Hari ini adalah hari pertama Clara bekerja di restoran tempat Tante Ana mengajaknya. Dengan menaikki MRT, mereka berdua berangkat sejak pagi dan tiba di restoran itu pada pukul 7 pagi. Tante Ana menyuruh Clara untuk menunggu di luar sejenak karena ia akan berbicara dengan atasannya sejenak. Clara menurut dan menunggu Tante Ana di luar restoran.
Selama menunggu, mata Clara menjelajah ke segala sudut lingkungan itu. Restoran tempatnya akan bekerja adalah sebuah restoran Cina yang terletak di jalan yang lumayan sibuk. Waktu masih pagi tapi sejak tadi Clara sudah melihat banyak oramg bersliweran disana. Clara kembali menebar pandangannya dan kali ini ke dalam area restoran. Restoran itu tampak seperti restoran zaman dulu dengan tempat yang cukup luas. Persis seperti restoran Cina yang sering Clara lihat di film k****u kesukaan mendiang ayahnya.Dindingnya putih bersih dan hanya dihiasi oleh beberapa foto hitam putih. Lalu tentu saja terdapat ornamen-ornamen khas restoran Cina lainnya. Meskipun tidak terlihat mewah ataupun penuh gemerlap, tapi restoran itu sudah ipenuhi pelanggan di waktu sepagi ini."Pasti ini adalah restoran yang sangat terkenal." Gumam Clara pelan.Tak lama kemudian, ia melihat sosok Tante Ana yang menghampirinya dengan sumringah. Clara merasa bahwa akan ada kabar baik yang disampaikan oleh Tante Ana. Ia sudah tidak sabar untuk mendengarkannya."Bagaimana Tante?" Tanya Clara penuh semangat."Kamu bisa mulai bekerja hari ini, Clara! Kamu akan bekerja sebagai pelayan yang tugasnya menyambut pelanggan, mencatat pesanan, dan mengantar makanan. Apakah kamu bisa?" Tanya Tante Ana serius.Clara mengangguk. Sungguh, pekerjaan ini bukanlah sebuah pekerjaan yang sulit baginya. Ia sudah bekerja sebagai pelayan restoran sejak ia lulus SMA karena itu Clara sangat yakin dengan kemampuannya. Ia yakin ia akan bekerja dengan baik dan tidak akan mempermalukan Tante Ana."Pasti bisa, Tante! Tante jangan khawatir, aku pasti tidak akan membuat Tante merasa malu." Jawab Clara dengan mantap.Tante Ana sumringah. Ia lalu menepuk kedua bahu keponakannya itu seolah memberi isyarat bahwa ia percaya kepada Clara sepenuhnya. Clara mengangguk mantap dan segera mengikuti langkah Tante Ana. Mulai hari ini, petualangan Clara untuk bekerja di negeri orang secara resmi dimulai. Clara sangat bersemangat menyambut apa yang akan ia temui dalam kesehariannya selanjutnya.***Hari pertama Clara bekerja berlalu dengan begitu saja. Rasanya letih sekali dan seolah seluruh tulangnya patah. Hari ini restoran tempatnya bekerja sedang ramai-ramainya dan Clara bahkan tidak sempat duduk selama seharian."Astaga, rasanya tubuhku pegal semua." Gumam Clara sembari memijat-mijat kakinya di atas kasur.Setelah beberapa menit memijati dirinya sendiri, Clara tanpa sadar sudah terlelap tidur. Mungkin karena tubuhnya yang merasa begitu lelah sehingga Clara bahkan tertidur tanpa mandi terlebih dahulu.Sekitar jam 1 malam, Clara dibangunkan oleh suara gemerisik dari arah luar kamar yang ia gunakan. Clara bertanya-tanya kegaduhan apa yang terjadi disana. Ia beranjak dari kasurnya dan berjalan ke arah pintu. Clara menempelkan telinganya di pintu kamar Stefani dan mencoba menguping apa yang ada di luar kamar itu. Clara mendengar seorang pria dan wanita yang saling mengobrol entah apa yang dibicarakan."Siapa yang mengobrol tengah malam seperti ini?" Ucap Clara pelan.Karena rasa penasaran yang terus mendorongnya, Clara membuka sedikit pintu kamar dan mengintip keluar. Ia melihat Tante Ana dan suaminya, Jo, tampak membicarakan sesuatu dengan serius. Clara mencoba mendengarkan percakapan mereka lamat-lamat."Apa yang mau kamu bicarakan, Jo?" Tanya Tante Ana bingung."Ini soal Clara." Jawab Jo singkat.Tante Ana tampak tidak mengerti dan duduk di samping Jo."Ada apa dengan Clara?" Imbuh Tante Ana ingin tahu.Jo terdiam sejenak. Ia lalu memandang Tante Ana serius."Tidakkah menurutmu membiarkan Clara tinggal disini akan memberatkan bagi kita, Ana? Kamu tahu sendiri betapa mahalnya biaya hidup di Singapura." Ujar Jo.Tante Ana tampak tidak senang dengan jawaban Jo. Clara yang mendengarnya juga ikut terkejut dengan respon Jo atas kedatangannya."Memberatkan apanya? Anak itu bahkan tidak akan menghabiskan lebih dari dua piring nasi. Membawa Clara tinggal disini tidak akan membuat perbedaan besar, Jo. Kumohon jangan mengarang alasan yang tidak masuk akal." Timpal Tante Ana tidak setuju.Jo berdecak kesal."Sungguh, Ana? Kamu pikir semua ini hanya akal-akalanku saja? Kamu pikir gadis itu tidak akan menggunakan air, listrik, dan lainnya? Sejujurnya aku keberatan jika harus menanggung Clara di rumah ini. Dia bukanlah siapa-siapa bagiku dan aku tidak punya hubungan apapun dengannya." Balas Jo tidak kalah sengit.Tante Ana tampak menyesap minumannya perlahan."Sudahlah, kalau kamu memang merasa keberatan untuk menanggung Clara, maka aku yang akan menanggung pengeluarannya. Aku tidak akan pernah mengganggu sepeser pun uangmu untuk keponakanku. Kamu bisa menyimpan uangmu itu hingga menggunung dan menghabiskannya sendirian." Ucap Tante Ana kesal.Jo tampak tidak senang dengan jawaban Tante Ana dan beranjak pergi meninggalkannya. Clara terhenyak. Sedari tadi ia hanya bisa diam mendengarkan kedua orang dewasa itu berdebat tentangnya. Yang pria terus menerus berusaha mengusirnya dari rumah mereka. Sementara yang wanita mati-matian mempertahankan Clara agar tetap berada disini.Clara menutup pintu kamar dengan perlahan. Ia beringsut kembali ke kasur dan duduk disana. Kepalanya terasa mau pecah karena masalah yang baru saja ia dengar. Kenapa Jo berpikiran seperti itu? Bahkan Clara belum genap tinggal bersamanya selama satu minggu tapi ia sudah menganggap Clara seperti seorang parasit. Ah, mungkinkah karena ia memang merasa tidak ada hubungan apapun dengan Clara?"Tampaknya aku harus segera pindah dari sini." Gumam Clara pelan.***Selama seminggu, percakapan antara Jo dan Tante Ana yang ia tak sengaja dengar terus terngiang di kepalanya. Clara bahkan tidak berani mengambil nasi di meja makan karena merasa tidak enak kepada Jo. Tante Ana yang heran melihat keponakannya tampak lesu pun langsung bertanya."Kenapa kamu tidak makan, Clara? Kamu tidak suka masakan Tante?" Tanya Tante Ana bingung.Clara menggeleng dan tersenyum tidak enak."Tidak, Tante. Clara sudah janji akan makan bersama teman Clara yang bekerja disini. Clara pamit dulu ya Tante." Ucap Clara berbohong.Tante Ana yang tidak terlalu ambil pusing hanya mengiyakan kata-kata Clara. Mungkin memang keponakannya sudah berjanji dengan temannya. Siapa yang bisa menebak kehidupan seorang gadis 20 tahun bukan?Clara lalu mengambil tasnya dan pergi setelah izin dengan Tante Ana dan Jo. Sebenarnya Clara lapar sekali, tapi kata-kata Jo terus menerus mengganggunya."Ah, sudahlah. Aku akan mencari makan di luar saja." Ucap Clara pada dirinya sendiri.Sebenarnya Clara juga tidak sepenuhnya berbohong. Hari ini ia memang akan menemui temannya yang bekerja di salah satu mall yang ada di Singapura. Kebetulan hari ini Clara juga mendapatkan jatah libur. Jadi ia bisa melakukan hal-hal yang ia suka.Clara berjanji akan bertemu dengan temannya di Orchard Road. Dan Clara tiba di tempat pertemuan mereka pada pukul 3 sore. Clara mencari temannya yang akan ia temui dan akhirnya setelah menjulurkan kepalanya seperti jerapah, Clara berhasil menemukan temannya di antara keramaian."Jess!" Seru Clara sambil melambaikan tangannya ke arah seorang gadis berbaju merah muda.Gadis itu menoleh. Matanya memicing sejenak berusaha mengenali sosok yang memanggilnya. Sepersekian detik kemudian senyum gadis itu mengembang dan membalas lambaian tangan Clara."Clara! Oh my God! Kamu cantik sekali! Aku sampai tidak bisa mengenalimu, Clara!" Seru Jessica bahagia.Clara berlari dan memeluk gadis itu. Rasanya sudah lama sekali ia tidak bertemu dengan sahabatnya. Jessica adalah salah satu alasan lain kenapa Clara ingin bekerja di Singapura. Karena sahabatnya sejak kecil juga ada disini dan Clara tidak akan sepenuhnya kesepian meskipun merantau di negeri orang.Kedua gadis itu lalu memutuskan untuk pergi ke sebuah cafe untuk mengisi perut sembari bertukar cerita."Jadi kamu tinggal sama siapa disini?" Tanya Jessica kepada Clara.Clara yang sudah kelaparan sejak tadi fokus menyendok suap demi suap makanan ke mulutnya. Ia mengangkat wajahnya dan melihat ke arah Jessica yang duduk di hadapannya."Sama Tante Ana, Jess. Tapi rencananya aku mau pindah." Jawab Clara pelan.Jessica tampak bingung."Kenapa? Bukannya kamu sangat dekat dengan Tante Ana? Harusnya kamu merasa nyaman kan tinggal bersamanya?" Ujar Jessica.Clara menelan sendokan terakhir hidangannya."Tante Ana memang baik, Jess. Tapi suami barunya super pelit. Aku bahkan belum seminggu tinggal disana tapi dia sudah menganggap aku seperti parasit. Aku jadi merasa serba tidak enak mau melakukan apapun." Jelas Clara kesal.Jessica mengangguk-angguk mengerti."Ngomong-ngomong, berapa yang harus aku keluarkan kalau mau sewa apartemen ya?" Tanya Clara pada Jessica.Jessica tampak berpikir sejenak."Kalau di pinggiran mungkin sekitar dua sampai tiga ribu dollar. Tapi kalau di daerah kota seperti ini bisa sampai empat ribu dollar, Clara. Pokoknya super duper mahal." Jawab Jessica.Clara terhenyak."Empat ribu dollar?""Empat ribu dollar katamu? Kenapa mahal sekali?" Sulit bagi Clara untuk mempercayai kata-kata Jessica, sahabatnya itu. Bagaimana mungkin ia bisa segera pindah jika gajinya sebulan bahkan jauh di bawah itu? Tapi di sisi lain, Clara tidak mungkin terus bertahan tinggal bersama Tante Ana dan Jo. Clara tidak ingin kehadirannya menjadi sumber perpecahan bagi rumah tangga kedua Tantenya."Iya, memang sangat mahal, Clara. Pendatang seperti kita hanya bisa tinggal di condo dan bukannya HDB. Jadi, yah seperti itulah." Ujar Jessica lagi.Clara memijat keningnya yang berdenyut. Mengapa susah sekali baginya untuk bisa hidup tenang dan nyaman?"Lalu dimana kamu tinggal sekarang, Jess? Bisakah aku menumpang di tempatmu?" Pinta Clara memelas.Namun Jessica tampak keberatan."Sungguh, Clara. Bukannya aku tidak mau atau tidak suka padamu. Tapi sekarang aku tinggal bersama kekasihku. Jadi rasanya tidak mungkin jika kamu ikut tinggal denganku. Maafkan aku ya, Clara." Balas Clara dengan menyesal.Clara
MilkBun22 ternyata adalah seorang pria. Pria berusia 23 tahun bernama Ansel Brooks. Ayahnya adalah orang Australia dan ibunya adalah wanita Indonesia. Ansel tinggal di Singapura karena ia sedang menyelesaikan kuliah seninya. Dan Clara sama sekali tidak tahu menahu soal itu. Clara mengira si pemilik iklan adalah seorang gadis karena username yang digunakan sangatlah feminim.Clara duduk di ruang tamu apartemen pria itu dan menatapnya dengan tidak percaya. Bagaimana bisa pria dengan tubuh atletis ini menggunakan nama yang begitu lucu sebagai identitasnya di internet?"Jadi kamu adalah MilkBun22? Orang yang sedang mencari roommate?" Tanya Clara sekali lagi sambil menatap Ansel dari ujung kaki hingga ujung kepala.Ansel berjalan dari dapur menuju sofa tempat Clara duduk. Ia lalu memberikan Clara segelas teh dan duduk di depan gadis itu."Iya, apakah ada yang salah dengan itu?" Balas Ansel bingung."Tapi kukira kamu adalah seorang wanita! Karena namamu terdengar sangat feminim! Lagipula ke
Clara menatap Ansel tidak percaya. Bahkan matanya tidak berkedip lagi karena terkejut. Penipuan macam apa ini? Jangan-jangan besok Ansel akan meminta Clara mencuci bajunya juga?"Apa?! Kamu bilang aku akan tidur di kamar kosong dan bukannya bersamamu, Ansel! Wah, ini penipuan namanya!" Seru Clara emosi.Clara menatap Ansel penuh amarah. Namun tiba-tiba pria itu tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Clara hanya menatap Ansel dengan tatapan bingung. Mungkin pria bernama Ansel ini sebenarnya memiliki gangguan jiwa? Bukankah banyak seniman yang memang sedikit gila? Clara mulai berpikir untuk melarikan diri saja daripada harus tinggal bersama Ansel yang tampan namun tidak waras."Kenapa kamu tertawa? Tidak ada yang lucu, Ansel!" Seru Clara sewot.Ansel menyeka air matanya yang sedikit menetes karena terlalu asyik menertawai Clara."Aku bercanda, Clara! Mana mungkin aku akan menyuruhmu tidur bersamaku!" Jelas Ansel lalu tertawa lagi.Mata Clara membelalak kesal. Sialan! Baru har
Gara-gara bahan masakan yang digunakan Clara tadi pagi, kini baik Clara maupun Ansel tergolek lemas karena keracunan makanan. Clara terpaksa izin untuk pulang kerja lebih awal karena fisiknya yang terasa sangat tidak sehat. Sementara Ansel harus absen dari kuliahnya karena ia terus bolak balik ke kamar mandi.Clara terduduk lemas di sofa apartemen bersama Ansel yang terguling di sampingnya. Mereka sudah ke dokter dan mendapatkan obat untuk mengurangi gejala keracunan makanan yang dialami. Namun urusan perut mereka yang terus menerus mual tampaknya belum kunjung berhenti.Mereka berdua sedang menatap kosong ke TV tanpa melakukan apapun. Lalu tiba-tiba Ansel berlari menuju kamar mandi lagi. Perutnya mules dan terus memanggil Ansel untuk ke kamar mandi."Sialan! Aku harus ke kamar mandi!" Seru Ansel sembari berlari meninggalkan Clara.Gadis itu melihat teman serumahnya dengan tatapan geli. Ia tertawa lemas karena Ansel terlihat seperti orang bodoh. Namun tak lama kemudian perut Clara iku
Satu persyaratan yang diberikan perusahaan modeling itu membuat Clara menjadi pusing tujuh keliling. Bagaimana mungkin ia bisa membangun portofolionya sebagai model lingerie hanya dalam waktu satu minggu? Clara harus setidaknya memiliki beberapa lingerie yang akan dipakainya. Belum lagi ia harus membayar fotografer untuk melakukan sesi pemotretan! Padahal uangnya sekarang saja sudah sangat minus."Jess, agensi yang aku ceritakan padamu kemarin berkata akan menerimaku sebagai model mereka." Ungkap Clara pada Jessica saat mereka bertemu.Mata Jessica terbelalak. Ia tersenyum sumringah mendengar kabar baik dari temannya itu."Serius? Wah, bagus dong, Clara! Tapi kenapa kamu malah terlihat pusing?" Balas Jessica tidak mengerti.Clara menghela nafas pelan."Iya, karena ada satu syarat yang mereka berikan." Jawab Clara."Apa syaratnya?" Tanya Jessica penasaran."Aku harus punya portofolio sebagai model lingerie." Sambung Clara lesu.Jessica tertawa mendengar kecemasan sahabatnya itu."Oh! K
Ansel mengedipkan matanya tak percaya. Apakah gadis ini sudah gila? Mengapa ia memilih pekerjaan yang sangat beresiko seperti itu?"Kamu masih waras kan, Clara?" Tanya Ansel heran.Clara mengangguk."Lalu kenapa kamu mau bekerja seperti ini?" Ujar Ansel kesal."Karena aku butuh uang, Ansel! Bayaran pekerjaan ini sangat tinggi dan pekerjaannya mudah! Sesederhana itu!" Seru Clara sebal.Ansel masih memalingkan wajahnya. Selama ini ia selalu melihat Clara dalam balutan piyama atau pakaian rumah lainnya. Ini pertama kalinya Ansel melihat Clara berpakaian seperti ini dan sejujurnya jantung Ansel menjadi sedikit tidak karuan karenanya."Tenang, Ansel! Tenang! Kamu harus kendalikan dirimu! Kamu bukan buaya darat yang tidak bisa melihat wanita seksi, kan?" Batin Ansel berusaha mengingatkan dirinya.Clara menatap Ansel yang tampak seperti salah tingkah. Seolah tanpa rasa bersalah, Clara dalam balutan pakaian dalam seksi itu berjalan menghampiri Ansel."Kamu tidak apa-apa?" Tanya Clara bingung.
Clara membuka emailnya dengan tidak sabar. Sudah tiga hari berlalu sejak ia mengirimkan portofolionya dan apabila ia memang diterima, seharusnya ia akan mendapatkan balasan dari agensinya hari ini. Jantung Clara berdebar kencang tidak karuan. Ia merasa sangat deg-degan sembari menunggu laman yang ia tuju sedang dimuat."Ada email masuk!" Seru Clara heboh saat melihat email balasan dari agensi yang ia lamar.Dengan mantap Clara membuka email itu dan membaca isinya. Matanya menjelajah setiap kalimat berkali-kali. Seolah tidak percaya, ia kembali membaca surat elektronik itu dari kalimat pertama. Setelah benar-benar yakin, Clara berteriak histeris karena bahagia."Aku diterima! Yeay! Aku diterima kerja!" Seru Clara heboh.Kakinya berjingkat-jingkat bahagia. Clara benar-benar merasakan euforia karena pekerjaan yang ia nanti-nanti akhirnya berhasil ia dapatkan. Dengan semarak ia berloncat dan menari-nari di atas kasurnya. Lalu kepalanya teringat dengan teman serumahnya yang sudah membantun
Tanpa terasa, sebulan telah berlalu sejak Clara bekerja sebagai model lingerie. Ia sungguh mencintai pekerjaan barunya karena ia tidak perlu capek-capek mengelap meja hingga malam seperti dulu ketika bekerja di restoran. Bahkan Clara berpikir untuk berhenti bekerja dari restoran itu dan fokus pada kariernya di bidang ini. Namun Clara belum bisa memantapkan hatinya karena ia khawatir Tante Ana malah akan mengkhawatirkan atau bahkan mencurigai pekerjaan barunya.Dan Ansel, meskipun awalnya terasa canggung berpose menantang di depan teman serumahmu, namun lama kelamaan Clara mulai terbiasa melakukannya. Dan tampaknya Ansel juga tidak bertingkah aneh lagi seperti biasanya. "Ah! Betapa menyenangkannya pekerjaan baruku!" Seru Clara bahagia.Ponsel Clara berdenting singkat. Sebuah notifikasi masuk ke dalamnya. Clara baru saja mendapatkan paket dari agensinya dan itu berarti ia harus melakukan pemotretan lagi dalam waktu dekat. Clara berjingkat riang. Pemotretan baru itu artinya penghasilan
Ansel dan Clara tiba di kamar pengantin mereka. Ansel sengaja menyewa kamar dengan pemandangan terbaik di Castle Bromwich Hall, salah satu hotel dengan desain klasik yang paling menakjubkan di Birmingham. Ia akan membuat malam ini menjadi malam paling romantis bagi mereka berdua.Kedua tangan Ansel menggendong Clara layaknya seorang pengantin wanita. Ia membawa istrinya masuk ke dalam kamar itu sembari sesekali mencuri ciuman ke bibir Clara. Tawa Clara terdengar renyah dan menghangatkan hati Ansel.Sesampainya di kamar, Ansel segera menurunkan Clara dan gadis itu berseru senang sembari memeluk Ansel erat."Kita akhirnya menjadi suami isteri, Sayang!" Seru Clara bahagia.Ansel mendaratkan sebuah ciuman singkat di bibir Clara. Matanya lalu menatap Clara dengan penuh cinta seolah cinta itu bisa menenggelamkan Clara saat itu juga. Tangan Ansel menarik turun resleting gaun yang dipakai Clara dan pakaian putih itu dengan cepat meluncur ke kedua kaki Clara. "Tidak sabar lagi, hmm?" Goda Cla
Semuanya bak mimpi yang begitu indah. Taman yang cantik ini, suasana yang begitu romantis, dan Ansel yang berlutut dengan cincin di hadapannya. Clara begitu terkejut hingga ia tak bisa mengatakan apapun. Satu-satunya reaksi yang bisa ia keluarkan hanyalah menangis. Tangisan haru yang meleleh dari kedua matanya."Clara Deolindra, will you marry me?"Ansel mengatakan itu dengan senyuman yang begitu lebar. Seolah kebahagiaan begitu besar ada di depan matanya sekarang."Aku sangat mencintaimu, Sayang. Aku bahkan tidak bisa membayangkan masa depan dimana tidak ada kamu di dalamnya. Dan kejadian kemarin membuat aku sadar betapa aku tidak ingin kehilangan dirimu." Ujar Ansel lembut.Ia mendongakkan wajahnya dan menatap ke arah Clara yang menangis terharu. "Jadi, maukah kamu bersamaku selamanya sebagai isteriku, Sayang?"Tak ada keraguan sama sekali di hati Clara. Sejak lama ia mendambakan hari dimana Ansel akan melamarnya. Berandai-andai dengan mimpi yang sepertinya tak akan pernah tergapai
Kondisi Clara sudah jauh membaik sejak kesadarannya pulih. Alat bantu yang mempertahankan hidupnya sudah dilepaskan satu persatu dan bahkan Clara sudah diperbolehkan untuk keluar dari ruangannya untuk berjalan-jalan sejenak.Dan kebahagiaan teramat besar dirasakan Ansel, Elliott, serta Adeline. Bagaikan diberi keajaiban yang luar biasa, ketiganya tak henti tersenyum setiap kali melihat perkembangan pada kondisi Clara.Hari ini, tepat tiga minggu Clara berada di rumah sakit. Hari ini juga merupakan hari dimana dokter sudah memperbolehkan Clara untuk pulang. Pukul sebelas siang, Ansel dan Clara siap pergi meninggalkan rumah sakit itu. Ansel mendorong Clara yang berada di atas kursi roda untuk menyusuri koridor rumah sakit."Kita akan pulang hari ini, Sayang. Kamu senang?" Tanya Ansel bersemangat.Clara mengangguk mantap. Sejujurnya ia sudah sangat muak berada di rumah sakit. Tidak bisa melakukan apapun dan yang ia lakukan hanyalah terbaring di ranjang seharian. Clara merindukan rutinita
Kedua pria itu begitu larut dalam pikirannya masing-masing. Hingga akhirnya Ansel memutuskan untuk memecahkan keheningan dengan menegur sang ayah."Ada apa, Dad?"Elliott berdeham. Ia memutar tubuhnya untuk menghadap ke arah puteranya itu. Tatapannya serius dan Ansel seolah mengerti apa yang ingin dikatakan ayahnya saat itu."Tentang Mom?" Tanya Ansel pelan.Elliott mengangguk. Ansel mengusap wajahnya dengan kasar."Ada apa lagi? Apa yang Mom keluhkan kepadamu kali ini?""Aku memintamu untuk memaafkan Mom, Ansel. Apakah kamu bisa melakukannya?" Elliott bertanya dengan begitu hati-hati. Ia tahu permintaannya itu sangat sulit dikabulkan Ansel sekarang. Setidaknya hingga Clara sadar.Ansel tertawa pahit. Ia lalu mengangkat wajahnya dan menatap ke arah Clara yang masih terbaring dalam koma di atas ranjangnya."Setelah semua hinaan yang diberikannya pada Clara, Dad? Kurasa tidak, Dad." Ucap Ansel lirih.Elliott menghela nafas berat. Ia memegang pundak Ansel dan meremasnya pelan. Puteranya
Tiga hari berselang, kondisi Clara dinyatakan jauh lebih baik. Walaupun belum sadar dari pingsannya, Clara sudah bisa dipindahkan ke kamar perawatan umum. Dan Ansel bisa merawat kekasihnya dan berada di sisinya setiap saat."Iya, Clara akan baik-baik saja, Bu. Maafkan aku karena semua ini terjadi saat Clara bersamaku. Tapi aku berjanji aku akan merawat Clara dengan baik." Ansel mengakhiri pembicaraannya di telepon. Ia menatap layar ponselnya dengan kosong. Helaan nafasnya terdengar berat namun Ansel memaksakan senyum tersungging di bibirnya.Ia kembali masuk ke kamar tempat Clara dirawat dan duduk di sisi ranjang."Ibumu menelepon, Sayang. Dia sangat mengkhawatirkanmu. Tapi aku sudah mengatakan kepadanya bahwa kamu akan baik-baik saja. Iya kan?"Hening. Gadis yang ditanya pun tidak menjawab apa-apa. Clara masih tertidur bak puteri di dalam dongeng. Wajah cantiknya tampak pucat dan Ansel tersenyum getir melihatnya.Ansel meraih tangan kekasihnya itu, meremasnya lembut, dan menciumnya
Kabar itu datang bagaikan petir di siang bolong. Menyadarkan Ansel dari segala lamunannya dan menghentakkannya kembali ke bumi. Begitu hancur hingga rasanya ia tak sanggup untuk menatap lurus ke depan.Dua kata. Hanya dua kata yang dikatakan ibunya di telepon. Tapi dua kata itu sukses menjungkirbalikkaan kehidupan Ansel. Membuatnya berlari dengan nafas memburu seperti orang gila.Clara kecelakaan. Kekasihnya mengalami kecelakaan. Dan bagaimana keadaan Clara sekarang? Apakah ia baik-baik saja? Astaga, Ansel bahkan belum sempat berbicara dengannya tentang kesalahpahaman kemarin. Dan semuanya sudah menjadi kacau seperti ini dalam satu kedipan mata.Dengan terburu-buru, Ansel memacu mobilnya ke rumah sakit tempat Clara dilarikan. Ia tak peduli bagaimana kacaunya ia terlihat saat itu. Persetan dengan dasinya yang masih belum terikat dan sepatunya yang ia pakai secara asal-asalan. Yang terpenting bagi Ansel sekarang hanyalah melihat Clara. Tidak ada yang lain.Dua puluh menit memacu mobilny
Entah berapa kali Clara mengutuk dirinya sendiri dan hati lembutnya ini. Ia sudah bertekad bahwa ia akan mengabaikan Ansel dan benar-benar menunjukkan kemarahannya. Namun sekarang, disinilah ia. Berjalan di pusat perbelanjaan Edinburgh mencari oleh-oleh untuk orang-orang yang ia sayangi. Hiasan kristal untuk Adeline, wiski untuk Elliott, dan wine serta parfum untuk Ansel.Ah, kenapa Clara bodoh sekali? Kenapa ia masih saja mau menghabiskan waktu dan uangnya untuk mereka yang bahkan tidak peduli dengannya?Tapi seperti itulah Clara. Beginilah cara ia menunjukkan rasa cintanya. Tak peduli seberapa kesalnya ia dengan orang-orang itu (kecuali Elliott, tentu saja), Clara tetap akan tersenyum lebar dan memberikan oleh-oleh ini kepada mereka."Semoga mereka menyukainya." Gumam Clara sembari mendorong troli belanjanya menuju kasir.Penerbangannya dua jam lagi dan Clara sekarang tengah menunggu pesawatnya di bandara. Ia melirik ponselnya lagi. Lagi-lagi panggilan dari Ansel. Untuk pertama kali
Pemotretan di Edinburgh benar-benar menyenangkan. Clara diharuskan berfoto di lokasi yang sedikit menantang yaitu di atas tebing St. Abbs. Dengan angin yang bertiup begitu kencang dan ombak yang menerpa dengan deras di bawahnya, tentu saja berfoto dengan menggunakan dua potong lingerie menjadi hal yang sedikit sulit untuk dilakukan.Tapi Clara menyukainya. Tidak, bukan hanya sekedar menyukainya. Clara benar-benar menikmatinya. Dan setidaknya kesibukannya ini akan mengalihkan perhatian Clara dari masalahnya dengan Ansel."Memangnya Ansel saja yang bisa sibuk bekerja?"Jepretan demi jepretan di ambil dan puluhan hasil foto yang tampak luar biasa benar-benar membuat Clara kagum. Jika ia adalah dirinya dua tahun lalu, maka mungkin Clara tidak akan pernah menyangka bahwa ia bisa bergaya sebagus itu. Layaknya seorang model profesional.Tapi Clara yang sekarang berbeda dengan Clara yang dulu. Ia sekarang adalah satu di antara deretan model La Perla. Dan juga salah satu model yang melenggok d
Pikiran Ansel benar-benar kalut. Hatinya tidak tenang karena rasa gelisah. Wajah terakhir yang ia lihat sebelum Clara pergi tadi pagi adalah hal yang paling tidak bisa ia lupakan. Kekasihnya itu benar-benar kecewa dan terluka. Matanya sembab karena menangis begitu hebat. Dan semua itu disebabkan oleh Ansel. Ansel dan segala egoismenya yang tidak bisa ia bendung.Dan karena itu pula Ansel tidak bisa fokus bekerja sejak tadi. Pikirannya selalu kembali kepada Clara dan Clara lagi. Rapat hari itu bahkan berjalan terasa sangat lambat karena Ansel tidak bisa meraih ponselnya untuk menghubungi kekasihnya itu."Jadi bagaimana, Tuan Brooks? Konsep iklan yang mana yang menurut Anda paling baik?"Pertanyaan dari salah seorang karyawannya menyadarkan Ansel dari kekalutannya. Ia segera mengerjapkan matanya berkali-kali dan mencoba untuk kembali fokus pada pekerjaannya.Sadar, Ansel! Ada proyek senilai lima juta poundsterling yang harus kamu selesaikan!Ansel meninjau konsep yang dibuat oleh timnya