Kikan tersenyum lebar melihat sambutan antusias dari bocah kecil yang ia sukai itu. Lalu membalas pelukan yang Rosetta berikan seraya mengusap punggungnya yang mungil. “Tata seneng banget! Tante, gimana setelah pesta nanti kita makan ice cream lagi?” tanyanya dengan seulas senyum lebar yang menampilkan deretan giginya. “Boleh. Tapi, Tata perlu izin dulu sama Papa.” Rosetta mengangguk antusias. Bocah kecil itu kemudian menatap ke arah ayahnya yang duduk di passenger seat depan lalu meminta izin. Sebenarnya Dewandra sudah menyimak obrolan mereka sedari tadi. Tentu saja ia akan memberikan izin. Rasanya ia tak sampai hati jika harus melarang padahal Rosetta sudah begitu bersemangat. “Papa akan mengizinkan meski kemarin kamu sudah makan ice cream. Anggap hari ini adalah pengecualian.” Rosetta langsung bersorak dan tak bisa menyembunyikan perasaan senangnya sama sekali. Ia pun kembali menghamburkan diri memeluk Kikan yang juga tersenyum senang bersamanya. Melihat hal itu membuat
“Hei, bagaimana dengan pesta nya?” Dewandra menghampiri putrinya yang berdiri di samping Kikan dengan wajah sendu. Sedetik kemudian pandangannya beralih menatap Kikan dan bertanya apa yang terjadi tanpa mengeluarkan suara. Kikan hanya menggelengkan kepala dan menjawab dengan sedikit berbisik saat Rosetta berjalan melalui mereka. “Nanti akan kuceritakan,” ujarnya kemudian menyusul Rosetta yang sudah berdiri di samping mobil sang Ayah. Dewandra tidak tahu apa yang terjadi. Tetapi melihat bagaimana ekspresi putrinya sekarang, ia berasumsi jika sesuatu yang cukup serius baru saja menimpa anak itu. Ia pun ikut melangkah untuk menyusul Rosetta dan Kikan yang sudah menunggu kemudian masuk bersamaan ke dalam mobilnya yang terparkir. Dewandra melirik putrinya yang duduk sendirian di kursi belakang. Bocah kecil itu masih terlihat murung dengan pandangan yang menatap ke jendela. Ingin sekali Dewandra bertanya kepada Kikan namun tak ia lakukan sebab Kikan sudah memberikan kode untuk tidak memba
“Jadi dia menawari kamu pekerjaan untuk jadi pengasuh anaknya? Terus kamu terima ‘kan?” Manda meletakkan cangkir teh miliknya yang sudah kosong ke meja. Ia baru saja menikmati teh hangat dan muffin buatan Kikan yang sudah tak diragukan lagi kelezatannya oleh Manda. Kikan menggeleng pelan. Ia belum memutuskan apakah harus menerima tawaran itu atau tetap melanjutkan pekerjaannya di cafe milik Terry. Sebenarnya ia taramat ingin menerima pekerjaan itu, tetapi ia merasa tidak nyaman hati kepada Terry. “Aku belum memutuskannya. Aku merasa nggak nyaman sama Terry kalau tiba-tiba berhenti,” sahut Kikan terlihat begitu galau. Bagaimana ia tidak galau? Kikan sangat menyukai Rosetta dan entah bagaimana terjadi, Kikan menyadari bahwa ia menyayangi bocah kecil itu. Seolah Rosetta adalah orang paling spesial di hatinya, Kikan merasa ingin selalu berada di sekitar bocah itu. Manda menepuk jidatnya dengan frustasi. “Kusarankan kamu untuk menerimanya. Dia menawarkan gaji yang sangat tinggi. Bertahu
“Tante Kikan!” Rosetta berteriak histeris saat melihat presensi Kikan yang tengah berdiri sembari tersenyum di ambang pintu kamarnya. Bocah kecil itu sama sekali tidak mengira akan melihat Kikan di kediaman mereka. Dengan cepat ia turun dari atas ranjang dan berlari mendatangi Kikan kemudian menghamburkan pelukan. Kikan membalas pelukan Rosetta dengan tak kalah erat dari pelukan yang bocah kecil itu berikan. Keduanya sama-sama terlihat begitu senang dilihat dari tarikan senyum mereka yang begitu lebar. Rosetta bahkan meminta Kikan untuk berjongkok agar ia bisa mendaratkan kecupan hangatnya di kedua pipi Kikan. Sementara tak jauh dari mereka, Dewandra memperhatikan dalam diam. Pria jangkung itu berdiri sembari menyematkan senyuman. Dalam hatinya ingin sekali ikut bergabung dengan kedua orang itu untuk berpelukan. “Tata kangen banget sama Tante Kikan,” seru bocah itu lagi. Senyuman di bibirnya kian melebar dan satu detik kemudian ia kembali melingkarkan pelukan. “Tante juga kangen b
Dewandra masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai sementara tangan kirinya sibuk melucuti dasi serta beberapa kancing kemejanya. Hari ini sungguh melelahkan bagi pria itu. Namun saat kakinya menapak di lorong yang akan membawanya ke ruang tengah, sebuah aroma yang begitu lezat menguar menggelitik hidungnya. Kedua matanya yang sempat lesu mendadak terbuka sedikit lebih lebar dari sebelumnya. Aroma ini. Bukankah aroma ini adalah aroma dari makanan kesukaannya? Dewandra pun memilih untuk bergegas ke dapur dan pria itu langsung tersadarkan dengan keberadaan Kikan yang mengenakan apron merah muda di tubuhnya. Benar juga. Dewandra lupa kalau wanita itu kini bekerja menjadi pengasuh putrinya—uhm, sebenarnya putri mereka berdua. “Hey, baru datang? Maaf kalau aku lancang memasak di dapur kamu. Tapi Rosetta merengek minta dibuatkan makanan.” Kikan membuka suara saat melihat Dewandra berdiri tak jauh darinya. Sementara dirinya sibuk menghidangkan makanan ke atas meja makan. Dewandra segera
“Apa sih yang kamu lakukan, Manda? Kenapa kamu bohong soal pesta ulang tahun Citra?” Tahu apa yang paling menjengkelkan bagi Kikan? Yup! Saat Manda membohonginya untuk hal-hal tidak masuk akal. Dan yang paling membuat Kikan jengkel setengah mati sekarang adalah karena Manda mengatur kencan buta untuk dirinya. Sumpah demi semesta, Kikan tidak mau kencan buta. “Sorry, aku akan memohon pengampunan kamu setelah kita pulang nanti. Tapi untuk sekarang kamu harus segera duduk ke sana karena aku sama Erik sudah bersusah payah mengatur ini.” “Apa? Kamu sama Erik?” Kedua mata Kikan hampir membulat saat Manda menyeret nama Erik ke dalam acara kencan buta ini. Bagaimana bisa pria itu juga ikut terlibat? Kikan benar-benar dibuat meradang. “Pelankan suara kamu. Jadi, pria yang duduk di sana itu temennya Erik. Sekarang kamu ke sana dan samperin dia dengan senyuman. Oke?” Manda mengacungkan kedua telunjuknya lalu mendorong kedua sudut bibir Kikan ke atas hingga membentuk senyuman. Kemudian membali
“Tante!” Kedatangan Kikan di kediaman Dewandra langsung disambut oleh Rosetta yang menghambur ke pelukannya dengan mata sedikit sembap. Di belakangnya terlihat Chiko yang berjalan menyusul kemudian berhenti tak jauh dari mereka. “Maaf karena menghubungi kamu di luar jam kerja. Tapi Rosetta terus merengek meminta saya untuk menghubungi kamu. Saya juga jadi sedikit panik melihat dia menangis ketakutan karena papanya pingsan.” Chiko mengungkapkan penyesalannya. “Bukan apa-apa. Aku paham kamu merasa panik karena Rosetta menangis ketakutan. Akupun sama paniknya saat mendapat telepon tadi.” Chiko mengangguk pelan. “Pak Dewa pasti kelelahan. Jarang sekali dia sampai pingsan seperti hari ini,” ucapnya memberi tahu pokok utama dari semua kepanikan ini. Entah bagaimana jadinya jika seandainya ia tidak datang tadi. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Rosetta. “Lalu bagaimana keadaan Pak Dewa sekarang?” “Dia sudah siuman, sekarang sedang beristirahat di kamarnya. Uhm, dia sedikit kesa
“Kenapa sih kamu selalu bela dia? Harusnya kamu marah karena dia mengacaukan kencan buta itu. Kamu tahu sendiri ‘kan sesibuk apa Vino! Dia jadi buang-buang waktu!” Erik menumpahkan kekesalannya usai mendengar kabar dari Vino bahwa kencan butanya bersama Kikan berakhir dengan cepat karena Wanita itu mendadak harus pergi. “Aku gak bisa marah juga karena sebenarnya kita juga salah di sini. Kita mengatur kencan buta itu tanpa persetujuan Kikan. Sebelumnya aku juga udah bilang ‘kan kalau sekarang Kikan nggak berminat untuk menjalin suatu hubungan, tapi kamu bersikeras karena Vino meminta.” Salah satu kening Erik terangkat sedikit ke atas. Ia merasa tersinggung sebab kini Manda berbalik menyalahkan dirinya. “Oh, jadi sekarang kamu menyalahkan aku? Begitu? Aku benar-benar heran sama kamu. Apa sih istimewanya Kikan sampai kamu selalu bela dia daripada aku!” Helaan napas pelan berembus keluar dari mulut Manda. Sumpah demi semesta Manda tidak ingin ribut dengan kekasihnya karena masalah ini l