Ansel membelalak mendengar permintaan Clara. Ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana menanggapinya. Melihat reaksi Ansel, Clara langsung melepaskan pegangannya."Tidak apa-apa jika kamu keberatan." Ucap Clara pelan.Ansel tersenyum canggung."Tidak, bukan begitu. Hanya saja aku sedikir kaget mendengar kata-katamu."Clara menatap lurus ke arah dinding kamarnya."Maafkan aku, aku sangat takut mimpi itu kembali muncul, Ansel. Makanya aku memintamu untuk menemaniku malam ini." Jelas Clara lirih.Ansel buru-buru mengangguk dan menempelkan bokongnya di kasur Clara."Tidak, aku tidak keberatan, Clara. Dimana aku harus tidur?" Tanya Ansel kikuk.Clara tertawa kecil. Lucu sekali melihat Ansel salah tingkah seperti ini. Gadis itu lalu menepuk sisi di sebelahnya beberapa kali."Disini. Kamu bisa tidur disampingku, Ansel." Ucap Clara.Dengan hati-hati Ansel berbaring di samping Clara sementara gadis itu juga merebahkan dirinya. Keduanya tidur bersisian tanpa berbicara sepatah kata pun. Kedua pasan
Clara tertawa kecil melihat Ansel yang tampak sangat bergairah."Apa yang ingin kamu lihat?" Tanya Clara geli.Ansel mengelus bagian kewanitaan Clara yang mulai menghangat."Tentu saja ini." Bisiknya halus."Apakah boleh?" Sambung Ansel yang dijawab oleh anggukan pasti dari Clara.Dengan cepat Ansel menarik celana pendek dan celana dalam Clara turun. Seperti yang ia lakukan pada kaos Clara, Ansel melempar dua potong bawahan itu entah kemana. Kini di hadapan Ansel, Clara tampil bugil. Tanpa sehelai benang pun yang menutupinya."Astaga, Clara. Bagaimana mungkin kamu bisa secantik ini." Puji Ansel lagi.Clara tertawa kecil. Ansel lalu membenamkan kepalanya di antara kedua kaki Clara. Dengan manja, Ansel menggosok-gosokkan jarinya di bibir kewanitaan Clara. Naik turun dengan dengan cepat dan sesekali melambat. Lalu jari telunjuk dan jari tengah Ansel menjepit tonjolan daging yang ada di atas bibir kewanitaan Clara. Titik yang disebut dengan nama klitoris. Titik dimana berjuta saraf terkum
Clara terbangun oleh ciuman Ansel yang tak henti-hentinya ia daratkan di seluruh bagian wajah Clara. Tangan Ansel masih melingkar di pinggul Clara sementara bibirnya masih sibuk memagut setiap jengkal kulit Sarah."Mmm... Ansel... ahh... hentikan..." desah Clara pelan.Tapi Ansel tetap tak menghentikan ciumannya yang membabi buta. Pria itu sudah benar-benar dimabuk birahi. Ciumannya menuruni leher dan kini berada di dada telanjang Clara."An...sel... hentikan... ini masih pagi..." gumam Clara sambil menggeliat.Tapi berlainan dengan mulutnya yang meminta berhenti, badan Clara bergerak seirama dengan ciuman Ansel. Mulut Ansel kembali menangkap salah satu dada Clara dan mengulumnya dengan liar. Lidahnya menjilat dalam gerakan memutar di puncak dada Clara. Gerakan yang membuat tubuh Clara menggelinjang nikmat.Dada Clara kini dipenuhi oleh bekas ciuman dan gigitan Ansel yang berwarna kemerahan. Nafas Clara terengah-engah karena Ansel yang begitu membabi buta menyerang dadanya. Jemarinya
Clara menatap lurus ke mata Ansel. Ia mencari jawaban yang tak kunjung ia temukan disana."Bagaimana? Apakah kamu setuju?" Tanya Clara sembari mengulurkan tangannya.Ansel menghela nafas pelan. Ia akhirnya mengangguk dan menjabat tangan Clara."Baiklah, aku setuju, Clara. Dan apa yang akan terjadi jika salah satu dari kita melanggarnya?" Ansel balik bertanya.Clara tampak berpikir keras."Entahlah, aku belum memikirkan sampai sana karena aku yakin aku tidak akan melanggarnya. Tapi kalau memang salah satu dari kita melanggar, maka hubungan apapun di antara kita harus diakhiri. Dengan kata lain, aku akan angkat kaki dari sini, Ansel." Ucap Clara mantap.Ansel mendelik tak percaya. Ia lalu mengerjapkan matanya beberapa kali berusaha mengembalikan fokusnya."Ah, baiklah. Aku setuju dengan semua yang kamu buat."Clara tersenyum puas. Setidaknya hatinya bisa merasa tenang. Ia tidak perlu khawatir akan melukai perasaan Ansel. Karena memang tidak akan pernah ada apapun di antara mereka. Entah
Ansel tidak tahu apa yang baru saja dialami Clara. Sejak di kampus ia hanya memikirkan Clara dan Clara. Karena itu ia segera pulag saat kelasnya selesai. Alasannya apalagi kalau bukan untuk bersenang-senang dengan teman serumahnya itu lagi. Tapi barulah menginjakkan kaki di rumah, pemandangan yang ia lihat adalah Clara yang duduk mematung di ruang tengah mereka. Pandangannya kosong entah kemana. Ansel menangkap sinyal sesuatu yang buruk sedang menimpa Clara. Dan benar saja. Gadis itu hancur dalam tangisan ketika Ansel memeluknya."Kamu mau menceritakan apa yang terjadi?" Tanya Ansel sembari menyodorkan segelas susu cokelat hangat kepada Clara.Clara mengambil gelas itu dan meneguknya sedikit. Ia lalu merapatkan selimut yang diberikan Ansel kepadanya tadi."Entahlah. Aku bingung harus bercerita darimana, Ansel." Ucap Clara pelan.Ansel duduk di sisi Clara sembari mengambil remote di tangan kanannya. Sementara tangan kirinya merangkul Clara erat. Gadis itu refleks menyenderkan kepalany
Clara mengamati Ansel yang berada di atasnya dengan penuh antisipasi. Pria itu dengan cepat membuka kaosnya. Suara besi yang berdenting terdengar. Ansel tengah sibuk membuka ikat pinggang dan celana jeansnya. Setelah bawahan itu terlepas, Ansel berdiri dengan lututnya di atas Clara. Menatap gadis itu dengan mata yang buas.Ansel meraih tangan Clara dan meletakkannya di depan kejantanan yang masih terhalang sepotong boxer. Clara mengelus gundukan yang mengeras itu dengan lembut."Lihat ini, milikku juga sudah merindukanmu." Ujar Ansel sambil tertawa kecil.Tanpa berpikir dua kali, Ansel melepas boxernya dan membuat senjata yang terkungkung itu bebas. Ansel memijat-mijat batangnya dengan tangannya sendiri. Setitik cairan kental keluar dari ujungnya dan Ansel mengoleskannya di kepala kejantanannya.Setelah ritual singkat itu, Ansel mensejajarkan miliknya tepat di depan bagian intim Clara yang sudah menjerit minta diisi."Aku akan mulai, Clara." Bisik Ansel perlahan.Ansel mulai memasukka
Clara benar-benar gelisah. Sudah dua bulan ini Clara tidak mendapatkan tawaran pemotretan. Dan sejujurnya uangnya sudah mulai menipis. Beruntungnya Clara, Ansel sekarang tidak terlalu mempermasalahkan soal uang sewa lagi. Ia tak pernah mengingatkan apalagi menagih. Dan Ansel juga tidak keberatan Clara memakai barang-barang miliknya dan memasak bahan makanan yang ia beli. Setidaknya beban Clara agak berkurang karena kebaikan Ansel ini."Huft, kenapa aku tidak kunjung mendapatkan tawaran pemotretan lagi? Apakah sebaiknya aku kembali menghubungi Miss Grace ya?" Gumam Clara kesal karena meskipun ia berkali-kali membuka emailnya, tawaran pekerjaan tidak kunjung ia terima.Clara menekan nomor managernya itu. Sekarang pasti Miss Grace sedang bersantai sepulang kerja. Jadi rasanya tidak masalah bagi Clara untuk meneleponnya sekarang.Beberapa kali nada tunggu berbunyi dan terdengar suara Miss Grace yang menyambut Clara. Tapi suara wanita itu terdengar letih entah mengapa."Hi, Miss Grace. Apa
Clara menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia memulas sedikit demi sedikit riasan di wajahnya. Membuat wajahnya yang cantik semakin tampak sensual dan menggoda. Setelah beres, Clara memilih salah satu dari sekian banyak koleksi lingerie yang ia dapatkan dari pemotretan dahulu. Pilihannya tertuju pada babydoll hitam berpotongan rendah dengan renda di bagian dada dan paha."Kurasa sebaiknya aku memilih yang tidak terlalu terbuka pada siaran pertama." Gumam Clara.Clara lalu mengenakan toping kucing yang menutupi matanya. Ia tidak ingin wajahnya terpampang nyata di seantero dunia maya dan dikenal sebagai streamer porno. Pekerjaannya sebagai model lingerie sudah cukup memberikannya pelajaran pahit untuk selalu merahasiakan identitasnya. Apalagi di dunia seperti ini.Jemarinya lihai meluncur di keyboard laptopnya. Setelah beberapa menit selesai membuat akun, Clara menekan tombol untuk menyalakan siaran langsung. Jantungnya berdebar-debar. Ia tidak sabar melihat berapa banyak orang yang aka
Ansel dan Clara tiba di kamar pengantin mereka. Ansel sengaja menyewa kamar dengan pemandangan terbaik di Castle Bromwich Hall, salah satu hotel dengan desain klasik yang paling menakjubkan di Birmingham. Ia akan membuat malam ini menjadi malam paling romantis bagi mereka berdua.Kedua tangan Ansel menggendong Clara layaknya seorang pengantin wanita. Ia membawa istrinya masuk ke dalam kamar itu sembari sesekali mencuri ciuman ke bibir Clara. Tawa Clara terdengar renyah dan menghangatkan hati Ansel.Sesampainya di kamar, Ansel segera menurunkan Clara dan gadis itu berseru senang sembari memeluk Ansel erat."Kita akhirnya menjadi suami isteri, Sayang!" Seru Clara bahagia.Ansel mendaratkan sebuah ciuman singkat di bibir Clara. Matanya lalu menatap Clara dengan penuh cinta seolah cinta itu bisa menenggelamkan Clara saat itu juga. Tangan Ansel menarik turun resleting gaun yang dipakai Clara dan pakaian putih itu dengan cepat meluncur ke kedua kaki Clara. "Tidak sabar lagi, hmm?" Goda Cla
Semuanya bak mimpi yang begitu indah. Taman yang cantik ini, suasana yang begitu romantis, dan Ansel yang berlutut dengan cincin di hadapannya. Clara begitu terkejut hingga ia tak bisa mengatakan apapun. Satu-satunya reaksi yang bisa ia keluarkan hanyalah menangis. Tangisan haru yang meleleh dari kedua matanya."Clara Deolindra, will you marry me?"Ansel mengatakan itu dengan senyuman yang begitu lebar. Seolah kebahagiaan begitu besar ada di depan matanya sekarang."Aku sangat mencintaimu, Sayang. Aku bahkan tidak bisa membayangkan masa depan dimana tidak ada kamu di dalamnya. Dan kejadian kemarin membuat aku sadar betapa aku tidak ingin kehilangan dirimu." Ujar Ansel lembut.Ia mendongakkan wajahnya dan menatap ke arah Clara yang menangis terharu. "Jadi, maukah kamu bersamaku selamanya sebagai isteriku, Sayang?"Tak ada keraguan sama sekali di hati Clara. Sejak lama ia mendambakan hari dimana Ansel akan melamarnya. Berandai-andai dengan mimpi yang sepertinya tak akan pernah tergapai
Kondisi Clara sudah jauh membaik sejak kesadarannya pulih. Alat bantu yang mempertahankan hidupnya sudah dilepaskan satu persatu dan bahkan Clara sudah diperbolehkan untuk keluar dari ruangannya untuk berjalan-jalan sejenak.Dan kebahagiaan teramat besar dirasakan Ansel, Elliott, serta Adeline. Bagaikan diberi keajaiban yang luar biasa, ketiganya tak henti tersenyum setiap kali melihat perkembangan pada kondisi Clara.Hari ini, tepat tiga minggu Clara berada di rumah sakit. Hari ini juga merupakan hari dimana dokter sudah memperbolehkan Clara untuk pulang. Pukul sebelas siang, Ansel dan Clara siap pergi meninggalkan rumah sakit itu. Ansel mendorong Clara yang berada di atas kursi roda untuk menyusuri koridor rumah sakit."Kita akan pulang hari ini, Sayang. Kamu senang?" Tanya Ansel bersemangat.Clara mengangguk mantap. Sejujurnya ia sudah sangat muak berada di rumah sakit. Tidak bisa melakukan apapun dan yang ia lakukan hanyalah terbaring di ranjang seharian. Clara merindukan rutinita
Kedua pria itu begitu larut dalam pikirannya masing-masing. Hingga akhirnya Ansel memutuskan untuk memecahkan keheningan dengan menegur sang ayah."Ada apa, Dad?"Elliott berdeham. Ia memutar tubuhnya untuk menghadap ke arah puteranya itu. Tatapannya serius dan Ansel seolah mengerti apa yang ingin dikatakan ayahnya saat itu."Tentang Mom?" Tanya Ansel pelan.Elliott mengangguk. Ansel mengusap wajahnya dengan kasar."Ada apa lagi? Apa yang Mom keluhkan kepadamu kali ini?""Aku memintamu untuk memaafkan Mom, Ansel. Apakah kamu bisa melakukannya?" Elliott bertanya dengan begitu hati-hati. Ia tahu permintaannya itu sangat sulit dikabulkan Ansel sekarang. Setidaknya hingga Clara sadar.Ansel tertawa pahit. Ia lalu mengangkat wajahnya dan menatap ke arah Clara yang masih terbaring dalam koma di atas ranjangnya."Setelah semua hinaan yang diberikannya pada Clara, Dad? Kurasa tidak, Dad." Ucap Ansel lirih.Elliott menghela nafas berat. Ia memegang pundak Ansel dan meremasnya pelan. Puteranya
Tiga hari berselang, kondisi Clara dinyatakan jauh lebih baik. Walaupun belum sadar dari pingsannya, Clara sudah bisa dipindahkan ke kamar perawatan umum. Dan Ansel bisa merawat kekasihnya dan berada di sisinya setiap saat."Iya, Clara akan baik-baik saja, Bu. Maafkan aku karena semua ini terjadi saat Clara bersamaku. Tapi aku berjanji aku akan merawat Clara dengan baik." Ansel mengakhiri pembicaraannya di telepon. Ia menatap layar ponselnya dengan kosong. Helaan nafasnya terdengar berat namun Ansel memaksakan senyum tersungging di bibirnya.Ia kembali masuk ke kamar tempat Clara dirawat dan duduk di sisi ranjang."Ibumu menelepon, Sayang. Dia sangat mengkhawatirkanmu. Tapi aku sudah mengatakan kepadanya bahwa kamu akan baik-baik saja. Iya kan?"Hening. Gadis yang ditanya pun tidak menjawab apa-apa. Clara masih tertidur bak puteri di dalam dongeng. Wajah cantiknya tampak pucat dan Ansel tersenyum getir melihatnya.Ansel meraih tangan kekasihnya itu, meremasnya lembut, dan menciumnya
Kabar itu datang bagaikan petir di siang bolong. Menyadarkan Ansel dari segala lamunannya dan menghentakkannya kembali ke bumi. Begitu hancur hingga rasanya ia tak sanggup untuk menatap lurus ke depan.Dua kata. Hanya dua kata yang dikatakan ibunya di telepon. Tapi dua kata itu sukses menjungkirbalikkaan kehidupan Ansel. Membuatnya berlari dengan nafas memburu seperti orang gila.Clara kecelakaan. Kekasihnya mengalami kecelakaan. Dan bagaimana keadaan Clara sekarang? Apakah ia baik-baik saja? Astaga, Ansel bahkan belum sempat berbicara dengannya tentang kesalahpahaman kemarin. Dan semuanya sudah menjadi kacau seperti ini dalam satu kedipan mata.Dengan terburu-buru, Ansel memacu mobilnya ke rumah sakit tempat Clara dilarikan. Ia tak peduli bagaimana kacaunya ia terlihat saat itu. Persetan dengan dasinya yang masih belum terikat dan sepatunya yang ia pakai secara asal-asalan. Yang terpenting bagi Ansel sekarang hanyalah melihat Clara. Tidak ada yang lain.Dua puluh menit memacu mobilny
Entah berapa kali Clara mengutuk dirinya sendiri dan hati lembutnya ini. Ia sudah bertekad bahwa ia akan mengabaikan Ansel dan benar-benar menunjukkan kemarahannya. Namun sekarang, disinilah ia. Berjalan di pusat perbelanjaan Edinburgh mencari oleh-oleh untuk orang-orang yang ia sayangi. Hiasan kristal untuk Adeline, wiski untuk Elliott, dan wine serta parfum untuk Ansel.Ah, kenapa Clara bodoh sekali? Kenapa ia masih saja mau menghabiskan waktu dan uangnya untuk mereka yang bahkan tidak peduli dengannya?Tapi seperti itulah Clara. Beginilah cara ia menunjukkan rasa cintanya. Tak peduli seberapa kesalnya ia dengan orang-orang itu (kecuali Elliott, tentu saja), Clara tetap akan tersenyum lebar dan memberikan oleh-oleh ini kepada mereka."Semoga mereka menyukainya." Gumam Clara sembari mendorong troli belanjanya menuju kasir.Penerbangannya dua jam lagi dan Clara sekarang tengah menunggu pesawatnya di bandara. Ia melirik ponselnya lagi. Lagi-lagi panggilan dari Ansel. Untuk pertama kali
Pemotretan di Edinburgh benar-benar menyenangkan. Clara diharuskan berfoto di lokasi yang sedikit menantang yaitu di atas tebing St. Abbs. Dengan angin yang bertiup begitu kencang dan ombak yang menerpa dengan deras di bawahnya, tentu saja berfoto dengan menggunakan dua potong lingerie menjadi hal yang sedikit sulit untuk dilakukan.Tapi Clara menyukainya. Tidak, bukan hanya sekedar menyukainya. Clara benar-benar menikmatinya. Dan setidaknya kesibukannya ini akan mengalihkan perhatian Clara dari masalahnya dengan Ansel."Memangnya Ansel saja yang bisa sibuk bekerja?"Jepretan demi jepretan di ambil dan puluhan hasil foto yang tampak luar biasa benar-benar membuat Clara kagum. Jika ia adalah dirinya dua tahun lalu, maka mungkin Clara tidak akan pernah menyangka bahwa ia bisa bergaya sebagus itu. Layaknya seorang model profesional.Tapi Clara yang sekarang berbeda dengan Clara yang dulu. Ia sekarang adalah satu di antara deretan model La Perla. Dan juga salah satu model yang melenggok d
Pikiran Ansel benar-benar kalut. Hatinya tidak tenang karena rasa gelisah. Wajah terakhir yang ia lihat sebelum Clara pergi tadi pagi adalah hal yang paling tidak bisa ia lupakan. Kekasihnya itu benar-benar kecewa dan terluka. Matanya sembab karena menangis begitu hebat. Dan semua itu disebabkan oleh Ansel. Ansel dan segala egoismenya yang tidak bisa ia bendung.Dan karena itu pula Ansel tidak bisa fokus bekerja sejak tadi. Pikirannya selalu kembali kepada Clara dan Clara lagi. Rapat hari itu bahkan berjalan terasa sangat lambat karena Ansel tidak bisa meraih ponselnya untuk menghubungi kekasihnya itu."Jadi bagaimana, Tuan Brooks? Konsep iklan yang mana yang menurut Anda paling baik?"Pertanyaan dari salah seorang karyawannya menyadarkan Ansel dari kekalutannya. Ia segera mengerjapkan matanya berkali-kali dan mencoba untuk kembali fokus pada pekerjaannya.Sadar, Ansel! Ada proyek senilai lima juta poundsterling yang harus kamu selesaikan!Ansel meninjau konsep yang dibuat oleh timnya