"Kamu mau bawa aku ke mana, Alden?" tanya Rayna bingung.Pasalnya sedari tadi Alden jika ditanya selalu saja diam. Rayna mendadak gugup ketika Alden memberhentikan mobilnya di depan hotel."Alden?""Kenapa? tanya pria itu balik."Kamu ngapain bawa aku ke sini?"Alden tak menjawab, pria itu malah memberikan senyuman sinis.Pria itu lebih dulu turun dari mobil, lalu membuka pintu untuk Rayna, dan menarik tangan wanita itu agar segera turun."Aku nggak mau, Alden," tolak Rayna. Wanita itu berusaha keras memegang apapun yang ada di dalam mobil itu agar Alden tak bisa menariknya."Kamu mau aku pakai cara kasar? Di sini lagi ada banyak orang loh, Rayna," peringat pria itu seraya tersenyum menyeringai."Aku nggak mau masuk ke sana. Lagian kamu ngapain sih bawa aku ke sini. Asal kamu tahu, aku datang ke sini itu buat datang ke acara pernikahan Zidan, bukan pergi ke hotel sama kamu," desis wanita itu.'Ini benar-benar di luar dugaan. Kenapa Alden jadi bar-bar gini sih. Setahuku dulu dia tidak
Rayna berdecak kesal karena dikurung oleh Alden di dalam kamar. Wanita itu benar-benar bingung dengan apa yang terjadi, seingatnya ketika mereka habis bercinta, Rayna langsung tidur karena benar-benar kelelahan.Ya, Rayna dan Alden kembali mengulang kejadian waktu itu di tempat yang sama. Namun kali ini Aldenlah yang begitu bersemangat. Rayna meringis pelan ketika melihat Alden meminum obat kuat, entah dari mana asalnya pria itu bisa berpikir seperti itu, yang jelas Alden berkata jika pria itu akan membuat Rayna hamil.Mereka bercinta berkali-kali, sampai Rayna lemas dengan tenaga Alden yang tak kunjung reda, sialnya stamina pria itu malah semakin kuat. Kalau saja Rayna tak mengeluh lelah, sudah pasti Alden akan menyetubuhinya hingga pagi.Beruntungnya Alden mempunyai rasa kasihan pada Rayna, jelas saja membuat wanita itu bernapas lega. Rayna memutuskan untuk beristirahat, setelah itu akan pulang, sayangnya itu hanya rencana wanita itu saja. Ketika wanita itu membuka mata, dia sudah b
"Kamu udah ketemu sama Rayna?"Alden mendengkus keras karena mendapat pertanyaan dari temannya itu, Zidan."Omong kosong macam apa itu? Bukannya kamu udah lihat sendiri waktu di acara pernikahanmu?" tanya pria itu sinis.Zidan tergelak kencang. "Yaelah, basa-basi doang aja kok. Terus sekarang Rayna ke mana ya? Kok aku hubungi nomornya nggak aktif-aktif?"Alden memicingkan kedua matanya, menatap temannya itu dengan curiga. "Kamu coba hubungi Rayna? Untuk apa? Kamu lupa kalau kamu itu udah nikah?" tanya Alden dengan tatapan tajam."Apaan, cuma mau tahu kabarnya aja. Waktu itu, kan, dia kamu bawa pergi entah ke mana. Makanya aku sedikit was-was, nggak usah mikir aneh gitu lah, lagian aku juga tahu batasan.""Aneh aja gitu loh, jangan-jangan kamu masih naruh perasaan lagi sama dia?" tebak Alden."Sembarangan, pikiranmu itu loh ke mana, Den. Mana mungkin aku seperti itu, kasihan sama istriku," dengkus Zidan."Siapa tahu aja, kan?""Nggak ada. Jadi waktu itu kamu bawa Rayna ke mana?" tanya
"Aku mau ketemu sama Rayna sebentar saja.""Nggak boleh!" tolak Alden mentah-mentah.Zidan mendengkus keras. "Kamu ini kenapa? Kok mendadak jadi posesif begini?" tanya pria itu ketus."Gimana nggak posesif coba, Rayna aja baru aku temuin, kalau nggak kayak gitu nanti dia hilang lagi, pergi lagi," gerutu Alden."Ya tapi jangan dikurung juga kali, kasihan dia. Bukannya dia jatuh cinta sama kamu, yang ada malah dia jadi ilfil ngelihat tingkah kamu kayak gini. Lagian aku mau ketemu sama Rayna, aku mau ngomong serius sama dia."Alden berdecih pelan. "Nah, yang mau diomongin itu kira-kira apa. Kamu beneran mau jadikan Rayna istri kedua? Yang benar saja?""Hahahaha, masih aja dipikirin. Ya nggak lah, aku cuma mau yakinin dia aja kalau kamu itu serius sama dia. Kalau lihat pergerakan kamu yang kayak gini aja, mana mungkin Rayna luluh sama kamu. Pikiran kamu aja di ranjang melulu, coba sekali-kali kamu ajak dia itu bicara serius, dari hati ke hati, biar hasilnya tuh maksimal."Alden mengusap w
Setelah berbicara dengan Zidan, akhirnya pikiran Rayna pun mulai terbuka. Dia akan membuka hatinya untuk Alden walau hanya sedikit demi sedikit."Zidan nggak ngomong macam-macam, kan, sama kamu?" tanya Alden memastika.Rayna menggeleng. "Harusnya kamu bersyukur karena mempunyai teman sebaik dia."Alden mendengkus pelan. "Apa nih maksudnya? Kok tiba-tiba bicara kayak gitu?""Aku udah tahu semuanya kok. Tadi Zidan yang cerita sama aku, kalau selama ini kamu yang nyuruh Zidan buat ketemu sama aku. Padahal diam-diam kamu ngelihat aku dari kejauhan, kan?"Alden menghela napas berat. 'Sial! Kenapa tuh orang mulutnya bocor banget,' gerutu Alden dalam hati."Kenapa harus Zidan yang kamu suruh terus? Kasihan loh dia.""Kalau aku langsung temuin kamu, yang ada kamu langsung kabur. Makanya aku diam-diam perhatikan kamu dari kejauhan. Aku selalu mencari momen yang pas, agar kita bisa ketemu, tanpa ada paksaan sedikit pun. Dan menurutku waktu pernikahan Zidan memang momen yang begitu pas. Lagian Z
"Thanks ya, karena kamu akhirnya Rayna mau diajak nikah."Zidan mendengkus pelan. "Cuma gitu aja, cuma bilang makasih aja? Ya kali, kasih hadiah kek, mobil atau apa gitu," cibir pria itu.Alden mendelik kesal. "Dikasih hati malah minta jantung. Kemarin pas kamu nikah, aku udah kasih kamu mobil ya, kira-kira dong kalau minta.""Halah! Kamu kasih hadiah mobil juga bukan karena hadiah pernikahanku, tapi karena aku berhasil suruh Rayna datang," kata Zidan tak terima.Alden tertawa keras. "Nah, anggap aja itu sama.""Nggak bisa gitu. Harusnya kamu kasih aku hadiah dobel. Hadiah karena berhasil membuat Rayna datang ke sini, hadiah untuk hari pernikahanku, dan yang terakhir, hadiah karena aku udah berhasil bujuk Rayna mau nikah sama kamu. Sekarang mana dong hadiahnya?" pinta Zidan sambil memberi kode ke arah Alden menggunakan tangannya."Nanti aku pikirin, kalau aku udah nikah sama Rayna. Sial! Harusnya aku yang dikasih hadiah, kenapa jadi aku yang kasih hadiah?" tanya pria itu seraya meliri
"Aku nggak mau, Alden. Kita nggak perlu rayain pesta yang begitu megah, seadanya aja udah cukup."Alden menggeleng. "Hari pernikahan kita harusnya kita rayakan dengan pesta besar-besaran, Rayna. Ingat, itu pernikahan kita loh, kita harus merayakannya hitung-hitung buat kenangan di hari tua kita kelak," bantah Alden."Kenapa kita harus capek-capek merayakan yang jelas-jelas pernikahan hanya di laksanakan hanya satu hari saja? Harusnya kita memikirkan bagaimana nantinya ketika kita sudah menikah, kita selamanya akan hidup berdua. Harusnya kita memikirkan hal itu, Alden," jelas Rayna."Gini, Sayang. Ya, aku tahu kalau hari pernikahan itu hanya sekali atau sehari, tapi itu, kan, hari yang sakral. Momen di mana tempat kita melepas lajang. Jadi--""Ya udah deh, terserah kamu aja. Aku ngikut aja," sela Rayna cepat."Nah, gitu dong. Wanita lain itu ketika ingin menikah, pasti minta pesta yang besar-besar, tapi kamu ini nggak mau, aneh banget. Aku senang loh kalau kamu minta ini minta itu, per
Zidan menghela napas berkali-kali. Semenjak mendengar Alden dan Rayna akan menikah, pria itu tampak selalu menyendiri.Katakanlah kalau dia itu memang munafik, jika di depan Alden, pria itu terus ceria, seolah-olah berkata kalau dirinya sudah tak memiliki perasaan apapun lagi dengan Rayna, kenyataannya itu salah besar.Rasanya rumit kalau untuk dijelaskan, tapi ingin berteriak untuk hal yang dirasakan. Dari hati yang paling dalam, ada yang masih mengganjal di hati Zidan, entah itu apa.Kepala Zidan menengadah ke atas seraya memejamkan matanya."Pintu yang tidak dibukakan jangan diketuk lagi, itu namanya nggak sopan, Zidan. Lupakan saja, lupakan. Dia hanya masa lalu kamu, sementara kamu saat ini sudah mempunyai masa depan, yaitu istri kamu. Berhentilah menyakiti diri kamu sendiri dan juga orang yang ada di sampingmu, Zidan," gumam pria itu guna mengingatkan dirinya sendiri."Kenapa nggak masuk, Mas? Udara di luar tampak begitu dingin."Zidan tersentak, dia menoleh ke arah sumber suara
"Selamat, Bro. Akhirnya nikah juga," kata Zidan seraya memeluk temannya itu.Alden pun membalas pelukan pria itu. "Terima kasih, Zidan. Kalau bukan karena kamu, nggak mungkin aku bisa seperti ini, menikah dengan orang yang aku cintai. Semua ini berkat kamu, karena kamu yang bantu aku, dan juga merelakan rasa egomu hanya untukku. Maaf karena aku udah egois banget sama kamu, mengambil pacarmu tapi tidak memikirkan bagaimana perasaanmu."Zidan tersenyum getir. "Aku rela mengorbankan perasaanku karena aku kasihan sama kamu. Aku tidak pergi, aku hanya membatasi diri untuk tidak menggangu Rayna lagi. Jujur, sampai saat ini aku belum bisa melupakannya, aku masih mencintainya, tapi aku sadar kalau aku ini bukan pilihannya. Alden, jaga Raynaku baik-baik, sampai kapanpun itu. Hanya itu yang kupinta darimu," pinta pria itu."Apa kamu berniat ingin menghancurkan acara pernikahan ini?" tanya Alden dengan suara berat, kentara sekali kalau sedang menahan gejolak amarah."Nggak, aku cuma mau mengelua
Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Hari ini adalah hari pernikahan Alden dan juga Rayna.Zidan menatap dirinya sendiri dari pantulan cermin seraya tersenyum tipis.Sebentar lagi dia akan datang ke tempat acara mereka berdua, lantas kenapa dia menjadi gugup seperti ini?"Dek, bagus nggak sih kalau pakai ini?" tanya Zidan.Zara geleng-geleng kepala seraya tersenyum tipis. "Mas udah ganti baju berapa kali sih? Coba lihat tuh, berantakan," ujar wanita itu seraya menunjuk ke arah pakaian Zidan.Pria itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil nyengir lebar. "Aduh, maaf ya, Dek. Nanti aku bantuin rapihin deh, habisnya aku merasa pakai baju apa aja nggak ada yang cocok. Heran deh," keluh pria itu."Bukan pada nggak cocok, tapi Mas itu terlalu gugup. Yang Mas pakai saat ini udah bagus kok, cocok banget. Udah ya, nggak usah diganti lagi," pinta istrinya itu."Tapi aku kurang suka sama warna bajunya.""Terus Mas mau pakai baju yang mana? Biar aku bantu cariin deh," usul wanita itu
Zidan menghela napas berkali-kali. Semenjak mendengar Alden dan Rayna akan menikah, pria itu tampak selalu menyendiri.Katakanlah kalau dia itu memang munafik, jika di depan Alden, pria itu terus ceria, seolah-olah berkata kalau dirinya sudah tak memiliki perasaan apapun lagi dengan Rayna, kenyataannya itu salah besar.Rasanya rumit kalau untuk dijelaskan, tapi ingin berteriak untuk hal yang dirasakan. Dari hati yang paling dalam, ada yang masih mengganjal di hati Zidan, entah itu apa.Kepala Zidan menengadah ke atas seraya memejamkan matanya."Pintu yang tidak dibukakan jangan diketuk lagi, itu namanya nggak sopan, Zidan. Lupakan saja, lupakan. Dia hanya masa lalu kamu, sementara kamu saat ini sudah mempunyai masa depan, yaitu istri kamu. Berhentilah menyakiti diri kamu sendiri dan juga orang yang ada di sampingmu, Zidan," gumam pria itu guna mengingatkan dirinya sendiri."Kenapa nggak masuk, Mas? Udara di luar tampak begitu dingin."Zidan tersentak, dia menoleh ke arah sumber suara
"Aku nggak mau, Alden. Kita nggak perlu rayain pesta yang begitu megah, seadanya aja udah cukup."Alden menggeleng. "Hari pernikahan kita harusnya kita rayakan dengan pesta besar-besaran, Rayna. Ingat, itu pernikahan kita loh, kita harus merayakannya hitung-hitung buat kenangan di hari tua kita kelak," bantah Alden."Kenapa kita harus capek-capek merayakan yang jelas-jelas pernikahan hanya di laksanakan hanya satu hari saja? Harusnya kita memikirkan bagaimana nantinya ketika kita sudah menikah, kita selamanya akan hidup berdua. Harusnya kita memikirkan hal itu, Alden," jelas Rayna."Gini, Sayang. Ya, aku tahu kalau hari pernikahan itu hanya sekali atau sehari, tapi itu, kan, hari yang sakral. Momen di mana tempat kita melepas lajang. Jadi--""Ya udah deh, terserah kamu aja. Aku ngikut aja," sela Rayna cepat."Nah, gitu dong. Wanita lain itu ketika ingin menikah, pasti minta pesta yang besar-besar, tapi kamu ini nggak mau, aneh banget. Aku senang loh kalau kamu minta ini minta itu, per
"Thanks ya, karena kamu akhirnya Rayna mau diajak nikah."Zidan mendengkus pelan. "Cuma gitu aja, cuma bilang makasih aja? Ya kali, kasih hadiah kek, mobil atau apa gitu," cibir pria itu.Alden mendelik kesal. "Dikasih hati malah minta jantung. Kemarin pas kamu nikah, aku udah kasih kamu mobil ya, kira-kira dong kalau minta.""Halah! Kamu kasih hadiah mobil juga bukan karena hadiah pernikahanku, tapi karena aku berhasil suruh Rayna datang," kata Zidan tak terima.Alden tertawa keras. "Nah, anggap aja itu sama.""Nggak bisa gitu. Harusnya kamu kasih aku hadiah dobel. Hadiah karena berhasil membuat Rayna datang ke sini, hadiah untuk hari pernikahanku, dan yang terakhir, hadiah karena aku udah berhasil bujuk Rayna mau nikah sama kamu. Sekarang mana dong hadiahnya?" pinta Zidan sambil memberi kode ke arah Alden menggunakan tangannya."Nanti aku pikirin, kalau aku udah nikah sama Rayna. Sial! Harusnya aku yang dikasih hadiah, kenapa jadi aku yang kasih hadiah?" tanya pria itu seraya meliri
Setelah berbicara dengan Zidan, akhirnya pikiran Rayna pun mulai terbuka. Dia akan membuka hatinya untuk Alden walau hanya sedikit demi sedikit."Zidan nggak ngomong macam-macam, kan, sama kamu?" tanya Alden memastika.Rayna menggeleng. "Harusnya kamu bersyukur karena mempunyai teman sebaik dia."Alden mendengkus pelan. "Apa nih maksudnya? Kok tiba-tiba bicara kayak gitu?""Aku udah tahu semuanya kok. Tadi Zidan yang cerita sama aku, kalau selama ini kamu yang nyuruh Zidan buat ketemu sama aku. Padahal diam-diam kamu ngelihat aku dari kejauhan, kan?"Alden menghela napas berat. 'Sial! Kenapa tuh orang mulutnya bocor banget,' gerutu Alden dalam hati."Kenapa harus Zidan yang kamu suruh terus? Kasihan loh dia.""Kalau aku langsung temuin kamu, yang ada kamu langsung kabur. Makanya aku diam-diam perhatikan kamu dari kejauhan. Aku selalu mencari momen yang pas, agar kita bisa ketemu, tanpa ada paksaan sedikit pun. Dan menurutku waktu pernikahan Zidan memang momen yang begitu pas. Lagian Z
"Aku mau ketemu sama Rayna sebentar saja.""Nggak boleh!" tolak Alden mentah-mentah.Zidan mendengkus keras. "Kamu ini kenapa? Kok mendadak jadi posesif begini?" tanya pria itu ketus."Gimana nggak posesif coba, Rayna aja baru aku temuin, kalau nggak kayak gitu nanti dia hilang lagi, pergi lagi," gerutu Alden."Ya tapi jangan dikurung juga kali, kasihan dia. Bukannya dia jatuh cinta sama kamu, yang ada malah dia jadi ilfil ngelihat tingkah kamu kayak gini. Lagian aku mau ketemu sama Rayna, aku mau ngomong serius sama dia."Alden berdecih pelan. "Nah, yang mau diomongin itu kira-kira apa. Kamu beneran mau jadikan Rayna istri kedua? Yang benar saja?""Hahahaha, masih aja dipikirin. Ya nggak lah, aku cuma mau yakinin dia aja kalau kamu itu serius sama dia. Kalau lihat pergerakan kamu yang kayak gini aja, mana mungkin Rayna luluh sama kamu. Pikiran kamu aja di ranjang melulu, coba sekali-kali kamu ajak dia itu bicara serius, dari hati ke hati, biar hasilnya tuh maksimal."Alden mengusap w
"Kamu udah ketemu sama Rayna?"Alden mendengkus keras karena mendapat pertanyaan dari temannya itu, Zidan."Omong kosong macam apa itu? Bukannya kamu udah lihat sendiri waktu di acara pernikahanmu?" tanya pria itu sinis.Zidan tergelak kencang. "Yaelah, basa-basi doang aja kok. Terus sekarang Rayna ke mana ya? Kok aku hubungi nomornya nggak aktif-aktif?"Alden memicingkan kedua matanya, menatap temannya itu dengan curiga. "Kamu coba hubungi Rayna? Untuk apa? Kamu lupa kalau kamu itu udah nikah?" tanya Alden dengan tatapan tajam."Apaan, cuma mau tahu kabarnya aja. Waktu itu, kan, dia kamu bawa pergi entah ke mana. Makanya aku sedikit was-was, nggak usah mikir aneh gitu lah, lagian aku juga tahu batasan.""Aneh aja gitu loh, jangan-jangan kamu masih naruh perasaan lagi sama dia?" tebak Alden."Sembarangan, pikiranmu itu loh ke mana, Den. Mana mungkin aku seperti itu, kasihan sama istriku," dengkus Zidan."Siapa tahu aja, kan?""Nggak ada. Jadi waktu itu kamu bawa Rayna ke mana?" tanya
Rayna berdecak kesal karena dikurung oleh Alden di dalam kamar. Wanita itu benar-benar bingung dengan apa yang terjadi, seingatnya ketika mereka habis bercinta, Rayna langsung tidur karena benar-benar kelelahan.Ya, Rayna dan Alden kembali mengulang kejadian waktu itu di tempat yang sama. Namun kali ini Aldenlah yang begitu bersemangat. Rayna meringis pelan ketika melihat Alden meminum obat kuat, entah dari mana asalnya pria itu bisa berpikir seperti itu, yang jelas Alden berkata jika pria itu akan membuat Rayna hamil.Mereka bercinta berkali-kali, sampai Rayna lemas dengan tenaga Alden yang tak kunjung reda, sialnya stamina pria itu malah semakin kuat. Kalau saja Rayna tak mengeluh lelah, sudah pasti Alden akan menyetubuhinya hingga pagi.Beruntungnya Alden mempunyai rasa kasihan pada Rayna, jelas saja membuat wanita itu bernapas lega. Rayna memutuskan untuk beristirahat, setelah itu akan pulang, sayangnya itu hanya rencana wanita itu saja. Ketika wanita itu membuka mata, dia sudah b