berubah, sorot mata yang tadinya menyiratkan kekhawatiran seketika berubah menjadi tatapan amarah dan kekecewaan."Aku masih ada urusan," pamit Adnessa sengaja untuk menghindari Axcel, ia tidak ingin lagi membuat masalah. Ia selalu mengingatkan kepada dirinya send
Revan dan Adnessa terlihat sangat serasi, bahkan baju mereka juga terlihat senada. Baru saja mereka keluar dari mobil, sudah banyak pasang mata yang berlalu lalang di pelataran gedung itu menatap ke arah mereka, tidak sedikit juga yang memuji Adnessa dan Axcel. Revan dengan gagahnya dan auranya yang berkarisma, bersanding dengan gadis cantik dan anggun, tentu saja akan menyita perhatian banyak orang. Apalagi, selama hidupnya baru kali ini Revan membawa seorang gadis datang ke acara resmi seperti ini.Revan memberikan kode agar tangan Adnessa melingkar di lengannya. Ia ingin terlihat seperti pasangan yang serasi dan bahagia di depan semua orang. Meskipun, pada kenyataannya tidak ada hubungan lebih di antara mereka berdua, selain hubungan antara dosen dan mahasiswi."Kenapa, Pak?" tanya Adnessa yang tidak peka, ia justru menatap bingung dan heran ke arah Revan. Ia tidak mengerti apa maksud Revan dengan kode yang diberikan kepadanya."Pegang lengan saya, Ness!" ucap Revan dengan sabar, i
Revan membawa Adnessa menuju sebuah butik yang cukup terkenal di kotanya. Butik itu sangat besar dengan baju-baju mewah dan elegan yang terpajang sangat indah, membuat Adnessa takjub dengan pemandangan itu. Ia merasa seperti masuk ke dalam dunia mimpi, di mana segala sesuatu terlihat begitu sempurna dan mewah."Kenapa Anda membawa saya kemari, Pak?" tanya Adnessa dengan suara yang sedikit bergetar. Ia masih binggung dengan apa yang sedang terjadi. Revan tersenyum tipis mendengar pertanyaan Adnessa. "Tentu saja untuk memilihkan gaun yang akan kamu kenakan di acara nanti malam!" Sahut Revan dengan entengnya, seolah-olah apa yang ia lakukan adalah hal yang biasa saja."Tidak mungkin juga kan, kita makan di sini. Ini butik, bukan restoran, Ness," lanjut Revan menggoda Adnessa, ia terkekeh pelan melihat ekspresi Adnessa yang menurutnya begitu menggemaskan. Ia suka melihat Adnessa yang terlihat bingung dan salah tingkah seperti ini.'Yang bilang ini restoran juga siapa? Orang kayak gini, k
Rencananya untuk menemui Axcel di kantor pria itu akhirnya gagal, dan Erika memutuskan untuk pulang dengan hati yang penuh amarah dan dendam. Namun, di tengah perjalanan, entah kenapa ia teringat dengan sebuah rencana yang akan membantunya untuk bersatu dengan Axcel. Rencana yang licik dan berbahaya, tapi ia merasa tidak punya pilihan lain."Apa aku harus menggunakan cara itu?" gumam Erika, mempertimbangkan ide yang baru saja muncul di otaknya. Ia tahu rencana ini sangat berisiko, tapi ia sudah tidak tahan lagi dengan penolakan Axcel. Ia ingin memiliki Axcel seutuhnya, dan ia akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya.Tiba-tiba Erika teringat dengan seseorang yang bisa membantunya mewujudkan rencana ini. Matanya berbinar dan segera ia mengambil ponselnya untuk menghubungi orang itu."Selamat siang, Nona Erika! Apa ada sesuatu yang bisa saya bantu?" terdengar suara seorang pria dari balik panggilan itu, membuat Erika tersenyum miring. Ia sudah menemukan orang yang tepat untuk memban