Ardhan pun menoleh ke arah Rico yang selalu mendampingi dirinya itu. Tangannya seolah memberi isyarat untuk pergi dari sana."Kamu jaga di luar!""Baik, Tuan." Rico menunduk paham, ia pun melangkah keluar dari dalam ruangan. Ia berdiri di depan ruangan Ardhan untuk berjaga-jaga.Ardhan yang melihat bahwa situasi sudah aman, ia pun memanfaatkan kesempatan itu untuk mendapatkan perhatian lebih dari Nara."Karena kamu ninggalin saya makan siang, jadi kamu harus terima resikonya."Jantung Nara berdetak tidak karuan, gemuruh hebat dengan pertanyaan dalam benaknya membuatnya tidak tenang. "Semoga saja resikonya tidak menyusahkanku lagi," batin Nara dengan mulut komat-kamit.Ardhan menoleh. Ia melihat Nara yang tampak terdiam dengan mulut komat-kamit tidak jelas."Cepat kamu suapi saya!" ujar Ardhan dengan nada cuek.Wajahnya bahkan tidak memperlihatkan keramahan sama sekali. "Pak Ardhan, kita sedang di kantor. Jangan begini, saya mohon.""Kamu sudah tahu 'kan kalau sekarang aman. Jadi, itu
Wajah Rico sudah pasrah karena saat itu ia mengira bahwa dirinya pasti akan mendapat omel dari Ardhan akibat kelalaiannya tersebut.Rico memasuki ruangan itu dengan tubuh lemas. Tetapi, meskipun begitu ia tetap menunjukkan kalau dirinya siap menerima perintah apapun."Iya, Pak Ardhan.""Kemari kamu!" Ardhan meminta Rico untuk mendekat kepadanya.Rico pun berjalan mendekat."Duduk!" Rico duduk, kedua tangannya di paha dengan kepala agak menunduk. Menunjukkan jika dirinya telah melakukan kesalahan yang tadi."Maafkan saya, Tuan. Tadi wanita itu berusaha memaksa untuk masuk.""Kamu ini. Saya 'kan sudah bilang supaya jaga pintu jangan sampai ada yang masuk! Begitu saja sampai kebobolan!"Rico yang sadar akan kesalahannya pun menunduk menyesal. "Saya benar-benar minta maaf, saya berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi.""Pak Ardhan, makanannya masih ada. Mau dilanjut atau sudah selesai?" tanya Nara."Saya sudah kenyang."Nara pun kemudian duduk kembali di kursi, ia merapik
"Mama mau tanya sama kamu. Kamu itu lebih cinta sama Ardhan atau orang tua kamu sendiri?" tanya Verra tiba-tiba.Ini pertanyaan mendadak yang membuat Nara bingung. Ia tidak bisa memilih karena dirinya pun belum siap menjanda."Kenapa tiba-tiba Mama menanyakan hal ini?" balas Nara, bingung. Dirinya sama sekali tidak mengerti dengan Verra yang memberinya pilihan itu."Aku sayang Mama-Papa, tapi aku juga tidak bisa meninggalkan suamiku sendiri."Verra menggelengkan kepalanya dengan mata terpejam. "Kamu ini. Bukan itu yang Mama maksud.""Terus?" Nara bingung, ia tidak tahu sebenarnya apa yang Verra inginkan. Ia memang sempat berpikir bahwa mungkin Verra berkata demikian karena dirinya yang sempat menolak keinginan Rivanto dalam menjalankan misi mereka. Tetapi, yang membuatnya bingung adalah kenapa dirinya harus memilih?Verra menajamkan pandangannya ke arah Nara. "Kamu yakin masih belum paham dengan apa yang Mama bilang barusan?""Ma, kalau Mama meminta aku memilih. Tentu saja aku tida
Rivanto dan Verra yang sedang menasehati Nara pun langsung terdiam. Mereka menoleh ke belakang dengan perasaan bertanya-tanya."Siapa itu? Mama pesan barang lagi dari toko online?" tanya Rivanto. Ia menduga demikian karena hobi Verra memanglah berbelanja. Ini tak jauh dari dirinya. Bedanya, Rivanto lebih senang berbelanja barang yang sekiranya bisa ia gunakan untuk usahanya.Verra yang diduga demikian pun langsung menggelengkan kepala dengan kedua alis bertautan. "Nggak, Pa. Papa kali yang belanja.""Mana pernah Papa belanja online begitu, Ma. Kalaupun belanja, mau belanja apa? Sekarang kita punya menantu kaya raya, buat apa beli barang diskonan!" sergah Rivanto, membenarkan atas dugaan Verra yang menurutnya salah.Verra yang semakin dibuat penasaran pun langsung bangkit dari duduknya. "Biar Mama lihat sebentar!" katanya berinisiatif. Nara yang tidak berpikir mengenai Ardhan itu membuatnya hanya diam tanpa memikirkan apapun. Ia tidak mau ambil pusing dengan hal itu. Karena dirinya p
Walaupun kedua mertuanya terlihat begitu terbuka dan seolah menunggu kedatangan Ardhan, tetapi ia tidak menyahut. Hanya memberikan senyuman tipis dengan hati yang merasa tidak nyaman. Seolah sudah tahu bahwa kedua mertuanya hanya menggunakan topeng saja."Mari kita masuk, Nak, ayo!" ajak Rivanto dengan tangan menggiring Ardhan menuju sofa yang ada di sana.Di belakang Ardhan, Rivanto seolah memberi kode isyarat mata agar pergi ke dapur. Verra sudah paham dengan maksud suaminya, ia pun bergegas menuju dapur. Tetapi, sebelum itu ia mengatakan sesuatu."Ya sudah, kalian anteng-anteng, ya, di sini. Mama mau buat minuman dulu." Verra pun melempar pandangannya ke arah Ardhan. "Mau minum apa, Nak?" "Apa saja, Ma." Ardhan tidak mau merepotkan Ibu mertuanya. Ia hanya ingin menghargai apa yang nantinya disajikan oleh Verra."Mama serius tanya sama kamu, kamu mau minum apa biar Mama buatkan yang paling spesial buat kamu?" tanya Verra dengan pandangan terus mengarah kepada Ardhan."Mas, kalau b
Praaanggg! Rivanto langsung terhenyak kaget saat mendengar suara gelas pecah. Saat itu, tangan Nara memang sedikit licin karena baru saja memegang mangga. Ia lupa untuk mencuci tangannya terlebih dahulu, dirinya malah fokus pada gelas yang harus ia ambil.Pada saat itulah, setelah dari bubuk yang terdapat dalam botol kecil berukuran ibu jari. Kini, bubuk itu hanya tersisa sedikit saja. "SIALAN!!!" umpat Rivanto dalam hatinya dengan perasaan geram.Buru-buru, Rivanto menuangkan sisa bubuk tersebut ke dalam sebuah blender yang berisi jus mangga tersebut. Ia juga segera membersihkan bubuk yang berceceran di sana dengan sebuah lap meja.Ia sampai berkeringat di dahi karena panik. "Pyuuuhh!" Rivanto membuang nafas lega. Nara yang baru saja mengambil gelas pun kembali ke tempat semula untuk menyajikan jus itu ke dalam gelas kaca yang agak tinggi. Tak hanya sampai di situ, Nara juga menambahkan sedikit potongan buah mangga berbentuk dadu kecil diatasnya."Pa, bukannya Papa juga mau ini?"
Perut yang awalnya terasa nyaman, tiba-tiba seolah ada sesuatu yang bergejolak didalamnya. Ardhan langsung diam mematung sembari memegang perutnya -- menahan apa yang dirasakannya sore itu."Mas, kamu kenapa?" tanya Nara yang menyadari bahwa Ardhan tengah merasakan sesuatu yang tidak nyaman.Ardhan menoleh ke arah Nara. "Toilet ada di mana?" tanya balik seraya bangkit dari duduknya.Ada sesuatu yang semakin mendesak untuk keluar dari dalam perutnya tersebut. Ia sudah tidak bisa menahan lebih lama lagi."Kamu mau ke toilet? Ya sudah, sini ikuti saya!" pinta Nara. Ia beranjak dari duduknya dan bersiap pergi, menoleh ke arah Ardhan dengan posisi menyamping. Karena tidak ada waktu lagi untuk berpikir. Sembari menahan rasa mulas pada perutnya, Ardhan pun terus berjalan. Langkahnya semakin ia percepat."Cepat ada di mana?"Nara pun menghentikan langkah kakinya di sebuah dapur. Di sana ia langsung menunjuk pada sebuah pintu toilet berwarna biru muda.Ardhan pun langsung membukanya dan masuk
Nara terdiam sejenak. Banyak kalimat di dalam kepala yang seakan mau meledak. Segalanya menjadi tak terkendali. Rona mata memerah dibarengi rasa curiga. Ia menghela nafas, mencoba menenangkan dirinya sejenak. Matanya bahkan sampai terpejam demi menenangkan dirinya sendiri."Pa, aku mau tanya sesuatu sama Papa ..... Apa Papa lihat ada orang yang mencurigakan yang memasukkan sesuatu ke dalam jus yang aku buat tadi?""Oh, jadi kamu nuduh Papa!" sahut Rivanto dengan geram. Manik mata Rivanto seakan memerah begitu melihatnya. Ia merasa kesal dengan pertanyaan Nara yang seakan menyudutkan dirinya.Padahal Nara tidak bermaksud demikian, ia hanya bertanya baik-baik dan memastikan yang sebenarnya. Walaupun dalam hatinya ia merasa curiga, tetapi ia tetap berusaha menanyakan kepastian sebelum menduga."Bukan nuduh, Pa. Aku cuma menanyakan apa yang membuat aku penasaran, karena aku melihat Mas--...!"Belum selesai Nara bicara, Rivanto sudah memotong ucapan Nara. "Itu buktinya!" Rivanto bersikera
"Papa mau ketemu dengan istriku. Apa dia ada di sini?" tanya Rivanto."Ada, Pa. Tunggu sebentar biar saya panggilkan dulu!" sahut Ardhan sembari bangkit dari duduknya.Ardhan pun melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Ia membuka pintu itu perlahan. Rupanya, di depan pintu sana sudah ada Nara yang tampak khawatir sekaligus penasaran dengan pembicaraan antara Ardhan dengan Rivanto -- Ayahnya."Bagaimana kondisinya sekarang, Nak?" tanya Verra dengan antusias."Dia bicarakan soal apa sama kamu, Mas?" tanya Nara dengan serius.Ardhan pun perlahan menjawabnya satu persatu."Ma, katanya Papa mau ketemu."Tanpa mendengarkan kalimat lanjutan dari Ardhan, Verra pun bergegas masuk untuk melihatnya.Nara menarik tangan Ardhan dan mengajaknya untuk bicara sambil duduk di kursi tunggu itu."Mas, ceritakan sama saya, apa yang Papa katakan sama kamu. Dia tidak mengatakan hal yang aneh-aneh, 'kan?"Ardhan tersenyum senang. Ia menatap lekat-lekat sepasang mata Nara."Papamu sepertinya sudah sanga
Kakek Roland yang yang menyaksikan Verra terduduk lemas di lantai pun bergegas menghampiri."Ada apa? Kenapa?" tanyanya dengan santai. Verra merasa kesal. Dalam hati ia menggerutu sembari menatap wajah Kakek Roland yang penuh ambisi itu.'Kalau bukan karenamu, dia pasti tidak akan mengalami ini? Kenapa dia memiliki Ayah seperti dirimu?' Hidungnya berkerut dengan tangan mengepal di lantai.Air mata itu disekanya dengan tangan. Ia memegang ujung meja dan berusaja bangkit dari duduknya. Walaupun tubuhnya masih terasa lemas, tetapi ia berusaha bangkit untuk pergi menemuinya suaminya yang terbaring di rumah sakit."Kenapa malah diam saja? Beritahu aku kenapa? Ada apa ini?"Verra menoleh. "Suamiku mengalami kecelakaan!" jawabnya ketus.Alih-alih peduli dengan Rivanto, Kakek Heraldo yang mengetahui musibah ini malah menyalahkan Ardhan atas apa yang terjadi."Ini semua karena pria itu! Kalau saja tidak membawa Nara pergi, pasti suamimu tidak akan menyusul mereka sampai mengalami kecelakaan
Setelah suara kecelakaan itu terdengar sangat nyaring, orang-orang yang berseliweran di sana pun langsung terhenti dan menghampiri korban kecelakaan. Terutama mereka berkerumun hingga membentuk lingkaran sembari melihat kondisi Rivanto yang jauh lebih parah dibanding yang mengemudikan mobil.Darah bercucuran dengan banyak robekan pada kulitnya yang membuat orang-orang bersimpati. Tetapi, untungnya dengan gesit ada salah seorang di antara mereka yang langsung menghubungi ambulance."Mas, ayo kita lihat!" ajak Nara dengan antusias.Tanpa menyahut, Ardhan keluar dari mobil itu untuk mengikuti keinginan Nara. Dirinya akan mengusahakan apapun yang Nara inginkan, asalkan itu masih dalam batas wajar.Nara dengan cepat langsung berjalan memasuki kerumunan untuk melihat korbannya. Begitu melihatnya dengan jelas di depan mata. Sontak, tubuh Nara lemas dengan air mata mengalir deras melihat Ayahnya yang dalam keadaan tak berdaya.Ardhan yang mendengar suara tangisan Nara itu segera menghampiri
Tanpa mempedulikan apapun lagi, Nara berlari keluar dari rumah itu. Di susul oleh Ardhan yang melihat istrinya tengah dilanda kekecewaan yang mendalam.Rivanto yang tidak mau Nara benar-benar pergi sampai tidak bisa lagi ia temui pun membuatnya bergegas menyusul. Nara sudah memasuki mobil, begitu juga dengan Ardhan yang terus mengikuti istrinya, karena dirinya tidak mau jika sampai terjadi sesuatu kepada Nara tanpa sepengetahuan dari dirinya."Mas, tolong cepat jalankan mobilnya! Saya tidak mau kalau mereka mengejar saya dan tidak membiarkan saya menemui Mas lagi!" pinta Nara dengan gelisah.Rasa yang semakin tidak karuan membuat Nara seakan ingin menyalakan mobil itu sendiri. Tetapi, sayangnya yang saat itu menyetir adalah Ardhan.Begitu selesai menyalakan mesin mobil, Ardhan langsung tancap gas pergi. Bukan maksud Ardhan membuat Nara durhaka kepada orang tuanya, hanya saja ia juga tidak rela jika melihat Nara tersiksa. Terlebih lagi keadaan istrinya sedang hamil muda."Saya tahu ka
Rico yang ada di luar rumah itu hanya menyimak. Dirinya sama sekali tidak berani ikut campur atas masalah keluarga majikannya."Pokoknya aku tidak setuju! Aku cuma mau Nara menikah dengan pilihanku!" Kakek Heraldo tetap menentang pilihan Nara. "Kamu tahu 'kan Kendra itu seperti apa orangnya? Dia itu anak yang baik dan lebih terpandang! Berasal dari lulusan ternama di luar negeri! Lalu, suamimu apa kelebihannya? Dia belum tentu sehebat Kendra!" sanjung Kakek Roland untuk Kendra di depan Nara, Rivanto dan Verra.Verra yang merasa hanya seorang wanita tidak berani membantah ataupun angkat bicara. Ia hanya terdiam ketika Ayah mertuanya cukup membuatnya geram."Kek! Kenapa Kakek ikut campur dengan urusan pernikahan aku? Tidak bisalah membiarkan aku bahagia dengan pilihanku? Aku mencintai Mas Ardhan, aku juga tidak mau kehilangan dia! Apapun keputusan Kakek, Kakek tidak bisa semena-mena mengatur hidupku! Aku ini juga manusia, bukan piala bergilir yang dapat dengan bebas diperebutkan oleh
Nara memegang perutnya, lalu ia mengelus-elusnya secara perlahan. Rivanto terdiam, ia terus memperhatikan anaknya yang bertingkah aneh baginya."Kamu .... Jangan hilang kamu ....?" Rivanto mulai menduganya. Tetapi, ia belum berani untuk mengatakan hal tersebut."Benar, Pa. Papa tidak salah lagi kalau mengira aku lagi hamil. Sekarang ini aku memang lagi mengandung janin dari Mas Ardhan. Setelah tahu ini, aku harap Papa tidak lagi memikirkan dendam lama Papa. Aku hanya ingin keluarga kita tenang dan damai!" tutur Nara dengan lirih. Nada bicaranya sudah terdengar pasrah. Nara hanya mengusahakan, agar dirinya menjadi tenang. "Tidak Nara! Papa 'kan sudah memperingatkanmu supaya jangan sampai hamil anaknya!"Verra yang tak sengaja mendengar kabar kehamilan Nara itu langsung mendekat dan duduk di samping Nara. "Benarkah, Nak?" Berbeda dengan Rivanto yang kecewa karena Nara mengandung anak Ardhan, Verra malah tampak senang karena dirinya akan memiliki cucu. Sudah sekian lama ia menantikan k
"Bagaimana kalau saya pergi ke rumahmu sekarang untuk membuktikan?" tanya Budiman. Ia tidak sabar untuk membuktikan apa yang sempat Ardhan katakan kepadanya."Baik. Kita pergi sekarang!" Budiman dan Ardhan pun berjalan beriringan menuju lift. Mereka keluar dari lift ketika sudah sampai di lantai paling bawah dan lanjut menuju tempat parkir.Sementara Ardhan dan Budiman perjalanan menuju ke rumah, Nara yang sudah sekitar tiga menit yang lalu pergi. Ia berusaha fokus dan terkadang agak menaikkan kemudi mobilnya, karena ia bepergian tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Ardhan.Ardhan tidak tahu jika Nara sedang pergi. Ia hanya berpikir bahwa Nara beristirahat di rumah.Di jalanan, mobil Ardhan dan Budiman kadang berdampingan karena jalanan sedang tidak begitu ramai. Tetapi, kadang juga Ardhan menyusul dan Budiman hanya mengikuti di belakang mobil Ardhan.10 menit lengang.Ardhan sampai di rumahnya. Mereka menepikan mobilnya masing-masing di halaman rumah itu. Perlahan, Ardhan menu
"Saya serahkan sisanya kepada Anda, Pak! Kalau begitu saya permisi!" ungkap Ardhan. Ia pun melangkah keluar dari sana menuju mobil. Kini, waktunya ia pergi ke kantor karena proyek yang sebelumnya belum selesai.Namun, Nara yang dalam keadaan hamil dan tidak pergi ke kantor pun membuatnya hanya sendirian saja.Setibanya di kantor ....Di kantor itu, sudah ada Budiman -- kliennya yang selalu menginginkan kehadiran Nara di kantor itu."Selamat siang, Pak. Tadi ada klien kita yang ingin bertemu!" ungkap salah seorang karyawan kantor yang mendapat titipan pesan lisan dari Budiman."Baiklah." Ardhan melihat ke sekitar. "Tapi sekarang dia ada di mana?" tanya Ardhan. "Ada di ruang rapat.""Baik, terima kasih."Ardhan pun melanjutkan langkah kakinya untuk menaiki lift yang sebelumnya hendak ia naiki, namun sempat sedikit terganggu oleh karyawan itu.Selama di dalam lift, Ardhan hanya terdiam dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.Ting! Pintu lift terbuka.Ardhan keluar dari san
Hari berganti, Ardhan kembali melanjutkan rencananya. Kini, ia pergi kembali ke kantor polisi untuk menyerahkan rekaman untuk memperkuat bukti yang ada. Dirinya tidak mau membuang-buang waktu dan menunggu lebih lama lagi. Ia mengemudikan mobilnya lebih cepat, hingga tak lama kemudian sampai di tempat tujuannya.Tak lama dari itu, telepon dari Rico masuk. Ia pun lekas menjawabnya.[Tuan, orangnya sudah berhasil ditemukan!]Atas kecerdikan ajudan pribadinya, Rico dapat membawa pria itu ke hadapan Ardhan. Pria itu tidak menyadari jika dirinya sedang dicari, sehingga tidak menyembunyikan dirinya.[Bawa dia ke kantor polisi!]Ardhan memerintahkan itu sewaktu dirinya berada di kantor polisi sendirian. Ia duduk sebentar dan hatinya seolah mengatakan untuk tidak pergi terlebih dahulu.[Baik, Tuan!]Tuuutt. Panggilan berakhir.Ardhan kembali melanjutkan pembicaraannya dengan salah seorang polisi. "Pak, saya sudah memiliki bukti yang lebih kuat dari kemarin. Sekarang Anda tidak boleh berlama-