CATALEYAFai meneguk air mineral di botol hingga nyaris tandas, menandakan bahwa dirinya benar-benar haus.“Sejak kapan kamu ada di sini?” tanyanya padaku sambil memberikan botol di tangannya padaku.“Sejak tadi.” Aku menjawab lalu memasukkan botol tersebut ke dalam tas.“Kok aku nggak tau ya?” ujarnya bingung.“Gimana mau tau kalau kamu sibuk sama yang lain.” Aku mengulangi perkataanku tadi.“Bukan sibuk tapi fokus, namanya juga lagi kerja,” jawab Fai berdalih. “Kamu kenapa bisa di sini, udah jam berapa ini?” Dia memeriksa arloji yang melingkar di pergelangannya.“Aku mau nginap di apartemen kamu, Fai.”“Hah?” Fai terlihat kaget mendengar keinginanku.“Ayo!” Aku menarik tangannya agar keluar dari studio.Mau tidak mau Fai mengikuti langkahku. Saat membuka pintu aku melepaskan kaitan tangan dari lengannya. Tempat ini memang sudah sepi, tapi bukan berarti tidak ada orang.“Kamu kenapa? Ada masalah dengan Alan?” Fai menanyakannya saat kami sudah berada di mobil.Andai saja aku bisa bica
FAIAku dan Cataleya mengisi waktu dengan menonton televisi di ruang tengah sambil menunggu makanan kami datang. Tadi aku memesannya melalui aplikasi yang populer di Indonesia. Nggak jauh-jauh, menuku adalah burger dan french fries.Cataleya berbaring di pangkuanku, aku membelai kepalanya, menelusupkan jari-jemari ke setiap helai rambutnya yang halus.Tiba-tiba Cataleya membalikkan badan memunggungi televisi. Dia menyembunyikan mukanya di perutku."Kenapa, Leya?" tanyaku padanya."Serem banget filmnya. Nggak ada film yang lain apa? Ngeri aku ngeliat film bunuh-bunuhan kayak gitu.""Jadi maunya nonton film apa?""Yang romantis-romantis atau apa kek.""Nggak ada film romantis jam segini, adanya kita. Atau gimana kalau kita aja yang bikin film romantisnya?"Cataleya spontan menjauhkan kepalanya dari perutku lalu menaikkan pandangannya menatap wajahku. Ada senyum malu-malu tercetak di bibirnya. Dia tidak perlu menjawab karena aku tahu apa jawabannya. Tatapan lembutnya adalah bentuk dari p
FAIApa?" Devanka menatapku heran karena aku mencekal lengannya."Lo jangan masuk, Dev. Di dalam berantakan."Devanka terkekeh mendengar alasanku yang mungkin menurutnya aneh."Gue ke sini bukan mau meriksa apartemen lo kotor atau bersih. Lagian kenapa sih lo jadi aneh kayak gini? Udah ah, gue lagi kebelet, gue numpang ke kamar mandi sekalian." Devanka menarik tangannya hingga terlepas dari cekalanku lalu menarik langkah cepat."Dev! Devanka! Tunggu!" Aku mengejarnya.Langkah Devanka terhenti tepat di dekat sofa sebelum berbelok memasuki kamar. Dia melihat Cataleya yang sedang berbaring di sofa.Keduanya sama-sama terkejut. Cataleya duduk dengan cepat sambil menutupi tubuh dengan dress nya. Wajahnya pucat pasi saat tahu siapa yang saat ini berada di dekatnya.Tanpa melihat muka Devanka yang saat ini sedang membelakangiku aku bisa menebak bagaimana bentuk mukanya saat ini.***CATALEYAKehadiran Devanka di apartemen Fai sama sekali tidak ada di dalam prediksiku. Dan aku juga yakin bahw
FAIAku terbangun pagi-pagi sekali dengan perut keroncongan. Dengan berat aku memaksa membuka mata. Semalam aku pulang larut karena Devanka mengajak clubbing. Lalu sekarang kepalaku terasa begitu berat akibat sisa-sisa hangover kemarin.Aku berjalan menuju kamar mandi membawa langkah terhuyung-huyung. Setelahnya aku membuka kulkas mencari apa pun yang bisa kusantap. Tapi tidak ada apa-apa di sana. Persediaan makananku habis. Biasanya Cataleya yang menyediakannya. Namun sudah tiga hari ini Cataleya berangkat ke Bandung. Alan mengajaknya karena ada acara keluarga di sana.Dengan embusan napas berat aku menutup pintu kulkas.Mataku memindai sekeliling, mencari apapun yang bisa kuloloskan ke dalam lambung. Barangkali secangkir teh hangat mampu memanaskan perutku.Masalahnya sekarang aku tidak tahu di mana letak gula dan teh. Selama ini Cataleyalah yang mengaturnya.Setelah mengubek-ubek seisi dapur aku menemukannya di dalam lemari kitchen set.Lima menit kemudian aku sudah duduk di ruang
FAICataleya bergerak pelan membalikkan badannya mengarah padaku dan Alan. Begitu tatapan kami bertemu dia tampak terkejut karena tidak menyangka akan kehadiranku namun tak urung senyumnya terkembang.“Mari, Fai, silakan,” kata Alan menyuruhku. Aku masih berdiri di sisi pintu.Dengan perasaan ragu aku membawa langkah mendekati Cataleya. Belum sempat mengatakan apapun padanya Alan lebih dulu mendahuluiku bicara.“Sayang, karena sudah ada Fai di sini jadi aku ke kantor dulu. Aku ada meeting dengan Pak Handoko. Nggak enak kalau sampai telat,” ucap laki-laki itu pada istrinya.Seakan tidak ingin memberi kesempatan pada Cataleya untuk menjawab, Alan memindahkan perhatiannya padaku lalu berkata, “Fai, sorry banget aku harus pergi, aku tinggal nggak apa-apa kan?”“Nggak apa-apa,” jawabku kelu sembari membayangkan kemungkinan aku dan Cataleya hanya akan tinggal berdua saja di sini. Di kamar ini. Kamar Cataleya dan suaminya.“Makasih, Fai,” ucap Alan kemudian mengecup kening Cataleya sebelum p
FAI"Ya, satu kali shoot lagi. Jarinya letakin di dagu. Bukan begitu. Maksudnya ujung telunjuk kamu yang di dagu." Aku mengarahkan gaya pada Wina, model terakhir malam ini."Gini ya, Fai?" Wina bertanya sambil melakukan apa yang kuminta tapi tetap saja tidak sesuai dengan keinginanku.Aku terpaksa beranjak dari tempat lalu meninggalkan kamera sesaat."Begini, Win." Aku meraih tangannya lalu mengarahkan agar ujung telunjuknya menempel di dagu. Sementara Kenzio senyum-senyum sendiri di sofa sudut ruangan.Aku memang membawa Kenzio ke studio agar dia bisa melihat langsung seperti apa pekerjaanku. Lagian malas sendiri di apartemen, katanya.Aku melanjutkan pemotretan sampai selesai. Setelah model terakhir keluar barulah aku bisa bernapas lega."Jadi fotografer kayaknya enak juga ya. Bisa megang-megang cewek." Kenzio terkekeh saat aku menyimpan kamera ke dalam tas.Aku ikut tertawa walau tidak benar-benar datang dari hati. Hari ini pikiranku tidak jauh-jauh dari Cataleya. Aku tidak tahu ke
FAIBagai merasa ada yang memerhatikannya Cataleya memandang ke arahku dan Kenzio. Namun kali ini tidak ada senyum menghiasi bibirnya seperti yang kulihat ketika dia datang di malam berkesan itu.“Itu siapa, Fai?” tanya Kenzio penasaran karena aku menghentikan langkah.“Temen,” jawabku singkat. Baru beberapa menit yang lalu aku mengaku tidak memiliki kekasih tapi sekarang tahu-tahu ada perempuan menunggu di depan pintu.“Cantik banget temen lo, temen apa dulu nih?”“Ya temenlah. Emang temen nggak boleh cantik?”Kenzio mencibir tak percaya lalu meledekku dengan memberi penekanan pada kata ‘temen’. “Berhubung temen lo udah datang jadi gue tetap di sini atau melipir dulu biar kalian bisa quality time?”“Serah lo deh,” jawabku pasrah karena seperti apapun aku menjelaskan padanya Kenzio tetap tidak akan percaya.Sepupuku itu tertawa renyah lalu melangkahkan kakinya di sebelahku.“Udah lama?” tanyaku pada Cataleya setelah kami berhadapan langsung.“Belum terlalu.” Dia menjawab dengan lesu.
Aku mengambil kacamata hitam yang kugantung di depan baju tepat di bagian dada lalu membingkai wajahku untuk menangkis serangan cahaya matahari begitu turun dari pesawat.Indonesia ternyata jauh lebih panas dari yang diceritakan Mama dan Papa padaku. Setidaknya itu yang kurasakan saat ini.Sembari kakiku berjalan, mataku mengedar mencari-cari sosok Devanka, sahabatku, yang katanya akan menjemput.Lima belas menit menunggu dia tidak kunjung datang, padahal janjinya tidak akan telat. Aku bisa saja sendiri tapi Devanka mewanti-wanti agar menunggunya sampai datang.Ini bukanlah kunjungan pertamaku. Tahun-tahun sebelumnya aku juga pernah ke Indonesia, tapi hanya dalam waktu yang singkat. Sedangkan kedatanganku kali ini untuk waktu yang cukup lama. Ada project yang harus kukerjakan di sini.Awalnya Mama melarang mengambil project itu. Mama yang sangat menyayangi dan memanjakanku sejak kecil menahan sekuat yang bisa dilakukannya agar aku tidak berangkat. Tapi Papa memberi pengertian pada Mam
FAIBagai merasa ada yang memerhatikannya Cataleya memandang ke arahku dan Kenzio. Namun kali ini tidak ada senyum menghiasi bibirnya seperti yang kulihat ketika dia datang di malam berkesan itu.“Itu siapa, Fai?” tanya Kenzio penasaran karena aku menghentikan langkah.“Temen,” jawabku singkat. Baru beberapa menit yang lalu aku mengaku tidak memiliki kekasih tapi sekarang tahu-tahu ada perempuan menunggu di depan pintu.“Cantik banget temen lo, temen apa dulu nih?”“Ya temenlah. Emang temen nggak boleh cantik?”Kenzio mencibir tak percaya lalu meledekku dengan memberi penekanan pada kata ‘temen’. “Berhubung temen lo udah datang jadi gue tetap di sini atau melipir dulu biar kalian bisa quality time?”“Serah lo deh,” jawabku pasrah karena seperti apapun aku menjelaskan padanya Kenzio tetap tidak akan percaya.Sepupuku itu tertawa renyah lalu melangkahkan kakinya di sebelahku.“Udah lama?” tanyaku pada Cataleya setelah kami berhadapan langsung.“Belum terlalu.” Dia menjawab dengan lesu.
FAI"Ya, satu kali shoot lagi. Jarinya letakin di dagu. Bukan begitu. Maksudnya ujung telunjuk kamu yang di dagu." Aku mengarahkan gaya pada Wina, model terakhir malam ini."Gini ya, Fai?" Wina bertanya sambil melakukan apa yang kuminta tapi tetap saja tidak sesuai dengan keinginanku.Aku terpaksa beranjak dari tempat lalu meninggalkan kamera sesaat."Begini, Win." Aku meraih tangannya lalu mengarahkan agar ujung telunjuknya menempel di dagu. Sementara Kenzio senyum-senyum sendiri di sofa sudut ruangan.Aku memang membawa Kenzio ke studio agar dia bisa melihat langsung seperti apa pekerjaanku. Lagian malas sendiri di apartemen, katanya.Aku melanjutkan pemotretan sampai selesai. Setelah model terakhir keluar barulah aku bisa bernapas lega."Jadi fotografer kayaknya enak juga ya. Bisa megang-megang cewek." Kenzio terkekeh saat aku menyimpan kamera ke dalam tas.Aku ikut tertawa walau tidak benar-benar datang dari hati. Hari ini pikiranku tidak jauh-jauh dari Cataleya. Aku tidak tahu ke
FAICataleya bergerak pelan membalikkan badannya mengarah padaku dan Alan. Begitu tatapan kami bertemu dia tampak terkejut karena tidak menyangka akan kehadiranku namun tak urung senyumnya terkembang.“Mari, Fai, silakan,” kata Alan menyuruhku. Aku masih berdiri di sisi pintu.Dengan perasaan ragu aku membawa langkah mendekati Cataleya. Belum sempat mengatakan apapun padanya Alan lebih dulu mendahuluiku bicara.“Sayang, karena sudah ada Fai di sini jadi aku ke kantor dulu. Aku ada meeting dengan Pak Handoko. Nggak enak kalau sampai telat,” ucap laki-laki itu pada istrinya.Seakan tidak ingin memberi kesempatan pada Cataleya untuk menjawab, Alan memindahkan perhatiannya padaku lalu berkata, “Fai, sorry banget aku harus pergi, aku tinggal nggak apa-apa kan?”“Nggak apa-apa,” jawabku kelu sembari membayangkan kemungkinan aku dan Cataleya hanya akan tinggal berdua saja di sini. Di kamar ini. Kamar Cataleya dan suaminya.“Makasih, Fai,” ucap Alan kemudian mengecup kening Cataleya sebelum p
FAIAku terbangun pagi-pagi sekali dengan perut keroncongan. Dengan berat aku memaksa membuka mata. Semalam aku pulang larut karena Devanka mengajak clubbing. Lalu sekarang kepalaku terasa begitu berat akibat sisa-sisa hangover kemarin.Aku berjalan menuju kamar mandi membawa langkah terhuyung-huyung. Setelahnya aku membuka kulkas mencari apa pun yang bisa kusantap. Tapi tidak ada apa-apa di sana. Persediaan makananku habis. Biasanya Cataleya yang menyediakannya. Namun sudah tiga hari ini Cataleya berangkat ke Bandung. Alan mengajaknya karena ada acara keluarga di sana.Dengan embusan napas berat aku menutup pintu kulkas.Mataku memindai sekeliling, mencari apapun yang bisa kuloloskan ke dalam lambung. Barangkali secangkir teh hangat mampu memanaskan perutku.Masalahnya sekarang aku tidak tahu di mana letak gula dan teh. Selama ini Cataleyalah yang mengaturnya.Setelah mengubek-ubek seisi dapur aku menemukannya di dalam lemari kitchen set.Lima menit kemudian aku sudah duduk di ruang
FAIApa?" Devanka menatapku heran karena aku mencekal lengannya."Lo jangan masuk, Dev. Di dalam berantakan."Devanka terkekeh mendengar alasanku yang mungkin menurutnya aneh."Gue ke sini bukan mau meriksa apartemen lo kotor atau bersih. Lagian kenapa sih lo jadi aneh kayak gini? Udah ah, gue lagi kebelet, gue numpang ke kamar mandi sekalian." Devanka menarik tangannya hingga terlepas dari cekalanku lalu menarik langkah cepat."Dev! Devanka! Tunggu!" Aku mengejarnya.Langkah Devanka terhenti tepat di dekat sofa sebelum berbelok memasuki kamar. Dia melihat Cataleya yang sedang berbaring di sofa.Keduanya sama-sama terkejut. Cataleya duduk dengan cepat sambil menutupi tubuh dengan dress nya. Wajahnya pucat pasi saat tahu siapa yang saat ini berada di dekatnya.Tanpa melihat muka Devanka yang saat ini sedang membelakangiku aku bisa menebak bagaimana bentuk mukanya saat ini.***CATALEYAKehadiran Devanka di apartemen Fai sama sekali tidak ada di dalam prediksiku. Dan aku juga yakin bahw
FAIAku dan Cataleya mengisi waktu dengan menonton televisi di ruang tengah sambil menunggu makanan kami datang. Tadi aku memesannya melalui aplikasi yang populer di Indonesia. Nggak jauh-jauh, menuku adalah burger dan french fries.Cataleya berbaring di pangkuanku, aku membelai kepalanya, menelusupkan jari-jemari ke setiap helai rambutnya yang halus.Tiba-tiba Cataleya membalikkan badan memunggungi televisi. Dia menyembunyikan mukanya di perutku."Kenapa, Leya?" tanyaku padanya."Serem banget filmnya. Nggak ada film yang lain apa? Ngeri aku ngeliat film bunuh-bunuhan kayak gitu.""Jadi maunya nonton film apa?""Yang romantis-romantis atau apa kek.""Nggak ada film romantis jam segini, adanya kita. Atau gimana kalau kita aja yang bikin film romantisnya?"Cataleya spontan menjauhkan kepalanya dari perutku lalu menaikkan pandangannya menatap wajahku. Ada senyum malu-malu tercetak di bibirnya. Dia tidak perlu menjawab karena aku tahu apa jawabannya. Tatapan lembutnya adalah bentuk dari p
CATALEYAFai meneguk air mineral di botol hingga nyaris tandas, menandakan bahwa dirinya benar-benar haus.“Sejak kapan kamu ada di sini?” tanyanya padaku sambil memberikan botol di tangannya padaku.“Sejak tadi.” Aku menjawab lalu memasukkan botol tersebut ke dalam tas.“Kok aku nggak tau ya?” ujarnya bingung.“Gimana mau tau kalau kamu sibuk sama yang lain.” Aku mengulangi perkataanku tadi.“Bukan sibuk tapi fokus, namanya juga lagi kerja,” jawab Fai berdalih. “Kamu kenapa bisa di sini, udah jam berapa ini?” Dia memeriksa arloji yang melingkar di pergelangannya.“Aku mau nginap di apartemen kamu, Fai.”“Hah?” Fai terlihat kaget mendengar keinginanku.“Ayo!” Aku menarik tangannya agar keluar dari studio.Mau tidak mau Fai mengikuti langkahku. Saat membuka pintu aku melepaskan kaitan tangan dari lengannya. Tempat ini memang sudah sepi, tapi bukan berarti tidak ada orang.“Kamu kenapa? Ada masalah dengan Alan?” Fai menanyakannya saat kami sudah berada di mobil.Andai saja aku bisa bica
CATALEYAAku duduk sendiri di dalam taksi yang membawaku pergi. Malam ini aku meninggalkan rumah menuju apartemen Fai. Demi keamanan agar tidak ada yang mencium jejakku, Alan memintaku menggunakan taksi.Aku belum mengabari Fai kalau malam ini akan datang padanya. Biar saja menjadi kejutan sekalian agar aku tahu bagaimana dia di belakangku.Sesaat kemudian aku berubah pikiran. Mungkin ada baiknya aku tahu dia ada di mana.Aku mengiriminya pesan."Fai, di mana?"Pesanku tidak berbalas bermenit-menit lamanya. Saat aku menelepon dia juga tidak menjawabnya. Apa Fai masih kerja? Tapi ini kan sudah malam."Pak, kita ke studio dulu,” ucapku pada supir taksi."Studio mana, Mbak?" Si supir bertanya melalui spion lalu mengiakan setelah aku menyebut alamat studio milik Alan.Beberapa unit mobil terparkir di depan studio setelah aku tiba di sana. Di antara mobil-mobil itu terselip Jeep yang digunakan Fai untuk transportasi selama di Indonesia. Itu artinya Fai tidak ke mana-mana. Dia masih di dala
CATALEYASetelah memandang padaku dan Alan, Fai memalingkan muka lalu berbicara dengan Nadia. Entah apa yang mereka perbincangkan, tapi melihat Nadia tertawa-tawa membuatku gerah juga. Apalagi sesekali Nadia mencubit lengan Fai dengan gaya centilnya.Suara batuk Alan memaksaku mengalihkan pandangan dari Fai dan Nadia yang masih bercengkrama berdua."Pulang yuk, aku mau makan siang berdua sama kamu." Alan mengajakku pergi."Kamu aja. Aku udah ada janji makan siang sama Fai." Aku menolak ajakannya mentah-mentah.Alan menghela napas panjang lalu memanggil Fai sambil melambaikan tangan."Fai!"Fai melihat ke arah kami lalu bicara sejenak dengan Nadia sebelum berjalan mendekatiku dan Alan."Hey, Lan." Sapanya pada Alan. Gesturnya biasa. Tidak tampak canggung karena sesuatu yang telah kami lakukan."Leya bilang kalian ada janji makan siang. Bisa kalau dibatalin dulu? Aku lagi ada acara sama Leya."Fai melirikku sedetik lalu mengembalikan perhatian pada Alan."Nggak apa-apa. Kapan-kapan masi