"Axel, apa menurutmu yang ini tidak bagus? Aku sangat menyukainya." Kania menunjukkan foto sepatu di ponselnya saat mereka sudah duduk di restoran. "Bagus! Tapi yang kau beli tadi lebih bagus.""Tapi aku menyukainya. Apa aku membelinya juga saja ya? Daripada nanti malam aku tidak bisa tidur memikirkan sepatu itu.""Astaga, Kak! Aku membawa 3 kotak sepatu dan milikku hanya 1, yang 2 adalah milikmu, apa kau masih perlu membeli lagi?" sahut Axel tak percaya."Eh, mengapa kau punya 1? Itu kan sepatu wanita!" celetuk Juan tiba-tiba. "Untuk calon kekasihnya." Kania terkikik saat mengatakannya. "Ah, dasar! Baru 2 hari di Indonesia tapi kau sudah punya calon kekasih ya. Benar-benar playboy sejati!" Juan memicingkan mata menatap Axel. "Haha, bukan calon kekasih! Haha, kami masih teman." Axel pun tertawa sendiri. "Teman? Di mana kalian bertemu, hah? Wanita seperti apa dia? Apa dia punya teman yang cantik juga? Aku baru saja putus dengan kekasihku, kenalkan satu padaku!" Juan menyenggol len
"Dia adalah pria terbaik di dunia ini dan aku sangat mencintainya." Kania terus memuji Nero setinggi langit saat mereka akhirnya berkumpul kembali ke restoran. Dengan bangga, Kania menunjukkan sepatunya dan menunjukkan bagaimana ia sangat menyukai pemberian Nero itu. "Haha, aku ikut senang, Kak. Sering-seringlah membuat Kak Kania bahagia!" pesan Axel pada Nero. "Hei, kau anak kecil bicara apa? Tentu saja Nero selalu membuatku bahagia! Tapi sepatu ini membuatku makin bahagia. Rasanya seperti ada Nero di setiap langkahku. Astaga, maafkan kalau aku berlebihan! Aku pasti hanya terlalu bahagia sekarang!" Kania mengipasi wajahnya sambil terus tertawa bahagia. Kania pun menoleh ke arah Nero dan kembali memeluk lengan Nero. "Sekali lagi terima kasih, Calon Suamiku! Aku mencintaimu, Nero." Kania menatap Nero dengan binar-binar penuh cinta di matanya. Axel dan Juan nampak saling melirik dan ikut bahagia melihatnya.Sementara ekspresi Nero saat ini benar-benar tidak terbaca. Bukannya ia t
Saat perasaan hati Nero tetap tidak baik sampai keesokan harinya, perasaan Axel justru sedang berbunga-bunga. Hari pertamanya bekerja berjalan begitu lancar. Para karyawan menyambutnya dengan antusias dan semua orang sangat ramah kepadanya. Axel sendiri pun begitu antusias karena selain bekerja, ia juga punya rencana lain yaitu memberikan sepatu untuk Patra. Hanya saja, sejak pagi mencari Patra ke ruang cleaning service, Axel belum juga menemukannya. Dan siang ini, setelah berkeliling cukup lama, akhirnya Axel pun menemukan Patra di ruang fotokopi di divisinya. Karena para karyawan yang lain sudah turun untuk makan siang, Axel pun berani membawa kotak sepatunya untuk diberikan pada Patra. "Apa ini, Axel?" tanya Patra tidak yakin."Terimalah dan bukalah, Patra!" Axel tersenyum, sedangkan Patra nampak ragu, namun Patra tetap menerima dan membuka kotaknya. "Astaga, Axel, sepatu? Untukku?" Patra membelalak kaget. Kemarin malam ia sudah membeli sepatu bersama Patrick dan ia sudah
Hati Nero terus gelisah sejak kemarin malam bahkan sampai pagi ini. Rasanya ia begitu ingin membelikan Patra sepatu baru, namun karena niatnya itu belum terlaksana, maka perasaannya tidak kunjung baik. Nero pun tidak bisa berkonsentrasi bekerja sepanjang pagi itu hingga siang harinya, ia memutuskan pergi ke toko sepatu di mall yang kemarin. "Nero, kau tidak ikut makan siang bersamaku dan Axel?" tanya Juan yang melihat Nero mengemasi berkasnya. "Tidak! Kalian makan sendiri saja! Ada hal penting yang harus kuurus, aku pergi dulu!""Eh? Kau mau ke mana, Nero?" teriak Juan saat Nero sudah melesat keluar dari ruang kerjanya. "Ckckck, sikapnya itu makin lama makin aneh!" gerutu Juan yang akhirnya pergi makan berdua saja dengan Axel. Sementara Nero begitu cepat sudah sampai ke toko sepatu yang sama di mall. "Maaf, kau mengingatku kan, Nona? Aku mau membeli sepatu dengan ukuran yang sama seperti yang kubeli kemarin.""Oh iya, aku mengingat Anda, Pak Bukankah kemarin Anda membeli ukuran
Patra yang mendengar bisikan Nero pun menatap Nero dan mereka saling bertatapan dari pantulan cermin sampai Patra merasa salah tingkah dan memalingkan wajahnya. "Hmm, apa ... maksudnya? Ini sudah malam, kalau Anda tidak akan menghukumku, lebih baik aku pulang saja!" kata Patra yang langsung menjauh dari Nero. Nero hanya bisa menoleh menatap Patra yang sudah menyambar lagi tas tangannya itu. Dan ketika Patra sudah bergerak maju, Nero pun mencekal pergelangan tangan Patra. "Patra, aku serius!" kata Nero dengan nada yang tidak terlalu lembut, tapi juga tidak ketus sama sekali. Patra hanya mengerjapkan mata merasakan suasana yang mendadak berubah ini. Entah apa yang terjadi pada Nero sampai mendadak bersikap seperti ini. "Hmm, Anda ini apa-apaan, masih ada orang di luar, kalau mereka melihat kita seperti ini, itu tidak baik, Pak Nero!"Nero menatap Patra sejenak, sebelum ia mengembuskan napas panjangnya. "Biarkan saja! Aku juga tidak akan melakukan apa-apa! Jadi kau ... juga janga
Nero dan Patra masih saling menatap dengan semua kenangan yang sedang terputar indah di otak mereka masing-masing. Mata Patra pun masih berkaca-kaca menatap wajah tampan Nero yang dulu selalu menjadi pusat dunianya. Namun, dengan cepat Patra kembali pada kenyataan. Patra pun lebih dulu memalingkan wajahnya memutus kontak matanya dengan Nero. "Jangan kekanakan, Pak Nero! Anda sudah dewasa. Apa Anda mau menakuti anak kecil dengan menyentil mereka?" Patra tertawa kesal. Nero yang mendengarnya pun mengedipkan mata beberapa kali, sebelum ia menurunkan tangannya. "Aku ... hanya asal bicara. Sudahlah, pakai sepatunya!" Nero pun kembali berkutat dengan kaki Patra untuk melepas sepatu Patra. Namun, Patra kembali berusaha menarik kakinya. "Aku tidak mau. Lepaskan kakiku atau aku akan berteriak!" Patra terus menarik kakinya, namun Nero terus menahannya. "Aku mau, Patra!" seru Nero lantang sampai Patra kembali terdiam. "Biarkan aku yang memakaikan sepatunya," kata Nero tegas. Patra pun m
Juan menahan napasnya mendengar nama itu. "P-Patra? Patra? Kau ... masih memikirkan wanita itu, Nero?" Dengan cepat Juan pun kembali menghampiri Nero dan memapah Nero. Juan cukup mengetahui kisah cinta tentang Nero dan Patra di masa lalu termasuk bagaimana sakit hatinya Nero setelah ditinggalkan oleh Patra. Juan pun tahu kalau Nero masih menyimpan perasaan untuk Patra, karena itu, Nero belum bisa mencintai Kania. Namun, Juan hanya tidak menyangka akan mendengar nama itu lagi dari mulut Nero. Selama ini Nero sudah berusaha melupakan Patra dan tidak pernah menyebutkan nama itu sama sekali di depan Juan. Bahkan saat Nero mencari tahu tentang Patra pun, Nero meminta bantuan dari anak buah ibunya. Sedangkan urusan menjegal karir Patra, Nero meminta bantuan dari salah satu temannya yang cukup bisa dipercaya. Juan sama sekali tidak tahu apa pun tentang usaha Nero mencari Patra, karena itu, Juan sangat kaget sekarang. "Astaga, sudah, Nero! Kau meresahkan sekali! Kita pulang saja, Ne
Nero dan Kania berangkat bersama ke kantor siang itu. Mereka pun langsung masuk ke dalam lift yang akan membawa mereka ke ruang kerja Nero. Nero berdiri tegak dengan Kania yang terus menggelayut di lengan Nero dengan manja. Dan Nero membiarkannya karena hal tersebut sudah biasa dilakukan oleh Kania. Mereka pun menunggu sampai pintu lift tertutup, tapi baru saja pintu bergerak, seorang pria terdengar berlari mendekat dan menekan tombol buka sampai pintu lift terbuka lagi. "Eh, tunggu!" seru pria itu. Kania pun langsung tersenyum cerah melihat adiknya yang nampak terburu-buru. "Axel! Apa yang kau lakukan? Kau tidak masuk?" tanya Kania. "Sebentar, aku menunggu seseorang," sahut Axel sambil menaikkan alisnya menatap Kania dan Nero.Kania pun mengernyit penasaran. "Siapa yang kau tunggu? Cepat sekali kau mendapat teman baru ya!"Axel hanya tersenyum sebelum ia menoleh ke arah temannya. "Ayo cepat, Patra!" panggil Axel sambil melambaikan tangannya. Kania yang mendengar nama Patra p
Patra tidak pernah menyangka Nero akan mengatakan syarat yang sangat brengsek seperti itu dan Patra meradang mendengarnya.Dengan cepat, ia bangkit dari kursinya dan menatap Nero."Jadi wanitamu? Lalu apa tugasku, hah? Menemanimu di ranjang? Kau akan menukarnya dengan imbalan 10x lipat gajiku, hah?""Bukankah itu pekerjaan yang mudah, Patra? Hanya menjadi milikku, selalu bersamaku setiap kali aku membutuhkanmu!l.""Oh, kau memang brengsek, Pak Nero! Aku tahu sejak awal maksudmu memang ingin merendahkanku dan menghinaku, tapi asal kau tahu kalau aku sama sekali tidak gentar! Aku juga tidak butuh gaji 10x lipat karena aku puas dengan gaji yang akan kudapatkan dari menjadi asisten nanti! Jadi kalau kau tidak mau kutampar lagi seperti waktu itu, lebih baik kau keluar saja dari sini!" Patra merentangkan tangannya mengusir Nero dengan tatapan yang berapi-api.Dan Nero terlihat sama sekali tidak menerimanya. "Katakan mengapa kau harus bersikap seperti ini, Patra? Mengapa kau tidak mau bersam
Nero masih membelalak dan mematung menatap Kania yang sedang berbaring pasrah di bawahnya. "K-Kania?" ucap Nero dengan begitu kaget. Namun, Kania hanya tersenyum sambil tetap memeluk leher Nero. "Lakukan, Nero! Lakukan, Sayang! Aku milikmu, Nero!" ucap Kania dengan suara paraunya. Nero pun makin membelalak mendengarnya. Nero langsung menggelengkan kepalanya dan malah bangkit dari tubuh Kania. "Kania, maaf, apa yang sudah kulakukan?"Nero menatap sekeliling mencari kemejanya lalu segera memakainya lagi. "Nero, kau kenapa, Sayang? Aku tunanganmu, kita akan menikah, apa salahnya? Tidak apa, Nero. Kita lanjutkan ya ...." Kania meraih tangan Nero dan menggenggamnya. Namun, Nero menarik lagi tangannya dan malah memalingkan wajahnya dari tubuh Kania yang masih terbuka. "Kania, pakai bajumu lagi! Maaf, aku ... aku tidak sengaja melakukannya. Maafkan aku! Aku tidak tahu mengapa kau bisa ada di sini tapi maaf ... kurasa aku harus pergi," kata Nero lagi sebelum ia langsung pergi meningga
Perasaan Nero tidak pernah tenang sejak Patra diresmikan menjadi asisten Axel. Banyak pikiran absurd muncul di otak Nero tentang Axel yang mungkin akan menggoda Patra atau Patra sendiri yang akan menyodorkan dirinya pada Axel. "Sial! Bukankah Patra tidak akan menolaknya kalau ada pria kaya yang mendekatinya?"Nero galau sendiri. Bahkan saking galaunya, ia ingin menangis rasanya. Walaupun selama ini Nero menganggap bahwa Patra adalah wanita murahan, tapi mengetahui hal itu akan terjadi di depan matanya, membuat hatinya begitu sakit. Bahkan Nero sama sekali tidak bisa mencintai maupun menyentuh wanita lain lagi selain Patra, tapi mengapa hal itu sepertinya sangat mudah dilakukan oleh Patra?Dan Nero yang galau pun mengabaikan semuanya, mengabaikan Juan, mengabaikan Kania. Nero menyetir mobilnya sepanjang malam tanpa arah yang pasti sampai akhirnya ia menghentikan mobilnya di dekat rumah Patra. Nero sudah mencari tahu di mana Patra tinggal dan tidak sulit menemukannya karena mereka
"Nero, kau berhutang penjelasan padaku, wanita itu Patra kan? Patra yang dulu kan? Walaupun sekarang dia terlihat lebih berisi dan lebih cantik tapi dia Patra yang dulu kan?""Bagaimana dia bisa bekerja di sini dan ... jadi dia adalah wanita lulusan terbaik di kampusnya yang melamar menjadi admin tapi kau menjadikannya cleaning service?""Aku tidak percaya ini, tapi bagaimana bisa ... bagaimana bisa dia melamar kerja di sini dan ... kalian sudah pernah bertemu sebelumnya kan? Bagaimana ...."Juan terus memberondong Nero dengan begitu banyak pertanyaan, namun Nero tetap diam dan terus mendesis kesal di ruang kerjanya. Nero tidak bisa menerimanya. Nero tahu Patra pintar dan Patra melakukan presentasi dengan sempurna, tapi Nero tidak bisa menerima Patra sebagai asisten Axel. "Shit!" Alih-alih menyahuti Juan, Nero malah terus mengumpat dengan kesal. Juan pun makin mengernyit melihatnya. "Kau itu kenapa sih?"Namun sedetik kemudian, Juan pun membelalak saat ia menyadari sesuatu. "Oh, s
"Selamat siang semuanya, namaku adalah Patra Aurora! Maaf sebelumnya kalau di antara para manager sekalian ada yang pernah melihatku, ada yang juga belum pernah."Dengan tetap tenang, Patra mulai membuka presentasinya dan semua mata pun langsung tertuju padanya. "Sebenarnya aku hanyalah seorang cleaning service, aku tidak malu mengakuinya. Ada sedikit cerita di sana yang akan terlalu panjang kalau kuceritakan di sini. Singkat kata, aku merasa berterima kasih pada Pak Axel yang sudah memberiku kesempatan untuk berdiri di sini."Patra memperkenalkan dirinya dengan begitu formal namun luwes. Dan saat tiga peserta yang lain memilih menjabarkan background pendidikannya dengan lebay, Patra malah memilih mengakui dirinya yang hanya seorang cleaning service. Namun, entah mengapa perkenalan diri Patra malah membuat Kania dan Axel tersenyum senang, begitupun Juan yang sedari tadi hanya melongo pun akhirnya tersenyum tipis. Terlepas dari ini Patra-nya Nero atau bukan, tapi Patra memang berbeda
"Kurasa kau benar, Nero. Mungkin memang ada sesuatu di antara mereka. Lihatlah bagaimana Axel menatap wanita itu." Kania tersenyum menatap Axel dan Patra yang masih berdiri di ujung.Kania dan Nero baru saja berniat masuk ke ruang rapat saat pandangan mereka tersedot ke arah Patra, Axel, Selly, dan Greedy yang masih berdiri bersama. "Tapi entah mengapa aku sangat menyukai wanita itu. Sejak pertama melihatnya bukankah aku sudah bilang kalau nada bicaranya dan sorot matanya berbeda, ternyata aku benar, dia berbeda. Dia punya kemampuan yang memang tidak bisa diremehkan," kata Kania lagi. Namun, Nero yang sudah terbakar oleh kecemburuan tidak jelasnya malah langsung mencibir. "Kita belum melihat apa pun tentang kemampuannya, Kania! Jangan menilai seorang cleaning service terlalu tinggi!"Nero terus menegang dan menatap tajam pada Axel dan Patra, apalagi saat Axel menyentil hidung Patra, rasanya Nero sangat ingin menghajar Axel. Hanya Nero yang boleh menyentil Patra dan menyentuh wajah
Nero langsung mematung mendengar nama itu. Sial! Axel ingin menjadikan Patra sebagai asisten pribadinya? Lalu Patra harus mengikuti Axel ke mana-mana, melakukan semua hal untuk Axel, mereka akan terus bersama selama di kantor, bahkan mungkin di luar jam kerja juga. Tidak! Nero tidak akan membiarkannya! Nero tidak akan membiarkan Patra dan Axel sedekat itu."Tidak boleh!" seru Nero tegas. Axel pun langsung kehilangan senyumnya. "Eh, mengapa tidak boleh, Kak? Kau kan sudah bilang akan menuruti apa saja mauku?""Axel, memang benar kau adalah adiknya Kania dan aku sudah berjanji akan menuruti maumu, tapi bukan berarti kau bisa melakukan hal yang di luar batas seperti itu!" seru Nero berapi-api. "Apanya yang di luar batas, Kak?""Menjadikan seorang cleaning service sebagai asisten pribadi itu sudah di luar batas, Axel! Kau mau mempermalukan perusahaan, hah? Bagaimana mungkin seorang cleaning service rendahan mendadak diangkat menjadi asisten manager?""Tapi kita tahu sendiri background
Nero tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya, tapi ia sudah muak mendengar Patra yang terus membantahnya. Dan melihat bibir Patra yang terus bergerak, Nero pun tidak tahan lagi. Tanpa bisa dicegah, Nero merengkuh Patra dan langsung menyatukan bibir mereka sampai Patra membelalak kaget. Patra memberontak sambil terus memukul dada Nero, tapi pria itu begitu keras. Nero pun terus mendesak bibir Patra, merasakan kembali bibir yang sangat ia rindukan dan walaupun sedang terpaksa, nyatanya Nero masih sangat menikmati bibir itu. Nero terus memagut bibir Patra yang masih tertutup rapat itu. Patra sendiri masih terus bergerak tidak beraturan sampai Nero pun kesal.Dengan gerakan cepat, Nero langsung mendorong Patra sampai ke tembok dan menghimpitnya di sana. Patra yang ingin berteriak pun membuka mulutnya dan Nero pun akhirnya berhasil menjelajah di sana, menikmati sendirian pagutan bibir dengan wanita yang dicintainya, walaupun wanita itu sama sekali tidak kooperatif. Patra yang sudah t
Suasana masih begitu hening saat Patra mendongak dan kedua pria sedang menyodorkan gelas padanya. Patra yang masih terbatuk kecil pun tampak salah tingkah. Patra menatap Nero dan Axel secara bergantian, sebelum ia pun mengambil gelas minuman dari Axel. "Hmm, terima kasih!" kata Patra sambil langsung meneguk minumannya. Sedangkan Nero yang ditolak hanya bisa mendesis kesal dan menatap tajam pada PatraKania yang melihatnya pun hanya mengerjapkan matanya sambil saling melirik dengan Axel, sebelum ia mengalihkan tatapan pada Nero. "Eh, Nero ... kau ... kenapa?" tanya Kania sambil menurunkan tangan Nero yang masih menggantung di udara. "Kau ... jangan membuat Patra takut! Kau menyodorkan gelasmu sendiri!" Kania mengedikkan kepalanya ke arah gelas Nero.Nero pun langsung mendesis kesal. "Sial, aku refleks, Kania! Lagipula bukankah sudah kubilang aku tidak mau makan di sini?" Nero langsung mengangkat gelas minumannya lagi dan meneguknya banyak-banyak lalu meletakkannya lagi dengan ke