"Berapa satu malam?" tanya pria paruh baya berbadan tambun itu membuat Kinan terperangah. Apa pria itu berpikir kalau dirinya gadis panggilan para bos kaya? Seketika hati Kinan terasa sedih dan juga marah. "Kok nggak dijawab sih, om bisa kasih apa saja yang kamu minta loh," ucap pria itu lagi. Mata Kinan terasa pegal menahan air mata. Telapak tangannya mengepal erat menahan rasa yang berkecamuk di dalam dadanya. "Maaf, Om ... saya bukan perempuan panggilan."Pria itu terkekeh. "Masa? Udah ngaku aja, sama om itu santai.""Saya tidak seperti yang om kira!" Kinan memekik tertahan. Air matanya sudah tak mampu lagi dia bendung. Pria itu berusaha menyentuh tangannya, tapi segera ditepis oleh Kinan. Gadis itu menyambar tasnya lalu beranjak dari kursinya dan menghambur keluar.Shaka yang melihat Kinan berlari keluar sambil menangis tentu saja terkejut. Segera saja dia kejar istrinya itu keluar dari aula. Beberapa pasang mata termasuk Nikita menatap keheranan pada Shaka. Di luar Kinan sudah
Nikita menatap sinis ke arah Kinan. Kebenciannya pada gadis itu semakin menjadi-jadi. Shaka rela membuat keributan demi seorang gadis rendahan yang tidak selevel dengannya. Shaka di dalam aula pasti sedang menghajar pria tambun itu habis-habisan. "Kamu apain Shaka sampai dia rela membela kamu seperti ini?" Nikita mulai mengintimidasi Kinan. "Saya nggak ngapa-ngapain." Kinan mencoba membela diri."Kamu itu gold digger. Cewek muda yang suka mengeruk harta pria-pria kaya." "Mbak jangan sembarangan menuduh saya."Nikita mendecak. "Nggak usah membela diri. Kamu memang kayak gitu," ujarnya."Terserah Mbak mau ngomong apa tentang saya." Kinan memilih untuk mengabaikan ucapan Nikita. Malam ini cukup bagi Kinan merasakan sakit hati. Dia merasa begitu lelah. "Kamu boleh merasa di atas angin sekarang ya. Tapi nggak akan lama. Karena aku nggak akan tinggal diam membiarkan kamu merongrong harta keluarga Adiwiguna."Kinan melempar pandangannya ke arah lain. Melawan perempuan itu sama saja mengh
Nyonya Rose harus dilarikan ke rumah sakit malam itu karena mengalami collapse. Wanita tua itu dirawat di ICU karena koma. Akhirnya, setiap hari setelah pulang kuliah, dia menunggui wanita yang sudah dia anggap sebagai neneknya sendiri itu dan malam hari dia baru pulang. Namun hari itu, saat dia pulang, dia melintasi ruangan kerja Shaka dan tidak sengaja mendengar sesuatu yang membuat jantungnya berdebar kencang. Di dalam ruangan itu ada Rima dan Shaka. Mereka sedang terlibat pembicaraan serius. Kinan menempelkan punggung di dinding sambil mendengarkan pembicaraan mereka. "Tidak ada pilihan lain, Shaka. Perusahaan keluarga ini sedang dalam bahaya runtuh kalau tidak segera diselamatkan. Dan satu-satunya cara untuk menyelamatkannya adalah dengan bantuan papanya Nikita.""Tapi kenapa harus dengan jalan itu? Apa tidak ada cara lain, Ma? Aku bisa mengusahakan investor lain." Rima menggeleng. "Kalau memang ada investor lain, silahkan saja, Shaka." "Beri aku waktu untuk menyelesaikan mas
Kinan duduk di atas jok sofa, matanya terus memandang lurus ke depan. Hatinya tak bisa menghentikan laju detak yang semakin cepat. Tadi sore, dia telah menyaksikan Shaka, suaminya, di mal bersama mantan pacarnya, Nikita. Perasaan campur aduk melanda dirinya. Kinan berusaha keras untuk tegar dan tidak membahas hal itu dengan Shaka malam ini.Mereka duduk bersebelahan seperti biasa di ruang tamu mereka yang nyaman. Kinan merasakan kehadiran Shaka, tapi hanya diam membisu dan memilih tidak menatapnya. Sikap Kinan yang dingin itu begitu mencolok. Namun, Shaka tampaknya acuh tak acuh dengan respons Kinan tersebut."Malam ini ada apa, Kinan?" tanya Shaka dengan raut wajah polosnya, seolah-olah tak menyadarinya.Kinan menatapnya sejenak, mencoba menumpahkan perasaannya tapi kalimat itu terjebak di tenggorokannya. Dia menggeleng pelan dan memilih untuk tetap diam. Dalam hatinya, Kinan berharap Shaka akan menyadari bahwa sesuatu bukanlah hal yang biasa-biasa saja.Shaka lalu melanjutkan kegiat
"Bapak dan Ibu kerabat pasien yang kecelakaan?"Arka gunawan dan Kemala sontak berdiri saat dokter datang menemui mereka. Arka mengangguk, "Iya, Dok. Bagaimana keadaannya?" "Pasien kehilangan banyak darah dan membutuhkan transfusi segera. Cuma yang jadi masalah, kami tidak punya stok golongan darah yang cocok dengan pasien.""Apa golongan darahnya, Dok?" "B, Pak."Arka mengangguk-angguk. "Kebetulan golongan darah saya juga B, Dok. Saya bisa jadi pendonor." Arka menyahut tanpa ragu-ragu. Sementara Kemala pun mengangguk setuju. "Oh, bagus sekali kalau seperti itu. Mari, Pak, ikut saya." Arka mengikuti langkah dokter setelah sebelumnya meminta Kemala untuk tetap menunggu di ruang tunggu. Setelah melalui sederatan tes sebagai pendonor, Arka akhirnya selesai menyumbangkan darahnya. Dokter di ruangan ICU kini sedang mentranfusi darah ke tubuh Kinan. Sementara Arka dan Kemala menunggu dengan harap-harap cemas. "Pa, mama kok khawatir sekali dengan gadis itu, ya? Mama ingat putri kita." K
Beberapa hari ini Shaka tidak pulang. Selain untuk mengusahakan perbaikan pada perusahaannya, dia juga ingin mengambil waktu untuk berpikir. Masalah ini begitu berat baginya. Dia sudah terlanjur mencintai Kinan dan tidak ingin melepaskan gadis itu. Namun, saat dia pulang, dia tidak menemukan Kinan di mana-mana. Dia merasa bersalah akan sikapnya yang sedikit dingin pada gadis itu beberapan hari ini. Bukan apa-apa. Shaka hanya merasa bingung dan juga kasihan pada Kinan. "Tun, Kinan ke mana?" tanya Shaka saat bertemu dengan asisten rumah tangganya di dapur.Wajah Atun tampak cemas dan bingung. "Anu, Tuan ... Mbak Kinan sudah beberapa hari nggak di rumah." Jawab Atun.Shaka menyugar rambutnya dengan kasar. Kinan pergi dari rumah ini. Dadanya bergemuruh marah. Ini pasti ulah mamanya. Lalu dengan amarah yang tak bisa dibendung, Shaka menemui Rima yang sedang berada di ruang kerjanya."Ma, mama lakuin apa ke Kinan?" tanyanya dengan wajah memerah."Apa maksud kamu?" Rima menatap putranya
Shaka pergi mencari Kinan ke kampus keesokan harinya. Namun, dia tidak menemukan Kinan di sana. Dari keterangan pihak kampus, sudah beberapa hari gadis itu tidak masuk kuliah. Shaka merasa begitu khawatir. Ke mana Kinan, bukankah dia tidak punya tempat untuk tinggal. Bahkan ATM dan buku rekening pun dia tinggalkan di rumah.Jalan satu-satunya adalah menemui Rena. Kebetulan gadis itu baru selesai kelasnya, dan Shaka pun segera mencegatnya. Rena tentu terkejut melihat kedatangan Shaka di kampus. Dia yakin Shaka sedang mencari Kinan dan akan menginterogasinya."Kinan di mana, Ren?" tanya Shaka tanpa basa-basi."Saya juga nggak tahu, Mas. Sumpah," timpal Rena. Dia memang tidak tahu di mana Kinan. Dia pun sangat mengkhawatirkan sahabatnya itu. "Jangan bohong kamu, Ren. Nggak mungkin lah kamu nggak tahu di mana Kinan. Kamu kan sahabat dekatnya." "Beneran, Mas Shaka. Saya nggak tahu Kinan di mana. Sudah beberapa hari dia nggak masuk kuliah. Saya pun khawatir banget dengan keadaan Kinan, Ma
Nikita masuk ke dalam ruangan Shaka dengan langkah anggun nang angkuh. Dia merasa berada di atas angin sekarang. Shaka berada dalam kendalinya. Dia yakin Shaka tidak punya pilihan lain selain menerima penawaran dari perusahaan ayahnya. "Shaka, papaku menunggu keputusan kamu segera. Perusahan kamu ini nggak bisa nunggu lama sebelum benar-benar kolaps." Nikita berucap dengan angkuhnya. Shaka tersenyum mendengar ucapan Nikita. "Maaf, Niki ... aku rasa perusahaan Adiwiguna akan baik-baik saja."Nikita mengerutkan kening keheranan. "Kenapa kamu bisa bilang kaya gitu?""Karena aku sudah punya solusi lain. Kebetulan kamu ke sini, aku mau bilang kalau aku menolak tawaran dari papamu." Shaka menarik sudut bibirnya. "Dan aku juga harus menghentikan kerjasama degan papamu untuk proyek sebelum-sebelumnya, juga yang akan datang.""Apa?" Nikita melongo. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Nggak mungkin!" sangkalnya."Kenyataannya memang seperti itu. Jadi, Niki ... aku mohon
Hari itu, Azkayra sudah di perbolehkan pulang oleh Dokter Lisa. Perawatan akan di lanjutkan di Rumah utama. Dengan sangat bahagia Hanzero berkemas di bantu Arwan dan juga Berlinda.Ia terus mendekap sang Hanz Juniornya dengan tatapan mesra pada mata jagoan ciliknya yang mungil itu.Setelah semua siap,mobil mereka pun segera meninggalkan Rumah Sakit itu perasaan yang begitu bahagia.Hanz duduk di jok belakang bersama Azka dengan memangku sang buah hatinya, sementara Berlinda duduk di depan bersama Arwan yang mengemudi.Tak lama setelah melintasi jalan aspal hitam itu, mobil mereka telah memasuki halaman luas milik Rumah Utama keluarga Samudra. Di sambut puluhan penjaga dan juga pelayan dengan ucapan Selamat yang menggebu dari mulut mereka mengelu-elukan Calon Tuan muda mereka. Hanz menuruni mobil dengan senyum lebar menatap mereka.Hanz mengulurkan sang buah hati nya kepada Berlinda yang dengan sigap mengambil alih menggendong tuan muda kecil nya. Sementara Hanz membopong istri nya u
Peluh sudah membasahi wajah dan seluruh tubuh Azkayra, rasanya ia sudah tidak tahan lagi . Namun lagi-lagi Dokter Lisa mengucapkan kata sebentar lagi, karena memang pembukaan belum sepenuh /nya terjadi.Di ruang lain ,Hanzero terus meringis kesakitan. Tapi kali ini, entah mendapat kekuatan dari mana ia berusaha sekuatnya untuk menahannya dan mencoba bangun."Berlinda , kemarilah." ucapnya.Berlinda segera mendekati Tuannya yang sudah duduk di tepi ranjang."Lebih mendekat.!"Berlinda masih dengan kebingungan makin mendekatkan kakinya lagi."Bantu aku berjalan. Aku harus menemui Nona.!" ucap Hanz segera meraih pundak Berlinda."Tuan, anda sedang sakit, Dokter sebentar lagi datang. Suster sedang memanggilnya." cegah Berlinda."Tidak Berlinda, aku harus mendampingi Nona. Pasti dia sedang kesakitan yang lebih dari aku. Ayo Berlinda..! Mumpung sakit ini sedikit berkurang." Hanz langsung berdiri dengan berpegangan pada pundak Berlinda.Mau tidak mau, dengan perasaan sungkan Berlinda akhirny
Hanzero masih saja berguling di atas kasur sambil terus merintih. Sakit perut yang di alaminya bukan hanya biasa , namun lebih dari sekedar sakit perut biasa, mules tingkat tinggi dan kram. Sebentar menghilang dengan sendirinya dan sebentar akan datang kembali lebih sakit dari yang pertama,. Rasanya seperti diremas, dan pinggangnya pun terkadang sakit luar biasa.Sementara Azkayra hanya bisa kebingungan melihat suaminya kesakitan."Hanz,.!" Azka sudah meneteskan air mata."Azka, mana Arwan..? Sakit Azka , aku tidak tahan...!" Hanz yang biasanya selalu kuat menahan rasa sakit, kali ini benar-benar harus merintih menahannya."Sabar ya, sebenar lagi Arwan kemari. Dia sedang menyiapkan mobil." jawab Azka terus mengurut perut Hanz."Azka, aku ingin ke kamar mandi lagi." Hanz merangkak menuruni Ranjang."Biarku bantu Hanz," ucap Azka."Tidak tidak, aku masih kuat. Sakitnya berkurang." sahut Hanz, dengan memegangi pinggangnya mirip seorang kakek-akek osteoporosis ia berjalan tertatih ke kam
Hanzero masih terus berkutat dengan perut Azkayra yang sudah sangat membuncit.Hari ini kandungan istrinya sudah memasuki bulan kesembilan, walau pun baru memasuki dan belum penuh sembilan bulan, namun Hanzero sudah menyiapkan segala sesuatunya. Semua keperluan bayinya pun di siapkan olehnya sendiri. Dari tempat tidur dan seluruh keperluan bayi.Dengan panduan buku , ia bisa mengetahui semua apa yang di butuhkan bayi setelah lahir."Hanz, menurut lmu bayi lmu ini akan laki-laki apa perempuan.?" tanya Azka malam itu."Laki-laki ." jawab Hanz dengan mantapnya."Dari mana kamu tau?" Azka menyerngitkan dahinya."Entahlah, tapi aku begitu yakin." jawab Hanz lagi."Karena kamu menginginkan anak laki-laki.?""Tidak juga, aku malah ingin perempuan. Tapi aku selalu bermimpi menggendong anak laki-laki." jawab Hanz mendekati istrinya ."Laki-laki atau perempuan sama saja Azkayra. Aku akan sangat senang menyambutnya. Asal jangan kembar saja." ucap Hanz."Kenapa kalau kembar ?""Aku tidak tega me
Masih dengan penderitaan yang belum berubah, malah terkesan lebih sengsara, namun membuat Hanzero semakin bersemangat menghadapinya.Meski kadang lelah menggerogoti tulangnya, tapi rasa bahagia menepis kelelahannya. Ia bahkan semakin sabar dan telaten dalam menghadapi masa masa ngidam Azkayra yang baginya menjadi kekuatan tersendiri untuk nya itu.Kulit mulus Azka yang terlihat semakin indah di mata Hanz, namun badan Azka sedikit lebih kurus di banding hari hari sebelum ia di positif kan hamil. Mungkin karena Azka terus memuntahkan asupan gizi yang setiap saat menyinggahi perutnya.Sore itu, Hanz terus menatap perut istrinya yang nampak datar dan belum terlihat membuncit itu. Dalam hati nya ,ia tidak sabar menantikan kapan perut indah itu akan membesar?Ia melangkah menghampiri," Azka, malam ini kamu ingin makan apa.?" mengelus perut istirnya."Tidak ada." jawaban singkat dari Azka tanpa mempedulikan si pemberi pertanyaan."Jangan begitu. Kamu harus punya keinginan.""Hah, kenapa mema
Hanzero tetap saja melangkah menuruni tangga untuk mencari buah strawbery putih yang minta istri nya, padahal ia sendiri masih ragu, Apa ada?"Arwan.!" sempat terkejut ketika menatap Arwan sudah di depan pintu."Tuan, anda mau kemana.?""Kebetulan kamu sudah pulang, ayo ikut aku." Hanz bersemangat, setidaknya ada teman untuk berbagi pusing.Tanpa bertanya Arwan pun mengikuti langkah tuannya dan membuka kan pintu mobil."Kemana ini l, Tuan.?" tanya Arwan masih menginjak gas."Huh.!" menghela nafas."Tuan," Arwan menoleh."Ah, kemana saja . Yang penting bisa mendapatkannya.""Mendapatkan apa Tuan.?" Arwan bingung dengan ucapan Hanz."Arwan, apa ada buah strawberry berwarna putih? Kamu pernah melihatnya ? Mendadak Nona menginginkannya.""Ada, Tuan." spontan Arwan menjawab."Hei, aku sedang tidak bercanda!" Hanz mengira Arwan mengada-ngada."Ada Tuan, serius. Saya pernah melihatnya di internet. Kalau tidak salah, itu tanaman liar dari Amerika Selatan." jawab Arwan."Yang benar saja , apa
Hanzero masih terus menggenggam tangan istrinya dan mengusap wajah Azkayra yang terlihat pucat itu. Sesekali melirik pintu."Kenapa Dokter Lisa lama sekali ya.?" gumamnya.Baru saja Hanz bergumam, Berlinda sudah membuka pintu dengan dokter Lisa di belakangnya. Dengan sedikit tergesa Dokter Lisa menghampiri ."Maaf Tuan, sedikit terlambat. Jalanan macet." ucap Dokter Lisa ."Tolong periksa Nona Azkayra, dia terus mual dan muntah." sahut Hanz tak ingin berbasa basi.Dokter Lisa menagangguk, sementara Hanz langsung beranjak menjauh.Dokter Lisa pun langsung memeriksa Azka.Hanz duduk menunggu dengan cemas, begitu juga dengan Berlinda, masih saja berdiri di sudut ruangan itu.Lama Dokter Lisa memeriksa Azka, dan akhirnya menghampiri Hanz."Tuan,""Bagaimana keadaan Nona, apa sakitnya parah?" tanya Hanz spontan saat mendengar Dokter Lisa memanggilnya.Dokter Lisa tersenyum."Nona Azkayra baik-baik saja Tuan,!""Baik-baik saja bagaimana.? Bahkan dia tadi sempat pingsan!" pekik Hanz ."Tuan,
Hanzero masih memeluk istrinya dengan erat, namun entah mengapa, perasaan Azkayra yang biasanya selalu damai jika berada di pelukan suaminya kini seperti tak di rasakannya.Gelisah, ya kata itu yang tepat untuk suasana hati Azkayra saat ini.Ide gila, hah.! Sungguh kah ia harus mengatakan itu pada Hanz.?Huh, berat rasanya Azka untuk memulai ucapannya. Tapi itulah satu-satunya caranya agar kegelisahannya berakhir.Apa Hanz akan setuju,? Apa Hanz akan menurutinya kali ini.? Benarkah jalan ini yang harus mereka tempuh.?Lagi-lagi Azka berperang dengan pikiran nya.Kembali Azka menimbang."Azka, katakan padaku apa yang ingin kamu bicarakan? Hari ini aku milikmu sepenuhnya. Waktuku akan kupersembahkan untukmu." ucap Hanz masih dalam posisi memeluk pinggang istrinya."Hanz , aku.. Em, kamu tidak akan marah jika aku mengatakannya.?""Tidak Azka, asal itu masuk akal. Katakan saja." jawab Hanz, sudah menangkap hal lain dari istrinya.Azka memutar tubuhnya, menatap dalam mata suaminya. Kedua t
Kini Hanzero tidak lagi banyak menuntut istrinya, dan Azkayra bisa sedikit leluasa untuk sekedar memasak yang memang sudah menjadi impian nya itu. Ia pun sudah sering pergi belanja walau pun harus tetap dengan pengawalan yang super ketat.Namun setidak nya Azka bisa menikmati hari hari nya dengan keceriaan.Hanz pun tersenyum melihat senyum kebahagiaan istrinya yang selalu berkembang mengawali pagi nya dan menyambut nya pulang dari Kantor.Rasa cinta dan sayang nya pun semakin meluap pada istri nya.Waktu terasa cepat berjalan, bulan kini sudah berganti tahun .Tak terasa setahun sudah usia pernikahan mereka.Kebahagiaan dan masa tenang mereka pun kini terusik oleh perasaan khawatir Azka, karena ia tak juga kunjung hamil.Padahal program hamil sudah di lakukan dengan sempurna, belum lagi cara cara lain seperti terapi, ramuan penyubur kandungan bahkan Azka pernah pergi ke Mbah Mbah untuk meminta jampi jampi kuno yang di yakini bisa menolong nya tanpa sepengetahuan Hanz.Hingga akhirnya