Hari senin pagi yang paling sibuk bagi semua orang dimuka bumi ini membawa langkah kaki Aaron Xavier, pria tampan dengan kharisma paling dicari seluruh stasiun televisi London bertapak sempurna diruang tamu keluarga Giordano. Wajah dingin Aaron tanpa senyum menjadi pembuka pagi itu.
“Aaron, kau pasti bercanda, haha.” Suara tawa Henry pecah saat membaca tuntutan keluarga Xavier pada perusahaan milik keluarganya.
“Proyek yang kau kerjakan untuk keluarga ibu ku memakan banyak korban di Guanabara. Banyak keluarga korban yang melaporkan perusahaan kami pada pemerintah.
“Aaron, bukan pertama kali ini kau bekerja sama dengan ku. Kejadian seperti ini sering terjadi, kita bisa…”
“Jika yang kau maksud adalah membayar keluarga para korban, perusahaan ku sudah mengalami kerugian yang teramat besar untuk membayar mereka. Perusahaan mu harus bertanggung jawab untuk ini.”
“Tapi Aaron…”
“Aku ingin kerja sama ini dibatalkan, tarik orang-orang mu kembali ke London! Atau yang kedua… Bayarkan semua hutang mu pada ku atas kerugian ini. Aku rasa lima puluh persen saham mu cukup untuk membuat perusahaan mu tetap aman.”
Mata Henry membulat sempurna mendengar ucapan Aaron. Alih-alih terkejut dengan penawaran atau lebih tepatnya ancaman dari Aaron, tawa Henry pecah didepan wajah teman baiknya itu.
Kening Aaron mengerut menatap serius pada wajah Henry. Pria itu menggelengkan kepala seolah tidak mempercayai apa yang baru saja di dengarnya.
“Tujuh belas tahun kita berteman Aaron…”
“Henry,” Aaron melangkah maju, mengikis jarak antara dirinya dengan Henry, tinggi mereka yang hampir sama membuat Aaron menatap lurus ke dalam mata hitam Henry.
“You know me so well, tidak ada kata pertemanan dalam bisnis.” Ucap Aaron dengan suara berat yang tegas membuat senyum diwajah Henry menghilang dalam sekejap.
Tidak jauh dengan ekspresi yang ditunjukan Henry, langkah gadis muda yang baru saja masuk dari arah pavilion rumah ini terhenti saat mendengar ucapan pria bernama Aaron Xavier yang merupakan rekan bisnis Henry, kakak angkatnya itu.
“Aaron, beri aku waktu. Perusahaan ku sedang tidak stabil, kondisi Kesehatan mommy ku sedang tidak baik-baik saja saat ini, jika ia tahu maka…”
“Seharusnya kau sudah memikirkan semua itu sebelum mengambil langkah berbahaya, Henry!” Aaron memasukan kedua tangannya dan menatap tajam pada Henry yang berdiri tak berdaya di hadapannya.
“Ya… ya aku salah perhitungan di awal. Kau tahu semenjak dad meninggal aku sendiri mengurus perusahaan ini dan itu tidak mudah karena aku baru ter…”
“Aku juga sendiri mengurus perusahaan ku Henry, jangan membuat alasan! Dokumen pemindahan saham sudah disiapkan oleh asisten ku jika kau bisa…”
“Aaron…”
Iris mata coklat milik gadis cantik di ujung lorong membulat sempurna saat melihat kakaknya jatuh berlutut didepan rekan bisnisnya itu.
Tangan Ayana mengepal keras saat menatap Henry yang menunduk dan terus memohon pada pria berwajah tampan yang nampak begitu dingin di depannya.
"Beri aku waktu, aku berjanji akan segera…”
“Apa yang kau lakukan?” Suara lantang Ayana membuat kedua pria di hadapannya itu segera menoleh menatapnya.
Ayana sudah tidak peduli dengan pakaian yang ia kenakan saat ia melangkah maju mendekati kedua pria itu. Menghadapi tamu paling kurang ajar pagi ini yang mengunjungi rumah mereka.
Dress tidur dengan tali spaghetti berwarna maroon itu membuat Aaron membawa iris matanya menelusuri wajah gadis itu hingga ke ujung kakinya.
“Ayana? Kapan kau kembali?” Henry menatap lurus pada adik angkatnya yang melangkah maju dengan cepat dan menariknya berdiri.
“Kenapa kau berlutut?” Ayana menatap tajam pada Henry lalu sesaat kemudian ia membawa pandangannya pada Aaron yang menarik sudut bibirnya dan tersenyum sinis padanya.
“Ayana?” Aaron menyebutkan nama gadis itu kemudian membawa pandangannya pada Henry. “Dia adik perempuan bungsu keluarga Giordano?” Aaron mengangkat alisnya dan meminta jawaban dari Henry.
“Kakak ku sudah meminta waktu untuk membayar…”
“Berapa lama?” Aaron membawa kembali iris matanya dan bertemu tatap dengan Ayana.
Ayana menelan salivanya pelan saat mendapatkan tatapan intimidasi dari Aaron. Dengan cepat ia berpaling pada Henry dengan kedua bola mata yang memohon agar Henry dapat memberikan jawaban yang masuk akal pada pria licik seperti Aaron.
“Satu bulan.” Jawab Henry membuat Ayana mengatupkan dua kelopak matanya merasa bahwa jawaban itu tidak akan diterima oleh Aaron.
“Terlalu lama!” Sela Aaron.
Sudah Ayana duga, hanya sekali mendengar cara bicara Aaron, melihat penampilan sempurna tanpa cela pria itu, Ayana yakin Aaron bukan pria yang mudah di ajak bernegosiasi.
“Pikirkan cara lain.” Bisik Ayana pelan didekat Henry membuat Aaron menatapnya dengan tajam, seulas senyum kecil tiba-tiba tersirat disudut bibir pria itu.
“Aku punya tawaran ketiga.” Aaron kembali memulai, tatapannya lurus menatap Ayana.
Tangan Henry dengan cepat menggenggam tangan Ayana saat ia mendapati tatapan Aaron menatap dengan cara berbeda pada adik perempuannya.
“Apa itu?” Ayana memberanikan diri untuk bertanya saat kakaknya tak juga kunjung membuka mulut untuk bertanya.
“Ayana naik ke atas!” Tiba-tiba volume suara Henry berhasil mengejutkan Ayana yang berdiri tepat di sampingnya. Nada suara kakak angkatnya terdengar marah dibanding saat ia berbicara dengan Aaron.
“Tidak!” Tandas Ayana kekeuh. Apapun yang terjadi ia tidak akan meninggalkan Henry bersusah payah mengurus perusahaan yang ditinggalkan ayah mereka.
“Ayana, aku bilang naik ke atas. Biar aku urus sendiri masalah ini!” Sentak Henry dengan wajah serius.
Ayana menggelengkan kepalanya saat menatap Henry. “Aku sudah dewasa, aku bukan anak kecil lagi. Dad berpesan agar kita bisa saling menjaga!”
“Aku akan menjaga mu, percayalah. Naik ke atas sekarang!” Henry menoleh dan memegang pundak mulus Ayana.
“Tidak!” Ayana membawa pandangannya lagi pada Aaron. “Katakan tawaran mu yang ketiga.” Dengan berani Ayana kembali menantang Aaron membuat pria itu semakin merasa tertantang menghadapi gadis dengan mata indah di depannya itu.
“Henry, kau selalu tahu apa yang aku inginkan.” Ujar Aaron pada Henry namun dengan tatapan lurus pada Ayana.
Ayana menautkan kedua alisnya tak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Aaron. Dengan cepat ia kembali membawa pandangannya pada Henry.
“Apa maksudnya?” Ayana kembali menuntut penjelasan, bola matanya bergulir menatap Henry.
“Sudah aku bilang kau naiklah ke atas Ayana, kau tidak akan mengerti!” Henry mengangkat kedua tangannya dan menangkup kedua pipi Ayana. Oh ia hampir putus asa saat menatap kepolosan dalam palung mata Ayana.
Iris mata Ayana bergerak gelisah menatap Henry yang seolah ketakutan. Dan pada detik berikutnya, ketakutan Ayana berubah menjadi keberanian untuk melindungi Henry.
“Tidak, aku tidak mau kau berlutut padanya lagi…”
“Naiklah Ayana, sekali ini dengarkan aku!” Keluh Henry putus asa.
“Apa aku harus menonton drama keluarga kalian sepanjang hari ini? Aku punya pekerjaan lain!” Suara dingin Aaron berhasil membuat Ayana kembali menyadari kehadiran pria itu disana.
“Aaron, bisa kah kita bicara nanti?”
“Oh c’mon Henry, aku tidak punya waktu.” Aaron menggulung lengan kemejanya membuat urat-urat tangannya begitu menonjol.
Ayana menatap kesal pada pria angkuh di hadapannya itu. Demi Tuhan, dia kira hanya dia sendiri yang paling sibuk dimuka bumi ini.
“Aku tidak mengerti ucapan mu tadi, katakan pada ku apa tawaran ketiga mu?!” Ayana kembali menantang Aaron.
Rahang Aaron mengeras sempurna saat ia mengangkat kepalanya dan menatap iris mata hasel gadis itu.
“Aaron jangan…”
“Tidurlah dengan ku, Ayana!” Ucap Aaron berhasil membuat kedua tungkai kaki Ayana gemetar. Sedang Henry menatap tajam pada Aaron tak berdaya.
Jika saja pria di depannya bukan Aaron Xavier ia pasti sudah menghajarnya habis-habisan. Tapi jika ia memukul Aaron sekarang, tuntutan pria itu akan semakin besar padanya dan tentu saja itu akan semakin sulit untuk meminta keringanan dari Aaron.
***
To be continued
Senyum smirk yang terukir jelas diwajah Aaron kian melebar saat menatap wajah pucat Ayana. Gadis itu bagai diterjang angin topan paling dashyat tahun ini, ia berdiri terdiam kaku menatap Aaron. Ayana kehilangan kata-katanya. “Ayana, naiklah ke atas biar aku yang mengurus ini!” Henry menahan napasnya demi tidak menerjang Aaron saat ini. Harga dirinya seolah dipermainkan Aaron, orang yang sudah ia anggap sebagai teman terbaiknya. Henry tidak sanggup melihat Ayana yang masih berdiri di sebelahnya, sedang ia tidak mampu melakukan apapun untuk melindungi adik perempuannya. Kedua tangan Henry terangkat menyentuh pundak Ayana demi menarik gadis itu keluar dari keterkejutan yang baru saja menerpanya. Dari sisa kesadarannya kaki jenjang Ayana bergerak untuk mengambil langkah berbalik menuju kamarnya yang berada dilantai dua rumah itu. “Jangan dipikirkan.” Bisik Henry pelan sambil mengusap lembut pundak Ayana. “Sebaiknya kau pikirkan baik-baik. Tawaran ini akan sangat menguntungkan untuk
Aaron mencoba berkonsentrasi pada apa yang harus di lakukannya pada Ayana, tapi gadis itu membuatnya jadi lebih sulit. Ayana hanya mendongak sebentar ke langit-langit kamar dan leher jenjangnya membuat Aaron sudah kehilangan konsentrasinya. Sial, Ayana bahkan belum melakukan apapun tapi ia sudah tidak tahan untuk menyentuh gadis itu. “Kau mau wine?” Tanya Aaron basa-basi, mungkin saja Ayana perlu Alkohol untuk lebih bisa memberanikan dirinya melewati malam panas mereka. Ya, Aaron menyukai wanita yang agresif. Ayana menggeleng pelan membawa pandangannya pada Aaron. “Aku tidak minum alkohol.” Ucap Ayana jujur. Sejak memasuki masa remaja, Ayana didiagnosa punya beberapa alergi pada makanan dan minuman termasuk alkohol. Aaron nyaris tertawa mendengar ucapan Ayana. Ia tidak percaya ada orang di London seusia Ayana yang tidak minum alkohol, oh demi Tuhan gadis ini ingin terlihat polos di hadapannya. Mengabaikan ucapan Ayana, Aaron mengisi gelas lainnya dengan sedikit wine dan melangkah
Wajah pucat, rambut berantakan dengan bekas ruam merah menghiasi permukaan kulit leher serta bagian dada dan perut ratanya, sangat sempurna untuk menjadi pemandangan pertama yang dilihat Ayana pagi ini begitu ia bangun. Bibir bengkak dengan tepiannya yang berhiaskan beberapa luka. Tangan Ayana gemetar saat gadis muda itu mengangkat tangan kanannya dan menyentuh pipi mulusnya. Dua bola mata indahnya berhasil mengeluarkan air mata yang kembali membasahi pipinya. Ayana sungguh berantakan. “Dad… a-aku, aku sudah menghancurkan arti nama yang kau berikan.” Ayana meringis dengan sisa tenaga yang ada, gadis itu berteriak sekencang mungkin dengan sisa tenaga yang ia punya. Ayana Giordano, gadis muda dengan dua bola mata indah itu merangkak turun dengan tubuh gemetar dan mulai mencari satu per satu pakaiannya. Namun lagi-lagi Ayana harus kembali menekuk kedua kakinya dan menangis didekat ranjang saat tak menemukan pakaiannya yang ia kenakan tadi malam. “Dad ampuni aku, hanya ini yang bis
“Kau yakin tidak akan berubah pikiran lagi, Aaron?” Tanya Henry menatap tidak percaya pada Aaron yang berdiri di hadapannya. Ditangan Henry, sebuah dokumen dengan tanda tangan emas milik Aaron Xavier membuat pria itu mengulas senyum lebarnya seolah masih berada dalam mimpi. Aaron mengangguk singkat, iris matanya terlepas dari Ayana yang berdiri tidak jauh dari mereka. “Kau urus sisanya, tapi ingat jangan sampai terburu-buru lagi seperti kemarin. Kau hampir membuat banyak karyawan mu kehilangan pekerjaan.” Tandas Aaron membuat Ayana yang mendengarnya nyaris menumpahkan seluruh isi perutnya. Oh pria itu bertingkah seolah ia adalah penyelamat seluruh umat. Bahkan lebih baik dari seorang pendeta. Ayana memegang erat ujung gaunnya selama perbincangan Aaron dan Henry berlangsung. Seluruh tubuhnya sakit, namun ia masih harus memastikan bahwa apa yang dijanjikan Aaron benar-benar ditepati oleh pria itu. Sekian detak jantung perbincangan Aaron dan Henry terkait kerjasama bisnis antara
Sepanjang hidupnya, ini kali pertama Ayana benar-benar sangat kesal pada kakaknya, Henry. Tidak hanya menjamu Aaron dengan makan malam, Henry juga mengajak Aaron mengobrol santai didekat kolam dibelakang rumah mereka yang mengarah ke jembatan kota yang mewah. Dan yang paling menyebalkan adalah mau tidak mau ia harus ikut. Ia duduk disana seperti orang bodoh yang tidak mengerti apa-apa. Ketiga orang itu terlibat percakapan bisnis yang sedikit sulit dipahami Ayana. Ayana hampir menguap lebar saat panggilan suara dari Mattew seperti utusan dari surga yang baru saja menyelamatkan nyawanya. “Halo Mattew,” Jawab Ayana sengaja mengeraskan suaranya demi bisa berjalan menjauh dari ketiga orang yang sekarang sedang menatapnya itu. Baiklah mereka pasti akan mengerti ia sedang menjawab telepon masuk bukan? “Mattew, kau memang benar-benar menyelamatkan ku…” Ayana menghembuskan napas panjang dengan perasaan lega dan baru saja ingin kembali bersuara ketika suara panik Mattew terdengar menyambut
Bunyi denting detik waktu yang terus bergema ditelinga Ayana malam ini menjadi sesuatu yang terasa menyebalkan untuknya sekarang. Ia berdiri dengan gelisah didepan pintu pemeriksaan menunggu Mattew yang sedang menjalani konsultasi dengan psikiaternya dan juga bocah kecil yang ia bawa kemari tadi bersama Aaron. Oh ya, berbicara mengenai Aaron, entah dimana pria itu. Ayana menyisir rambut tebalnya dengan jemari lentiknya sebelum kepalanya mulai bergerak mencari keberadaan Aaron. Bagaimanapun ia harus mengatakan terima kasih kepada pria itu. “Apa dia sudah pulang?” Tanya Ayana mencoba menebak-nebak. Kaki rampingnya terus melangkah menuju ujung lorong rumah sakit hingga sesuatu berhasil mengagetkannya. “Awhh...” Lagi-lagi Ayana ingin mengutuki malam sial ini. Oh demi apapun entah mimpi buruk apa yang ia alami dimalam terakhir saat ia berada di Los Angeles. Ayana menelan ludahnya buru-buru sebelum melepaskan tangan kekar Aaron dari pinggangnya. “Kau suka sekali jatuh di dekatku.” Sin
Setelah di antar oleh Aaron di kamis malam minggu lalu adalah terakhir Ayana bertemu dengan pria arogan itu. Syukurlah karena ia bisa menjalani seminggu yang tenang meski masih harus bolak-balik mengkhawatirkan Mattew yang masih terus melakukan konseling dengan psikiaternya. Ayana menarik sudut bibirnya setelah salah satu pasien yang di tanganinya keluar dari ruangan. Baru empat hari ia mulai bekerja di rumah sakit ini dan rasanya ia seperti bertemu dengan rumah baru yang terasa nyaman. Waktu menunjukan pukul dua siang dan Ayana baru menyadari bahwa ia belum makan apapun dari pagi. Sudut matanya menatap ke jam dinding yang tergantung tidak jauh dari depan meja kerjanya. “Hm, sebentar lagi shift nya selesai. Sepertinya makan roti sedikit saja cukup.” Ucap Ayana bermonolog pada dirinya sendiri, tangannya kembali menarik rekam medis pasien yang tadi diserahkan oleh perawat. Ayana baru menghabiskan beberapa menit untuk membaca dokumen yang di pegangnya ketika terdengar ribut dari luar
Ayana hampir memuntahkan seluruh isi perutnya yang sebenarnya kosong saat mendengar ucapan Aaron. Apa pria itu sedang merayunya? Oh c’mon ini terasa menijijikan. “Maksudku, aku bahkan belum mulai membersihkan darah di tanganmu dan kau sudah takut aku hanya akan membuat mu merasa sakit?” Aaron tersenyum smirk meledek Ayana. Bola mata Ayana jelas sudah tersirat rasa jijik disana. Kedua alis mata Ayana bergerak naik seolah tidak percaya pada ucapan Aaron. “Sebaiknya kau pergi, ini hanya luka kecil. Sebentar lagi pasien ku akan datang.” Ayana kembali menarik tangannya namun bukan Aaron Xavier jika ia akan melepaskannya begitu saja. “Dokter, jangan ragu. Aku bisa mengobatimu jika lukanya sekecil yang kau bilang ini.” Balas Aaron dengan lebih serius sebelum mulai membersihkan goresan yang sudah mengeluarkan banyak darah itu. Ayana menggigit bibirnya dan memilih untuk memercayakan tangannya pada Aaron yang terlihat sangat serius. “Kau ada urusan disini?” Tanya Ayana basa-basi, ia harus