MilkBun22 ternyata adalah seorang pria. Pria berusia 23 tahun bernama Ansel Brooks. Ayahnya adalah orang Australia dan ibunya adalah wanita Indonesia. Ansel tinggal di Singapura karena ia sedang menyelesaikan kuliah seninya. Dan Clara sama sekali tidak tahu menahu soal itu. Clara mengira si pemilik iklan adalah seorang gadis karena username yang digunakan sangatlah feminim.
Clara duduk di ruang tamu apartemen pria itu dan menatapnya dengan tidak percaya. Bagaimana bisa pria dengan tubuh atletis ini menggunakan nama yang begitu lucu sebagai identitasnya di internet?"Jadi kamu adalah MilkBun22? Orang yang sedang mencari roommate?" Tanya Clara sekali lagi sambil menatap Ansel dari ujung kaki hingga ujung kepala.Ansel berjalan dari dapur menuju sofa tempat Clara duduk. Ia lalu memberikan Clara segelas teh dan duduk di depan gadis itu."Iya, apakah ada yang salah dengan itu?" Balas Ansel bingung."Tapi kukira kamu adalah seorang wanita! Karena namamu terdengar sangat feminim! Lagipula kenapa seorang pria memakai username seperti itu?" Seru Clara heboh."Karena roti susu adalah makanan favoritku, okay? Tidak ada yang salah dengan itu kan?" Jawab Ansel tidak mau kalah.Clara meghela nafas lelah. Ia menyenderkan tubuhnya ke sofa dan memijat kepalanya yang tidak pusing. Sekarang ia kembali mempertimbangkan opsinya untuk tinggal di rumah Tante Ana saja. Bagaimana mungkin Clara bisa tinggal bersama seorang pria asing? Memikirkannya saja Clara sudah merasa canggung apalagi benar-benar melakukannya."Lalu kenapa kamu mencari roommate? Kamu tahu, harga yang kamu tawarkan itu sangat murah hingga tampak mencurigakan. Jangan-jangan ada syarat tersembunyi dari iklan itu ya?" Tuduh Clara curiga.Ansel tertawa terbahak-bahak mendengar tuduhan Clara."Astaga, Clara. Bukan seperti itu. Aku mencari roommate karena ada satu kamar kosong di apartemenku dan aku butuh uang tambahan untuk mengejar impianku." Jawab Ansel santai."Dan kenapa harganya murah karena aku menyewa apartemen ini tanpa perabotan. Jadi harganya memang jauh lebih murah. Mengerti?" Tambah Ansel lagi.Clara hanya mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa ada niat mengiyakan tawaran Ansel. Begitu banyak pikiran negatif yang menghantuinya apabila ia benar-benar tinggal dengan pria asing ini. Tak lama, ponsel Clara berdering. Tante Ana meneleponnya."Aku keluar sebentar, Ansel. Ada telepon yang harus kujawab." Pamit Clara sembari beranjak dari sofa."Iya, halo Tante?" Sapa Clara pada Tante Ana."Clara kamu dimana? Kenapa belum pulang juga?" Tanya Tante Ana khawatir."Clara sedang bertemu dengan teman Clara, Tante." Jawab Clara beralasan.Tante Ana hening sejenak."Bisakah kamu pulang secepatnya? Tante merasa tidak enak dengan Jo yang mengomel terus dari tadi. Tante tidak mau kamu disalahkan Jo, Clara." Ucap Tante Ana pelan.Clara menghela nafas berat. Ah, lagi-lagi Jo. Sepertinya tidak peduli sebaik dan serajin apapun Clara di rumah itu, Jo tetap saja akan menyalahkannya. Karena memang Jo tidak suka dengan keberadaan Clara. Clara kembali memikirkan untuk menerima tawaran Ansel. Mungkin tawaran itu tidak terlalu buruk. Setidaknya untuk satu atau dua bulan ke depan, Clara sudah mendapatkan tempat tinggal meskipun bersama pria tidak dikenal ini. Setidaknya Tante Ana tidak perlu beradu mulut dengan Jo lagi soal Clara.Clara melangkah masuk ke apartemen Ansel. Wajahnya tampak bimbang. Ia kembali duduk di hadapan Ansel."Bagaimana? Kamu mau menerimanya?" Tanya Ansel.Clara diam sejenak. Ia lalu menatap Ansel dengan yakin."Iya, aku mau tinggal disini."***Hari ini adalah hari kepindahan Clara dari rumah Tante Ana. Tiga hari yang lalu ia sudah merampungkan kesepakatannya bersama Ansel dan melunasi pembayarannya. Setelah membeli sedikit perlengkapan dengan sisa tabungannya, Clara sudah siap untuk pindah. Yang agak sulit adalah meminta izin kepada Tante Ana.Dua hari yang lalu, Clara berbicara empat mata dengan Tante Ana saat Jo tidak ada di rumah. Pria pelit itu sedang bekerja dan akan pulang ketika malam. Dan Clara pikir saat itu adalah saat yang paling tepat untuk mengobrol dengan Tante Ana terkait kepindahannya."Kamu mau bicara tentang apa, Clara?" Tanya Tante Ana penasaran.Clara diam sejenak. Ia bingung bagaimana harus mengatakannya. Terlebih lagi alasan kepindahannya yang begitu tiba-tiba."Clara?" Ulang Tante Ana lagi.Clara berdeham pelan."Aku mau pindah, Tante." Jawab Clara pelan.Tante Ana terkesiap. Ia bingung kenapa keponakannya yang tidak punya siapa-siapa disini tiba-tiba akan pindah."Kenapa mendadak sekali?" Tanya Tante Ana lagi."Tidak ada alasan khusus, Tante. Aku hanya ingin merasakan hidup mandiri. Itu saja." Balas Clara tersenyum palsu.Tante Ana melihat wajah Clara dengan saksama. Ia tahu benar keponakannya ini sedang berbohong. Clara tidak pernah berani menatap mata lawan bicaranya jika ia sedang berbohong dan sekarang Clara memalingkan wajahnya dari Tante Ana."Apakah karena Jo?" Ujar Tante Ana pelan.Clara terkejut. Ia pura-pura menyembunyikan rasa kagetnya namun Tante Ana terlanjur menangkap perubahan ekspresinya."Ternyata benar karena Jo." Timpal Tante Ana lagi.Tante Ana hening. Ia merasa bersalah kepada keponakannya dan kakaknya di Indonesia. Ia adalah orang yang mengajak Clara pindah ke Singapura dengan iming-iming akan menjaga Clara. Namun sekarang keponakannya malah memilih keluar dari rumahnya karena suaminya yang pelit."Ada apa dengan Jo?" Tanya Tante Ana ingin tahu.Clara diam sejenak dan akhirnya ia membuka mulutnya."Aku tahu kalau Jo keberatan aku tinggal disini, Tante. Aku tanpa sengaja mendengar percakapan Tante dan Jo malam itu." Jawab Clara pelan.Tante Ana tampak terhenyak. Perasaan bersalah menelannya bulat-bulat."Astaga, Clara. Jadi inikah alasan kamu selalu diam dan tidak mau makan apapun di rumah? Karena kamu tidak enak dengan Jo?" Ucap Tante Ana dengan raut tidak enak.Clara mengangguk pelan. Tante Ana tidak dapat menyembunyikan rasa bersalahnya. Ia langsung memeluk keponakannya itu dan mengelus kepala Clara."Ya Tuhan, Clara. Maafkan Tante. Tante tidak bisa menepati janji Tante pada Mamamu. Bukannya menjagamu Tante malah membuatmu keluar dari sini." Tutur Tante Ana dengan lirih.Clara balas memeluk Tante Ana."Tidak apa-apa, Tante. Lagipula aku sudah besar, Tante. Tante tidak perlu repot-repor mengurusiku, sungguh." Balas Clara menenangkan Tante Ana.Tante Ana menyeka air matanya setelah tangisnya mereda. Ia menatap ke arah Clara dan menyadari bahwa keponakannya yang dulu masih kecil kini sudah dewasa. Tante Ana memutuskan untuk percaya kepada Clara dan membiarkannya hidup sendiri."Kapan kamu pindah, Clara?" Tanya Tante Ana setelah tangisnya reda.Clara tersenyum sumringah."Lusa, Tante!"Dan sekarang disinilah Clara. Berdiri di depan tempat tinggal barunya dengan barang-barangnya yang tidak seberapa. Sudah sepuluh menit ia berdiri di depan pintu dan membunyikan bel. Namun Ansel si empunya rumah tak kunjung membukakan pintu. Clara baru akan menelepon pria itu, tetapi pintu tiba-tiba terbuka.Ansel muncul di ambang pintu dengan wajah kusut dan tampak seperti bangun tidur. Clara menatap Ansel dengan sebal karena sudah membuatnya menunggu begitu lama."Maafkan aku, Clara. Aku ketiduran karena semalam harus begadang menyelesaikan tugasku." Kata Ansel sambil tertawa.Clara berdecak kesal dan langsung membawa masuk barangnya ke dalam apartemen itu. Ansel membantu membawa beberapa yang tersisa dan menyusul di belakang Clara."Jadi dimana aku akan tidur?" Tanya Clara seraya meletakkan kopernya.Ansel tersenyum cerah. Ia berjalan ke sebuah kamar dan memberi isyarat pada Clara untuk mengikutinya. Mereka akhirnya tiba di sebuah kamar yang berantakan dengan banyak barang di dalamnya. Clara menatap Ansel dengan tatapan bingung."Katamu kamarnya kosong tapi kenapa ada banyak barang disini? Kamar siapa ini?" Ucap Clara bingung."Ini kamarku." Jawab Ansel ceria.Clara makin tidak mengerti."Maksudmu?"Senyum Ansel makin melebar melihat Clara yang tampak menggemaskan karena bingung."Kamu akan tidur bersamaku di kamar ini, Clara!"Clara menatap Ansel tidak percaya. Bahkan matanya tidak berkedip lagi karena terkejut. Penipuan macam apa ini? Jangan-jangan besok Ansel akan meminta Clara mencuci bajunya juga?"Apa?! Kamu bilang aku akan tidur di kamar kosong dan bukannya bersamamu, Ansel! Wah, ini penipuan namanya!" Seru Clara emosi.Clara menatap Ansel penuh amarah. Namun tiba-tiba pria itu tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Clara hanya menatap Ansel dengan tatapan bingung. Mungkin pria bernama Ansel ini sebenarnya memiliki gangguan jiwa? Bukankah banyak seniman yang memang sedikit gila? Clara mulai berpikir untuk melarikan diri saja daripada harus tinggal bersama Ansel yang tampan namun tidak waras."Kenapa kamu tertawa? Tidak ada yang lucu, Ansel!" Seru Clara sewot.Ansel menyeka air matanya yang sedikit menetes karena terlalu asyik menertawai Clara."Aku bercanda, Clara! Mana mungkin aku akan menyuruhmu tidur bersamaku!" Jelas Ansel lalu tertawa lagi.Mata Clara membelalak kesal. Sialan! Baru har
Gara-gara bahan masakan yang digunakan Clara tadi pagi, kini baik Clara maupun Ansel tergolek lemas karena keracunan makanan. Clara terpaksa izin untuk pulang kerja lebih awal karena fisiknya yang terasa sangat tidak sehat. Sementara Ansel harus absen dari kuliahnya karena ia terus bolak balik ke kamar mandi.Clara terduduk lemas di sofa apartemen bersama Ansel yang terguling di sampingnya. Mereka sudah ke dokter dan mendapatkan obat untuk mengurangi gejala keracunan makanan yang dialami. Namun urusan perut mereka yang terus menerus mual tampaknya belum kunjung berhenti.Mereka berdua sedang menatap kosong ke TV tanpa melakukan apapun. Lalu tiba-tiba Ansel berlari menuju kamar mandi lagi. Perutnya mules dan terus memanggil Ansel untuk ke kamar mandi."Sialan! Aku harus ke kamar mandi!" Seru Ansel sembari berlari meninggalkan Clara.Gadis itu melihat teman serumahnya dengan tatapan geli. Ia tertawa lemas karena Ansel terlihat seperti orang bodoh. Namun tak lama kemudian perut Clara iku
Satu persyaratan yang diberikan perusahaan modeling itu membuat Clara menjadi pusing tujuh keliling. Bagaimana mungkin ia bisa membangun portofolionya sebagai model lingerie hanya dalam waktu satu minggu? Clara harus setidaknya memiliki beberapa lingerie yang akan dipakainya. Belum lagi ia harus membayar fotografer untuk melakukan sesi pemotretan! Padahal uangnya sekarang saja sudah sangat minus."Jess, agensi yang aku ceritakan padamu kemarin berkata akan menerimaku sebagai model mereka." Ungkap Clara pada Jessica saat mereka bertemu.Mata Jessica terbelalak. Ia tersenyum sumringah mendengar kabar baik dari temannya itu."Serius? Wah, bagus dong, Clara! Tapi kenapa kamu malah terlihat pusing?" Balas Jessica tidak mengerti.Clara menghela nafas pelan."Iya, karena ada satu syarat yang mereka berikan." Jawab Clara."Apa syaratnya?" Tanya Jessica penasaran."Aku harus punya portofolio sebagai model lingerie." Sambung Clara lesu.Jessica tertawa mendengar kecemasan sahabatnya itu."Oh! K
Ansel mengedipkan matanya tak percaya. Apakah gadis ini sudah gila? Mengapa ia memilih pekerjaan yang sangat beresiko seperti itu?"Kamu masih waras kan, Clara?" Tanya Ansel heran.Clara mengangguk."Lalu kenapa kamu mau bekerja seperti ini?" Ujar Ansel kesal."Karena aku butuh uang, Ansel! Bayaran pekerjaan ini sangat tinggi dan pekerjaannya mudah! Sesederhana itu!" Seru Clara sebal.Ansel masih memalingkan wajahnya. Selama ini ia selalu melihat Clara dalam balutan piyama atau pakaian rumah lainnya. Ini pertama kalinya Ansel melihat Clara berpakaian seperti ini dan sejujurnya jantung Ansel menjadi sedikit tidak karuan karenanya."Tenang, Ansel! Tenang! Kamu harus kendalikan dirimu! Kamu bukan buaya darat yang tidak bisa melihat wanita seksi, kan?" Batin Ansel berusaha mengingatkan dirinya.Clara menatap Ansel yang tampak seperti salah tingkah. Seolah tanpa rasa bersalah, Clara dalam balutan pakaian dalam seksi itu berjalan menghampiri Ansel."Kamu tidak apa-apa?" Tanya Clara bingung.
Clara membuka emailnya dengan tidak sabar. Sudah tiga hari berlalu sejak ia mengirimkan portofolionya dan apabila ia memang diterima, seharusnya ia akan mendapatkan balasan dari agensinya hari ini. Jantung Clara berdebar kencang tidak karuan. Ia merasa sangat deg-degan sembari menunggu laman yang ia tuju sedang dimuat."Ada email masuk!" Seru Clara heboh saat melihat email balasan dari agensi yang ia lamar.Dengan mantap Clara membuka email itu dan membaca isinya. Matanya menjelajah setiap kalimat berkali-kali. Seolah tidak percaya, ia kembali membaca surat elektronik itu dari kalimat pertama. Setelah benar-benar yakin, Clara berteriak histeris karena bahagia."Aku diterima! Yeay! Aku diterima kerja!" Seru Clara heboh.Kakinya berjingkat-jingkat bahagia. Clara benar-benar merasakan euforia karena pekerjaan yang ia nanti-nanti akhirnya berhasil ia dapatkan. Dengan semarak ia berloncat dan menari-nari di atas kasurnya. Lalu kepalanya teringat dengan teman serumahnya yang sudah membantun
Tanpa terasa, sebulan telah berlalu sejak Clara bekerja sebagai model lingerie. Ia sungguh mencintai pekerjaan barunya karena ia tidak perlu capek-capek mengelap meja hingga malam seperti dulu ketika bekerja di restoran. Bahkan Clara berpikir untuk berhenti bekerja dari restoran itu dan fokus pada kariernya di bidang ini. Namun Clara belum bisa memantapkan hatinya karena ia khawatir Tante Ana malah akan mengkhawatirkan atau bahkan mencurigai pekerjaan barunya.Dan Ansel, meskipun awalnya terasa canggung berpose menantang di depan teman serumahmu, namun lama kelamaan Clara mulai terbiasa melakukannya. Dan tampaknya Ansel juga tidak bertingkah aneh lagi seperti biasanya. "Ah! Betapa menyenangkannya pekerjaan baruku!" Seru Clara bahagia.Ponsel Clara berdenting singkat. Sebuah notifikasi masuk ke dalamnya. Clara baru saja mendapatkan paket dari agensinya dan itu berarti ia harus melakukan pemotretan lagi dalam waktu dekat. Clara berjingkat riang. Pemotretan baru itu artinya penghasilan
Ansel baru saja mendapat kabar baik bahwa salah satu kenalannya yang berprofesi sebagai model mau membantu mereka dalam pemotretan selanjutnya. Dengan semangat membara ia berlari menghampiri Clara yang sedang memasak di dapur mereka. Clara bahkan sampai terkejut karena aksi mendadak Ansel."Clara! Aku punya kabar baik untuk kita!" Seru Ansel bahagia.Clara terhenyak dan menatap Ansel dengan sebal. Apakah Ansel tidak menyadari bahwa Clara adalah manusia yang sangat mudah terkejut? Tidakkah ia sadar bahwa teman serumahnya ini, gadis bernama Clara ini, memiliki jantung yang lemah dan tidak tahan dengan segala spontanitasnya?"Astaga, Ansel! Tenangkan dirimu! Lama-lama aku bisa terkena serangan jantung gara-garamu!" Sembur Clara sewot.Ansel hanya meringis menunjukkan barisan giginya yang rapih dan putih. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal."Maafkan aku, Clara. Hanya saja aku terlalu senang karena kabar baik ini." Ucap Ansel bersemangat.Clara lalu menyuapkan masakannya langsun
Ansel berjalan dengan canggung mendekati Clara. Gadis itu menatapnya tak berkedip. Membuat Ansel semakin salah tingkah."Jangan menatapku seperti itu, Clara. Kamu membuatku malu." Seru Ansel sebal.Gadis itu langsung menggelengkan kepalanya beberapa kali. Seolah berusaha menyadarkan dirinya sendiri."Ah, maaf Ansel. Hanya saja kamu tampak berbeda." Balas Clara pelan.Marcel tersenyum sumringah sembari menghampiri mereka berdua. Tangannya memegang kamera besar yang akan digunakan untuk pemotretan."Kalian sudah siap? Ayo kita mulai pemotretannya!" Seru Marcel antusias.Dengan kikuk, Clara dan Ansel berjalan ke tempat pemotretan akan dilakukan. Keduanya berdiri berjauhan dan tidak mampu menatap wajah masing-masing."Astaga! Bagaimana aku akan melakukan pemotretan kalau kalian berpose sangat kaku seperti ini?" Ucap Marcel kesal.Ansel mendelik ke arah Marcel. Ia sebal dengan Marcel yang seolah-olah ingin terus mempermalukannya."Ansel, ayo peluk Clara dan Clara, kumohon letakkan tanganmu
Ansel dan Clara tiba di kamar pengantin mereka. Ansel sengaja menyewa kamar dengan pemandangan terbaik di Castle Bromwich Hall, salah satu hotel dengan desain klasik yang paling menakjubkan di Birmingham. Ia akan membuat malam ini menjadi malam paling romantis bagi mereka berdua.Kedua tangan Ansel menggendong Clara layaknya seorang pengantin wanita. Ia membawa istrinya masuk ke dalam kamar itu sembari sesekali mencuri ciuman ke bibir Clara. Tawa Clara terdengar renyah dan menghangatkan hati Ansel.Sesampainya di kamar, Ansel segera menurunkan Clara dan gadis itu berseru senang sembari memeluk Ansel erat."Kita akhirnya menjadi suami isteri, Sayang!" Seru Clara bahagia.Ansel mendaratkan sebuah ciuman singkat di bibir Clara. Matanya lalu menatap Clara dengan penuh cinta seolah cinta itu bisa menenggelamkan Clara saat itu juga. Tangan Ansel menarik turun resleting gaun yang dipakai Clara dan pakaian putih itu dengan cepat meluncur ke kedua kaki Clara. "Tidak sabar lagi, hmm?" Goda Cla
Semuanya bak mimpi yang begitu indah. Taman yang cantik ini, suasana yang begitu romantis, dan Ansel yang berlutut dengan cincin di hadapannya. Clara begitu terkejut hingga ia tak bisa mengatakan apapun. Satu-satunya reaksi yang bisa ia keluarkan hanyalah menangis. Tangisan haru yang meleleh dari kedua matanya."Clara Deolindra, will you marry me?"Ansel mengatakan itu dengan senyuman yang begitu lebar. Seolah kebahagiaan begitu besar ada di depan matanya sekarang."Aku sangat mencintaimu, Sayang. Aku bahkan tidak bisa membayangkan masa depan dimana tidak ada kamu di dalamnya. Dan kejadian kemarin membuat aku sadar betapa aku tidak ingin kehilangan dirimu." Ujar Ansel lembut.Ia mendongakkan wajahnya dan menatap ke arah Clara yang menangis terharu. "Jadi, maukah kamu bersamaku selamanya sebagai isteriku, Sayang?"Tak ada keraguan sama sekali di hati Clara. Sejak lama ia mendambakan hari dimana Ansel akan melamarnya. Berandai-andai dengan mimpi yang sepertinya tak akan pernah tergapai
Kondisi Clara sudah jauh membaik sejak kesadarannya pulih. Alat bantu yang mempertahankan hidupnya sudah dilepaskan satu persatu dan bahkan Clara sudah diperbolehkan untuk keluar dari ruangannya untuk berjalan-jalan sejenak.Dan kebahagiaan teramat besar dirasakan Ansel, Elliott, serta Adeline. Bagaikan diberi keajaiban yang luar biasa, ketiganya tak henti tersenyum setiap kali melihat perkembangan pada kondisi Clara.Hari ini, tepat tiga minggu Clara berada di rumah sakit. Hari ini juga merupakan hari dimana dokter sudah memperbolehkan Clara untuk pulang. Pukul sebelas siang, Ansel dan Clara siap pergi meninggalkan rumah sakit itu. Ansel mendorong Clara yang berada di atas kursi roda untuk menyusuri koridor rumah sakit."Kita akan pulang hari ini, Sayang. Kamu senang?" Tanya Ansel bersemangat.Clara mengangguk mantap. Sejujurnya ia sudah sangat muak berada di rumah sakit. Tidak bisa melakukan apapun dan yang ia lakukan hanyalah terbaring di ranjang seharian. Clara merindukan rutinita
Kedua pria itu begitu larut dalam pikirannya masing-masing. Hingga akhirnya Ansel memutuskan untuk memecahkan keheningan dengan menegur sang ayah."Ada apa, Dad?"Elliott berdeham. Ia memutar tubuhnya untuk menghadap ke arah puteranya itu. Tatapannya serius dan Ansel seolah mengerti apa yang ingin dikatakan ayahnya saat itu."Tentang Mom?" Tanya Ansel pelan.Elliott mengangguk. Ansel mengusap wajahnya dengan kasar."Ada apa lagi? Apa yang Mom keluhkan kepadamu kali ini?""Aku memintamu untuk memaafkan Mom, Ansel. Apakah kamu bisa melakukannya?" Elliott bertanya dengan begitu hati-hati. Ia tahu permintaannya itu sangat sulit dikabulkan Ansel sekarang. Setidaknya hingga Clara sadar.Ansel tertawa pahit. Ia lalu mengangkat wajahnya dan menatap ke arah Clara yang masih terbaring dalam koma di atas ranjangnya."Setelah semua hinaan yang diberikannya pada Clara, Dad? Kurasa tidak, Dad." Ucap Ansel lirih.Elliott menghela nafas berat. Ia memegang pundak Ansel dan meremasnya pelan. Puteranya
Tiga hari berselang, kondisi Clara dinyatakan jauh lebih baik. Walaupun belum sadar dari pingsannya, Clara sudah bisa dipindahkan ke kamar perawatan umum. Dan Ansel bisa merawat kekasihnya dan berada di sisinya setiap saat."Iya, Clara akan baik-baik saja, Bu. Maafkan aku karena semua ini terjadi saat Clara bersamaku. Tapi aku berjanji aku akan merawat Clara dengan baik." Ansel mengakhiri pembicaraannya di telepon. Ia menatap layar ponselnya dengan kosong. Helaan nafasnya terdengar berat namun Ansel memaksakan senyum tersungging di bibirnya.Ia kembali masuk ke kamar tempat Clara dirawat dan duduk di sisi ranjang."Ibumu menelepon, Sayang. Dia sangat mengkhawatirkanmu. Tapi aku sudah mengatakan kepadanya bahwa kamu akan baik-baik saja. Iya kan?"Hening. Gadis yang ditanya pun tidak menjawab apa-apa. Clara masih tertidur bak puteri di dalam dongeng. Wajah cantiknya tampak pucat dan Ansel tersenyum getir melihatnya.Ansel meraih tangan kekasihnya itu, meremasnya lembut, dan menciumnya
Kabar itu datang bagaikan petir di siang bolong. Menyadarkan Ansel dari segala lamunannya dan menghentakkannya kembali ke bumi. Begitu hancur hingga rasanya ia tak sanggup untuk menatap lurus ke depan.Dua kata. Hanya dua kata yang dikatakan ibunya di telepon. Tapi dua kata itu sukses menjungkirbalikkaan kehidupan Ansel. Membuatnya berlari dengan nafas memburu seperti orang gila.Clara kecelakaan. Kekasihnya mengalami kecelakaan. Dan bagaimana keadaan Clara sekarang? Apakah ia baik-baik saja? Astaga, Ansel bahkan belum sempat berbicara dengannya tentang kesalahpahaman kemarin. Dan semuanya sudah menjadi kacau seperti ini dalam satu kedipan mata.Dengan terburu-buru, Ansel memacu mobilnya ke rumah sakit tempat Clara dilarikan. Ia tak peduli bagaimana kacaunya ia terlihat saat itu. Persetan dengan dasinya yang masih belum terikat dan sepatunya yang ia pakai secara asal-asalan. Yang terpenting bagi Ansel sekarang hanyalah melihat Clara. Tidak ada yang lain.Dua puluh menit memacu mobilny
Entah berapa kali Clara mengutuk dirinya sendiri dan hati lembutnya ini. Ia sudah bertekad bahwa ia akan mengabaikan Ansel dan benar-benar menunjukkan kemarahannya. Namun sekarang, disinilah ia. Berjalan di pusat perbelanjaan Edinburgh mencari oleh-oleh untuk orang-orang yang ia sayangi. Hiasan kristal untuk Adeline, wiski untuk Elliott, dan wine serta parfum untuk Ansel.Ah, kenapa Clara bodoh sekali? Kenapa ia masih saja mau menghabiskan waktu dan uangnya untuk mereka yang bahkan tidak peduli dengannya?Tapi seperti itulah Clara. Beginilah cara ia menunjukkan rasa cintanya. Tak peduli seberapa kesalnya ia dengan orang-orang itu (kecuali Elliott, tentu saja), Clara tetap akan tersenyum lebar dan memberikan oleh-oleh ini kepada mereka."Semoga mereka menyukainya." Gumam Clara sembari mendorong troli belanjanya menuju kasir.Penerbangannya dua jam lagi dan Clara sekarang tengah menunggu pesawatnya di bandara. Ia melirik ponselnya lagi. Lagi-lagi panggilan dari Ansel. Untuk pertama kali
Pemotretan di Edinburgh benar-benar menyenangkan. Clara diharuskan berfoto di lokasi yang sedikit menantang yaitu di atas tebing St. Abbs. Dengan angin yang bertiup begitu kencang dan ombak yang menerpa dengan deras di bawahnya, tentu saja berfoto dengan menggunakan dua potong lingerie menjadi hal yang sedikit sulit untuk dilakukan.Tapi Clara menyukainya. Tidak, bukan hanya sekedar menyukainya. Clara benar-benar menikmatinya. Dan setidaknya kesibukannya ini akan mengalihkan perhatian Clara dari masalahnya dengan Ansel."Memangnya Ansel saja yang bisa sibuk bekerja?"Jepretan demi jepretan di ambil dan puluhan hasil foto yang tampak luar biasa benar-benar membuat Clara kagum. Jika ia adalah dirinya dua tahun lalu, maka mungkin Clara tidak akan pernah menyangka bahwa ia bisa bergaya sebagus itu. Layaknya seorang model profesional.Tapi Clara yang sekarang berbeda dengan Clara yang dulu. Ia sekarang adalah satu di antara deretan model La Perla. Dan juga salah satu model yang melenggok d
Pikiran Ansel benar-benar kalut. Hatinya tidak tenang karena rasa gelisah. Wajah terakhir yang ia lihat sebelum Clara pergi tadi pagi adalah hal yang paling tidak bisa ia lupakan. Kekasihnya itu benar-benar kecewa dan terluka. Matanya sembab karena menangis begitu hebat. Dan semua itu disebabkan oleh Ansel. Ansel dan segala egoismenya yang tidak bisa ia bendung.Dan karena itu pula Ansel tidak bisa fokus bekerja sejak tadi. Pikirannya selalu kembali kepada Clara dan Clara lagi. Rapat hari itu bahkan berjalan terasa sangat lambat karena Ansel tidak bisa meraih ponselnya untuk menghubungi kekasihnya itu."Jadi bagaimana, Tuan Brooks? Konsep iklan yang mana yang menurut Anda paling baik?"Pertanyaan dari salah seorang karyawannya menyadarkan Ansel dari kekalutannya. Ia segera mengerjapkan matanya berkali-kali dan mencoba untuk kembali fokus pada pekerjaannya.Sadar, Ansel! Ada proyek senilai lima juta poundsterling yang harus kamu selesaikan!Ansel meninjau konsep yang dibuat oleh timnya