*Happy Reading*Reyn dan Malvino masih saling menatap dengan tajam. Seakan saling memperingatkan lewat tatapan masing-masing. Rahang keduanya menegang, tangan pun sudah mengepal keras siap menghajar lawannya. Mereka lalu saling bergerak maju dan ...."Stop, Dude!" Arjuna melerai cepat. Berdiri di tengah-tengah mengangkat kedua tangannya pada arah Reyn dan Malvino. Hingga keduanya berhenti melangkah dengan kompak."Jangan berkelahi di sini. Demi Tuhan, ini rumah sakit! Apa kalian tidak sadar pada sekitar?" Arjuna berusaha mengingatkan. Reyn dan Malvino tidak menjawab. Masih saling melemparkan tatapan tajam. Dengan dada berombak keras menahan emosi."Jika kalian memang sangat ingin berkelahi dan saling membunuh. Maka pergilah ke aula. Silahkan saling membunuh di sana."Shabina langsung menganga tak percaya mendengar kata-kata Arjuna selanjutnya. Gadis itu tak habis pikir dengan pria bule, yang masih sangat tampan di usianya yang tak muda lagi.Orang ingin saling bunuh kok di dukung? Pr
*Happy reading*Seharusnya, aku sudah tak asing dengan situasi ini. Bukannya sebelum ini, aku memang sudah tak pernah bertemu Reyn dan jarang mendapatkan kabarnya? Harusnya, aku sudah terbiasa hidup tanpa kehadirannya, ya kan?Anehnya, kenapa aku tetap merasa kosong, ya? Apa mungkin, ini karena dulu, meski Reyn tidak ada bersamaku dan jarang memberi kabar. Aku tahu dia tetap jadi bodyguardku dan memantau dari jauh. Makanya, meski jauh, aku tetap merasa tak sendirian. Sementara sekarang? Reyn benar-benar sudah menyatakan pengunduran dirinya, bahkan tidak menoleh kebelakang lagi saat tempo hari pergi membawa serta Lovely bersamanya. Ah, Lovely. Jujur saja, aku masih sangat penasaran sama gadis itu. Apa benar dia pacarnya Reyn, seperti yang kudengar dari Si gemoy di telepon tempo hari. Atau, jangan-jangan dia sama sepertiku. Hanya seorang yang Reyn lindungi. Entah kenapa, rasanya hatiku tak ingin percaya jika gadis manis itu pemilik hati Reyn. Gadis itu terlalu ... muda untuk Reyn, me
*Happy reading*"Sebetulnya, saya waktu itu hanya iseng saja melamar kamu. Sekaligus menguji kamu, kira-kira bisa gak saya ajak nikah settingan. Jujur saja, saya sudah pusing dirong-rong Tita waktu itu."Bangsul!Aku baru saja akan menyalak si duda resek itu. Tak terima dengan sahutan kurang ajarnya tadi. Sebelum tiba-tiba Bunda menggebrak meja dengan keras, bahkan langsung beranjak dari duduk seraya menyalak pada si papah. "Settingan! Settingan! Settingan aja terus! Sebenarnya anda ini pengusaha atau artis settingan, sih? Drama banget hidupnya?!"Mamam, tuh! Emang enak diomelin. Lagian benar kata bunda. Si duda itu tuh emang gak mirip pengusaha. Udah mah tukang bikin sensasi, eh hidupnya ternyata penuh settingan. Kan, kalah dah aku yang artis beneran. Eh, mantan artis. Kan udah pensiun dini. Mendengar omelan Bunda yang menggebu, Pak Vino pun hanya bisa menggaruk tengkuknya saja, pasti dia merasa tersindir dan bingung mau jawab apa."Bukan gitu, Tan. Cuma ... cuma ... waktu itu saya
*Happy Reading*"Masih belum nyerah dia?" Intan melirik Pak Vino yang sedang menemani Papa bermain catur di sofa, saat mengunjungiku siang itu. "Begitulah," desahku lelah."Lo gak usir?" Intan kembali bertanya."Udah berbusa mulut gue, Tan. Tapi ya ... gitu, deh." Lagi, aku membuang napas dengan berat."Ego cowok, Tan. Makin ditolak, makin keukeuh." Nurbaeti menimpali seraya asik mengunyah kwaci yang di bawanya. Akan tetapi, benar juga sih yang dikatakan si gemoy ini. Salah satu alasan dia keras kepala sama aku juga karena penolakan aku kali, ya? Namanya sultan biasanya kan apa bae gampang dapaetin maunya? Nah, sama aku malah ditolak. Makanya egonya tercubit. Begitu, kan? Tapi ... ya kali aku harus pura-pura nerima biar dia melepaskan aku. Ih, gak banget. "Tapi, emang lo gak capek di satronin dia kek gini terus?""Bukan lagi!" sahutku cepat. Menyuarakan uneg-uneg yang sudah lama aku pendam. "Seandainya bisa. Gue udah ngungsi kali ke planet Mars biar gak ketemu dia lagi!""Jangan ke
*Happy Reading*Sebenarnya aku tidak ingin terlalu memikirkan ucapan Tita. Bukan karena aku gak percaya atau menuduh Tita bohong. Aku tahu kok, anak kecil tidak akan bohong. Hanya saja, aku gak mau denial lagi. Mencoba tidak terpengaruh untuk kembali meluluhkan hati pada si duda. Okeh, mungkin sedikit rasa bersalah itu ada. Karena aku ternyata selama ini salah mengira. Si duda tidak memanfaatkan. Semuanya atas kemauan Tita sendiri. Lalu, aku harus apa? Itu tidak akan serta merta membuat aku langsung luluh dan membuka hati lagi. Ayolah! Aku sudah dua kali kecewa, loh. Masa aku masih segampang itu buat baper. Iya, kan? Kek gak ada belajarnya sama sekali. Lebih dari itu, aku sendiri ngerasa udah 'B' aja sama si duda. Rasa baper yang pernah aku rasakan dulu, sudah hilang entah kemana. Entah rasa itu akan hilang selamanya, atau hanya sementara. Untuk saat ini, pokoknya aku hanya ingin sendiri dulu. Menata hati kembali dan lebih selektif lagi dalam memilih pasangan. Aku gak mau gagal unt
*Happy Reading* Aku tahu pasti. Pak Vino sebenarnya tidak terima begitu saja nasehat dari si gemoy. Justru dia marah. Terlihat dari kepalan tangan yang sampai memutih buku-bukunya di dua sisi tubuh. Beruntung Papa segera memanggilnya. Hingga debatan ini pun segera berakhir. Huft ... syukurlah. "Wah, Nur. Tumbenan lo bijak. Kesambet apaan lo?" Intan langsung berbisik memuji keberanian Nurbaeti yang memang tidak biasanya. "Kesambet jajanan mahal kayaknya. Kayak kuaci ini aja. Naik pesawat kemaren dia bareng gue. Maklum, kan gue baru balik dari luar negeri." Si gemoy malah menyombongkan diri. Tentu saja, hal itu akhirnya mengundang jitakan Intan pada kepalanya. Juga cubitan di pipi dengan gemas, dan rebutan kuaci yang sedang dipegangnya. "Kalau gitu bagi! Kali Bella bisa mendadak insyaf kalo gue kasih nih kuaci juga." "Alesan aja lo! Palingan gak nyampe ke tangan Bella. Udah abis duluan sama lo di jalan." "Ya kan lo banyak. Minta lagi lah. Pelit banget cuma ngasih satu. Katanya
Beken 73*Happy Reading*"Ken, apa kau tidak bisa menyelamatkan keduanya?" Tuan Darius, mertua Nurbaeti langsung menyambar setelah mendengar ucapan Ammar dalam pelukan sang ibu."Sebagai Dokter. Jelas aku akan mengusahakan yang terbaik sebisaku, Uncle. Hanya saja, aku memberikan penggambaran terburuk untuk Ammar jika kondisi mendesak. Dia harus segera memilih agar operasi istrinya segera bisa dimulai."Ammar menggeleng dalam peluk Mommy-nya. Masih menangis pilu. Sangat jelas jika ini adalah pilihan yang sangat sulit untuknya. Pun semua orang yang ada di sini. Mak Kanjeng bahkan sudah meraung pilu dipelukan Intan. Memukul-mukul dadanya yang pasti sangat sesak dipaksa menerima keadaan ini. Meski Mak Kanjeng dan Nurbaeti jarang akur. Namun, selayaknya seorang ibu. Kondisi Nurbaeti saat ini. Jelas menjadi hal yang sangat menyakitkan untuknya. Bang Al sendiri belum datang. Katanya masih dalam perjalanan. Karena sebelumnya ada pekerjaan di luar kota. "Mar, kau harus segera memilih. Istrimu
*Happy Reading*Rasanya kepalaku mau pecah dibuatnya. Aku denial, pusing dan bingung harus fokus pada yang mana sekarang? Kondisi Tita dan Nurbaeti saat ini benar-benar membuat kepalaku seperti terbelah dua dan bercabang.Ini sudah empat jam berlalu dari kepergian Reyn. Tetapi pria itu belum juga memberikan kabar. Pun dokter yang menangani Nurbaeti. Lampu ruang operasinya masih menyala. Menandakan jika operasi Nurbaeti masih berjalan. Tuhan, tolong selamatkan Tita dan Nurbaeti. Juga anak dalam kandungannya. Jangan sampai sesuatu yang buruk terjadi pada mereka. "Minum dulu, Kak." Sebuah suara tiba-tiba meminta atensiku. Membuat kepalaku sontak mendongak perlahan pada sumber. Kemudian menemukan Lovely yang kini tengah menyodorkan sebuah minuman botol dingin ke arahku sambil tersenyum manis. Tidak ada alasan untukku menolaknya. Akhirnya aku mengangkat tanganku perlahan untuk menerima botol minum tersebut. Kukira, setelah kuterima botol itu. Lovely akan pergi. Ternyata gadis itu malah
*Happy Reading*"Ada elu, Nur? Kapan pulang? Betah banget lo di negeri orang? Eh, gue ngomong begini lo masih ngarti, kagak?" celoteh Mak Kanjeng, saat menemukan aku di Rumah Nurbaeti. Nanti sore akan ada acara perayaan ulang tahun Arshaka, anaknya Nurbaeti. Makanya aku ceritanya sedang bantu-bantu di sini, gaes. Mumpung aku sedang di Indonesia. Mendengar celotehan Mak Kanjeng. Aku nyengir saja. Lalu menghampirinya dan mencium punggung tangannya dengan hormat. "Ngerti dong, Mak. Bahasa betawi kan udah mendarah daging di Nur. Yee kan? Lagian Nur kan nikahnya sama orang Indo juga. Jadi sekalipun tinggal di luar negeri. Kami tetep menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian.""Owh ... gitu." Mak Kanjeng bergumam. "Syukur dah kalau gitu. Jadi gue gak usah buka kamus kalau ngomong sama lo. Soalnya gue pan gak ngerti bahas bule. Taunya yess sama no, doang. Eh, sama money dah gue juga tahu."Dasar Mak Kanjeng. Kalau soal cuan aja. Mau pake bahasa apa pun ngerti aja. Dasar emak-emak. "I
*Happy Reading*"Bang, kayaknya kamu harus mulai miara tuyul, deh.""Tuyul? Buat apa?""Buat tambah-tambah penghasilan biar bisa beli pabrik celana dalam. Aku capek loh beli banyak bisa seminggu sekali. Kamu robekin terus," omelku, seraya memungut kain segitiga yang tadi Aaron robek saat percintaan. Menunjukannya pada pria itu yang kini malah tertawa terbahak di tempatnya."Maaf, Sayang." Aaron menarik pinggangku posesif. "Habisnya tadi udah gak tahan." Dia mencium pipiku dengan mesra. Hilih! Alesan saja. Perasaan mau slow motion atau grasak-grusuk motion pun. Tetap aja memang dia mah sukanya robekin celana aku. Bikin aku keabisan semvak mulu!"Turunin CD gak sampai dua jam loh, Bang.""Tetep lama buat aku, Sayang. Namanya udah gak tahan gimana, sih? Aku gak mau buang satu detik pun buat merasakan kamu, sayang.""Hih! Otakmu itu emang isinya nana nina mulu kalau sama aku." Aku mencibirnya dengan kesal."Emang!" Aaron tak menampik. "Kalau liat kamu, otak aku emang auto pengen ngungkep
*Happy Reading*"Ya! Cukup untuk hari ini. Terima kasih dan see u tomorrow."Akhirnya hari ini berakhir. Aku mendesah lega kemudian segera merenggangkan tubuh sejenak demi untuk meredakan lelah yang menggelayuti tubuh. "Dev?" Celine, asistenku menghampiri seraya menyerahkan ponselku. "Aaron sejak tadi menghubungi," beritahunya, kemudian membuka botol kemasan yang dibawanya untukku. Senyumku pun langsung terurai lebar."Thanks, Celine." Aku menerima minuman darinya dengan senang hati, seraya mengecek ponsel. Ada lima panggilan tak terjawab dari Aaron. Sepuluh chat dari orang yang sama. Sisanya spam operator dan chat-chat dari sahabat, keluarga, dan beberapa nomor baru yang ingin memakai jasaku untuk produk mereka. Ya! Sebulan setelah menikah. Aku memang sudah kembali ke depan kamera. Menjadi model seperti sebelumnya, sekaligus menjadi Brand ambasador prodak kecantikan milik Aika. Mengabaikan nomor-nomor yang mencoba menjalin bisnis, yang pastinya sudah mendapat auto replay untuk
*Happy Reading*"Ya ampun. Beneran gak bisa berenti nangis, ya? Udahan kenapa, Yang? Kasian loh mata kamu." Aaron kembali memberikanku sehelai tissu kering, saat lagi-lagi air mataku mengalir tanpa bisa ku tahan. "Aku juga maunya berenti, Bang. Capek tahu, nangis kayak gini terus. Capek juga benerin riasannya. Tapi ... tapi ... mau gimana lagi. Aku masih gak percaya sama semua yang terjadi. Aku terharu parah. Kamu sih, ngasih kejutannya gak kira-kira! Kan aku ... aku ....""Nah? Nah? Kan? Minum dulu, minum dulu." Aaron lalu memberikan aku sebuah minum di botol. "Udah tahu suara hampir ilang. Masih aja ngomel," tambahnya disela kegiatan membantu aku minum lewat sedotan. "Aku gak ngomel, Abang!" Aku melayangkan protes dengan suara yang sebenarnya udah sengau. Kebanyakan nangis tadi bersama Intan dan Nurbaeti. "Lalu?""Menyuarakan kekesalan sama Abang aja.""Lah? Jadi, gak suka nih sama kejutan dari aku?" tuduh Aaron."Sukalah! Ya kali!" Aku menyahut cepat."Terus?""Gak ada terus-ter
*Happy Reading*Aku sudah siap! Sudah cantik sekali dengan gaun mahal yang Aika bawa, serta riasan sempurna hasil tangan MUA profesional yang juga Aika bawa. Pokoknya, aku sudah siap muncul menghipnotis semua tamu undangan malam ini. Akan tetapi, sayang mempelaiku tak kunjung datang menjemput. Meski ini sudah tiga jam berlalu sejak kepergiannya. Sang mempelai pria masih belum diketahui rimbanya. Membuat aku harus menunggu dengan hati gusar luar biasa. "Ck, ke mana, sih? Perasaan tadi bilangnya gak nyampe dua jam. Tapi ini kok malah gak muncul-muncul? Mana sekarang gak ada yang aktif lagi nomor-nomornya. Minta diuleg emang nih para pria berbiji."Lihat saja! Bahkan Aika yang awalnya santai, kini mulai emosi dan ngomel-ngomel pada ponselnya. Pun Papa yang sudah tidak bisa duduk tenang di tempatnya. Sementara para ibu-ibu, terlihat saling merangkul untuk saling menguatkan.Tolong jangan ditanya bagaimana kondisiku. Karena meski tampilanku sudah cetar membahana mengalahkan ratu sejagad.
*Happy Reading*Seperti yang sudah-sudah. Setelah puas menangis, aku tertidur. Akan tetapi tidak lama. Karena tiga puluh menit kemudian, bunda membangunkanku dan menyuruh bersiap untuk resepsi pernikahan yang akan segera di mulai. Entahlah. Aku gak tahu lagi harus bilang apa sekarang. Aku bingung harus sedih atau senang menerima pernikahan ini. Di satu sisi, tentu saja aku senang. Akhirnya bisa menikah dan melepas masa lajangku dengan pria sebaik Aaron. Akan tetapi di sisi lainnya. Aku juga sedih karena harus menikah secepat ini, tanpa kehadiran sahabat-sahabatku, juga merasakan euforia pranikah seperti mereka. Dari mulai lamaran, menunggu ijab kabul, dan pusing mengurusi pesta pernikahan. Aku kehilangan semua momen itu. Bagaimana tidak. Seingatku aku hanya pingsan seharian, pas bangun semua udah jadi aja. Rasanya kayak ... gimana, ya? Pokoknya aku gak merasakan euforia apa pun dalam pernikahan ini. Meski aku tahu dan mengerti pasti kenapa harus begini jalannya. Tetap saja, rasanya
*Happy Reading*Saat mendengar suara Malvino. Aku refleks mencari pegangan dan meremas tangan Bunda yang kutemukan di pangkuan. Aku takut! Takut sekali!"Coba saja kalau bisa. Gue tunggu!" Berbeda denganku. Sepertinya ancaman Malvino tidak berpengaruh apa pun untuk Aaron. Pria itu menjawab lugas tanpa rasa takut sedikit pun. "Kamu? Siapa kamu? Kenapa ponsel Devia ada pada kamu?" Malvino yang mendengar sahutan ternyata bukan dariku. Tentu saja langsung bertanya dengan penasaran. "Gue suaminya Devia." Aaron masih menjawab dengan santainya. Sementara aku makin gusar di tempatku. Bunda bahkan sampai harus merangkul dan membisikan kata tenang berkali-kali. Karena tanpa sadar tubuhku sudah bergetar hebat mendengar percakapan itu. Sepertinya Malvino sudah membuat aku trauma parah. Bahkan hanya mendengar suaranya saja, aku sudah ketakutan seperti ini. Kepalaku mulai pusing lagi jadinya. "Suami? Jangan bermimpi kamu! Devia itu milik saya! Selamanya akan jadi milik saya!"Tuhan ... pria it
*Happy Reading*"Memang itu tujuannya," sahut Aaron tanpa beban."Eh?"A-apa maksud kamu?" Aku bertanya dengan terbata. Sayangnya, bukannya menjelaskan. Aaron malah tersenyum manis dan mengangkat bahu dengan acuh. Membuat aku kesal sekali. Apa-apaan sih dia. "Ron, jangan becanda. Ini bukan hal yang bisa kami jadikan lelucon!" Tak ayal aku pun langsung menghardiknya. "Siapa juga yang sedang becanda? Aku serius, kok.""Lalu, kenapa--""Serahin aja semuanya sama aku. Aku punya cara sendiri buat ngadepin pria brengsek itu."Sayangnya, jawaban Aaron barusan. Meski disuarakan dengan sungguh-sungguh. Tetap saja tidak bisa membuat aku tenang. Karena Aaron tidak tahu seberapa gila si duda sableng itu. "Serahin semuanya sama kamu? Jangan gila, Ron! Kamu gak tahu seberapa nekadnya dia. Khanza, anaknya dan Tita sudah menjadi korbannya. Aku gak mau kamu juga ... ikut jadi korbannya, Ron. Aku ... gak mau." Aku mencoba menyuarakan kekhawatiranku. Tanpa sadar air mataku menetes lagi. Membayangkan
*Happy Reading*"Eugh ..." Aku melenguh pelan. Saat ingin membuka mata, tetapi tersita oleh denyut nyeri yang berasal dari kepalaku. Sakit dan pusing sekali. Rasanya benar-benar tidak nyaman. Tak lama, aku merasa sebuah tangan memijat-mijat kepalaku. Menghantarkan rasa hangat yang membuat nyaman.Setelah cukup lama. Aku pun bisa membuka mataku. Bunda lah yang pertama aku lihat dengan senyumnya yang sehangat mentari. Namun, matanya membengkak khas orang baru nangis. Kenapa? Ada apa?"Alhamdulilah, Nur. Akhirnya kamu bangun juga," ucap Bunda. Bangun? Aku emang kenapa? Aku melirik sekitarku, dan baru sadar jika ini bukan di kamarku yang ada di rumah Papa. Ini ... kayaknya di kamar rumah sakit. Lah? Kenapa aku di sini? "Bun, akh--ekhem!" Baru saja aku ingin menyuarakan rasa penasaran dalam diri. Tiba-tiba aku tercekat. Tenggorokanku sakit sekali. Seperti kekeringan dan butuh air segera. Seakan mengerti, bunda dengan cepat meraih gelas berisi air putih di nakas, dan membantuku minum