Dara memilih pergi karena tidak mau menanggapi ibu mertuanya lagi, sedangkan Sahrul masih berada di sana karena tidak enak harus pergi juga. “Maafkan anak saya yang pergi begitu saja,” ucap Sahrul. “Ah tidak apa-apa,” jawab Selin. Selin menatap Sahrul dengan lekat, “Pak, sebagai orang tua pasti Bapak berharap yang terbaik untuk Dara. Begitu juga aku, aku ini ibuya Revan, dari Revan kecil aku mengasuh Revan sepenuh hati, menyiapkan masa depannya agar lebih baik. Tapi dia malah menikah dengan perempuan yang tidak aku sukai,” ujar Selin tidak ada malu-malunya sama sekali. “Apa yang salah dengan Dara? Apa karena dia miskin lalu Anda tidak menyukainya?” tanya Sahrul. “Aku ini sedikit malu kalau Dara yang menjadi menantu, Pak. Sampai saat ini aku masih berharap Revan dan Dara berpisah. Revan punya banyak impian, tetapi karena Dara, Revan harus mengubur impiannya. Uang yang Revan cari hanya digunakan untuk pengobatan Kaivan yang tidak murah. Seharusnya tanggung jawab Kaivan itu tanggung
“Dokter, bagaimana keadaan Ayahku?” tanya Dara pada Arhan yang tengah memeriksa Ayahnya. Dara tidak tau Dokter mana pun kecuali Dokter Arhan, pun dengan dokter itu yang menangani Ayahnya saat di rumah sakit. “Sebelumnya Bapak makan apa?” tanya Arhan. “Ayah makan apa?” tanya Dara lagi pada Ayahnya. Sahrul tampak menimang-nimang sebelum menjawab. “Saat saya menyetujui keluar dari rumah sakit, keadaan Bapak sudah membaik. Sel kanker juga sudah diangkat, tidak mungkin kambuh dalam secepat ini. Jadi, muntah dan pusing yang dialami mungkin karena efek makanan,” jelas Arhan. “Minum kopi,” jawab Sahrul. “Ayah minum kopi yang diberikan Selin?” tanya Dara setengah berteriak. Sahrul menjawab anaknya dengan anggukan kepala. “Sudah aku bilang sejak awal untuk tidak meminum apa-apa darinya, kenapa Ayah masih saja minum?” tanya Dara yang kini marah. “Dara, tenang dulu. Lebih baik diadakan cek lab untuk melihat masalahnya,” ujar Arhan melerai. “Untuk cek saya butuh urine dan diambil darahnya,
“Apa yang sudah ibu lakukan pada mertuaku?” tanya Revan mendesis saat keadaan sudah kondusif. Saat ini Digo dan Selin tengah duduk di sofa, sedangkan Revan dan Risya berdiri. “Bisa tidak kalau ibu tidak usah ikut campur dengan urusanku dan urusan Dara? Bisa-bisanya ibu tega mencelakai Ayah Dara,” tambah Revan. “Memangnya kenapa kalau ibu tega? Ibu melakukan ini juga gara-gara kamu,” seloroh Selin yang balik menyalahkan anaknya. “Ibu yang mengurus kamu sejak kecil dan yang menyekolahkan kamu, tapi saat besar kamu tidak mau diatur dan memilih perempuan lain daripada ibumu sendiri. Lihat ini! Perempuan yang kamu pilih membuat pipi ibu sakit. Dia perempuan yang tidak berpendidikan, tidak diajari sopan santun—” “Diam!” bentak Digo membuat Selin menghentikan ucapannya.“Kamu sudah membuat celaka orang dan sekarang kamu tidak mau disalahkan. Sebenarnya wanita apa yang aku nikahi?” tanya Digo menatap tajam istrinya. “Dengan seenaknya kamu membuat rumah tangga anakmu renggang. Sekarang te
“Sekarang kalau kamu ingin mencelakai adikmu sendiri, silahkan bawa adikmu pergi dari sini! Aku tidak peduli lagi dengan urusanmu dan urusan adikmu!” sentak Revan saat Dara terus diam. “Aku akan kembalikan uang—” “Aku tidak butuh kamu mengembalikan uang yang sudah kuberikan. Aku sedekahkan ke kamu yang membutuhkan,” sela Revan dengan cepat. Setelahnya Revan segera pergi meninggalkan Dara dengan perasaan yang sangat kesal, sepanjang koridor rumah sakit pria itu menghapus air matanya. Dara mengusap puncak kepala adiknya yang tengah tertidur, perempuan itu sebenarnya tidak tega membawa adiknya keluar dari rumah sakit, tetapi Dara pun sangat takut kalau adiknya bertahan di sini. “Permisi, Bu Dara,” sapa Alvian yang kembali masuk. “Iya, Dokter,” jawab Dara. “Bu Dara mengajukan rawat jalan untuk Kaivan, pihak rumah sakit menyetujui tetapi dengan syarat ada Dokter yang menangani setiap hari. Saya ditugaskan untuk menjadi Dokter Kaivan,” ucap Dara. “Bagaimana dengan pembayarannya, Dok?
Devano menjadi pembicaraan publik karena dasi yang dia kenakan sangat lucu membuat karyawannya terheran-heran. Bahkan gambar-gambar Devano yang memakai dasi juga tersebar luas di grup kantor. Satu minggu sudah Devano memakai dasi itu membuat orang juga bertanya-tanya darimana asal dasi itu. “Pak Devano, tidak niat ganti dasi?” tanya Gelya pada Bosnya. “Tidak,” jawab Devano seraya menyusuri koridor kantor. Jam masih menunjukkan pukul sebelas siang, tetapi Devano sudah ngebet pengen pulang. “Pak, dasi itu sudah Anda pakai tujuh hari. Kalau tidak ganti-ganti, orang akan mengatakan kalau Pak Devano tidak punya dasi lain. Citra Bapak akan hancur di hadapan klien dan rekan-rekan lainnya,” jelas Gelya. Pasalnya Devano orang dengan tingkat narsis yang paling akut, tetapi malah tidak ganti dasi. “Baunya juga gak enak kalau terus dipakai,” cicit Gelya pelan. Devano mencium dasi itu sejenak, “Masih wangi kok,” jawab Devano. Ya jelas wangi karena bau yang Devano cium adalah bau cinta.“Pak—”
Sudah satu minggu sejak kepergian Dara ke rumah kontrak, sejak saat itu juga Revan merasa tidak semangat menjalani hidupnya. Revan sudah terbiasa ada Dara di sisinya, tetapi Dara malah meninggalkannya. Pun dengan Revan yang kembali gampang marah. Karyawannya di perusahaan tambang lah yang sering menjadi sasaran pelampiasan Revan. Sungguh Revan sangat merindukan istrinya, tetapi dia takut kalau kedatangannya membuat Dara marah. Pun dengan Revan yang ingin tau sampai kapan Dara akan bertahan tanpa dirinya. “Dokter, ini rekam medis pasien ranjang nol sembilan,” ucap Alvian menghampiri Revan yang tengah menatap komputer untuk melihat jaringan tumor pada pasien. “Hem,” terimakasih,” jawab Revan. “Dokter, istri Anda baik-baik saja. Saya sudah memberikan uang pada ibu kontrakan untuk membelikan buah dan makanan enak untuk Dara,” ucap Alvian lagi. “Pastikan Dara tidak tau kalau itu dariku!” tita Revan yang diangguki oleh Revan. Alvian menatap Revan dengan seksama, Alvian tidak tau maksud
Dara berdiri di depan apotik seraya memegang plastik yang berisi beberapa test pack dan vitamin. Perempuan itu merasa kepalanya sangat pening dan sangat berat. Awalnya Dara merasa kalau dia muntah-muntah karena penyakit kanker, tetapi dalam dirinya pengen sesuatu yang harus dituruti. Pun dengan setiap malam Dara ingin sama suaminya. Dara berasumsi kalau dirinya hamil. Saat akan pergi, Dara melihat mobil yang berhenti tepat di depannya. “Dara,” panggil seorang perempuan membuat Dara memalingkan wajahnya. “Dara, kenapa kamu di sini?” tanya Selin mendekati Dara. “Bukan urusanmu,” jawab Dara yang kini memilih pergi. Namun, baru satu langkah Dara merasa kepalanya sangat pusing. “Akhh …” Dara memegangi kepalanya dan satu tangannya bertumpu pada tembok. “Dara, ada apa denganmu?” tanya Selin memegang tangan Dara. Namun, Dara menghempaskan tangan Selin hingga plastik yang Dara bawa terlempar. Selin mengambil bungkusan itu dan melihat isinya. Beberapa test pack membuat Selin menatap ke tu
Semakin lama Revan tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri, pria itu menjadi pecandu minuman beralkohol karena dinilai bisa membuat kesedihannya hilang. Setiap kali ada kabar tentang Dara, Revan selalu menutup telinga, pria itu tidak mau mendengar apapun. Rasa sakit hati yang diberikan Dara terlalu banyak membuat Revan tidak ingin tau menau tentang kabar perempuan itu meski setiap saat Revan mengirimkan banyak makanan untuk Dara. “Kita ke ruang Mawar, Dok,” ucap Alvian pelan yang diangguki oleh Revan. Revan membelokkan dirinya di ruang mawar dan mulai memeriksa pasiennya. “Setelah ini kita kemana?” tanya Revan. “Sudah habis, Dok,” jawab Alvian. Revan memeriksa daftar pasiennya, setelah selesai pria itu memberikan berkasnya pada Alvian. “Selesai,” ujar Revan, setelahnya pria tampan itu melenggang pergi dari ruang rawat pasien. “Dokter, saya ingin mengatakan sesuatu,” bisik Alvian. “Makanan, buah, vitamin sudah dikirim ke rumahnya?” tanya Revan mengalihkan pembicaraan. “Sudah,
Hari ini Dara kesal setengah mati karena suaminya tidak bilang-bilang saat menjemput adiknya, sedangkan dia sudah jalan kaki ke sekolah capek-capek. Sampai pukul dua belas siang, Revan tidak membawa adiknya pulang membuat Dara bingung mau ngapain. Kalau ada Kaivan, Dara bisa bermain dengan adiknya. Dara berusaha menghubungi Revan, tetapi nomor pria itu tetap tidak aktif. Hingga mata Dara memicing saat mengingat ucapan adiknya kalau Revan pernah ditatap oleh Putri tanpa berkedip. Dara mondar-mandir di ruang tamu rumahnya, sesekali perempuan itu melihat hp yang dia genggam. Hingga suara mobil masuk ke halaman rumahnya terdengar. Buru-buru Dara berdiri di depan pintu yang masih tertutup rapat. Suara langkah kaki dan celotehan terdengar, hingga pintu terbuka menampilkan wajah Revan yang kini menatapnya. “Kakak, aku tadi ikut Kak Revan ke rumah sakit. Di sana susternya cantik-cantik. Kenapa pas aku sakit dulu susternya bukan suster itu?” tanya Kaivan. “Masih kecil sudah genit, sana ga
“Aku tidak mau melihatmu lagi. Pergi dari sini!” titah Revan mendesis. “Revan, kedatangan ibu ke sini membawakan buah untuk istri kamu. Ini ibu beli banyak, ada makanan juga untuk Kai,” jawab Selin. “Istriku tidak butuh! Lagipula tidak ada yang menjamin apa buah dan makanan itu bebas dari racun. Aku bisa menjamin kehidupan istri dan adikku sendiri!” desis Revan. Sebenarnya Revan tidak tega mengatakan demikian, tetapi kekecewaan Revan pada ibunya sudah di ujung tanduk. Karena ibunya, hubungannya dan Dara sempat renggang. Revan tidak mau mengambil resiko lagi. “Revan, ibu mengaku salah yang kemarin. Tapi kali ini ibu memang membelikan buah dan makanan untuk kalian tanpa ada niat apapun. Ibu—” “Pergi dari sini!” bentak Revan membuat Selin kaget. Tidak hanya perempuan itu, tetapi juga Kaivan yang kini sangat takut. Dara yang mendengar keributan pun segera keluar, “Revan, kenapa kamu teriak-teriak?” tanya Dara. Dara melihat Selin yang di tangannya memegang kantong plastik dan bebera
Revan merasa kehidupannya yang sekarang sangat menyenangkan. Dimana ada istri di sisinya, ada juga adik iparnya yang menyebalkan. Saat ini Revan tengah sibuk membuatkan susu ibu hamil untuk istrinya, sedangkan istrinya sibuk dengan pakaian baru Kaivan. Hari ini pertama kali Kaivan masuk sekolah, bocah itu sangat antusias karena ini yang dia inginkan“Sudah siap pakaiannya, kamu ganteng banget pakai seragam ini,” puji Dara pada adiknya. “Dara, susunya sudah siap. Diminum gih!” pinta Revan pada istrinya. “Iya, sebentar,” jawab Dara. “Kakak, ini tuh dasinya gak gini. Ini masih miring,” rengek Kaivan karena dasi yang dipakaikan kakaknya miring. Dengan sigap Dara membenarkan dasi adiknya. Revan yang melihat itu segera melepas kancing kemejanya dan mengacak sedikit kerahnya. “Sayang, bajuku berantakan,” rengek Revan bagai anak kecil. Dara menatap ke kerah baju Revan. “Tadi aku lihat sudah rapi, kenapa sekarang kayak gitu?” tanya Dara pada suaminya. “Entahlah,” jawab Revan. Dara meng
“Kaivan, makan yang banyak biar cepet gede!” pinta Devano berusaha menyuapi Kaivan, tetapi Kaivan tetap lari-larian. Malam ini Devano dan Risya mengajak Kaivan ke time zone, Devano ingin Risya melihatnya sebagai pria yang sayang anak-anak agar Risya cepat mengatakan kalau mau menikah dengannya. Namun, Kaivan sangat sulit diajak kerja sama, bocah itu terus lari-larian saking senangnya. Kaivan tidak pernah diajak ke sini oleh kakaknya. “Kaivan, cepet makan!” titah Devano mendekati Kaivan lagi. “Om, tadi Kak Revan kasih aku uang, aku mau main game lempar bola itu,” ujar Kaivan mengeluarkan uang dari sakunya. Devano mengembalikan uang itu lagi ke saku Kaivan. “Om punya banyak uang, jadi Om saja yang bayar. Yang penting kamu makan!” desis Devano terus berusaha menyuapi Kaivan. Risya tertawa geli karena Kaivan tidak mau disuapi, “Makannya jadi orang yang lemah lembut biar anak-anak menyukai. Anak-anak itu jujur, kalau dia tidak mau disuapi tandanya kamu bukan orang yang baik,” oceh Ris
Saat ini Dara tengah menundukkan kepalanya di ruang tamu rumahnya dan Revan, perempuan itu tidak berani menatap suaminya yang kini berdiri di depannya. Melalui ekor matanya Dara melihat sang suami tengah mondar-mandir seraya bersedekap dada. Saat Dara akan melihat lebih jelas, buru-buru Dara menunduk lagi. “Sudah puas kaburnya?” tanya Revan menatap istrinya. “Hem,” jawab Dara. “Sekarang kenapa menemuiku? Apa sudah bosan kabur terus atau sudah—”“Karena aku mendengarmu tengah sama wanita lain, makanya aku datang lagi,” jawab Dara yang kini berdiri dari duduknya. Perempuan yang tadinya malu menatap wajah suaminya kini menjadi berani dan mendorong tubuh Revan hingga Revan menubruk tembok belakangnya. Brak!Dara memukul tembok tepat di sebelah kepala Revan membuat pria itu kaget. “Aku hanya kabur, tidak bercerai denganmu. Saat aku mengatakan pisah, kamu juga tidak melayangkan perceraian padaku. Jadi aku dan kamu masih suami istri. Saat aku mendengarmu sama perempuan lain, jelas aku ke
Dara merasa terancam dengan keberadaan perempuan lain di hidup Revan. Revan bilang hanya menyukainya, tetapi Revan malah sama yang lainnya. Saat ini Dara pulang tanpa membawa barang apapun, juga Dara tidak memberitahu Ayahnya. Sesampainya di rumah Revan, Satpam bilang kalau Revan tidak ada di rumah, alhasil Dara tidak jadi masuk karena tidak berani. “Nyonya, kenapa tidak masuk?” tanya penjaga keamanan itu pada Dara. Sedangkan Dara hanya menggeleng pelan. “Biasanya Pak Revan kalau keluar malam, pulangnya juga larut,” ujar pak Satpam membuat Dara mengangguk. Dara bersiap pergi, tetapi kembali lagi, “Pak, kalau boleh tau dimana perginya Revan?” tanya Dara. “Biasanya kalau malam sih di bar,” jawab pria di depan Dara itu. Dara membelalakkan matanya, ternyata Revan masih sering keluar masuk bar. Perempuan itu menuju ke taksi yang menantinya. Di sisi lain Revan tengah bersama rekan-rekan bisnisnya, pria itu sudah banyak minum, tetapi tidak membuatnya mabuk, sedangkan teman-temannya sud
“Kak Revan, aku kangen Kak Dara,” rengek Kaivan yang saat ini duduk di mobil Revan. Revan yang sudah menjalankan mobilnya pun menatap ke arah Kaivan. Sumpah demi apapun mengurus anak kecil sangat menyebalkan, ini rewel itu rewel. Minta sekolah sudah Revan wujudukan, sekarang malah merindukan Dara. “Aku mau telfon sama Kak Dara, Kak. Kangen banget, kangennya sudah segini,” oceh Kaivan menunjukkan bulatan besar tanda kangennya. “Kalau tau gak bisa jauh-jauh sama Kak Dara, kenapa kamu malah kabur?” tanya Revan. “Kalau aku sama Kak Revan, nanti Kak Dara nyariin, akhirnya kalian ketemu lagi deh,” jawab Kaivan. Revan menggeleng pelan mendengar ucapan Kaivan, masih kecil tapi bisa-bisanya punya rencana untuk menyatukan orang dewasa. “Ini telfon kakakmu, tapi bilang kalau kak Revan gak ada di samping kamu!” titah Revan memberikan hpnya pada Kaivan, pun dengan Kaivan yang menerima hp kakaknya. Bocah itu langsung menghubungi nomor kakaknya yang ternyata disematkan oleh Kak Revan. Di sisi
Sudah beberapa hari Selin mengurus menantunya yang hamil, perempuan itu ikut tinggal menemani Dara meski Dara selalu menolaknya. Sama halnya pagi ini untuk pertama kalinya Selin masak lagi setelah sekian lama selalu mengandalkan asisten rumah tangga. Selin sibuk di dapur, terkadang barang-barang jatuh karena perempuan itu tidak becus sama halnya dengan Revan.Dara berjalan sempoyongan menuju dapur karena haus, sesampainya di sana Dara malah melihat mertuanya bertingkah. Menggoreng telur saja jaraknya lebih dari dua meter.Selin yang melihat Dara pun tersenyum, “Dara, kamu duduk saja di situ, biar Ibu yang menyiapkan sarapan,” ujar Selin.“Sebenarnya apa maumu? Kenapa kamu tidak pulang-pulang?” tanya Dara pada Selin.“Dara, Ibu tau ibu pernah salah, tapi ibu di sini untuk mengurus kamu yang sedang hamil. Ayahmu kerja, kalau sampai ada apa-apa sama kamu bagaimana? Pada siapa kamu meminta tolong?” tanya Selin.Dara memutar bola matanya malas mendengar ucapan Selin. Sedangkan selin memega
“Dokter, ini Kaivan minta ketemu,” ucap Alvian memasuki rumah Revan yang terbuka lebar. Revan yang tengah merapikan bajunya siap pergi pun langsung menghentikan langkahnya. Kaivan berlari menghampiri Revan. “Kak Revan, aku kangen hiks hiks hiks … aku mau sama Kak Revan,” rengek Kaivan yang saat ini menangis sesenggukan sambil memegang kaki Revan. Revan menatap Kaivan yang memeluk kakinya dengan erat, pria itu juga merindukan Kaivan, terakhir kali bertemu dengan Kaivan, bocah itu sudah mulai gembul, tetapi sekarang Kaivan kurus lagi. “Kaivan, kamu tidak banyak makan selama ini?” tanya Revan mengangkat tubuh Kaivan dan menggendongnya. “Aku gak mau makan, aku mau ketemu sama Kak Revan,” jawab Kaivan yang kini memeluk erat leher Revan saat sudah digendong. “Kenapa tidak mau makan?” tanya Revan. Kaivan hanya diam saja dan menyandarkan kepalanya ke pundak Kakak iparnya. “Kak Revan, aku mau di sini. Meski aku disuruh kerja pun aku mau, aku bisa beres-beres, aku juga gak pilih-pilih mak