Hari telah berganti. Perut kenyang membuat Nara tidur pulas. Sampai ia terbangun dan melihat suaminya yang tampak sudah siap pergi."Kamu sudah bangun, Mas?" ucap Nara sembari mengucek matanya yang masih agak rapat karena rasanya memang masih ingin tidur. Rasa kantuknya belum hilang. Entah karena bawaan kehamilan atau apa, yang jelas Nara merasakan perubahan yang berbeda dalam dirinya."Kalau kamu mengantuk tidak apa-apa, kamu tidur lagi saja!" sahut Ardhan sembari mengancingkan lengan pada kemeja yang dipakainya pagi itu.Nara tidak bisa tidur lagi. Ia juga tidak bisa membiarkan Ardhan pergi tanpa sarapan."Saya sudah selesai tidurnya. Harusnya tadi Mas bangunkan saya, supaya saya bisa menyiapkan semuanya buat Mas," ujar Nara yang sedikit kesal akal hal itu.Namun, Ardhan tidak berani membangunkan istrinya. Ia hanya ingin melihat istrinya istirahat dengan nyaman tanpa memikirkan sesuatu yang tidak penting.Nara berjalan ke kamar mandi. Ia mencuci muka dan gosok gigi. Setelah itu, ia
"Jangan pulang duluan, ya. Nanti saya jemput kamu lagi ke sini!" seru Ardhan ketika Nara sudah berada di luar dan berjalan memasuki rumah sakit itu."Iya, Mas!" sahut Nara sembari melambaikan tangannya ke arah Ardhan. Ia memutar tubuhnya dan melanjutkan langkah kakinya kembali.Selepas melihat Nara sudah masuk ke rumah sakit itu. Ia tancap gas pergi untuk melanjutkan rencananya pergi ke rumah sakit yang berbeda dengan yang Nara kunjungi.Sementara itu, Kakek Heraldo mencoba berjalan-jalan di halaman rumah. Ia ingin melihat kondisi belakang rumah yang sudah tidak ia lihat. Namun....Suara aneh terdengar dari dalam pavilliun, ia juga mendengar tanda-tanda seperti ada orang. Dengan cepat, ia bergerak melangkah ke sana. Berjalan mengendap-endap untuk memastikannya. Kriieettt! Kakek Heraldo membuka pintu pavilliun itu secara perlahan."Tuan besar!" seru bodyguard yang berjaga dengan kaget. Matanya membelalak dengan tubuh mematung karena bingung apa yang harus dikatakannya jika sampai memp
Memeriksa kandungan sudah selesai. Ardhan dan Nara pun kemudian memasuki mobil itu untuk pulang. "Saya akan mengantarmu pulang dulu!" ujar Ardhan.Sebetulnya, Nara merasa ingin pergi ke rumah orang tuanya. Ia sangat ingin membicarakan sesuatu mengenai pernikahan yang akan diselenggarakan oleh Kakek Roland."Aku tidak ingin menikah dengan pria itu. Bagaimana cara agar pernikahan yang tidak aku inginkan itu bisa gagal?" batin Nara. Matanya tampak melamun memikirkan hal tersebut.Nara masih memikirkan hal itu karena dirinya memang merasa tidak nyaman akan paksaan tersebut. "Mas ...!" seru Nara dengan nada agak pelan.Ardhan tak kunjung menoleh. Ia masih terdiam. Ardhan memang tengah memikirkan hasil pemeriksaan kesuburan dirinya yang belum sempat ia lihat.Sebelumnya ada niatnya untuk melihatnya sebentar, tetapi ia lebih ingin menemui Nara terlebih dahulu di rumah sakit."Kenapa dia tidak menyahut? Apa marah lagi? Tapi tadi dia baik-baik saja!" gumam Nara.Untuk kedua kalinya, Nara men
Kini, mereka telah sampai di rumah. Ardhan yang sangat penasaran dengan hasilnya pun buru-buru pergi. "Mas Ardhan kenapa buru-buru begitu, ada apa ini?" gumam Nara, ketika melihat suaminya berjalan cepat memasuki rumah. Sedangkan Nara, ia masih di mobil dengan kebingungan terhadap suaminya.Ardhan memang membuat Nara merasa ada sesuatu hal yang aneh. Tetapi, masalah yang akhir-akhir ini terjadi pun Nara sadari bahwa pasti sangat merepotkan."Ardhan, kenapa kamu buru-buru begitu? Mana istri kamu?" seru dari arah samping secara tiba-tiba membuat Ardhan menghentikan langkah kakinya sejenak.Kakek Heraldo mendekati Ardhan dengan membawa rasa penasaran dalam benaknya. "Kamu kenapa buru-buru?" tanyanya sekali lagi dengan serius.Pada saat yang sama, Nara datang. Suara langkah kaki itu membuat Ardhan menoleh dan terdiam. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan Kakek Heraldo, karena sejak awal pun ia tidak ingin jika hal tersebut diketahui oleh Nara."Mas, kamu kenapa?" tanya Nara seraya mendekat.
Keesokan harinya ....Ardhan diam-diam keluar dari rumah itu lebih pagi daripada biasanya. Ia bahkan pergi tanpa diketahui oleh Nara sama sekali. Sengaja ia begitu karena ingin menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa membebani siapapun, termasuk istrinya sendiri."Mas Ardhan pergi ke mana? Kenapa tidak ada?" gumam Nara begitu dirinya bangun dan melihat di sekeliling kamar. Ia juga turun ke lantai bawah untuk mencari keberadaannya.Rupanya, Ardhan pergi ke pavilliun untuk menemui dua wanita yang masih ia tawan. Sebelum melaporkan atas segala kejahatannya, Ardhan ingin mengambil bukti rekaman yang menyatakan bahwa Valencia mengaku segala kejahatan yang dilakukannya terhadap Nara.Di lantai bawah, Nara terus mondar-mandir sembari menggigit kuku. Ia memikirkan suaminya yang pergi begitu saja tanpa izin kepadanya. Biasanya, mau pergi ke manapun selalu bilang."Kamu sebenarnya ke mana, Mas?" gumam Nara.Ardhan yang kini berada di pavilliun itu terus mencoba menginterogasi para tawanannya. I
Valencia berada dalam ketakutan, padahal bodyguard Ardhan pun belum melakukan apapun kepadanya. Tetapi, rupanya gertakan itu membuat Valencia terpaksa mengatakan hal yang sejujurnya. "Baiklah, baik! Aku mengaku! ...."Ardhan yang semula melihat ke arah jendela pun langsung memutar setengah tubuhnya ke arah Valencia.Matanya menatap Ardhan dengan ketakutan. Tetapi, mulut itu seakan sulit untuk mengatakannya. Seolah terkunci karena di sisi lain ia juga takut apabila harus mengendap dalam penjara."Aku melakukan itu karena aku menginginkanmu. Kamu tidak pernah memandang ke arahku karena wanita itu saja yang selalu ada dalam pikiranmu. Aku mencintaimu. Kapan kamu akan membalas cintaku? Oh iya, Mamaku juga sudah sangat setuju untuk menikahkan aku denganmu. Tidak apa-apa aku menjadi yang kedua, asalkan kamu mau menikah sama aku!" tutur Valencia. Ia berbicara seolah tidak peduli dengan resiko yang telah diucapkannya tersebut."Jangan bodoh! Saya tidak mungkin menikahi wanita lain, setelah s
Tini semakin tidak terima ketika mendengar Valencia dengan renyahnya menyalahkan dirinya atas apa yang telah terjadi."Kau 'kan yang melakukan aksi untuk membuat Nara tidak sadarkan diri? Lalu, kenapa malah menyalahkan aku atas semuanya! Kau licik sekali! Bersikap dan menuduh seenaknya seolah akulah penjahatnya di sini!" tutur Tini dengan penuh rasa kesal di matanya.Tini semakin kesal dengan Valencia. Wanita yang awalnya teman baik pun kini menjadi renggang, bahkan mungkin Tini sudah malas untuk berteman dengan orang munafik dan licik seperti Valencia."Tapi, aku cuma melakukan bagianku saja! Bagianmu yang paling banyak!" balasnya, membuat suasana semakin memanas.Ardhan yang sudah tak mau mendengar alasan apapun lagi. Mereka yang terlalu berisik, membuatnya tidak sabar ingin memberikan hukuman yang layak untuk keduanya."Pak Ardhan, tolong saya! Saya tidak ingin dipenjara karena masih punya adik yang harus saya rawat. Tanpa saya, dia pasti bingung karena tidak ada yang merawatnya,"
Ting! Sebuah pesan masuk. Suara ringan itu membuat Ardhan terkesiap untuk mengambil ponselnya yang ada dalam saku celananya tersebut. "Siapa ini?" batin Ardhan ketika merogoh saku celananya.Setelah melihat bahwa itu pesan dari Nara, Ardhan pun langsung membukanya. [ Mas, kamu sekarang di mana? ]Ardhan hanya membacanya sebentar dan menaruh ponsel itu di sampingnya. Ia tidak langsung membalasnya karena dirinya yang masih ada di jalan.Ia mempercepat kemudi mobilnya. Dirinya tidak tahu bahwa Nara sedang menunggu balasan pesan darinya. Namun, ia pun tidak bisa menghentikan mobilnya di jalan begitu saja. Karena keinginannya adalah agar masalah yang dihadapinya ini selesai."Semoga dia mengerti," batin Ardhan.Nara yang ada di kamar pun terus mondar-mandir sembari menunggu balasan pesan dari suaminya. Tak hanya itu, balasan yang tak kunjung datang itu membuatnya tidak tenang dan menjadi lebih sering mengecek ponselnya.Namun, sudah lima menit berlalu pun ia tak kunjung mendapat notifi
"Papa mau ketemu dengan istriku. Apa dia ada di sini?" tanya Rivanto."Ada, Pa. Tunggu sebentar biar saya panggilkan dulu!" sahut Ardhan sembari bangkit dari duduknya.Ardhan pun melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Ia membuka pintu itu perlahan. Rupanya, di depan pintu sana sudah ada Nara yang tampak khawatir sekaligus penasaran dengan pembicaraan antara Ardhan dengan Rivanto -- Ayahnya."Bagaimana kondisinya sekarang, Nak?" tanya Verra dengan antusias."Dia bicarakan soal apa sama kamu, Mas?" tanya Nara dengan serius.Ardhan pun perlahan menjawabnya satu persatu."Ma, katanya Papa mau ketemu."Tanpa mendengarkan kalimat lanjutan dari Ardhan, Verra pun bergegas masuk untuk melihatnya.Nara menarik tangan Ardhan dan mengajaknya untuk bicara sambil duduk di kursi tunggu itu."Mas, ceritakan sama saya, apa yang Papa katakan sama kamu. Dia tidak mengatakan hal yang aneh-aneh, 'kan?"Ardhan tersenyum senang. Ia menatap lekat-lekat sepasang mata Nara."Papamu sepertinya sudah sanga
Kakek Roland yang yang menyaksikan Verra terduduk lemas di lantai pun bergegas menghampiri."Ada apa? Kenapa?" tanyanya dengan santai. Verra merasa kesal. Dalam hati ia menggerutu sembari menatap wajah Kakek Roland yang penuh ambisi itu.'Kalau bukan karenamu, dia pasti tidak akan mengalami ini? Kenapa dia memiliki Ayah seperti dirimu?' Hidungnya berkerut dengan tangan mengepal di lantai.Air mata itu disekanya dengan tangan. Ia memegang ujung meja dan berusaja bangkit dari duduknya. Walaupun tubuhnya masih terasa lemas, tetapi ia berusaha bangkit untuk pergi menemuinya suaminya yang terbaring di rumah sakit."Kenapa malah diam saja? Beritahu aku kenapa? Ada apa ini?"Verra menoleh. "Suamiku mengalami kecelakaan!" jawabnya ketus.Alih-alih peduli dengan Rivanto, Kakek Heraldo yang mengetahui musibah ini malah menyalahkan Ardhan atas apa yang terjadi."Ini semua karena pria itu! Kalau saja tidak membawa Nara pergi, pasti suamimu tidak akan menyusul mereka sampai mengalami kecelakaan
Setelah suara kecelakaan itu terdengar sangat nyaring, orang-orang yang berseliweran di sana pun langsung terhenti dan menghampiri korban kecelakaan. Terutama mereka berkerumun hingga membentuk lingkaran sembari melihat kondisi Rivanto yang jauh lebih parah dibanding yang mengemudikan mobil.Darah bercucuran dengan banyak robekan pada kulitnya yang membuat orang-orang bersimpati. Tetapi, untungnya dengan gesit ada salah seorang di antara mereka yang langsung menghubungi ambulance."Mas, ayo kita lihat!" ajak Nara dengan antusias.Tanpa menyahut, Ardhan keluar dari mobil itu untuk mengikuti keinginan Nara. Dirinya akan mengusahakan apapun yang Nara inginkan, asalkan itu masih dalam batas wajar.Nara dengan cepat langsung berjalan memasuki kerumunan untuk melihat korbannya. Begitu melihatnya dengan jelas di depan mata. Sontak, tubuh Nara lemas dengan air mata mengalir deras melihat Ayahnya yang dalam keadaan tak berdaya.Ardhan yang mendengar suara tangisan Nara itu segera menghampiri
Tanpa mempedulikan apapun lagi, Nara berlari keluar dari rumah itu. Di susul oleh Ardhan yang melihat istrinya tengah dilanda kekecewaan yang mendalam.Rivanto yang tidak mau Nara benar-benar pergi sampai tidak bisa lagi ia temui pun membuatnya bergegas menyusul. Nara sudah memasuki mobil, begitu juga dengan Ardhan yang terus mengikuti istrinya, karena dirinya tidak mau jika sampai terjadi sesuatu kepada Nara tanpa sepengetahuan dari dirinya."Mas, tolong cepat jalankan mobilnya! Saya tidak mau kalau mereka mengejar saya dan tidak membiarkan saya menemui Mas lagi!" pinta Nara dengan gelisah.Rasa yang semakin tidak karuan membuat Nara seakan ingin menyalakan mobil itu sendiri. Tetapi, sayangnya yang saat itu menyetir adalah Ardhan.Begitu selesai menyalakan mesin mobil, Ardhan langsung tancap gas pergi. Bukan maksud Ardhan membuat Nara durhaka kepada orang tuanya, hanya saja ia juga tidak rela jika melihat Nara tersiksa. Terlebih lagi keadaan istrinya sedang hamil muda."Saya tahu ka
Rico yang ada di luar rumah itu hanya menyimak. Dirinya sama sekali tidak berani ikut campur atas masalah keluarga majikannya."Pokoknya aku tidak setuju! Aku cuma mau Nara menikah dengan pilihanku!" Kakek Heraldo tetap menentang pilihan Nara. "Kamu tahu 'kan Kendra itu seperti apa orangnya? Dia itu anak yang baik dan lebih terpandang! Berasal dari lulusan ternama di luar negeri! Lalu, suamimu apa kelebihannya? Dia belum tentu sehebat Kendra!" sanjung Kakek Roland untuk Kendra di depan Nara, Rivanto dan Verra.Verra yang merasa hanya seorang wanita tidak berani membantah ataupun angkat bicara. Ia hanya terdiam ketika Ayah mertuanya cukup membuatnya geram."Kek! Kenapa Kakek ikut campur dengan urusan pernikahan aku? Tidak bisalah membiarkan aku bahagia dengan pilihanku? Aku mencintai Mas Ardhan, aku juga tidak mau kehilangan dia! Apapun keputusan Kakek, Kakek tidak bisa semena-mena mengatur hidupku! Aku ini juga manusia, bukan piala bergilir yang dapat dengan bebas diperebutkan oleh
Nara memegang perutnya, lalu ia mengelus-elusnya secara perlahan. Rivanto terdiam, ia terus memperhatikan anaknya yang bertingkah aneh baginya."Kamu .... Jangan hilang kamu ....?" Rivanto mulai menduganya. Tetapi, ia belum berani untuk mengatakan hal tersebut."Benar, Pa. Papa tidak salah lagi kalau mengira aku lagi hamil. Sekarang ini aku memang lagi mengandung janin dari Mas Ardhan. Setelah tahu ini, aku harap Papa tidak lagi memikirkan dendam lama Papa. Aku hanya ingin keluarga kita tenang dan damai!" tutur Nara dengan lirih. Nada bicaranya sudah terdengar pasrah. Nara hanya mengusahakan, agar dirinya menjadi tenang. "Tidak Nara! Papa 'kan sudah memperingatkanmu supaya jangan sampai hamil anaknya!"Verra yang tak sengaja mendengar kabar kehamilan Nara itu langsung mendekat dan duduk di samping Nara. "Benarkah, Nak?" Berbeda dengan Rivanto yang kecewa karena Nara mengandung anak Ardhan, Verra malah tampak senang karena dirinya akan memiliki cucu. Sudah sekian lama ia menantikan k
"Bagaimana kalau saya pergi ke rumahmu sekarang untuk membuktikan?" tanya Budiman. Ia tidak sabar untuk membuktikan apa yang sempat Ardhan katakan kepadanya."Baik. Kita pergi sekarang!" Budiman dan Ardhan pun berjalan beriringan menuju lift. Mereka keluar dari lift ketika sudah sampai di lantai paling bawah dan lanjut menuju tempat parkir.Sementara Ardhan dan Budiman perjalanan menuju ke rumah, Nara yang sudah sekitar tiga menit yang lalu pergi. Ia berusaha fokus dan terkadang agak menaikkan kemudi mobilnya, karena ia bepergian tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Ardhan.Ardhan tidak tahu jika Nara sedang pergi. Ia hanya berpikir bahwa Nara beristirahat di rumah.Di jalanan, mobil Ardhan dan Budiman kadang berdampingan karena jalanan sedang tidak begitu ramai. Tetapi, kadang juga Ardhan menyusul dan Budiman hanya mengikuti di belakang mobil Ardhan.10 menit lengang.Ardhan sampai di rumahnya. Mereka menepikan mobilnya masing-masing di halaman rumah itu. Perlahan, Ardhan menu
"Saya serahkan sisanya kepada Anda, Pak! Kalau begitu saya permisi!" ungkap Ardhan. Ia pun melangkah keluar dari sana menuju mobil. Kini, waktunya ia pergi ke kantor karena proyek yang sebelumnya belum selesai.Namun, Nara yang dalam keadaan hamil dan tidak pergi ke kantor pun membuatnya hanya sendirian saja.Setibanya di kantor ....Di kantor itu, sudah ada Budiman -- kliennya yang selalu menginginkan kehadiran Nara di kantor itu."Selamat siang, Pak. Tadi ada klien kita yang ingin bertemu!" ungkap salah seorang karyawan kantor yang mendapat titipan pesan lisan dari Budiman."Baiklah." Ardhan melihat ke sekitar. "Tapi sekarang dia ada di mana?" tanya Ardhan. "Ada di ruang rapat.""Baik, terima kasih."Ardhan pun melanjutkan langkah kakinya untuk menaiki lift yang sebelumnya hendak ia naiki, namun sempat sedikit terganggu oleh karyawan itu.Selama di dalam lift, Ardhan hanya terdiam dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.Ting! Pintu lift terbuka.Ardhan keluar dari san
Hari berganti, Ardhan kembali melanjutkan rencananya. Kini, ia pergi kembali ke kantor polisi untuk menyerahkan rekaman untuk memperkuat bukti yang ada. Dirinya tidak mau membuang-buang waktu dan menunggu lebih lama lagi. Ia mengemudikan mobilnya lebih cepat, hingga tak lama kemudian sampai di tempat tujuannya.Tak lama dari itu, telepon dari Rico masuk. Ia pun lekas menjawabnya.[Tuan, orangnya sudah berhasil ditemukan!]Atas kecerdikan ajudan pribadinya, Rico dapat membawa pria itu ke hadapan Ardhan. Pria itu tidak menyadari jika dirinya sedang dicari, sehingga tidak menyembunyikan dirinya.[Bawa dia ke kantor polisi!]Ardhan memerintahkan itu sewaktu dirinya berada di kantor polisi sendirian. Ia duduk sebentar dan hatinya seolah mengatakan untuk tidak pergi terlebih dahulu.[Baik, Tuan!]Tuuutt. Panggilan berakhir.Ardhan kembali melanjutkan pembicaraannya dengan salah seorang polisi. "Pak, saya sudah memiliki bukti yang lebih kuat dari kemarin. Sekarang Anda tidak boleh berlama-