Sejak pagi, gadis itu tidak melihat atasannya berniat keluar dari rumah. Bahkan crutch pun, Tirtha membelinya secara online. Pria itu hanya sibuk membaca koran, menatap layar laptop hampir lebih dari dua jam setelah itu sibuk menyimak berita di televisi."Ba— Bapak tidak pergi ke kantor?" tanya Akarsana penasaran. Dia tidak leluasa bertingkah jika ada pria itu di rumah.Seharusnya dia bisa berjalan kesana kemari dengan bantuan kruk itu, untuk belajar. Akan tetapi kehadiran Tirtha membuatnya canggung.Hingga yang ada Akarsana hanya duduk mematung, termenung di sisi Tirtha, karena pria itu selalu mengajaknya ke sana dan ke mari."Kenapa? Ada masalah?" tukasnya, sama sekali tidak menoleh dan sibuk mengunyah kacang telur dari toples. Sesekali melemparnya ke atas dan ia mendongak seraya membuka mulut dan masuklah biji kacang itu ke mulutnya."Tidak, Pak. Hanya saja saya— saya tidak enak berada di rumah bersama Anda. Maaf, Pak," seru Akarsana langsung meminta maaf, takut jika pria itu akan
Hari Sabtu, satu pekan berjalan dengan sangat cepat. Akarsana tidak menyangka bahwa waktu berlalu begitu saja. Berkat keusilan majikannya, ia lupa pada masalahnya. Berkat laki-laki itu, malam yang dilewati Akarsana bukan lagi tentang meratapi nasibnya serta mengingat anak tirinya. Melainkan was-was, jika pria berwajah mesum itu hadir di kamarnya seperti beberapa waktu lalu.Suara ketukan pintu membuat Akarsana harus berjalan hati-hati mendekati daun pintu itu. Ia memang sudah tidak lagi menggunakan tongkatnya. Namun, langkah kakinya masih harus tetap dijaga."Mau jalan-jalan?" tanya Tirtha begitu pintu itu terbuka dan sosok gadis mungil manis berdiri mematung di hadapannya."Tidak, Pak. Saya sibuk. Hari ini hari mencuci," terangnya. Ia hendak menutup pintu kembali, tetapi kali dan tangan Tirtha mencegah kejadian itu."Tolong jangan menghambat kerja saya, Pak," mohon Akar."Ini hari libur. Seharusnya memang kamu liburan bukan mencuci.""Di sini saya bekerja, Pak. Oh— satu lagi, ini unt
Satu Minggu berlalu. Tirtha belum juga kbali dai desa. Pria itu juga tidak pernah memberikan kabar dari rumah ibunya. Akarsana hanya bisa bertanya-tanya serta menduga-duga, takut jika terjadi sesuatu dengan ibu dari majikannya. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Suara deru mobil berdesing di depan pagar rumah. Akarsana yang melamun di kursi dekat dengan jendela pun langsung terperangah dan bangkit, ia berlarian menuju ke gerbang. Tangan mungilnya sibuk membuka gembok dan menggeser engsel. Mempersilakan mobil hitam itu masuk. “Bagaimana kabar ibu, Bapak?” Akarsana langsung memberondong sang empu mobil, bahkan sebelum pria itu turun dari mobil, ia baru membuka pintunya. Wajah lemas dan lesu serta kusut milik Tirtha seketika tersungging tipis, bahkan Akarsana hampir tidak menyadari jika pria itu senyum. “Bantu bawa barang di belakang.” Bukannya menjawab, pria itu justru memerintah. Akarsana sendiri merasa bahwa dirinya sangat tidak sopan, seharusnya dia tahu kalau bisa saja Tirtha sangat
“Kamu harus segera ngomong sama dia.” Masih belum kering tanah kubur istrinya. Awan terus mendesak Tirta agar segera menikah. Bagaimanapun hanya inilah pesan terakhir dari mendiang Maharani. Perempuan yang telah menderita selama bertahun-tahun karena penyakit kanker yang menggerogoti usianya. Awan hanya berusaha untuk membuat istrinya bahagia. Dia tidak ingin, bahkan di alam lain sana, perempuan itu menderita akibat keinginannya belum terpenuhi. “Pa, aku butuh waktu. Menikah tidak semudah itu. Seumur hidup itu lama. Sangat lama dan tidak terbatas, bagaimana jika akhirnya aku tidak cocok dengan dia?!” tekan Tirta. Sejujurnya pria itu tidak mau mempermasalahkan siapa pun yang akan dia nikahi asalkan jelas asal usul dan bagaimana sikap keluarganya. Namun, tidak juga setelah kepergian ibunya. Baru satu minggu, apakah layak Tirta harus menggelar acara pernikahan? “Kamu pikir bagaimana dulu papa dan mamamu bersama, Tir? Harus diseleksi? Harus di tes dulu? Kecocokan bisa dilihat dari
Namun, Tirtha lekas mengalihkan pandangannya. Seolah dia tidak ingin peduli pada gadis itu. “Buat kopi untukku. Antar ke ruangan, lima menit dari sekarang!” Kemudian dengan mudahnya Tirta melangkah pergi. “Ck, setelah libur lama, Bos kian galak. Kamu ngerasa nggak sih?”“Mungkin sedang ada masalah. Udah nggak usah kepo sama urusan atasan. Biar aku buat kopinya.”“Biar aku saja, kamu harus istirahat.” Akarsana pun mengangguk. Namun, belum sempat Cindy bangkit dari duduknya. Tirta kembali menampakkan diri di ambang pintu. “Kopi buatan Akarsana!” sergahnya. “Tapi, dia—“ “Tutup mulutmu, aku mau kopi buatan dia!” sela Tirta tidak ingin dibantah. Cindy mengangguk, dia memahami betul pernyataan itu. Sekarang Akarsanalah yang harus berdiri dari kursinya. Ia memasak air dan meracik kopi. “Kamu nggak apa-apa, kan, Na?”“Aman, kok. Santai aja, udah kamu kerjakan yang lain biar cepet kelar,” ujar Akarsana menenangkan Cindy. Setelah selesai membuat kopi, sesuai dengan perintah T
Bab 25 Ditengah kesibukan gadis ayu nan polos itu, Akarsana seketika menghentikan tindakannya begitru mendengar pertanyaan nyeleneh dari Awan. Akarsana menoleh ke asal suara yang berada tepat di belakang tubuhnya. Sebuah senyum tipis terbit dari wajah laki-laki yang usianya sudah cukup tua. Kakinya melangkah mendekati kursi di meja makan. Lantas terdengar embusan napas keputusasaan. Bukan tanpa sebab, pertanyaan itu terlontar dari mulut tipis yang menghitam. Sepertinya dia benar-benar diujung pilihannya. “Maaf, Nak. Tapi, saya hanya mau mewujudkan keinginan istri saya. Dia sangat mendambakan memiliki cucu sebelum dia pergi untuk selama-lamanya. Namun, ternyata takdir dan pemikiran anakku, membuat semuanya terlambat.” Akarsana masih mematung di tempatnya. Dia tidak tahu harus berbuat apa? Harus menanggapi ujaran kesedihan atas takdir Tuhan pada keluarga itu bagaimana? “Mungkin jodoh Tuan Tirtha memang belum datang, Tuan. Ini semua sudah takdir yang Maha Kuasa,” timpal Akarsana. Dia
Senin pagi, berkat keuletan yang dimiliki oleh Akarsana, sekarang gadis itu bisa pergi bekerja dengan tenang tanpa harus memikirkan pekerjaan di rumah yang telah rampung dia kerjakan sejak pagi.Ketika hendak menyeret sepeda kayuh miliknya, saat itu juga Tirtha keluar dari pintu utama. Namun, sikapnya jauh berbeda dari sosok itu sebelumnya. Pria itu tidak menyapanya, hanya sekedar basa-basi mengajak berangkat bersama pun tidak. Terlebih lagi, ini masih sangatlah pagi untuk sekelas bos pergi bekerja. Biasanya, Tirtha akan tiba di kantor baru pukul sembilan."Anda tidak sarapan terlebih dulu?" tanya Akarsana. Gadis itu seharusnya tahu, bahwa sikap formalitas dan perhatian itu tidaklah digubris oleh laki-laki dengan kepribadian ganda itu.Nyatanya, Tirtha lekas melenggang memasuki mobil dan langsung menancap gas meninggalkan halaman rumahnya.Perasaan semenjak pulang kampung, dia menganggap bahwa semua ini salahku, batin Akarsana. Kendati, dia sama sekali tidak tahu akar masalah sebena
Akarsana kembali ke kamarnya. Menghentikan perdebatan yang tidak pernah menemukan titik terang. Gadis itu mengabaikan rasa lelah, mengabaikan hawa panas yang melungkup seluruh tubuhnya. Melupakan tentang kesegaran mandi setelah bekerja. Dipikirannya hanya ada satu tindakan yang jelas tidak akan dia sesali, yaitu pergi secepatnya dari rumah itu.Ia mengemas seluruh pakaiannya, barang-barang yang benar-benar miliknya. Tidak banyak, hanya seberat satu tas ransel saja. Ia meninggalkan seragam office girl-nya di atas ranjang."Aku bersumpah tidak menyesali pilihanku ini. Tidak ada yang mau dinikahi secara terpaksa 'kan?" Ia terus menggerutu. Muak dengan sikap Tirtha, muak dengan seluruh drama kehidupannya. Setelah gagal di pernikahan pertama, tentu saja Akarsana tidak ingin gagal untuk kedua kalinya.Tangannya hendak meraih tuas pintu dari dalam kamarnya. Namun, daun pintu itu sudah terbuka terlebih dulu."Mau ke mana, kamu?" tanya Tirtha dengan enteng, tetapi seraut muka itu masih bengi