Sepulang bekerja dari restoran malam itu cukup larut. Dia keluar restoran saat jam menunjukkan pukul 23.37 dengan raut gelisah. Laila tak pernah bekerja sampai selarut itu sebelumnya. Laila mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi hijau untuk mencari taksi online. Tangannya mencoba menggulirkan ke layar ponsel cukup lama tapi belum satu pun yang menerima orderannya.
Lalu sebuah mobil SUV putih mendekat ke arahnya. Laila berusaha menyembunyikan kegugupannya. Berusaha keras menelan ludah agar tetap tenang. Laila sama sekali tidak pernah keluar malam lebih dari jam 9. Dan saat ini untuk pertama kalinya ia merasakan pengalaman ini gara-gara seseorang yang melilitkan banyak hutang padanya. Laila menyalahkan.
Si pemilik mobil itu membunyikan klakson. Berhenti tepat di depan Laila lalu menurunkan jendela gelap mobilnya. Seulas senyum muncul di wajah yang sudah tak asing bagi Laila. Saka.
Saka datang di waktu yang tepat. Begitu pikir Laila. Dan ia sangat bersyukur untuk itu.
“ayo naik..” ajak Saka. Laila sedikit ragu tapi tetap melangkah memasuki mobil.
“mas darimana? Kok tahu saya disini?” tanya Laila.
“pakai seatbeltnya. Aku dari kafe, setiap hari aku lewat jalan ini, dan baru kali ini aku lihat kamu. Kamu bekerja disini? Sejak kapan?” tanya Saka. Dia sudah melajukan mobilnya pelan. Sengaja, agar lebih banyak waktu untuk bersama Laila.
Sudah lama tak bertemu Laila, pikir Saka. Jadi kali ini dia ingin berbicara tentang banyak hal pada Laila termasuk tentang sahabatnya, Malik.
“baru malam ini. Dan ini pekerjaan pertamaku yang sampai larut malam begini. Terimakasih mas” ucapnya.
“terimakasih untuk apa kan belum sampai?”
“terimakasih karena udah lewat sana tadi. Aku sangat ketakutan awalnya karena baru pertama kali ini diluar rumah saat larut malam. Cari-cari taksi online tapi belum ada satupun yang nerima,” terang Laila jujur. Dia memang tipe gadis yang apa adanya dan lugas. Laila tak enggan mengekspresikan apa yang sedang dirasakan pada Saka yang dirasanya sudah menjadi teman.
“kebetulan aja tadi, nggak perlu berterimakasih. Oiya, alamat rumah kamu dimana ini? Aku harus antar kemana?” tanya Saka.
“oh, di jl. Kenanga mas, kos mahasiswa putri Ageng Sarimbi, 15 menit dari sini. Tau?” tanya Laila.
“tau—tau.. Terus, kenapa kerja sampai malam? Kan nggak biasa katanya. Malam ini kebetulan ketemu aku, besok-besok bagaimana?” tanya Saka lagi.
“aku harus bekerja keras untuk membayar ganti rugi pak Malik, teman mas Saka..” Laila lalu terdiam. Menerawang. Benar, malam ini dia sangat beruntung bertemu Saka, lalu besok bagaimana? Apa yang harus ia lakukan saat ia tak mendapat ojek ataupun taksi online.
“iya, Malik memang temanku. Teman yang kejam. Benar kan? aku bisa mewakilimu untuk mengumpatnya kalau kamu nggak sanggup..” ucap Saka, mengerling pada Laila sembari terkekeh.
Laila ikut terkekeh.
“tidak perlu sampai mengumpat mas. Karena semua ini memang salahku yang tidak berhati-hati.” Katanya.
“jadi? Gimana besok?” ulang Saka.
“besok ya? mm.. entah, aku belum tau mas, ada kan taksi online jam segini? Aku rasa masih ada. Jadi aku bisa pakai itu aja.” ucapnya pelan. Sejujurnya dia pun masih meragukan hal itu dan mencemaskan dirinya besok.
“jangan.. aduh bahaya La. Selarut ini dan kamu gadis sendirian. Gimana kalau aku yang jemput? Aku antar sampai depan rumah dan aku jamin utuh sampai depan rumah? Bagaimana? Mau ya?” tanya Saka setengah memaksa.
“ha? Nggak perlu mas, aku bisa sendiri. Aku nggak mau merepotkan mas Saka.” Sanggah Laila.
“aku nggak merasa direpotkan. Besok aku jemput. Ok kan? ok pasti.” Jari telunjuk dan ibu jarinya membentuk huruf o diiringi senyum lebar sambil melirik sekilas pada Laila.
Laila hanya menatap penuh tanya pada Saka. Laila tak bisa membantah, dia butuh tumpangan dan Saka memberinya penawaran yang dia sendiri paksakan.
“sudah sampai..”
“terimakasih sekali lagi mas Saka.” Ucapnya.
“sama-sama. Sampai jumpa besok.”
Malam selanjutnya dan berikutnya, Saka benar-benar datang menjemput. Mobil SUV putih yang sebelumnya dipakai sudah terparkir rapi di halaman resto tempat Laila bekerja. Laila baru saja selesai bekerja dan saat ia tiba disamping mobil Saka dia tidak mendapati Saka di mobilnya.
“kemana mas Saka?” katanya. Laila merogoh ponselnya di tas dan menggulir jarinya di layar ponsel, mencari kontak Saka. Laila baru sadar ternyata dia tidak memiliki nomor ponsel Saka.
“aku di sini” suara laki-laki yang berada di belakangnya membuat Laila terkesiap.
Laila hampir melompat karena saking terkejutnya. Kaki Laila seketika lemas dan hampir saja ia terkulai. Matanya terpejam dengan nafasnya tersengal dan degup jantungnya terasa tak beraturan. Dia terkejut sekaligus takut. Takut jika seseorang yang jahat yang akan menyakitinya.
“ya ampun Lail kamu nggak apa-apa? maaf—maaf.. Aku mau bercanda tapi kok malah gini,” Saka menangkap bahu Laila, menopangnya agar tak terkulai, lalu membuka pintu mobil dan menuntun Laila untuk duduk.
“tunggu di sini sebentar ya, aku mau beli air mineral. Tunggu.”
Laila tak mampu menjawab, hanya anggukan lemah dengan mata masih terpejam. Kepalanya tersandar di kepala kursi. Degup jantungnya masih cepat hingga bisa terdengar jelas dianatara heningnya malam itu.
Saka menutup pintu mobilnya, dan mendengar bantingan pintu itu jemari Laila pun ikut terkepal erat, matanya makin memejam rapat.
Laila memiliki trauma di masa lalu yang membuatnya tidak nyaman saat sendirian di malam hari. Perasaan cemas selalu menyerangnya jika ia berada di tempat sepi saat malam.
Resto malam itu memang tidak terlalu gelap dan sepi, tapi masih terasa asing bagi Laila. Terlebih saat itu ia berdiri sendirian di lahan parkir yang cukup luas dan sendirian.
Saka dengan cepat menyadari bahwa ada sesuatu yang salah pada diri Laila. Saat ia kembali, dengan sangat pelan membuka pintu mobil dan memanggil nama Laila terlebih dahulu.
“Lail,”
Laila mengerjap dan memberikan senyum samar pada Saka.
“maafkan aku, minumlah dulu..”
“nggak apa-apa mas, aku hanya terkejut.”
“sepertinya bukan kaget biasa..” Saka melempar tatapan yang sulit ditepis oleh Laila.
Di perjalanan pulang malam itu, Laila menceritakan tentang traumanya, sebuah pengalaman yang membekas di dirinya hingga saat ini. Tangan Laila berkeringat saat menceritakan hal itu, ditambah bayang-bayang masa lalu masih melekat jelas diingatannya.
Sejak kejadian saat itu, Laila sangat menghindari kegiatan malam hari. Kalaupun harus, Laila akan mempersiapkan dengan matang dia harus bagaimana pulangnya dan dengan siapa. Tapi malam ini dia lupa akan hal itu. Antusias sebab diterima kerja part time dan desakan waktu tempo ganti rugi yang semakin sempit membuat Laila melupakan hal yang paling penting dalam dirinya.
Saka melirik tangan Laila yang bergerak gelisah. Ingin rasanya menggenggamnya. Titik-titik peluh juga memebuhi dahinya. Ingin rasanya Saka menyeka.
Saat hampir tiba, Saka mengalihkan pembicaraan mereka perihal ganti rugi yang harus dibayar Laila. Bahkan Saka mengingat dengan baik kapan tenggat waktu itu berakhir.
“mmm.. Soal ganti rugi itu, aku bantu ya?” tawar Saka.
“hah? Nggak—nggak, jangan mas.. Maaf, bukan saya sombong, tapi mas Saka ini sudah saya anggap teman dan saya nggak mau pertemanan kita harus dirumitkan karena uang.” Sergah Laila. Tawaran dari sahabatnya saja dia tolak, apalagi ini laki-laki yang abru ia kenal kurang dari 3 bulan.
“tapi cuma tinggal 3 hari lagi kan? atau aku bantu ngomong ke Malik buat kasih waktu lagi?” tawar Saka lagi.
“kalau itu boleh. Saya sangat berharap pak Malik bisa mendengar permintaan mas Saka dan memperpanjang waktunya lagi.” ucap Laila sedikit dengan candaan tapi raut mukanya penuh harap.
“sudah sampai.. terima kasih sekali ya mas. Saya merepotkan mas Saka terus.” Ucapnya saat mobil mulai melambat. Bangunan tingkat tiga tempatnya tinggal sudah nampak jelas berikut nama tenar itu. cukup tenar karena termasuk kos-kosan mahasiswa paling diminati oleh mahasiwi dari kalangan manapun. Lalu Laila turun dari mobil.
“nggak merepotkan. Sudah sana masuk. Bye..” Saka melambaikan tangan dan pergi lenyap di kegelapan malam.
Laila melangkah lesu ke dalam kamar kosnya. Diingatkan soal tenggat waktu itu seolah membuat dunia kembali tertimpa di pundaknya. Berat.
Malik adalah pria yang sudah cukup matang, 31 tahun bukankah waktu yang tepat untuk menikah? Wajahnya sangat tampan dengan perpaduan hidung mancung, bibir sedikit tebal dengan tarikan garis kanan kiri sempurna, lesung di pipi kiri, matanya sayu namun memiliki sorot mata yang tajam serta postur tubuh tinggi 184 cm adalah paket lengkap sebagai idaman para kaum hawa. Malik sama sekali belum memiliki ketertarikan pada wanita manapun, bukan berarti ia tak suka dengan perempuan. Ia hanya merasa belum ada yang pas yang bisa mengimbanginya. Perempuan kebanyakan yang mendekatinya hanya karena melihat casing luaran Malik saja. Sedangkan papanya terus mendesak Malik untuk menikah. Papa merasa harus segera beristirahat dari pekerjaannya karena ia sudah semakin tua. Kakaknya malik yang terpaut 7 tahun dengannya pun memilih tinggal di luar dan menikmati petualangannya sendiri daripada harus mengurus perusahaan sang papa. Harapan satu-satunya papa adalah pada Malik. Tapi papa menyuruh Malik seger
Keesokan harinya, Malik sudah bersiap dan mempersiapkan keperluannya untuk perjalanan ke desa tempat orang tua Laila. Mengenakan setelan kemeja berwarna biru tua dan celana chinos cokelat serta sneakers, Malik tampak menawan. Dia meraih kunci mobil dan berjalan menuruni tangga. “mau kemana?” sapa sang Papa yang tengah mengoles butter ke selembar roti untuk sarapannya. “mau ketemu Saka dan Denis..” Jawab Malik. Ia ikut duduk di sebelah Papanya. “mereka lagi. kalau main sama mereka terus kapan kamu ketemu ceweknya.. Kapan menikah? Kapan Papa punya mantu?” “Mama kemana, Pa?” Malik bukan tidak menghiraukan, hanya pertanyaan yang lebih seperti pernyataan itu sudah berulang-ulang disampaikan. Malik mengerti keresahan orang tuanya, dia pun sebenarnya sudah siap jika harus menikah saat itu juga. Masalahnya dengan siapa dia akan menikah itu yang masih menjadi misteri. “mama pagi-pagi sekali udah pergi ke salon. Mau ada acara arisan entah apa lagi.” terang Papa. “Mama terlalu banyak kegi
Café bergaya ala jepang itu, Saka sendiri yang memilih desainnya, baik eksterior maupun interior. Saka merupakan lulusan arsitektur dari perguruan tinggi terkenal di negeri ini. Lalu melanjutkan S2 nya di negeri jepang. Dari sana Saka mengadaptasi ide untuk bisnis kecil-kecilannya selain dari perusahaan jasa arsitektur dan interior. Pagi itu pembicaraannya kepada Malik cukup membuatnya lega. Malik merespon positif soal kelonggaran yang ia ajukan untuk Laila. Meski tidak terlalu spesifik kelonggaran apa yang akan Malik berikan, tapi Saka lega. Dengan ringan hati ia akan menghubungi Laila untuk memberi kabar baik itu. Laila saat ini sedang berada di kampusnya. Merehatkan badannya sejenak dari bekerja rodi, dan mengurusi urusan kuliahnya yang belum terlihat hilalnya soal janji dengan sang DosPem. Laila hanyut di perpustakaan kampus, menghadapi laptop dan beberapa buku dan jurnal. Laila mengambil jurusan Psikologi sesuai dengan cita-citanya. Meski dari desa dan sebagai anak perempuan,
Beberapa jam sebelumnya. Malik dan Denis sedang berkendara dan saat ini dia berada di tengah-tengah jalan tol menuju arah timur.Siang itu setelah berbicara pada Saka yang berakhir dengan kata ‘kelonggaran’ yang menggantung dari Malik, Denis tiba. Malik tak lagi membahas perihal ganti ruginya. Dia pikir sudah cukup untuk melibatkan Saka. Dan Saka pikir Malik pun menyetujui masukannya.Mereka mengobrol ringan. Lalu Malik dan Denis berpamitan. Tanpa sepengetahuan Saka, saat ini Malik dan Denis sedang merencanakan sesuatu. Mobil mereka terus melaju dan menempuh perjalanan 3 jam lamanya untuk tiba di sebuah daerah. Cukup terpencil tapi jalanan di sana sudah bisa dibilang bagus. Jalan dua tapak yang bersela tengahnya. Jalan itu terbuat dari beton cor yang masing-masing lebarnya tak lebih dari dua meter.Sepanjang mata memandang hanya terdapat hamparan sawah, ada yang sedang dibajak ada pula yang sudah siap ditanami. Rumah-rumah disana memiliki jarak cukup jauh. Udara menyergap ketika Malik
Angin dingin berembus melalui celah-celah ventilasi kamar kos Laila. Mengusik tidurnya yang entah sudah berapa lama. Rasa-rasanya ia baru saja memejamkan mata. Laila mengerjap, “jam berapa ini?” tangannya bergerilya menyuruk ke bawah bantal mencari ponselnya. “baru jam 5 pagi.” Gumamnya. Ia masih ingin tidur, tapi pikirannya tak mau diajak berkompromi. Tiap ia memejamkan mata, suara Malik yang mengancamnya dengan menikah terdengar nyata di telinga. Dan setiap suara itu muncul di kepalanya, ia secara reflek mengumpat. Laila hampir saja frustasi, hari ini adalah hari terakhir tenggat waktunya. Ditambah ia mendapat ancaman soal menikah. Ancaman? Sebenarnya akan mempermudahnya atau akan menyulitkannya? Laila mendesah. Lalu mengambil bantal tidurnya, membekap wajahnya sendiri dan berteriak sekencang mungkin sampai Laila kembali menangis. Sebenarnya bukan hanya itu yang membuatnya takut, tapi soal apakah Malik memberitahu orang tuanya soal hutang ganti rugi sebesar 50 juta itu. Orang tua
Entah sejak kapan Laila melupakan soal lilitan hutang yang menjeratnya, karena fokusnya selama perjalanan hingga sampai di ruangan besar direktur itu hanya satu. Tentang Malik yang mengunjungi orang tuanya dan memintanya menikah dengannya. Dan sekarang, saat satu kenyataan awal mula dari semua kerumitan dihidupnya menyadarkannya, Laila semakin gelisah. Rasa percaya diri yang dia bangun sudah melemah sejak bertemu dengan papa Malik dan kini kian menipis. Laila menghela nafas dan menghembuskannya pendek. Dan.. “aku hanya butuh waktu sebentar lagi darimu, dan.. orang seperti dirimu tanpa uang 50 juta itu ku rasa kamu tak akan kelaparan—” katanya yang langsung dipotong oleh Malik. “jadi maksudmu kamu mau menghindar dari tanggung jawabmu?” tukas Malik. Mustahil Malik akan dengan mudah memberikan kompensasi waktu baginya. “aku hanya minta tambahan waktu, aku tidak akan lari, kalau aku memutuskan lari seharusnya sudah kulakukan sejak awal.” Suara Laila meninggi. “menikah denganku dan hu
Laila memasuki lift rooftop dengan sisa-sisa air matanya yang menggenang. Saat lift itu mulai menuruni satu per satu lantai gedung itu, Laila menetapkan hati, memupuk rasa percaya diri kembali, menghapus dengan benar sisa air matanya lalu mendongak menatap depan. Laila masih percaya bahwa dia belum kalah. Ia masih percaya bahwa masih banyak jalan yang akan membantunya keluar dari masalah pelik ini tanpa harus dengan menikahi Malik. Tidak. tidak akan. Sesampainya di lobi kantor gedung itu tepatnya di samping meja resepsionis, langkah Laila terhenti karena sapaan sang karyawan. “mbak..” sapa wanita itu. “iya, ada apa?” tanya Laila. “maaf untuk yang tadi, saya tidak tahu kalau mbak ini ternyata calon istri pak Malik, maafkan kelancangan saya.” Kata si embak itu. Laila melebarkan matanya. Calon istri? Kata siapa Laila sudah menyanggupi? Dan apa ini? Siapa yang membuat informasi asal seperti ini? Gigi Laila bergemelatakan tapi bibirnya menyunggingkan senyum palsu pada si karyawan itu
Dua hari sebelum hari H. Pak Agung memasuki kamarnya dan menjatuhkan dirinya di ranjang. Istrinya masih sibuk di depan cermin dengan beberapa macam botol skincare dan krim malam. Pak Agung menunggu sambil memainkan game di ponselnya. Beberapa saat melirik istrinya yang sudah selesai perawatan dengan menepuk-nepuk pelan wajahnya sendiri. Istrinya sudah selesai perawatan malam. “Ma.. Papa mau ngomong. Sini.. duduk dekat Papa.” Panggilnya. “ada apa sih? serius amat?” Mama Malik menatap menyelidik, nada bicara suaminya serius meski wajahnya berbinar meragukan. Mama Malik mendekat dan menyingkap selimut duduk bersandar headboard di dekat suaminya. “kita semakin tua, Ma. Papa sangat ingin memiliki mantu dan segera menimang cucu.” Katanya. “tiba-tiba?” Mama mengernyit heran. “bukan tiba-tiba, Malik juga sudah semakin dewasa sudah waktunya menikah, apalagi Dika, Papa sudah pasrah padanya. Apa Mama nggak mau punya cucu?” “ya mau, Pa. Tapi malik nya aja kaya gitu kayak nggak tertarik sam
Beberapa bulan kemudian.Tangis balita memenuhi ruangan. Suaranya menggema riuh rendah, padahal hanya satu bayi. Cucu kebanggaan Keluarga Bagaskara telah hadir di tengah-tengah kesunyian yang melanda rumah besar itu.Bu Lina bahagia luar biasa, ingin rasanya terus menimang-nimang kalau saja ia bisa. Sayangnya, ia sudah harus beristirat tidak diperbolehkan terlalu lelah oleh dokter. Sejak sebulan yang lalu Bu Lina harus kembali menggunakan tongkat untuk membantu berjalan dan kursi roda jika diperlukan, beliau terpeleset sewaktu di kamar mandi, dan riwayat patah tulang dahulu kala menjadikan kecelakaan kali itu bukan hanya terpeleset biasa. Tapi membuka luka lama dan memperparahnya.Padahal ingin sekali ia menikmati waktu menimang-nimang cucu satu-satunya saat itu.Sambil terus bersemoga agar Mahardika dan Raisa segera diberi keturunan.Ya. Mahardika berhasil meyakinkan orang tua Raisa bahwa ia benar-benar menginginkan Raisa dan mencintainya.Beberapa bulan yang lalu.Dengan tangan berg
Malik memegang ponselnya diputar-putar lalu berhenti dan mencari aplikasi pesan. Menatapnya lama, lalu kembali memainkan ponselnya.Sekian kalinya lalu ia berhenti dan mantap mengirimkan sebuah pesan.‘Wanita memang butuh kepastian, Bang. Tapi mereka juga tidak akan suka dengan kesemena-menaan. Aku udah pernah melakukan itu, jadi Abang tidak perlu mengulangi kesalahanku. Dia ada di rumahku sekarang kalau Abang mau meluruskan masalah kalian.’Pesan yang cukup panjang. Lalu Malik tutup dengan helaan nafas panjang. Ia tidak tahu masalah apa yang Dika lalui hingga mendapatkan status duda itu. Tapi melihat kesembronoan Dika, rasanya Malik segera mengerti bagaimana sikap Mahardika jika berhadapan dengan perempuan.Benar-benar mirip dengannya. Beruntungnya, Laila cukup mau bersabar menghadapinya dan mau memaafkan semua tingkah lakunya hingga ia tidak jadi menyandang status duda itu. Jika saja… Ah, jangan sampai. Malik tak mau berandai-andai.Laila dan Raisa bercengkerama sekian lamanya hingg
Laila disambut pelukan hangat suaminya begitu tubuhnya muncul dari balik pintu besi lapas yang menjulang tinggi. Gurat kekhawatiran sangat jelas di wajah suamiya, sebab takut kalau-kalau Gladis gelap mata dan menyerang istrinya yang tengah berbadan dua. “Kamu enggak apa-apa kan, Sayang?” Tanya Malik segera setelah melepaskan pelukannya. Meraba-raba wajah dan tubuh istrinya memastikan tidak ada yang kurang dan bertambah. Bertambah ada luka atau lebam. “Enggak apa-apa Mas. Kami cuma ngobrol kok.” “Aku takut kalau sampai dia nekad.” Katanya sambil menuntun Laila memasuki mobil. “Mbak Gladis kasihan sekali, Mas. wajahnya tirus dan kelihatan sangat tertekan. Tubuhnya kurus sementara perutnya menggembung buncit.. Aku enggak tega.” Ia kembali mengingat rupa Gladis sebelum dan sesudah peristiwa itu. Dulu, Gladis adalah perempuan yang cantik. Tubuhnya tinggi dan montok. Wajahnya merah segar tidak seperti yang ia lihat baru saja. Matanya yang belok terlihat semakin belok karena semakin t
Suasana rumah besar keluarga Bagaskara kini semakin akrab untuk Laila terlebih ketika mama mertuanya sudah berubah untuknya. Sudah menerimanya dan semakin sayang padanya.Bermacam-macam hadiah yang diberikan sang mertua untuknya, terutama untuk kebutuhan ibu hamil dan menyusui.Sepulangnya dari Bali, Laila dan Malik tidak langsung ke rumahnya sendiri. Tapi terlebih dulu ke rumah orang tuanya, melepas rindu sekaligus memberikan oleh-oleh yang dibawanya.Ternyata, bukan hanya dia yang memberikan oleh-oleh itu, Laila juga menerima hadiah yang telah disebutkan tadi dari ibu mertuanya.“Ini banyak sekali, Ma..” Kata Laila terharu sekaligus terperangah.Lina mengeluarkan semua belanjaannya berkarton-karton paper bag untuk Laila.“Mama tadinya ingin sekalian belanja baju bayi untuk anakmu, karena kamu pasti lelah setelah perjalanan dari Bali. Kandungan mu juga semakin besar. Tapi Mama enggak mau lancang, ini anak pertama kalian, pasti kalian antusias ingin belanja kebutuhannya sendiri.” Ungk
“Kamu jangan main-main! Lamar-lamar anak orang! Siapa dia, siapa orang tuanya, dari mana asalnya kita enggak tahu. Hanya karena dia adalah teman Laila kemudian kita akan menerimanya? Apa orang tuanya tahu kamu membawanya kemari?” Cecar Mama Lina sepeninggal Raisa.Meski dalam hati ia ikut tergelak sebab anak sulungnya meminta dilamarkan seorang gadis. Namun. Ia tetap tidak bisa menerima sikap sembrono Dika, anaknya.“Kamu itu sudah tua, Dika. Jangan main-main soal menikah.” Lanjutnya ketika jawaban yang diharapkan tak kunjung keluar.“Dika enggak main-main, Ma.” Jawab Dika sungguh-sungguh.Pak Agung hanya duduk mendengarkan celotehan istrinya yang ditanggapi anak sulungnya biasa-biasa saja. Benar-benar duplikat Agung Bagaskara.“Lalu dimana rumahnya? Siapa orang tuanya?” Tanya Lina lagi.Dika menggeleng. “Dika hanya tau apartemennya, tapi rumah orang tuanya Dika belum tanya.”“Lihat anakmu, Pa. Papa sebut dia dewasa? Umurnya saja yang tua, tapi pikirannya, ya ampun… Papa saja yang uru
Surya sore menyemburat menembus pohon-pohon di taman itu hingga menciptakan bias dan pendar yang menyapa dua insan yang duduk di sana. Duduk berjauhan bak orang asing. Satu perempuan dan satu laki-laki, tidak saling menatap tapi gesture mereka mengisyarakatkan bahwa mereka serasi menjadi sepasang kekasih. Tatapan mengernyit dari si perempuan dan wajah datar si laki-laki mempertegas bahwa hubungan mereka memang sedang berjarak. “Maksudnya apa?” Tanya Raisa tak sabar. “Ikutlah ke rumahku.” “Iya, tapi untuk apa? Ngomong yang jelas! Bisa enggak sih jadi laki-laki yang tegas gitu. Ngomong sepotong-potong bikin aku bingung. Sikapmu itu bikin aku bingung tau enggak. sebentar ngasih perhatian, sebentar ngilang.. Sekarang tiba-tiba ngajak ke rumah? Untuk apa? Aku sudah pernah ke rumahmu dan sudah kenal orang tuamu ngomong-ngomong, kalau itu maumu. Enggak perlu kalau setelah ini kamu akan tiba-tiba ngilang lagi.” Cecar Raisa. Ia sudah tak tahan lagi bermain tarik ulur seperti ini. Ia merasa
Tok tok tokPintu kamar Lina diketuk lembut dari luar. Sudah hampir tiga hari ia tak keluar kamar dan menolak ditemui Dika, anak sulungnya.Lina mendengus. Sejujurnya ia sudah terlalu tua untuk merajuk, tapi apa yang dilakukan Mahardika menurutnya telah keterlaluan dan menyakitinya.“Ma.. Dika mohon buka pintunya.” Seru Dika dari balik pintu.“Temui dia, Ma. Sudah berhari-hari mama enggak keluar kamar. Dika juga berhari-hari seperti orang gila karena terkurung di dalam rumah. Padahal dia harus ke kantor membantu Papa.” Bujuk Pak Agung.“Papa yakin dia sudah benar berubah? Dia enggak akan pergi lagi?” Bu Lina menelisik mata suaminya mencari kesungguhan disana. Meminta keyakinan dan diyakinkan sebenarnya.“Papa yakin.” Jawab Pak Agung.Bukan apa-apa, Bu Lina hanya ingin di usianya senjanya semua anak-anaknya berada di dekatnya. Rejeki bisa nanti dicari, dan pengalaman, dia rasa sudah cukup bagi Dika menghabiskan bertahun-tahun untuk mencari pengalaman itu di luar belantara sana.Tok tok
“Apa maksudmu?” Tanya Lina pelan-pelan. Sejujurnya dadanya sudah bergejolak marah karena anak sulungnya ternyata menyembunyikan berita besar.“Dika sudah pernah menikah.” Jawab Dika singkat.Dika sudah tak mungkin lagi berkelit. Ia harus jujur sekarang juga atau mamanya akan terus menuntutnya soal menikah. Namun, reaksi mamanya sungguh diluar dugaan.“Bicara yang benar, Mahardika! Mamamu yang tua ini enggak ngerti. Menikah dengan siapa? Dimana? Kenapa enggak bilang sama mama dan papamu?” Bentak Lina yang sudah sabar dengan sikap Dika yang santai dan cuek.“Maafin Dika, Ma.”“Siapa? Siapa yang kamu nikahi? Dimana dia sekarang?” Cecar Lina lagi. Melihat Dika hanya diam, membuat kesabaran Lina semakin menipis.“Katakan Dika! Jangan diam saja? Mau ditaruh mana muka mama kalau sampai kamu menelantarkan anak gadis orang!”“Dika tidak pernah menelantarkannya, Dika mencintainya, tapi orang tuanya yang tidak menyukai Dika karena menurutnya Dika menelantarkan anaknya karena Dika terlalu lama pe
Satu bulan kemudian.“Sudah siap?”Laila mengangguk merona. Sambil terus menyunggingkan senyum mereka akan melakukan perjalanan ke Bali karena ingin menikmati baby moon sekaligus honey moon mereka yang tak pernah terlaksana.Malik menyeret koper di tangan kirinya dan tangan kanannya menggenggam tangan Laila erat. Berjalan menyusuri lorong resort tempat mereka menginap. Mereka memilih daerah uluwatu dan kintamani untuk menghabiskan masa baby moon mereka selama satu minggu.Menyewa resort di tepi pantai untuk menikmati masa-masa tinggal berdua dan memperdalam hubungan mereka setelah berbagai badai yang menyambut awal rumah tangga mereka.Malik sudah sepenuhnya pulih, ia memutuskan untuk sebentar mengambil libur sebelum kembali benar-benar terjun mengurusi perusahaan sang papa.Lagi-lagi, Dika lah yang dijadikannya tumbal. Terpaksa masih harus memenuhi permintaannya yang seperti tak kunjung ada ujungnya. Dika bahkan tak bisa menikmati waktu kencan berdua.Ya, kencan. Dika sudah memantapk