Tangan Deu secara instan memindahkan rambut panjang Harger ke samping. Mata gelapnya menatap intens separuh bahu yang terekspos. Selebihnya, gaun merah adalah benteng pertahanan; menutup aset berlekuk di tubuh Harger, yang perlahan telah merayu ujung jemari kasar Deu untuk bekerja. Dia bergerak pelan, pelan sekali menyeret pengait kecil hingga bunyi dari gaun itu terdengar bagaikan sauh tak bertuan.
Punggung Harger terlihat sedikit - sedikit mencuak menghadapi kebutuhan Deu yang terus membukanya sampai sebatas pinggul. Gaun merah yang menawarkan keberanian seolah baru saja dibelah dengan mahir dan ketelitian. Deu tak kuasa menahan tindakan untuk tidak menjatuhkan bibirnya menyapu kulit Harger yang terasa halus diliputi sentuhan – sentuhan ringan. Kemudian telapak tangan dEU mencengkeram pinggul Harger sedikit disertai penekanan. Hanya sebentar.Napas Harger terengah ketika Deu menggenggam kedua lengan gadis itu yang sedang menempel di atas ranjang, menindih HargeKelopak mata Harger mengerjap menyesuaikan keadaan kamar yang memaksa untuk bangun. Dia bergerak sebentar. Sekali dua kali menyerukkan wajah merasakan hangat tubuh sang hakim. Lalu kemudian terkejut oleh tindakannya sendiri.Harger telonjak merasakan bagaimana wajahnya telah memanas saat mengingat kembali kejadian semalam. Sentuhan ringan, ciuman yang membakar kerongkongan, serta dorongan pasti, memabukkan, membuat pikiran Harger nyaris mendekati bayangan erotis. Dia segera beranjak, mengambil sedikit jarak untuk memperhatikan tubuh dalam balutan selimut tebal, tetapi sebenarnya dia sedang bertelanjang. Malam bersama sang hakim benar – benar sesuatu yang baru bagi Harger. Sangat menyenangkan, sekaligus dia sedikit malu mengingat reaksi pria itu. Apa yang akan sang hakim pikirkan tentang dirinya? Mungkinkah Deu akan menganggap gadis muda sepertinya terlalu naif menaruh kepercayaan? Atau sang hakim akan berterus terang kalau – kalau dia adalah perawan muda yang tolol, telah menyerahkan
“Kau sedang apa di sana, Harger?”Suara berat di belakang punggungnya menembus nyaris memberi Harger dorongan menakutkan. Dia terperanjat, kemudian bergegas mengumpulkan selimut kamar hotel hingga membentuk gumpalan untuk menutup tubuh telanjangnya.Harger memutar kepala. Terdiam beberapa saat menyorot sang hakim sedang berdiri di depan pintu kamar mandi. Masih tanpa satu pun atasan membalut di tubuh liat itu. Otot perut, garis – garis yang menekuk ke dalam, serta bekas luka tusuk mencuak samar – samar membuat mata Harger menyipit. Dia membayangkan bagaimana, dan sebenarnya dengan jubah panjang besar sebagai seorang hakim, pria itu telah memanipulasi penampilan secara sempurna.Laea mungkin satu – satunya wanita yang sering mengamati Deu tanpa pakaian seperti itu. Jika Rubby berusia empat tahun, artinya hubungan mereka memang tidak dapat dikatakan sebentar. Harger segera memalingkan wajah ke depan. Kemeja sang hakim yang sempat dia pungut; dan diletakkan tidak jauh di at
“Anda yakin berhenti di sini saja, Signore? Saya tidak keberatan mengantar sampai di depan rumah Anda.”Kali pertama menghentikan mobil di suatu titik; tidak jauh dari kondisi nyaris menjorok ke arah hutan. Pertanyaan demikian yang diungkapkan supir taksi. Pria itu menatap lewat kaca depan, tetapi Deu sepertinya tidak peduli betapa hujan masih cukup deras, yang meruntuh di langit malam Italia tidak lama setelah pesawat mereka landing di bandara Roma.Hujan tidak akan secepat ini berhenti. Harger memalingkan wajah ke samping mengamati butir – butir air mengembun di kaca mobil. Dengan berlari pun, dia yakin mereka akan membasah sebelum mencapai rumah sang hakim. Ini bukan prospek yang baik jika Deu terus mempertahankan keputusannya untuk tidak membiarkan siapa pun melewati batas hutan.Iris mata Harger tak luput menatap gerakan praktis membuka sabuk pengaman yang dilakukan sang hakim.“Kau yakin akan berjalan kaki?” tanya Harger ketika dia merasa, barangkali bisa mengubah keinginan Deu.
Soal menghangatkan tubuh adalah keputusan sang hakim. Harger hanya menawarkan diri membuat teh hangat untuk melengkapi kebersamaan mereka di dekat api yang menyala riang di perapian. Dia perlahan, dengan hati – hati menyerahkan cangkir gelas kepada Deu, lalu mengambil posisi duduk berdampingan. Harger memindahkan sorot matanya menatap cahaya lembut yang terasa menenangkan, walau harus diakui, batu berlian itu masih menjadi satu – satunya masalah yang menggeroti kegelisahan Harger sampai detik ini. Rob menolak menerima tuduhan, bahkan secara responsif membantah tegas. Harger tidak mengerti, tetapi dia masih meyakini Rob pelaku sesungguhnya. Bajingan itu sangat pandai memainkan peran. Mengatur sedemikian rinci setiap pasang rencana yang ingin digunakan terhadap kasus tertentu.Mungkin, tidak apa – apa dengan kehilangan batu berlian. Yang Harger tak berdaya untuk memikirkannya, jika dan jika Ketua Senator Amerika akan mengetahui keaslian dari batu berlian yang ditempatkan
Sekali lagi, ntah akan menjadi kali ke berapa Harger terbangun di samping pria yang sama. Dia membelakangi sang hakim, sementara lengan pria itu memeluk tubuhnya begitu intim. Harger ingin sedikit berpindah, sedikit saja, tetapi satu sofa berdua membatasi ruang geraknya. Apa yang mereka pikirkan untuk tidak menyisir ke kamar sendiri – sendiri setelah semalam? Sehingga sofa seolah lebih nyaman dibandingkan ranjang mana pun.Harger mengatur ketenangannya sejenak. Pelan – pelan berniat menyingkirkan lengan sang hakim. Gerakan kecil darinya justru memberi efek pelukan yang terasa mengetat. Harger langsung tercekat saat sayup – sayup suara Deu terdengar seperti erangan dari tidur yang nyenyak. Mulai cemas memikirkan bagaimana cara menghilang secara tepat. Seingat Harger, dia harus berurusan dengan koper basah, tas yang mengantongi heels miliknya dan sepatu sang hakim, maupun beberapa urusan rumah lainnya. Benda – benda itu tidak akan berjalan sendiri.“Kau mau ke mana?”Sebuah bisikan sera
Mencuci dan menjemur pakaian di halaman belakang merupakan kegiatan yang baru saja selesai Harger kerjakan. Panas terik membuat langkahnya terdesak cepat meninggalkan rerumputan. Dia mengenyakkan diri duduk bersandar di pilar menjulang. Menatap lurus – lurus ke arah pemandangan hijau. Hanya sulur – sulur suara dersik daun bersentuhan ketika angin berembus. Hutan terasa begitu asri, tetapi di sini Harger sendiri. Tanpa teman bicara; dia perlu menunggu sang hakim dan kesibukan pria itu; supaya bisa merendam kebosanan. Sayangnya butuh waktu tidak sebentar sampai Deu akan kembali dari kegiatan di luar.Harger mendesah samar. Ini akhirnya. Beberapa jam terakhir dengan sebagian peristiwa menjadi sesuatu yang besar merayap ke dalam dirinya. Sekelebat bayangan tentang percintaan bersama sang hakim terasa nyata – nyata menggerogoti perasaan Harger. Dia tidak ingat ada batasan yang melebihi apa pun; semuanya, yang mana terasa melegakan, seolah sebuah pembuktian yang benar. Salah satu pali
Sambil – sambil membiarkan api kompor mengecil di bawah masakannya. Harger melangkah sesekali hanya untuk melonggokkan kepala di antara sekat dinding dapur. Mencari tahu, paling tidak sebuah perubahan dari salah satu pintu kamar di lantai dua; letaknya tidak jauh dari kamar yang dia tempati; masih tertutup begitu rapat. Mula – mula Harger pikir tidak apa – apa jika Deu masih ingin beristirahat. Menjelang sore, dia mulai berpikiran sedikit buruk. Tetapi tidak berusaha menunjukkan sesuatu di luar batas. Dan setelah jam makan malam tiba, Harger menduga; sudah terlalu lama sang hakim mendekam di satu ruang tersebut.Tidak tahu apakah pria itu sedang tertidur, atau justru sibuk berurusan dengan tumpukan berkas – berkas penting. Harger ragu untuk mengunjunginya, Ragu untuk benar – benar ada di depan pintu kamar sang hakim.Dia mengerjap. Segera pergi, mengaduk bubur yang meletup – letup di dalam panci. Gerakannya terhenti ketika merasa makanan kental dan lembek itu matang sesuai takaran. A
Pagi – pagi sekali suara tembakan menggelegar ke udara. Hal paling sering mengingatkan Harger; kali pertama dia pernah berada di sini. Diam – diam Harger menyikap tirai yang menjuntai, diam – diam mengintip lewat jendela kamar. Lamat Harger mengamati sebentuk tubuh Deu, yang mantap mengacungkan senjata di depan papan. Tirai jendela begitu tipis sehingga Harger bisa mengamati beberapa titik, papan, telah berlubang. Dan samar – samar pula dia mendapati kepulan asap melewati biasan cahaya matahari.Harger mulai tertarik. Menunggu waktu yang tepat sampai dia menyadari separuh wajah sang hakim perlahan – lahan seperti akan berpaling. Dia segera menutup tirai. Tidak ingin kedapatan sedang mengamati sang hakim, atau pria itu mungkin akan memikirkan sesuatu yang tidak diinginkan.Harger memutuskan untuk melangkahkan kaki keluar kamar. Rambut hitam panjangnya tergerai. Barangkali menyusul keberadaan sang hakim bukan sesuatu yang buruk. Harger ingin, sekali lagi berlatih menembak