"Kau membeli wanita seharga 1 juta dollar dan kau menikahinya? Kau pasti sudah gila!" cerca wanita berambut pirang itu. Matanya terbelalak sempurna memandang Oliver yang dengan santainya justru mengangkat bahunya ringan.
"Ini tak segila seperti yang jau bayangkan, Esme.""Kalau begitu jelaskan seperti apa situasi yang menurutmu tak segila bayanganku itu." Helaan napas berat pun terdengar dari Oliver seiring dengan dia yang menolehkan wajah untuk sekadar melayangkan tatapan lelahnya pada Esme."Perempuan itu adalah istri dari keponakanku, atau lebih tepatnya hampir jadi istri karena bajingan itu tiba-tiba membatalkan pendaftaran penikahan mereka lalu meminta uang satu juta dolar padaku dengan iming-iming perempuan itu. Aku-""Lalu kau membeli istri keponakanmu hanya karena keponakanmu menjualnya? Damn!""Dengarkan dulu ucapanku sampai selesai, Esme... jangan menyela," tegur Oliver pada Esme yang sedari tadi terus saja menggebu-gebu untuk sekadar mengatakan makian 'gila' untuknya."Kalau begitu cepat! Kau terlalu lambat menjelaskannya, membuatku jadi gemas sendiri.""Dengar... perempuan itu tak tahu kalau pria yang akan dinikahinya itu adalah bajingan yang punya bisnis kotor memperjual belikan manusia. Pria bajingan itu menjual remaja yang kabur dari rumah untuk dijadikan pekerja sex di tiap rumah bordil di luar negeri. Perempuan itu tak tahu kalau bajingan itu mengajukan pembatalan pernikahan, jadi aku memilih memberi bajingan itu uang yang diinginkannya lalu aku menikahi si perempuan karena aku tak ingin dia dipermalukan karena gagal menikah.""Kau mencintainya?" seru Esme tak habis pikir. Sedangkan Oliver justru dengan percaya diri menganggukan kepalanya."Iya, aku mencintainya tapi dia tidak.""Kau benar-benar gila. Tentu saja dia tak akan mencintaimu karena dia hampir menikahi pria yang dicintainya. Kau membeli perempuan milik orang lain, Oliver... kau benar-benar sinting!" hardiknya yang seketika itu pula membuat Oliver tersenyum kecut."Kau tak tahu apapun, Esme. Sebelum bajingan itu, aku sudah menyukainya lebih dulu. Aku bertemu Aralena lebih dulu saat dia masuk SMA, sedangkan Vincent bertemu dengannya ketika mereka berkuliah di Universitas yang sama. Sialnya Lena mencintai bajingan sepertinya.""Lantas apa hubungannya denganmu Oliver? Aku benar-benar tak mengerti.""Tentu saja karena aku tak bisa membiarkan hal itu terjadi karena dia terlalu naif. Lena terlalu mudah ditipu, sampai-sampai dia tak menyadari kalau Vincent seberbahaya itu.""Tapi dia tak akan bahagia ketika harus menikah denganmu seperti ini. Lihat, kau bahkan tak pernah pulang setelah lari dimalam pengantinmu kan? Kalian tak akan bahagia. Terutama kau.""Aku tak masalah jika aku menderita. Bukankah kau sendiri tahu betul kalau aku sudah sangat akrab dengan penderitaan macam apapun? Tapi aku tak akan tahan jika harus melihat perempuan yang kucintai justru menderita karena pria yang dicintainya. Itu pasti akan menyiksanya. Sekalipun dia tak bahagia karena harus menikah denganku, aku tak peduli. Aku akan tetap menahannya di sisiku dan memastikan tak akan ada yang menyakitinya," ucap Oliver penuh tekad. Dia terdengar sangat egois sampai-sampai Esme kehilangan kata-kata untuk sekadar menghardiknya lagi.***Tak seperti biasanya, malam ini Lena tak bisa tidur nyenyak setelah tidak adanya Oliver. Bukan karena dia merindukan pria itu, bukan. Ini lebih parah lagi. Dia membencinya.Semua ucapan Vincent berputar di kepalanya seperti piringan hitam yang diputar secara berulang-ulang, sehingga makin memupuk kebencian di dadanya sampai-sampai membuatnya sesak luar biasa."Oliver yang menjebak Vincent sebagai bandar obat-obatan terlarang. Dia yang menawarkan uang jutaan dolar dan meminta Vincent membatalkan pernikahan kami. Dia-" Lena tak kuasa melanjutkan sisa kalimatnya ketika rasa sesak semakin menekan uluhatinya."Aku pikir Oliver hanya pria bajingan, ternyata lebih dari itu. Dia iblis," hardik Lena berbicara sendiri.Dia menatap nanar pintu kamar tidurnya di apartemen sederhana milik Oliver ini."Sampai kapan aku harus bertahan di tempat ini? Sampai kapan aku harus jadi istri Oliver? Apa aku bisa kembali pada Vincent setelah dia bebas? Bukankah seharusnya aku pergi saja dari sini selagi pria iblis itu tak ada? Tapi bagaimana dengan Vincent, bagaimana kalau Oliver tak jadi membebaskannya jika tahu aku kabur?"Segala tanya itu terus menerus menghantui benak Lena dan membuatnya benar-benar frustrasi. Seperti buah simalakama, semuanya terasa serba salah. Tiap langkah yang ingin dia coba terasa terlalu beresiko."Tiga hari!" serunya ketika tiba-tiba teringat dengan ucapan Vincent. "Ya, benar. Setidaknya aku butuh bersabar selama tiga hari sampai keputusan sidang untuk Vincent selesai, baru aku akan memutuskan untuk tetap di sisi Oliver dan membalas dendam atau pergi kembali pada Vincent," lanjutnya penuh tekad.Mata Aralena berkilat-kilat dipenuhi oleh tekad yang serius, secercah rasa putus asa, juga dendam yang kian membara."Aku tak akan memaafkanmu seumur hidupku karena sudah menghancurkan mimpi bahagiaku, Oliver.""Kau akan pergi ke mana? Apa kau merindukanku?" sapa suara bariton itu tiba-tiba.Lena yang baru saja keluar dari unit apartemennya itu seketika terperanjat dan menatap ke arah sumber suara itu dengan panik. Dan rasa paniknya kian menjadi ketika mendapati Oliver di sana. Oliver pulang.Sial. Maki Lena di dalam hatinya.Pria itu tampak santai menyesap sebatang rokoknya sembari bersandar pada dinding disamping unit apartemen mereka. Dia dengan tenangnya menyunggingkan senyuman manis pada Lena."K-Kau... sejak kapan kau di sana?" ujar Lena balik bertanya dengan sedikit tergagap. Ditatapnya Oliver dengan tatapan tak suka.Oliver mendengus geli lalu mematikan rokoknya. "Sejak kau mengendap-endap keluar seperti seorang maling. Kau akan pergi ke mana, tidakkah kau butuh izinku?""Sejak kapan aku butuh hal remeh temeh seperti itu denganmu? Kau orang asing Oliver. Kau tak berhak tahu tentang apapun yang aku lakukan."Sudut bibir Oliver berkedut mendengar ucapan sinis dari istrinya sendiri. Se
Satu hal yang mengejutkan Lena ketika dia tiba di bandara dan menuruni tangga untuk keluar dari pesawat jet yang ternyata super mewah ketika dia melihatnya secara langsung dari luar.Lena memilih bungkam dan menyembunyikan segala ekspresi terkejutnya, walaupun segala tanya di kepala terus saja berkecamuk meminta penjelasan tentang 'dari mana Oliver punya akses untuk menaiki pesawat pribadi dengan harga fantastis ini?'"Apa kau baik-baik saja? Apa kau merasakan mual?" tanya Oliver penuh perhatian. Dia mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi Lena, tapi detik itu pula Lena menghalaunya dan melayangkan tatapan sinis padanya."Aku baik-baik saja. Jangan coba-coba menyentuhku," ucapnya sinis. Mendengar itu, Oliver pun menarik kembali tangannya dan menyimpannya kembali di samping tubuhnya. Dia tampak cukup tenang untuk seseorang yang sedang merasakan hatinya berubah getir karena berulang-ulang kali mendapatkan penolakan, kata-kata sinis juga kasar dari perempuan yang dicintai dan yang be
"Tempatku pulang? Rumah ini?" Lena tertawa mencemooh Oliver. "Kau pasti sedang berbohong padaku. Kau pembohong besar."Oliver tersenyum simpul, lalu kemudian meminta sopir yang mengemudikan mobil audi itu untuk membawakan koper miliknya ke dalam terlebih dahulu, sebelum akhirnya dia pun kembali menoleh menatap Lena."Ayo masuk. Tidakkah kau ingin melihat-lihat seisi rumah dan menikmati pemandangannya?" ujar Oliver tenag.Dia memilih untuk tak mengindahkan ejekan Lena terhadapnya. Kali ini, Oliver tak mengulurkan tangannya pada Lena. Dia langsung melangkah masuk ke dalam mansion tanpa menunggu Lena terlebih dahulu karena dia tahu betul kalau perempuan itu pasti tak akan sudi berjalan beriringan dengannya.Sepeninggalnya Oliver, Lena hanya melihat punggung pria itu yang menjauh dari pandangannya. Sedangkan dirinya masih terus terpaku di tempatnya untuk kembali mengamati setiap sisi dari bangunan rumah bergaya klasik yang dipadukan dengan gaya arsite
Malam itu, Oliver habiskan dengan melamun menatap lampu tidur yang membuat ruangan kamarnya ini jadi temaram. Sesekali dia bergerak tak nyaman karena harus berbaring di sofa yang bahkan tak bisa menampung tubuhnya. Kakinya hanya bisa menggantung ke lantai karena sofa yang sempit, dan hal itu membuatnya tak bisa tidur.Suara dengkuran halus pun kemudian terdengar memecah keheningan di kamar itu, membuat Oliver menoleh dan tersenyum hangat ketika melihat kalau Lena sudah tertidur lelap di atas ranjangnya."Dia bilang sangat membenciku. Aku rasa hanya dia yang tidur di ruangan yang sama dengan orang yang dibencinya. Benar-benar perempuan aneh," gumam Oliver seraya terkekeh kecil.Cukup lama dia memandang ke arah Lena, sampai ketika dirasa Lena sudah benar-benar terlelap dalam tidurnya, Oliver pun memberanikan dirinya untuk bangun dari pembaringannya dan melangkah menuju ranjangnya. Di sana, dia dengan penuh kehati-hatian, Oliver beringsut naik ke atas ranjang dan berbaring tepat di sampi
"Peluk," pinta Oliver seraya merentangkan tangannya lebar-lebar saat dia masuk ke dalam kamar setelah dia menyelesaikan olahraga paginya.Dengan riang dan gembira, dia berjalan menghampiri Lena yang saat itu sudah tampak segar setelah mandi dan begitu cantik dalam balutan dress vintage berbahan sifon."Tidak sudi. Menyingkir dariku, kau bau keringat!" tolaknya seraya mendorong dada Oliver agar menjauh darinya dengan cara yang cukup kasar."Jika aku selesai mandi dan tak bau keringat, apa aku akan mendapatkan pelukan?" Oliver tak sekalipun merasa jera. Dia tetap riang dan bersikap hangat pada Lena, bahkan tak jarang dia sengaja menggoda perempuan itu sekalipun respon yang selalu didapatkannya adalah hal yang sangat menyakiti hatinya."Hanya dalam mimpimu!" ujar Lena ketus, seraya menedelikan matanya sinis ke arah Oliver, sebelum kemudian membaringkan tubuhnya ke atas ranjang dan kembali memejamkan matanya ubtuk berpura-pura tidur.Dia terlalu muak mengobrol dengan Oliver, tapi juga en
"Aku sudah bebas dari penjara, Lena. Kau ke mana? Aku tak menemukanmu di apartemen milik paman Oliver," suara berat milik Vincent dari seberang telepon sana itu terdengar putus asa.Panggilan telepon dari nomor asing yang hampir Lena tolak tenyata adalah panggilan telepon dari Vincent. Pria itu langsung menghubunginya dan hal itu benar-benar membuat hati Lena terenyuh sampai-sampai dia tak bisa menahan dirinya untuk yang menangis.Di satu sisi dia merasa sangat lega, tapi di sisi lain dia merasa sangat sedih karena kini dia sudah tak bisa bersama Vincent lagi. Lebih dari itu, kinu dia bahkan sudah berada di tempat yang sangat jauh dari jangkauan Vincent.Yang terdengar hanya isak tangis, sehingga Vincent yang berada di seberang telepon sana pun kembali berkata, "Aku merindukanmu, Lena. Maaf karena aku membiarkanmu menikahi paman Oliver hanya demi uang satu juta dolar yang kuinginkan. Tapi, sekarang aku sudah bebas, Lena. Tak bisakah kau kembali padaku?""Aku harap aku bisa," cicit Len
"Kau pembohong," tuduh Lena. Dia semakin menatap Oliver dengan tatapan bencinya. "Kau sengaja mengatakan hal itu untuk mempengaruhiku, kan? Aku tak akan terpengaruh untuk membenci Vincent karena Vincent sudah lebih dulu mengatakan yang sebenarnya padaku kalau kaulah yang menjebaknya. Dia tak pernah menjualku padamu demi uang jutaan dolar. Kaulah yang mengancamnya dengan uang itu."Oliver mengerutkan keningnya mendengar tuduhan itu. "Kau mendengar cerita yamg salah, Aralena. Aku tak pernah mengancam Vincent dan aku tak pernah memenjarakan pria itu.""Pembohong." Lena menggunakan kedua telapak tangannya untuk menutup telinga karena enggan mendengarkan ucapan Oliver."Vincent akan menjualmu pada pria hidung belang yang jadi pelanggan VVIP-Nya. Aku menentang hal itu dan dia memintaku membayar 1 juta dolar sebagai tebusan kalau tak ingin dia menjualmu. Dia tertangkap di pelabuhan saat menyelundupkan para remaja dan narkoba yang akan di jualnya, Aralena. Aku tak pernah menjebaknya, percayala
Setelah kepergian Oliver, tak lama kemudian seorang maid meminta izin masuk kepada Lena untuk membersihkan kepingan-kepingan ponsel yang hanya bisa Lena tatap dengan tatapan nyalang.Ponsel yang dia beli susah payah harus hancur begitu saja hanya karena Oliver tak menyukai dirinya berkomunikasi dengan Vincent."Dasar pria gila," gumam Lena pelan. Sangat pelan sampai terdengar seperti sebuah bisikan hanya karena dirinya tak ingin maid itu mendengan makiannya untuk Oliver."Saya sudah selesai membersihkan pecahan kacanya," ucap maid itu memberitahukan, sebelum kemudian dia pamit undur diri.Tak lama kemudian maid yang lain datang, tapi kali ini dia membawakan sarapan juga sebuah paperbag."Sarapan untuk anda saya taruh di nakas, lalu ini-" maid itu mengulurkan paperbag yang dibawanya kepada Lena. "Tuan Eduardo meminta saya untuk memberikan ini kepada anda, nona Blade."Tanpa memberikan jawaban, Lena sudah lebih dulu melihat isi paper bag itu dan dibuat tertegun karena dia melihat kotak
Kali pertama dalam hidupnya, Vincent baru merasakan kalau melihat langit biru dengan awan putih yang bergerak ternyata begitu membahagiakan setelah ia bebas dari penjara. Dulu, sebelum hidupnya jungkir balik seperti sekarang, Vincent tidak pernah merasa bersyukur pada hal sekecil apa pun yang ia dapatkan. Fokus Vincent pada hal besar serta hal-hal yang belum ia dapatkan sehingga ia melupakan hal yang sudah ia punya dan raih selama ini. “Udara pagi ini terasa begitu segar. Tidak pernah kudengar kicauan burung semerdu ini.” Vincent berkata pada dirinya sendiri sembari tersenyum kecut. Hari-hari yang ia lewati sebelum hari ini adalah hari penyiksaan. Hidup di penjara bagaikan neraka. Hanya jeruji besi, atap, baju dan selimut tipis yang menemani Vincent selama di penjara. Hidup Vincent di penjara tidak pernah menyenangkan. Ia dipaksa oleh keadaan untuk menyesuaikan diri. Mengerjakan pekerjaan kasar yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan. Menyapu, mencuci, membersihkan
"Sayang, apa kamu sudah siap?" teriak Esme dari dapur. Wanita itu tampak sibuk menata bekal untuk anak-anaknya dan juga untuk Sebastian tentunya. Karena tidak mendengar jawaban apa pun, Esme menjeda terlebih dahulu kegiatannya dan berjalan untuk masuk ke kamar putrinya. Dia takut kalau ada yang perlu dibutuhkan oleh putrinya. "Kamu perlu bantuan?" tanya Esme saat baru membuka pintu kamar putrinya. Gisel, gadis berusia sembilan tahun itu masih berdiri di depan cermin dengan seragam sekolahnya itu tersenyum manis. "Sebenarnya aku ingin bersiap sendiri tanpa bantuan Mama, tapi sepertinya aku tetap ingin dibantu. Lihat, terlihat masih belum rapi, kan?" tanya Gisel sambil melihat seragamnya yang kusut. Esme tersenyum, lalu mendekati putrinya itu. Dengan cekatan dia membantu merapikan seragam yang sudah dipakai Gisel agar terlihat lebih rapi. "Anak gadis Mama rupanya ingin belajar lebih mandiri, ya. Seragamnya sudah cukup rapi, Mama hanya perlu membenarkan sedikit saja," tuturnya. Gi
"Sayang!" Lena berseru saat keluar kamar menuju ruang tamu, membawa perutnya yang kini sudah sebesar semangka lalu duduk di samping Oliver. "Apa, Sayang?" tanya Oliver tanpa menghentikan gerakan tangannya menggulir tab. Kurang dari lima belas menit lagi dia harus berangkat ke kantor, tetapi sampai sekarang masih sibuk mengurusi materi meeting siang nanti. "Lihat ini dulu sebentar." Lena menyodorkan ponselnya hingga menutupi layar tab. Membuat si empunya menghela napas pasrah dan terpaksa menekan tombol home. Pada layar ponsel Lena, terpampang gambar sebuah taman bunga. Sebagian besar isinya diisi oleh bunga mawar, sedangkan yang lain Oliver tidak paham. Lelaki itu mengangkat sebelah alis sembari bertanya, "kamu mau ke situ? Memang itu di mana? Dalam negeri atau luar negeri? Nanti kita ke situ setelah kamu melahirkan dan anak kita cukup besar." "Aku maunya lihat sekarang!" Lena cemberut dan langsung membelakangi tubuh Oliver. "Iya, tapi ...." Belum sempat Oliver menyelesa
Pagi ini kediaman Oliver lebih ramai daripada biasanya. Banyak orang berlalu lalang untuk mempersiapkan acara tujuh bulanan Lena yang akan dilaksanakan sore nanti. Oliver mempersiapkan acara ini dengan sangat matang. Dia menyewa vendor terbaik untuk membantu terselenggaranya acara. Ruang keluarga yang luas disulap dengan dekorasi cantik yang penuh dengan bunga karena Lena menyukai itu. Oliver sengaja memesan semua bunga segar. Ada mawar, tulip, lili, ester hingga bunga matahari. Semua itu ditata dengan begitu apik. Membuat acara perayaan kehamilan Lena yang sudah memasuki usia tujuh bulan itu semakin terasa meriah. Di sisi kiri dan kanan ruangan juga ditata dengan meja yang sudah dihias. Nantinya meja tersebut akan diisi dengan aneka minuman, dessert serta hidangan utama. Tentu saja Oliver memesan semua hidangan terbaik dan memanjakan lidah. Awalnya Lena menginginkan acara digelar di halaman belakang tetapi Oliver tidak setuju mengingat cuaca sekarang yang tidak menentu.
Mobil Sebastian sudah berhenti di depan rumah Oliver, pria itu turun dari mobil dan menekan bel. Suasana rumah masih terlihat sepi, sepertinya dia datang terlalu pagi, tapi jika dia tidak datang pagi-pagi takutnya Matthew nanti merepotkan.Setelah menekan bel dua kali, akhirnya Oliver sendiri yang membukakan pintu. Dari wajahnya, Oliver baru bangun tidur."Oh, kamu rupanya. Aku kira siapa," ucap Oliver dengan suara serak lhas orang baru bangun tidur."Maaf aku datang pagi sekali. Sebenarnya aku ingin menjemput Matthew kemarin malam, tapi aku pulang terlalu larut. Jadi kupikir lebih baik aku menjemput pagi ini saja agar tidak mengganggu kalian." Sebastian merasa tidak enak.Oliver tersenyum. "Tidak masalah. Ayo masuk."Lena juga baru saja beranjak dari sofa, wanita itu menggulung rambutnya agar lebih rapi. "Kamu datang pagi sekali, Matthew masih di kamar dan sepertinya dia belum bangun," ucapnya."Aku akan menggendongnya saja, tid
Malam ini Matthew tidur di tengah-tengah Oliver dan Lena sebab Sebastian dan Esme mengatakan akan menghabiskan waktu berdua saja di hotel sebagai perayaan. Tentu saja keputusan itu disambut baik dengan mereka berdua karena Oliver sudah menganggap Matthew sebagai putranya sendiri. "Apa kau senang bisa tidur bersama kami?" tanya Oliver. "Tentu saja aku sangat senang sekali!" jawab Matthew antusias. "Baguslah. Kau memang anak pintar," puji Oliver sembari mengusap lembut kepala Matthew. Di sisi lain, Lena senyum-senyum sendiri sambil menatap ke arah suaminya dan Matthew secara bergantian. Sepertinya Lena sangat bahagia dengan situasi sekarang ini. Siapa sangka sikapnya tersebut ternyata disadari oleh Oliver. "Sepertinya ada yang senang juga di sini selain Matthew," celetuk Oliver. Lena sedikit terkejut ketika Oliver menegurnya. Namun, ia tak dapat menyangkal jika ia memang sangat senang.
Puas mengobrol sekaligus menemani istri tuan rumah, Sebastian mengajak Esme pulang. Karena Lena masih belum pulih, Oliverlah yang kebagian mengantar tamunya hingga ke depan pintu.Esme menggandeng tangan Matthew di depan sedangkan Sebastian dan Oliver berjalan di belakang. Kedua lelaki berbeda usia itu kembali membahas mengenai rencana Sebastian melamar."Apa kamu sudah melamar Esme secara resmi? Atau baru sebatas obrolan biasa?" tanya Oliver."Aku belum melamarnya secara resmi. Baru mengutarakan niat kemarin saat kami berbaikan," sahut Sebastian. it"Ah, seperti itu. Tidak apa-apa, itu pun sudah menjadi langkah awal yang bagus. Setidaknya, Esme jadi tahu kalau kamu serius dengan hubungan kalian."Oliver menepuk pundak Sebastian. Memuji keberanian lelaki itu."Aku selalu serius dengan Esme. Walaupun kami beberapa kali bertengkar, tetapi aku tidak pernah memiliki niat meninggalkan."Tatapan mata Sebastian fokus pada dua o
Begitu mendengar kabar bahwa Lena telah diperbolehkan pulang oleh dokter, Esme langsung berinisiatif untuk pergi ke rumah wanita itu dan menolongnya beberes. Esme yakin walaupun di rumah nanti Lena akan banyak dibantu oleh pembantunya, tapi tetap saja dia pasti membutuhkan support system dari sahabatnya. Esme ke sana tentu saja tidak seorang diri. Matthew dan Sebastian juga ikut menemani. Sejak meminta maaf kepada Sebastian atas kesalahannya tempo hari, dada dan pundak Esme terasa lebih ringan, seolah beban berat yang ia pikul selama ini menghilang dalam sekejap. Apalagi setelah Sebastian mengutarakan niatnya kepada Esme untuk mengikat hubungan mereka ke jenjang pernikahan, hidup Esme terasa berubah. Ia jauh lebih bahagia, tenang dan selalu tersenyum. Yang paling bahagia tentu saja Matthew. Meskipun mereka belum bilang secara langsung kepada bocah tujuh tahun itu, tapi dengan kehadiran Sebastian yang lebih sering dari sebel
Setelah lama di rumah sakit, Lena akhirnya diperbolehkan untuk pulang. Oliver sengaja menyewa banyak pengawal tambahan untuk mengawal kepulangannya dan Lena. Istrinya itu sampai terheran melihat semua pengawalnya."Kenapa kamu sampai menyewa banyak sekali pengawal?" tanya Lena saat sudah berada di dalam mobil dan melihat mobilnya dikelilingi.Oliver menggenggam tangan Lena dengan lembut. "Aku melakukan itu untuk keselamatanmu, aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu lagi.""Tapi bukankah ini terlalu berlebihan?""Tidak, ini semua normal."Lena tidak bisa membantah lagi, jika Oliver sudah melakukan sesuatu tidak ada gunanya berdebat lagi. Toh juga ini semua juga untuk keselamatannya dan juga calon bayinya.Setelah perjalanan beberapa menit dari rumah sakit, akhirnya rombongan mobil sampai juga di kediaman Oliver, saking banyaknya seperti ada iring-iringan.Tidak kalah banyak pengawal saat perjalanan, di rumah pun Oliver me