Angin dingin berembus melalui celah-celah ventilasi kamar kos Laila. Mengusik tidurnya yang entah sudah berapa lama. Rasa-rasanya ia baru saja memejamkan mata. Laila mengerjap, “jam berapa ini?” tangannya bergerilya menyuruk ke bawah bantal mencari ponselnya. “baru jam 5 pagi.” Gumamnya. Ia masih ingin tidur, tapi pikirannya tak mau diajak berkompromi. Tiap ia memejamkan mata, suara Malik yang mengancamnya dengan menikah terdengar nyata di telinga. Dan setiap suara itu muncul di kepalanya, ia secara reflek mengumpat. Laila hampir saja frustasi, hari ini adalah hari terakhir tenggat waktunya. Ditambah ia mendapat ancaman soal menikah. Ancaman? Sebenarnya akan mempermudahnya atau akan menyulitkannya? Laila mendesah. Lalu mengambil bantal tidurnya, membekap wajahnya sendiri dan berteriak sekencang mungkin sampai Laila kembali menangis. Sebenarnya bukan hanya itu yang membuatnya takut, tapi soal apakah Malik memberitahu orang tuanya soal hutang ganti rugi sebesar 50 juta itu. Orang tua
Entah sejak kapan Laila melupakan soal lilitan hutang yang menjeratnya, karena fokusnya selama perjalanan hingga sampai di ruangan besar direktur itu hanya satu. Tentang Malik yang mengunjungi orang tuanya dan memintanya menikah dengannya. Dan sekarang, saat satu kenyataan awal mula dari semua kerumitan dihidupnya menyadarkannya, Laila semakin gelisah. Rasa percaya diri yang dia bangun sudah melemah sejak bertemu dengan papa Malik dan kini kian menipis. Laila menghela nafas dan menghembuskannya pendek. Dan.. “aku hanya butuh waktu sebentar lagi darimu, dan.. orang seperti dirimu tanpa uang 50 juta itu ku rasa kamu tak akan kelaparan—” katanya yang langsung dipotong oleh Malik. “jadi maksudmu kamu mau menghindar dari tanggung jawabmu?” tukas Malik. Mustahil Malik akan dengan mudah memberikan kompensasi waktu baginya. “aku hanya minta tambahan waktu, aku tidak akan lari, kalau aku memutuskan lari seharusnya sudah kulakukan sejak awal.” Suara Laila meninggi. “menikah denganku dan hu
Laila memasuki lift rooftop dengan sisa-sisa air matanya yang menggenang. Saat lift itu mulai menuruni satu per satu lantai gedung itu, Laila menetapkan hati, memupuk rasa percaya diri kembali, menghapus dengan benar sisa air matanya lalu mendongak menatap depan. Laila masih percaya bahwa dia belum kalah. Ia masih percaya bahwa masih banyak jalan yang akan membantunya keluar dari masalah pelik ini tanpa harus dengan menikahi Malik. Tidak. tidak akan. Sesampainya di lobi kantor gedung itu tepatnya di samping meja resepsionis, langkah Laila terhenti karena sapaan sang karyawan. “mbak..” sapa wanita itu. “iya, ada apa?” tanya Laila. “maaf untuk yang tadi, saya tidak tahu kalau mbak ini ternyata calon istri pak Malik, maafkan kelancangan saya.” Kata si embak itu. Laila melebarkan matanya. Calon istri? Kata siapa Laila sudah menyanggupi? Dan apa ini? Siapa yang membuat informasi asal seperti ini? Gigi Laila bergemelatakan tapi bibirnya menyunggingkan senyum palsu pada si karyawan itu
Dua hari sebelum hari H. Pak Agung memasuki kamarnya dan menjatuhkan dirinya di ranjang. Istrinya masih sibuk di depan cermin dengan beberapa macam botol skincare dan krim malam. Pak Agung menunggu sambil memainkan game di ponselnya. Beberapa saat melirik istrinya yang sudah selesai perawatan dengan menepuk-nepuk pelan wajahnya sendiri. Istrinya sudah selesai perawatan malam. “Ma.. Papa mau ngomong. Sini.. duduk dekat Papa.” Panggilnya. “ada apa sih? serius amat?” Mama Malik menatap menyelidik, nada bicara suaminya serius meski wajahnya berbinar meragukan. Mama Malik mendekat dan menyingkap selimut duduk bersandar headboard di dekat suaminya. “kita semakin tua, Ma. Papa sangat ingin memiliki mantu dan segera menimang cucu.” Katanya. “tiba-tiba?” Mama mengernyit heran. “bukan tiba-tiba, Malik juga sudah semakin dewasa sudah waktunya menikah, apalagi Dika, Papa sudah pasrah padanya. Apa Mama nggak mau punya cucu?” “ya mau, Pa. Tapi malik nya aja kaya gitu kayak nggak tertarik sam
Laila baru tiba di rumahnya. Laila mendelik, dahinya mengernyit penuh tanda tanya. Ia menoleh kanan kiri. Rumahnya tak seperti biasanya. Tenda-tenda yang sudah dilapisi renda-renda berwarna putih didirikan di memenuhi halaman rumahnya. Laila melangkah pelan dan ragu, hatinya dipenuhi tanda tanya tentang situasi apa yang sedang terjadi.Tenda itu biasanya digunakan saat orang menggelar pesta pernikahan. Tapi di rumahnya siapa yang akan menikah?Perlahan kakinya melangkah melalui pintu samping yang langsung terhubung dengan dapur. Lagi-lagi Laila dibuat heran. Banyak ibu-ibu disana. Duduk menjadi beberapa kelompok. Ada yang menunggui tungku, ada yang sedang mengupas bawang-bawangan, sayur-sayuran, ada yang sedang mempersiapkan bumbu masakan. Laila terdiam di ambang pintu. Mengedarkan pandangannya mencari sosok Ibunya.“sudah sampai, Nak? Masuklah, istirahat dulu, nanti Ibu bawakan makanan ke kamarmu.” Titah Ibu kalem. Seakan mengerti dengan keterkejutan Laila tapi enggan memberi penjela
“kita mau kemana sih? kenapa harus pakai batik-batik gini? woy, jawab!” usik Saka di dekat Denis yang sedang menyetir.“udah diem, lo akan tau nanti. Kayaknya hari bersejarah ini akan sulit dilupakan.” Jawab Denis santai di depan kendali setirnya. Tadi malam Denis sudah menghubungi Saka, memintanya mengosongkan waktu dan memakai setelan batik. Saka tak mengerti apa mau sahabatnya itu, pertanyaannya tak ada satupun yang dijawab. Saka hanya diminta menurut dan ikut.“apa sih! ini jalan ke rumah Malik. Memangnya ada apa di rumah Malik? Malik enggak ada bilang apapun ke gue.” Tebak Saka.“nanti anda akan mengetahuinya Bapak Saka. Mohon bersabar agar saya fokus pada pekerjaan dadakan ini.” Jawab Denis.Saka semakin mengernyit heran sampai menggeleng-gelengkan kepalanya. Aneh. Lalu ia memilih diam dan membuang pandangannya ke samping kirinya.Keluarga Malik sudah bersiap di halaman carport mereka saat Saka dan Denis tiba. Saka semakin bingung, berkali-kali meminta penjelasan melalui tatapan
Malik sudah siap dengan memakai jas berwarna hitam lengkap dengan boutonnier yang tersemat di saku jas sebelah kirinya. Masih antara sadar atau tidak, sebenarnya Malik mempersiapkan pernikahan dadakan serta penuh keterpaksaan itu dengan matang dan apik. Seperti pernikahan yang memang sudah menjadi angan-angannya. Tapi Malik tak sadar akan hal itu.Dia terlihat sangat antusias tapi dia sendiri tak menyadarinya. Dia memilih cincin pasangan itu sendirian, datang langsung ke toko perhiasan sendirian. Memesan dan membayarnya sendirian.Malik tak sadar apa yang dilakukannya. Egonya berkata ini semua hanya demi memenuhi keinginan papanya.Jas setelan yang ia kenakan senada dengan warna jas sang Papa. Sedangkan Mamanya mengenakan kebaya brokat tile berwarna peach bergaya Bali modern.“ayo, Pa..Ma..” gegas Malik, sementara Papa dan Mama nya masih menikmati sarapan sederhana sebagai pengganjal perut selama perjalanan.“sudah nggak sabar?” sindir Pak Agung.“bukan gitu. Tapi perjalanan kesana bu
Laila sudah sejak tadi merebahkan badannya di atas ranjang empuk miliknya, tapi ia belum bisa memejamkan matanya meski tubuhnya lelah tak ada tenaga bersisa. Laki-laki yang tadi siang mengucapkan janji pernikahan padanya belum juga terlihat. Laila memiringkan tubuhnya menghadap dinding. Tak lama kemudian terdengar suara dari ruang keluarga.Suara Malik.Malik sedang berbincang dengan orang tuanya. Laila menggeliat sebentar, menajamkan telinganya dan tetap bertahan dari posisi awalnya, tak bergerak sama sekali. Matanya sesekali mengerjap seolah dengan begitu telinganya bisa mendengar dengan lebih baik.Terdengar suara Malik yang meminta ijin membawanya pergi esok hari. Malik akan membawanya ke rumahnya secepatnya. Lalu terdengar juga suara bapaknya dengan pesan-pesan orang tua itu. Laila menitikkan air matanya. Dan semakin terisak saat mendengar kalimat terakhir dari bapaknya. Meski samar, tapi Laila bisa mengerti kalimat itu. Dadanya terasa sesak jika mengingat statusnya sekarang. Beg
Beberapa bulan kemudian.Tangis balita memenuhi ruangan. Suaranya menggema riuh rendah, padahal hanya satu bayi. Cucu kebanggaan Keluarga Bagaskara telah hadir di tengah-tengah kesunyian yang melanda rumah besar itu.Bu Lina bahagia luar biasa, ingin rasanya terus menimang-nimang kalau saja ia bisa. Sayangnya, ia sudah harus beristirat tidak diperbolehkan terlalu lelah oleh dokter. Sejak sebulan yang lalu Bu Lina harus kembali menggunakan tongkat untuk membantu berjalan dan kursi roda jika diperlukan, beliau terpeleset sewaktu di kamar mandi, dan riwayat patah tulang dahulu kala menjadikan kecelakaan kali itu bukan hanya terpeleset biasa. Tapi membuka luka lama dan memperparahnya.Padahal ingin sekali ia menikmati waktu menimang-nimang cucu satu-satunya saat itu.Sambil terus bersemoga agar Mahardika dan Raisa segera diberi keturunan.Ya. Mahardika berhasil meyakinkan orang tua Raisa bahwa ia benar-benar menginginkan Raisa dan mencintainya.Beberapa bulan yang lalu.Dengan tangan berg
Malik memegang ponselnya diputar-putar lalu berhenti dan mencari aplikasi pesan. Menatapnya lama, lalu kembali memainkan ponselnya.Sekian kalinya lalu ia berhenti dan mantap mengirimkan sebuah pesan.‘Wanita memang butuh kepastian, Bang. Tapi mereka juga tidak akan suka dengan kesemena-menaan. Aku udah pernah melakukan itu, jadi Abang tidak perlu mengulangi kesalahanku. Dia ada di rumahku sekarang kalau Abang mau meluruskan masalah kalian.’Pesan yang cukup panjang. Lalu Malik tutup dengan helaan nafas panjang. Ia tidak tahu masalah apa yang Dika lalui hingga mendapatkan status duda itu. Tapi melihat kesembronoan Dika, rasanya Malik segera mengerti bagaimana sikap Mahardika jika berhadapan dengan perempuan.Benar-benar mirip dengannya. Beruntungnya, Laila cukup mau bersabar menghadapinya dan mau memaafkan semua tingkah lakunya hingga ia tidak jadi menyandang status duda itu. Jika saja… Ah, jangan sampai. Malik tak mau berandai-andai.Laila dan Raisa bercengkerama sekian lamanya hingg
Laila disambut pelukan hangat suaminya begitu tubuhnya muncul dari balik pintu besi lapas yang menjulang tinggi. Gurat kekhawatiran sangat jelas di wajah suamiya, sebab takut kalau-kalau Gladis gelap mata dan menyerang istrinya yang tengah berbadan dua. “Kamu enggak apa-apa kan, Sayang?” Tanya Malik segera setelah melepaskan pelukannya. Meraba-raba wajah dan tubuh istrinya memastikan tidak ada yang kurang dan bertambah. Bertambah ada luka atau lebam. “Enggak apa-apa Mas. Kami cuma ngobrol kok.” “Aku takut kalau sampai dia nekad.” Katanya sambil menuntun Laila memasuki mobil. “Mbak Gladis kasihan sekali, Mas. wajahnya tirus dan kelihatan sangat tertekan. Tubuhnya kurus sementara perutnya menggembung buncit.. Aku enggak tega.” Ia kembali mengingat rupa Gladis sebelum dan sesudah peristiwa itu. Dulu, Gladis adalah perempuan yang cantik. Tubuhnya tinggi dan montok. Wajahnya merah segar tidak seperti yang ia lihat baru saja. Matanya yang belok terlihat semakin belok karena semakin t
Suasana rumah besar keluarga Bagaskara kini semakin akrab untuk Laila terlebih ketika mama mertuanya sudah berubah untuknya. Sudah menerimanya dan semakin sayang padanya.Bermacam-macam hadiah yang diberikan sang mertua untuknya, terutama untuk kebutuhan ibu hamil dan menyusui.Sepulangnya dari Bali, Laila dan Malik tidak langsung ke rumahnya sendiri. Tapi terlebih dulu ke rumah orang tuanya, melepas rindu sekaligus memberikan oleh-oleh yang dibawanya.Ternyata, bukan hanya dia yang memberikan oleh-oleh itu, Laila juga menerima hadiah yang telah disebutkan tadi dari ibu mertuanya.“Ini banyak sekali, Ma..” Kata Laila terharu sekaligus terperangah.Lina mengeluarkan semua belanjaannya berkarton-karton paper bag untuk Laila.“Mama tadinya ingin sekalian belanja baju bayi untuk anakmu, karena kamu pasti lelah setelah perjalanan dari Bali. Kandungan mu juga semakin besar. Tapi Mama enggak mau lancang, ini anak pertama kalian, pasti kalian antusias ingin belanja kebutuhannya sendiri.” Ungk
“Kamu jangan main-main! Lamar-lamar anak orang! Siapa dia, siapa orang tuanya, dari mana asalnya kita enggak tahu. Hanya karena dia adalah teman Laila kemudian kita akan menerimanya? Apa orang tuanya tahu kamu membawanya kemari?” Cecar Mama Lina sepeninggal Raisa.Meski dalam hati ia ikut tergelak sebab anak sulungnya meminta dilamarkan seorang gadis. Namun. Ia tetap tidak bisa menerima sikap sembrono Dika, anaknya.“Kamu itu sudah tua, Dika. Jangan main-main soal menikah.” Lanjutnya ketika jawaban yang diharapkan tak kunjung keluar.“Dika enggak main-main, Ma.” Jawab Dika sungguh-sungguh.Pak Agung hanya duduk mendengarkan celotehan istrinya yang ditanggapi anak sulungnya biasa-biasa saja. Benar-benar duplikat Agung Bagaskara.“Lalu dimana rumahnya? Siapa orang tuanya?” Tanya Lina lagi.Dika menggeleng. “Dika hanya tau apartemennya, tapi rumah orang tuanya Dika belum tanya.”“Lihat anakmu, Pa. Papa sebut dia dewasa? Umurnya saja yang tua, tapi pikirannya, ya ampun… Papa saja yang uru
Surya sore menyemburat menembus pohon-pohon di taman itu hingga menciptakan bias dan pendar yang menyapa dua insan yang duduk di sana. Duduk berjauhan bak orang asing. Satu perempuan dan satu laki-laki, tidak saling menatap tapi gesture mereka mengisyarakatkan bahwa mereka serasi menjadi sepasang kekasih. Tatapan mengernyit dari si perempuan dan wajah datar si laki-laki mempertegas bahwa hubungan mereka memang sedang berjarak. “Maksudnya apa?” Tanya Raisa tak sabar. “Ikutlah ke rumahku.” “Iya, tapi untuk apa? Ngomong yang jelas! Bisa enggak sih jadi laki-laki yang tegas gitu. Ngomong sepotong-potong bikin aku bingung. Sikapmu itu bikin aku bingung tau enggak. sebentar ngasih perhatian, sebentar ngilang.. Sekarang tiba-tiba ngajak ke rumah? Untuk apa? Aku sudah pernah ke rumahmu dan sudah kenal orang tuamu ngomong-ngomong, kalau itu maumu. Enggak perlu kalau setelah ini kamu akan tiba-tiba ngilang lagi.” Cecar Raisa. Ia sudah tak tahan lagi bermain tarik ulur seperti ini. Ia merasa
Tok tok tokPintu kamar Lina diketuk lembut dari luar. Sudah hampir tiga hari ia tak keluar kamar dan menolak ditemui Dika, anak sulungnya.Lina mendengus. Sejujurnya ia sudah terlalu tua untuk merajuk, tapi apa yang dilakukan Mahardika menurutnya telah keterlaluan dan menyakitinya.“Ma.. Dika mohon buka pintunya.” Seru Dika dari balik pintu.“Temui dia, Ma. Sudah berhari-hari mama enggak keluar kamar. Dika juga berhari-hari seperti orang gila karena terkurung di dalam rumah. Padahal dia harus ke kantor membantu Papa.” Bujuk Pak Agung.“Papa yakin dia sudah benar berubah? Dia enggak akan pergi lagi?” Bu Lina menelisik mata suaminya mencari kesungguhan disana. Meminta keyakinan dan diyakinkan sebenarnya.“Papa yakin.” Jawab Pak Agung.Bukan apa-apa, Bu Lina hanya ingin di usianya senjanya semua anak-anaknya berada di dekatnya. Rejeki bisa nanti dicari, dan pengalaman, dia rasa sudah cukup bagi Dika menghabiskan bertahun-tahun untuk mencari pengalaman itu di luar belantara sana.Tok tok
“Apa maksudmu?” Tanya Lina pelan-pelan. Sejujurnya dadanya sudah bergejolak marah karena anak sulungnya ternyata menyembunyikan berita besar.“Dika sudah pernah menikah.” Jawab Dika singkat.Dika sudah tak mungkin lagi berkelit. Ia harus jujur sekarang juga atau mamanya akan terus menuntutnya soal menikah. Namun, reaksi mamanya sungguh diluar dugaan.“Bicara yang benar, Mahardika! Mamamu yang tua ini enggak ngerti. Menikah dengan siapa? Dimana? Kenapa enggak bilang sama mama dan papamu?” Bentak Lina yang sudah sabar dengan sikap Dika yang santai dan cuek.“Maafin Dika, Ma.”“Siapa? Siapa yang kamu nikahi? Dimana dia sekarang?” Cecar Lina lagi. Melihat Dika hanya diam, membuat kesabaran Lina semakin menipis.“Katakan Dika! Jangan diam saja? Mau ditaruh mana muka mama kalau sampai kamu menelantarkan anak gadis orang!”“Dika tidak pernah menelantarkannya, Dika mencintainya, tapi orang tuanya yang tidak menyukai Dika karena menurutnya Dika menelantarkan anaknya karena Dika terlalu lama pe
Satu bulan kemudian.“Sudah siap?”Laila mengangguk merona. Sambil terus menyunggingkan senyum mereka akan melakukan perjalanan ke Bali karena ingin menikmati baby moon sekaligus honey moon mereka yang tak pernah terlaksana.Malik menyeret koper di tangan kirinya dan tangan kanannya menggenggam tangan Laila erat. Berjalan menyusuri lorong resort tempat mereka menginap. Mereka memilih daerah uluwatu dan kintamani untuk menghabiskan masa baby moon mereka selama satu minggu.Menyewa resort di tepi pantai untuk menikmati masa-masa tinggal berdua dan memperdalam hubungan mereka setelah berbagai badai yang menyambut awal rumah tangga mereka.Malik sudah sepenuhnya pulih, ia memutuskan untuk sebentar mengambil libur sebelum kembali benar-benar terjun mengurusi perusahaan sang papa.Lagi-lagi, Dika lah yang dijadikannya tumbal. Terpaksa masih harus memenuhi permintaannya yang seperti tak kunjung ada ujungnya. Dika bahkan tak bisa menikmati waktu kencan berdua.Ya, kencan. Dika sudah memantapk