Dara menangis sesenggukan di depan ruang rawat adiknya, perempuan itu tidak sampai hati melihat keadaan adiknya pasca kemoterapi yang sejak tadi tidur dan kejang. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang, tetapi satu suap nasi pun Dara belum makan.
Dari kejauhan seorang pria berjalan pelan seraya memasukkan kedua tangannya di kantong jas putihnya. Pria itu menatap Dara dengan pandangan yang sulit diartikan, selama Dara datang ke rumah orang tuanya, tidak pernah sekalipun Dara menceritakan tentang adik atau pun kehidupannya. Revan hanya mengira kalau Dara anak orang miskin, tetapi siapa sangka kalau kehidupan Dara terlalu komplek.
Langkah Revan membawa pria itu untuk mendekat pada gadis cantik yang tengah menangis. “Ekhem.” Suara deheman tidak berhasil membuat Dara mendongak.
“Ekhem.” Revan berdehem lagi, tetapi karena tidak mendapat respon dari Dara, Revan menepuk pundak perempuan itu.
Dara tersentak, perempuan itu menatap Revan yang berdiri di depannya. “Ada apa?” tanya Dara yang raut wajahnya terlihat tidak bersahabat.
“Bagaimana keadaan anakmu?” tanya Revan yang ikut sewot. “Anak dari Ayah yang mana?” tanya Revan lagi yang bibirnya mungkin hanya senang melukai hati Dara.
Dara segera berdiri, perempuan itu menatap Revan dengan tatapan tajamnya. “Bukankah semalam kamu sendiri yang bilang kalau kamu yang berhasil mengambil keperawananku? Apa kamu mendadak bodoh sampai bertanya anak dari Ayah yang mana?” tanya Dara dengan tajam.
Revan bersiap membuka bibirnya untuk membalas ucapan Dara, tetapi Dara nyelonong pergi begitu saja meninggalkan Revan. Saat memasuki ruang rawat, Dara melihat adiknya yang membuka mata.
“Kai, kamu sudah bangun?” tanya Dara mendekati adiknya.
“Mual,” rengek Kaivan manja.
“Kamu mau makan apa biar Kakak belikan. Dimsum? donat? Atau mau makan jamur krispi?” tanya Dara.
Kaivan menggeleng tanda dia tidak mau, bocah itu hanya berguling-guling di ranjang karena merasa perutnya sangat mual tetapi tidak bisa muntah.
“Kamu masih sakit, kalau kamu tidak makan ususmu bisa dipotong,” seloroh Revan yang tidak ada lembut-lembutnya sama sekali. Kaivan yang baru menyadari kalau ada orang lain pun segera menatap ke sumber suara. Seketika Kaivan menutup wajahnya dengan dua telapak tangannya karena takut. Revan membulatkan matanya saat melihat respon Kaivan.
“Kai, makan dulu ya!” pinta Dara.
“Gak mau … gak mau … pokok gak mau,” jawab Kaivan terus menolak.
“Siapa yang tidak mau makan?” tanya seorang pria membuat Dara dan Revan menatap ke arah pintu. Dokter Arhan masuk seraya mengusung senyumnya.
Mengenali suara Arhan, Kai langsung menurunkan dua tangannya dari wajah, “Dokter Arhan datang,” ucap Kai terlihat senang.
“Ini, Om bawain kamu dimsum daging,” ujar Arhan dengan senang.
“Aku mau makan … mau makan … mau makan!” pekik Kai senang. Dara mmbantu adiknya untuk duduk agar bisa makan.“Tadi kamu bilang gak mau makan,” seloroh Revan, Arhan menatap Revan dengan pandangan bingung, sedangkan Kai tidak menanggapi sama sekali.
“Ada apa Dokter Revan masih di sini?” tanya Arhan.
“Saya memastikan kalau anak itu dalam keadaan baik-baik saja. Sekarang Dokter yang menanganinya adalah saya,” jawab Revan.
“Sekarang Kai sudah tidak apa-apa, silahkan Dokter Revan kembali memeriksa pasien selanjutnya!” pinta Arhan seraya tersenyum. Setelahnya cowok itu kembali fokus pada Kai untuk menyuapi anak itu makan.
Sedangkan Revan mengepalkan tangannya dan segera pergi dari sana. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar ucapan Dara.
“Dokter, terimakasih ya sudah membawakan makanan untuk Kai. Saya tidak tau harus bagaimana kalau tidak ada Dokter di sini, Dokter selalu membantuku,” ujar Dara tulus.
“Tidak apa-apa, sudah semestinya saya membantu,” jawab Arhan. “Kalau kamu butuh bantuan, kamu bisa memanggil saya kapan saja,” tambah Arhan.
Dara mengangguk senang karena bersyukur dipertemukan dengan Dokter sebaik Arhan, sedangkan Revan berdecih mendengar ucapan Dara. Dara bilang kalau tidak ada Arhan tidak tau nasibnya bagaimana, padahal Dara harusnya berterima kasih padanya, karena uang dari Revan bisa digunakan untuk kemoterapi.
Revan melanjutkan keliling kamar untuk memeriksa pasiennya yang lain. Sedangkan Arhan dan Dara masih di ruang rawat Kaivan.
“Om Dokter, bagaimana cara jadi Dokter?” tanya Kai dengan suara lucu nan menggemaskan.
“Sekolah yang pintar, terus belajar yang rajin. Nanti kalau sudah besar, kamu pasti juga jadi Dokter,” jawab Revan.
“Iya, nanti kalau sudah besar, aku akan jadi Dokter biar gak sakit lagi. Aku akan ke rumah sakit untuk menyembuhkan orang, bukan untuk jadi pasien,” ujar Kai dengan senang. Dara menghapus air matanya yang mendesak turun, perempuan itu mengusap puncak kepala adiknya dengan lembut.
Dara merasa gagal menjadi seorang kakak yang tidak bisa menyenangkan adiknya. Dara masih punya Ayah, tetapi Ayahnya pun sakit-sakitan tidak mampu bekerja. Sedangkan Dara hanya bekerja yang uangnya sangat pas-pasan, padahal Dara sendiri ingin mengobatkan adiknya ke luar negeri agar adiknya cepat sehat seperti sebelumnya, tetapi semua terkendala dengan biaya.
*****
Pukul lima sore Dara menghadapi adiknya yang rewel minta sekolah, Dara ingin berangkat kerja, tetapi tangannya ditahan oleh adiknya.
“Kai, kamu di sini dulu. Nanti Kak Risya datang menjenguk kamu, sekarang Kakak harus bekerja,” ujar Dara menenangkan adiknya yang menangis.
“Gak mau … pokok gak mau ditinggal,” jawab Kai kukuh.
“Kalau Kakak gak bekerja, Kakak gak bisa beliin kamu makanan. Sekarang lepasin baju Kakak!” titah Dara.
“Kakak bekerja terus tapi uangnya gak ngumpul-ngumpul. Kakak bilang akan menyekolahkanku, tapi aku gak sekolah-sekolah. Aku sudah lima tahun, Kakak. Aku pengen sekolah,” rengek Kai yang membuat air mata Dara kembali menggenang di pelupuk matanya.
“Iya, nanti Kakak sekolahkan kamu. Sekarang biarkan Kakak bekerja dulu,” ucap Dara.
“Bohong, Kakak pembohong!” pekik Kai yang kini bertambah menangis kencang. Dara melirik jam dinding yang mepet dengan jam kerjanya karena kebagian shift dua.
“Kakak janji kali ini gak bohong. Besok Kakak bawa kamu ke sekolah,” ujar Dara membujuk.
Bertepatan dengan itu Risya datang membawa banyak coklat dan mainan untuk Kaivan. “Dara, cepat pergi!” titah Risya.
“Titip adikku dulu!” pinta Dara. Setelahnya perempuan itu segera melenggang pergi. Saat keluar ruang rawat, lagi dan lagi Dara harus berhadapan dengan orang yang sangat dia benci, siapa lagi kalau bukan Revan.
Karena tidak mau meladeni Revan, Dara menghindari pria itu. Namun, tiba-tiba Dara merasa kakinya sangat lemah, perempuan itu hampir limbung. Untung dengan sigap Dara berhasil berpegangan pada tembok.
“Dara, ayo ikut aku!” ajak Revan menarik tangan Dara. Dara menahan diri pertanda menolak.
“Menurutlah, Dara!” desis Revan.
“Setelah kemarin, kita tidak ada urusan lagi,” ujar Dara.
“Ingatlah kalau foto-fotomu masih ada di hpku,” ucap Revan seraya menaikkan sebelah alisnya.
“Apa maumu?” tanya Dara mendesis.
“Ke mobilku sekarang!” titah Revan menarik paksa tangan Dara hingga Dara terseok-seok mengikuti langkah pria itu. Hingga sampai di parkiran, Revan memasukkan Dara ke mobilnya.
“Duduk di situ sampai aku kembali! Kalau kamu berani keluar, tau sendiri akibatnya!” titah Revan sekaligus mengancam.
Setelahnya Revan bergegas pergi, sedangkan Dara hanya mengepalkan tangannya dengan kuat karena dia tidak bisa melawan Revan. Dara takut kalau dia macam-macam Revan bisa menyebarkan aibnya. Tidak berapa lama Revan datang membawa satu kotak makanan.
“Makan ini!” titah Revan. Dara menggeleng tanda dia tidak mau. “Aku takut isinya racun,” elak Dara.
“Kalau aku mau membunuhmu, sudah kulakukan sejak kamu menolakku,” jawab Revan.
Suara perut keroncongan berbunyi sampai di telinga Revan, pun dengan Dara yang sangat lapar. Dara menerima kotak makan itu dan memakannya dengan lahap. Tadi Dara seolah tidak mau, tetapi sekarang cewek itu makan seperti orang tidak makan tujuh hari. Revan menjalankan mobilnya sesekali melirik Dara yang masih makan. Hingga lambat laun makanan di kotak itu sudah habis, pun dengan Dara menerima air yang diberikan oleh Revan.
Jam kerja Dara hampir masuk, kalau dalam lima menit Dara tidak sampai di tempatnya kerja, mungkin perempuan itu akan dipecat. Namun, bukannya meminta Revan cepat menjalankan mobil ke tempatnya kerja, Dara malah terlelap dalam tidurnya.
Revan sampai di rumah pribadinya, pria itu turun dari mobil dan bergegas ke samping kemudi. Dengan mudah Revan membopong tubuh Dara dan membawanya masuk ke rumahnya. Revan lah yang membuat Dara tidur dengan mencampurkan obat tidur di air mineral yang diminum Dara. Pria tampan itu tidak berniat buruk pada Dara, hanya saja Revan ingin Dara istirahat malam ini. Karena yang Revan lihat sejak siang Dara hanya duduk menjaga adiknya, padahal semalam baru bekerja keras.
Baru kali ini Dara merasa tidurnya sangat nyenyak. Kasur yang dia tiduri pun sangat empuk seperti bukan kasur miliknya, pun dengan harum yang sangat menenangkan menusuk hidung Dara. Kalau seperti ini rasa nyenyaknya tidur, Dara tidak ingin bangun. “Eum … nyenyaknya,” gumam Dara memeluk guling dengan erat. Revan yang tengah menggulung lengan kemejanya pun menatap Dara yang wajahnya berkali lipat lebih cantik saat tidur. Wajah perempuan itu terlihat sangat polos nan teduh, siapa yang tidak jatuh cinta dengan perempuan secantik itu?Lambat laun Dara membuka matanya, pertama yang Dara lihat adalah ranjang putih bersih serta guling berwarna putih juga. “Aku dimana?” tanya Dara segera mendudukkan dirinya karena merasa ini bukan tempatnya, pun dia harusnya bekerja, tetapi malah terdampar di ranjang. “Syukurlah kamu sudah bangun, aku pikir kamu simulasi di alam barzah,” ujar Revan membuat Dara menoleh. Dara tercekat melihat Revan yang berdiri tidak jauh darinya tengah memakai kemeja dan r
Dara menyambar tasnya dan bergegas keluar dari kamar Revan, sedangkan laki-laki itu keluar kamar lebih dahulu. Saat akan menuju pintu utama rumahnya, hp Dara berdering nyaring. Tergesa-gesa Dara mengambil benda pipih di tasnya, panggilan dari tetangganya. Dara mengangkat panggilan itu. “Ada apa, Mbak?” tanya Dara. “Mbak, Bapaknya dibawa ke rumah sakit karena pingsan di jalanan,” ujar seorang perempuan di seberang sana. Wajah Dara pucat pasi mendengar ucapan tetangganya, perempuan itu berlari menuju pintu utama, sayangnya saat membuka pintu, pintu itu tidak bisa terbuka. Dara berusaha membukanya berkali-kali, tetapi tetap saja tidak terbuka. “Buka pintunya, Revan!” teriak Dara dengan kencang membuat Revan yang tadinya di dapur langsung menghampiri Dara. “Kenapa tergesa-gesa?” tanya Revan seraya tersenyum. “Cepat buka pintunya, aku harus ke rumah sakit sekarang,” ujar Dara memaksa. “Adikmu baik-baik saja,” jawab Revan. “Bukan adikku, tapi Ayahku!” teriak Dara yang terus berusaha
“Dara, katakan apa maksudnya tadi!” titah Risya seraya mondar-mandir di ruang rawat Kaivan yang kini sudah berpindah di ruang Vip. “Tadi Kakaku bilang aku harus menjaga Kakak ipar, dan di sana hanya ada kamu. Kalau bukan kamu, siapa lagi Kakak iparku?” tanya Risya lagi. Kaivan yang memegang mobil mainan pun bingung melihat Kak Risya dan Kakaknya. “Dara, kenapa kamu diam saja?” tanya Risya membuat Dara tersentak. Dara menatap Risya, “Risya, maafkan aku yang sudah lancang jadi Kakak iparmu. Aku tau kalau aku hanya perempuan biasa yang tidak ada apa-apanya daripada keluarga kamu. Aku juga tau kalau aku tidak cocok jadi istri Kakakmu, tapi aku … aku ….” “Kamu mau jadi istri Kakakku beneran?” tanya Risya berbinar senang. Tanpa aba-aba Risya memeluk tubuh Dara dengan erat membuat Dara kaget. Pelukan Risya yang kencang membuat Dara sesak. “Kenapa kamu tidak mengatakan apa-apa padaku saat dekat dengan Kakakku? Dari dulu aku senang sekali saat melihat Kakakku kelihatan menyukaimu. Aku pik
Dara merasa hidupnya sungguh mengenaskan, adiknya belum sembuh dari kanker, kini kanker Ayahnya kambuh lagi, pun dengan orang yang sangat dia hormati kini menghinanya. Mungkin bahasa Selin masih halus mengatakan kalau Revan harus menikah dengan sesama Dokter, tetapi itu sukses membuat Dara merasa rendah diri. “Hei, kamu belum menceritakan tentang hubunganmu dan Kakakku. Bagaimana awal mulanya kamu jadi suka sama dia? Bukankah kamu sering sinis sama dia? Apa yang membuatmu menyukainya?” tanya Risya bertubi-tubi sudah seperti wartawan saja. Saat ini Dara dan Risya berada di mall, Risya lah yang memaksa Dara ikut karena gadis itu ingin menghibur calon kakak iparnya yang kelihatan sedih. “Aku dengar kalian ke rumah orang tuaku. Bagaimana? Ibuku setuju kan?” tanya Risya. Dara hanya diam mendengar ucapan teman baiknya. Gadis itu di ambang kebingungan antara mengatakan yang sebenarnya atau tidak. “Haiyah, pasti Ibuku setuju,” ucap Risya merangkul lebih erat pundak Dara sampai Dara menga
Napas Revan terengah-engah naik turun setelah percintaan panas mereka. Revan sendiri yang mengatakan kalau dia tidak akan memasuki Dara kedua kali, tetapi omongan pria itu hanya bulshit semata, Revan merasa tubuh dara sangatlah candu sampai-sampai ia ingin lagi dan lagi. Saat ini Dara tengah tertidur pulas setelah dua ronde bercinta dengannya. Perempuan itu terlihat kecapean karena keringat bercucuran di keningnya. Revan memiringkan tubuhnya dan menyangga kepalanya dengan siku. Satu tangannya mengelus kening Dara yang penuh dengan keringat, pun dengan cowok itu yang menyelipkan anak rambut Dara ke telinga perempuan itu. Sungguh sejak dulu Revan mengagumi Dara, perempuan cantik, manis dan pekerja keras, sayangnya Dara selalu menolaknya membuat revan membenci gadis itu. “Eughhh ….” Dara melenguh pelan dengan bibir terbuka. Revan menatap bibir Dara yang sangat manis karena sudah dia cium berkali-kali. Tiba-tiba Dara membuka matanya membuat Revan kaget. Revan salah tingkah karena terc
Dara menangis sesenggukan saat Ayahnya kabur dari rumah sakit. Pihak keamanan pun sudah membantu mengecek cctv, tetapi hanya sampai Ayah Dara keluar kamar, arahnya kemana Ayah Dara menghindari lewat daerah yang ada cctvnya. Kini Dara berlari ke penjuru rumah sakit untuk mencari Ayahnya, beberapa perawat turut membantu. Dara berlari ke parkiran, saat membelokkan tubuhnya, Dara terkesiap karena tubuhnya menabrak seseorang. “Eh … maaf … maaf, saya gak sengaja,” ucap Dara menepuk-nepuk dada orang yang dia tabrak, setelahnya Dara bergegas pergi, tetapi tangannya ditahan oleh Revan. “Mau kemana?” tanya Revan. Dara mendongak, “Revan, kali ini jangan menyusahkanku. Aku lagi sibuk,” ucap Dara mencoba melepaskan tangan Revan dari tangannya, tetapi cekalan tangan Revan sangat kuat. Revan melihat gurat kepanikan yang ada di wajah Dara, “Ada apa?” tanya Revan. “Ayahku kabur dari rumah sakit,” jawab Dara. “Dokter Revan, pasien yang dijadwalkan operasi besok pagi kabur. Kemungkinan besar kare
Revan menuntun Ayah Dara masuk ke kamar pria itu lagi. Pun dengan Revan yang menyelimuti Sahrul dengan sabar. “Istirahat dulu ya, Pak. Akan kami atur ulang jadwal operasinya,” ujar Revan. Dara menatap Revan yang terlihat jauh lebih sabar daripada dengannya. Dara merasa melihat Revan sebagai orang lain karena sifatnya berbanding terbalik. “Dara, ayo keluar!” ajak Revan. “Aku mau di sini,” jawab Dara yang tidak ingin kecolongan lagi. Perempuan itu takut kalau diam-diam Ayahnya minggat. “Kalau kamu di sini, kamu membuat Ayahmu tertekan. Aku masih ingat bagaimana kamu marah kayak singa,” seloroh Revan terus menarik Dara untuk pergi. Dara pun menurut dengan Revan hingga Revan membawanya ke kamar sang adik. Di sana Kaivan tengah tertidur pulas dengan selimut yang jatuh karena bocah itu kalau tidur kebanyakan tingkah. Dara mengambil selimut dan bersiap menyelimuti adiknya. Namun, selimut itu diambil paksa oleh Revan. “Eh selimutnya,” kata Dara kaget. Revan menyelimuti tubuh Kaivan,
“Yeeyyy naik balon!” pekik Kaivan dengan heboh saat balon udara sudah terbang. Bocah itu tidak ada takut-takutnya sama sekali saat lihat bawah. “Kakak Dokter hebat banget. Kakakku hanya beliin balon tiup, tapi Kakak Dokter balon beneran,” ucap Kaivan lagi masih bertepuk tangan. Dara mengusap puncak kepala adiknya penuh sayang. Bukan hanya Kaivan yang senang, tetapi juga Dara. Ini impian Dara saat kecil, bisa naik balon udara bersama Ayahnya. Kalau bukan karena Revan, mungkin saat ini Dara tidak bisa naik balon udara. Revan melihat Dara yang tersenyum sambil menatap ke depan, rambut panjang perempuan itu berkibar diterpa angin, wajah Dara dari samping sangatlah cantik sampai tidak membuat Revan berkedip. “Kaivan, lihat! Orang-orangnya kelihatan kecil,” ujar Sahrul menunjuk orang-orang di bawah. Kaivan menatap ke bawah dengan senang, setelahnya bocah itu menatap Dokter Revan yang tengah menatap Kakaknya sampai tidak berkedip. Kaivan sudah tidak takut lagi dengan Revan karena sudah
Hari ini Dara kesal setengah mati karena suaminya tidak bilang-bilang saat menjemput adiknya, sedangkan dia sudah jalan kaki ke sekolah capek-capek. Sampai pukul dua belas siang, Revan tidak membawa adiknya pulang membuat Dara bingung mau ngapain. Kalau ada Kaivan, Dara bisa bermain dengan adiknya. Dara berusaha menghubungi Revan, tetapi nomor pria itu tetap tidak aktif. Hingga mata Dara memicing saat mengingat ucapan adiknya kalau Revan pernah ditatap oleh Putri tanpa berkedip. Dara mondar-mandir di ruang tamu rumahnya, sesekali perempuan itu melihat hp yang dia genggam. Hingga suara mobil masuk ke halaman rumahnya terdengar. Buru-buru Dara berdiri di depan pintu yang masih tertutup rapat. Suara langkah kaki dan celotehan terdengar, hingga pintu terbuka menampilkan wajah Revan yang kini menatapnya. “Kakak, aku tadi ikut Kak Revan ke rumah sakit. Di sana susternya cantik-cantik. Kenapa pas aku sakit dulu susternya bukan suster itu?” tanya Kaivan. “Masih kecil sudah genit, sana ga
“Aku tidak mau melihatmu lagi. Pergi dari sini!” titah Revan mendesis. “Revan, kedatangan ibu ke sini membawakan buah untuk istri kamu. Ini ibu beli banyak, ada makanan juga untuk Kai,” jawab Selin. “Istriku tidak butuh! Lagipula tidak ada yang menjamin apa buah dan makanan itu bebas dari racun. Aku bisa menjamin kehidupan istri dan adikku sendiri!” desis Revan. Sebenarnya Revan tidak tega mengatakan demikian, tetapi kekecewaan Revan pada ibunya sudah di ujung tanduk. Karena ibunya, hubungannya dan Dara sempat renggang. Revan tidak mau mengambil resiko lagi. “Revan, ibu mengaku salah yang kemarin. Tapi kali ini ibu memang membelikan buah dan makanan untuk kalian tanpa ada niat apapun. Ibu—” “Pergi dari sini!” bentak Revan membuat Selin kaget. Tidak hanya perempuan itu, tetapi juga Kaivan yang kini sangat takut. Dara yang mendengar keributan pun segera keluar, “Revan, kenapa kamu teriak-teriak?” tanya Dara. Dara melihat Selin yang di tangannya memegang kantong plastik dan bebera
Revan merasa kehidupannya yang sekarang sangat menyenangkan. Dimana ada istri di sisinya, ada juga adik iparnya yang menyebalkan. Saat ini Revan tengah sibuk membuatkan susu ibu hamil untuk istrinya, sedangkan istrinya sibuk dengan pakaian baru Kaivan. Hari ini pertama kali Kaivan masuk sekolah, bocah itu sangat antusias karena ini yang dia inginkan“Sudah siap pakaiannya, kamu ganteng banget pakai seragam ini,” puji Dara pada adiknya. “Dara, susunya sudah siap. Diminum gih!” pinta Revan pada istrinya. “Iya, sebentar,” jawab Dara. “Kakak, ini tuh dasinya gak gini. Ini masih miring,” rengek Kaivan karena dasi yang dipakaikan kakaknya miring. Dengan sigap Dara membenarkan dasi adiknya. Revan yang melihat itu segera melepas kancing kemejanya dan mengacak sedikit kerahnya. “Sayang, bajuku berantakan,” rengek Revan bagai anak kecil. Dara menatap ke kerah baju Revan. “Tadi aku lihat sudah rapi, kenapa sekarang kayak gitu?” tanya Dara pada suaminya. “Entahlah,” jawab Revan. Dara meng
“Kaivan, makan yang banyak biar cepet gede!” pinta Devano berusaha menyuapi Kaivan, tetapi Kaivan tetap lari-larian. Malam ini Devano dan Risya mengajak Kaivan ke time zone, Devano ingin Risya melihatnya sebagai pria yang sayang anak-anak agar Risya cepat mengatakan kalau mau menikah dengannya. Namun, Kaivan sangat sulit diajak kerja sama, bocah itu terus lari-larian saking senangnya. Kaivan tidak pernah diajak ke sini oleh kakaknya. “Kaivan, cepet makan!” titah Devano mendekati Kaivan lagi. “Om, tadi Kak Revan kasih aku uang, aku mau main game lempar bola itu,” ujar Kaivan mengeluarkan uang dari sakunya. Devano mengembalikan uang itu lagi ke saku Kaivan. “Om punya banyak uang, jadi Om saja yang bayar. Yang penting kamu makan!” desis Devano terus berusaha menyuapi Kaivan. Risya tertawa geli karena Kaivan tidak mau disuapi, “Makannya jadi orang yang lemah lembut biar anak-anak menyukai. Anak-anak itu jujur, kalau dia tidak mau disuapi tandanya kamu bukan orang yang baik,” oceh Ris
Saat ini Dara tengah menundukkan kepalanya di ruang tamu rumahnya dan Revan, perempuan itu tidak berani menatap suaminya yang kini berdiri di depannya. Melalui ekor matanya Dara melihat sang suami tengah mondar-mandir seraya bersedekap dada. Saat Dara akan melihat lebih jelas, buru-buru Dara menunduk lagi. “Sudah puas kaburnya?” tanya Revan menatap istrinya. “Hem,” jawab Dara. “Sekarang kenapa menemuiku? Apa sudah bosan kabur terus atau sudah—”“Karena aku mendengarmu tengah sama wanita lain, makanya aku datang lagi,” jawab Dara yang kini berdiri dari duduknya. Perempuan yang tadinya malu menatap wajah suaminya kini menjadi berani dan mendorong tubuh Revan hingga Revan menubruk tembok belakangnya. Brak!Dara memukul tembok tepat di sebelah kepala Revan membuat pria itu kaget. “Aku hanya kabur, tidak bercerai denganmu. Saat aku mengatakan pisah, kamu juga tidak melayangkan perceraian padaku. Jadi aku dan kamu masih suami istri. Saat aku mendengarmu sama perempuan lain, jelas aku ke
Dara merasa terancam dengan keberadaan perempuan lain di hidup Revan. Revan bilang hanya menyukainya, tetapi Revan malah sama yang lainnya. Saat ini Dara pulang tanpa membawa barang apapun, juga Dara tidak memberitahu Ayahnya. Sesampainya di rumah Revan, Satpam bilang kalau Revan tidak ada di rumah, alhasil Dara tidak jadi masuk karena tidak berani. “Nyonya, kenapa tidak masuk?” tanya penjaga keamanan itu pada Dara. Sedangkan Dara hanya menggeleng pelan. “Biasanya Pak Revan kalau keluar malam, pulangnya juga larut,” ujar pak Satpam membuat Dara mengangguk. Dara bersiap pergi, tetapi kembali lagi, “Pak, kalau boleh tau dimana perginya Revan?” tanya Dara. “Biasanya kalau malam sih di bar,” jawab pria di depan Dara itu. Dara membelalakkan matanya, ternyata Revan masih sering keluar masuk bar. Perempuan itu menuju ke taksi yang menantinya. Di sisi lain Revan tengah bersama rekan-rekan bisnisnya, pria itu sudah banyak minum, tetapi tidak membuatnya mabuk, sedangkan teman-temannya sud
“Kak Revan, aku kangen Kak Dara,” rengek Kaivan yang saat ini duduk di mobil Revan. Revan yang sudah menjalankan mobilnya pun menatap ke arah Kaivan. Sumpah demi apapun mengurus anak kecil sangat menyebalkan, ini rewel itu rewel. Minta sekolah sudah Revan wujudukan, sekarang malah merindukan Dara. “Aku mau telfon sama Kak Dara, Kak. Kangen banget, kangennya sudah segini,” oceh Kaivan menunjukkan bulatan besar tanda kangennya. “Kalau tau gak bisa jauh-jauh sama Kak Dara, kenapa kamu malah kabur?” tanya Revan. “Kalau aku sama Kak Revan, nanti Kak Dara nyariin, akhirnya kalian ketemu lagi deh,” jawab Kaivan. Revan menggeleng pelan mendengar ucapan Kaivan, masih kecil tapi bisa-bisanya punya rencana untuk menyatukan orang dewasa. “Ini telfon kakakmu, tapi bilang kalau kak Revan gak ada di samping kamu!” titah Revan memberikan hpnya pada Kaivan, pun dengan Kaivan yang menerima hp kakaknya. Bocah itu langsung menghubungi nomor kakaknya yang ternyata disematkan oleh Kak Revan. Di sisi
Sudah beberapa hari Selin mengurus menantunya yang hamil, perempuan itu ikut tinggal menemani Dara meski Dara selalu menolaknya. Sama halnya pagi ini untuk pertama kalinya Selin masak lagi setelah sekian lama selalu mengandalkan asisten rumah tangga. Selin sibuk di dapur, terkadang barang-barang jatuh karena perempuan itu tidak becus sama halnya dengan Revan.Dara berjalan sempoyongan menuju dapur karena haus, sesampainya di sana Dara malah melihat mertuanya bertingkah. Menggoreng telur saja jaraknya lebih dari dua meter.Selin yang melihat Dara pun tersenyum, “Dara, kamu duduk saja di situ, biar Ibu yang menyiapkan sarapan,” ujar Selin.“Sebenarnya apa maumu? Kenapa kamu tidak pulang-pulang?” tanya Dara pada Selin.“Dara, Ibu tau ibu pernah salah, tapi ibu di sini untuk mengurus kamu yang sedang hamil. Ayahmu kerja, kalau sampai ada apa-apa sama kamu bagaimana? Pada siapa kamu meminta tolong?” tanya Selin.Dara memutar bola matanya malas mendengar ucapan Selin. Sedangkan selin memega
“Dokter, ini Kaivan minta ketemu,” ucap Alvian memasuki rumah Revan yang terbuka lebar. Revan yang tengah merapikan bajunya siap pergi pun langsung menghentikan langkahnya. Kaivan berlari menghampiri Revan. “Kak Revan, aku kangen hiks hiks hiks … aku mau sama Kak Revan,” rengek Kaivan yang saat ini menangis sesenggukan sambil memegang kaki Revan. Revan menatap Kaivan yang memeluk kakinya dengan erat, pria itu juga merindukan Kaivan, terakhir kali bertemu dengan Kaivan, bocah itu sudah mulai gembul, tetapi sekarang Kaivan kurus lagi. “Kaivan, kamu tidak banyak makan selama ini?” tanya Revan mengangkat tubuh Kaivan dan menggendongnya. “Aku gak mau makan, aku mau ketemu sama Kak Revan,” jawab Kaivan yang kini memeluk erat leher Revan saat sudah digendong. “Kenapa tidak mau makan?” tanya Revan. Kaivan hanya diam saja dan menyandarkan kepalanya ke pundak Kakak iparnya. “Kak Revan, aku mau di sini. Meski aku disuruh kerja pun aku mau, aku bisa beres-beres, aku juga gak pilih-pilih mak