Dalam kesunyian Marius bergerak dengan kursi rodanya, sorot matanya yang dingin menyimpan segunung cerita yang hanya bisa dia simpan di dalam hatinya. Marius datang menemui Levon karena dia pikir hanya mereka berdua yang akan berbicara serius setelah sekian lama tidak saling menyapa, namun apa yang Marius harapkan tidak terjadi. Kehadiran Marius di perusahaan mencuri perhatian beberapa orang yang mengenalnya, namun pria itu tidak membiarkan siapapun berani mendekatinya. Marius sibuk dengan dunianya dan bergelut dengan kemarahan-kemaraan yang membuat dia semakin muak untuk berada di perusahaan, tempat yang dulu begitu sangat dia banggakan. Kini kebanggan itu sudah hilang seperti bayangan yang berada dalam kegelapan. “Marius” panggil Sean dengan cukup keras. Sean berjalan dengan cepat mengejar kepergian Marius yang tetap bergerak menjauh. “Marius, tunggu!” panggil Sean lagi. Marius langsung membalikan kursi rodanya dan melihat Sean yang berjalan dengan cepat kerahnya. Kedua pria i
Marius sedikit mengangkat wajahnya dan membalas senyuman Shanom. “Seperti yang kau harapkan. Masih lumpuh tidak bisa berjalan,” jawab Marius dengan kasar. Shanom sedikt tersentak kaget, wanita itu langsung membuang mukanya dan enggan untuk bersuara lagi karena Marius akan berbicara kurang ajar kepadanya. “Minggu depan adalah hari ulang tahun pernikahan ayah dan ibu. Kau harus datang,” Sean angkat bicara, pria itu sengaja membahasnya untuk menutupi rasa canggung ibunya yang di permalukan oleh Marius. “Datanglah sendiri karena mereka ayah dan ibumu. Ibuku ada di rumah,” jawab Marius terdengar datar. “Jaga bicaramu Marius, kita adalah keluarga,” geram Sean. “Aku tidak memiliki keluarga kelomok criminal,” jawab Marius yang menyiratkan sesuatu. “Marius. Hentikan.” Nasihat Levon terdengar lembut, Levon tidak ingin bertindak keras karena itu hanya akan membuat Marius pergi lagi. Semua orang langsung di buat diam, begitu pula dengan Marius yang menutup mulutnya dan masih memasang ekspr
“Apa maksud Ayah? Kenapa berbicara seperti itu? Jelaskan semuanya dengan benar agar aku tidak kebingungan,” desak Sean. “Aku sudah membicarakan ini semua dengan beberapa orang sejak tiga minggu yang lalu. Sekarang, notariesku akan memberitahun warisan yang akan kalian dapatkan, warisan ini sudah sah di mata hukum dan tidak dapat di ganggu gugat lagi. Dua jam setelah ini, aku akan langsung melakukan konperensi pers di depan media untuk pengumumankannya resmi.” Mata Sean melebar, “Ayah kenapa terburu-buru? Ayah masih sehat. Kenapa terburu-buru mengumumkan pembagian warisan?.” “Ya, sekarang aku masih sehat. Namun, jika esok hari aku tiba-tiba meninggal, semua hartaku akan menjadi rebutan,” jawab Levon dengan suaranya yang serak. “Levon, berhenti berbicara sembarangan.” Shanom angkat bicara, sekilas wanita itu melihat Marius dengan tajam. “Kita tidak perlu membicarakan warisan.” “Jika kau tidak mau membicarakannya. Keluarlah. Aku tidak akan memaksa siapapun yang tidak mau menerima
Kedua pria itu saling diam dan merenung dalam kesunyian dalam waktu beberapa menit. “Mengapa kau terlihat tidak bahagia?” Tanya Levon dengan suara yang serak dan napas yang tersendat-sendat. Semua orang berlomba-lomba untuk mendapatkan bagian mereka, bahkan mereka tidak berhak mendapatkan, merasa memiliki hak untuk mendapatkannya. Terutama Sean dan Shanom. Levon sangat tahu apa yang sesungguhnya terjadi di belakangnya, Levon tahu seperti apa kelicikan Shanom dan Sean yang beberapa kali berusaha menyingkirkan Marius dan merebut apapun yang di miliki Marius, termasuk merebut Kimberly. Levon juga tahu ada berapa banyak rencana yang di buat Shanom dan Sean untuk mendapatkan harta Levon. Sean yang menduduki jabatan di dalam perusahaan selalu berusaha mengubah banyak hal dan diam-diam membuat orang-orang yang dulu setia kepada Levon mengkhianatinya. Karena itulah, dengan tergesa Levon membuat keputusan dari sekarang agar tidak terjadi sesuatu di masa depan. Levon memberikan begitu ban
Dua orang wanita berseragam pakaian pegawai butik berdiri di belakang Paula, mereka diam dan hanya memperhatikan bagaimana Paula mencoba dan mengambil pakaian manapun yang dia mau tanpa melihat sedikitpun harganya. Sudah banyak barang yang Paula jual demi menunjang gaya hidupnya selama dia kehilangan pemasukan dan jauh dari Winter hingga kehilangan rumah mewahnya. Kini, begitu Winter kembali mengajaknya berbelanja, Paula kehilangan kendali dengan kesenangan yang membuncah di hatinya. Loona, manager butik itu tersenyum formal di samping Winter yang kini berdiri jauh dari Paula karena Paula tidak memberikan izin Winter berdiri dekat-dekat dengannya. Paula tidak peduli, meski Winter yang membayar semua yang Paula ambil, Paula tetap tidak ingin Winter lebih mencolok darinya, apalagi kini Winter sudah semakin kurus dan pandai berdandan. Paula tidak suka jika Winter berpakaian lebih mahal dan modis darinya. Paula marah jika Winter terlihat lebih cantik darinya. Paula tetap ingin, saat s
Paula mengambil sendok dan memulai makan dengan lahap. “Winter, kak Vincent sudah kembali ke Manchester. Apakah sekarang kita bisa pergi bersama lagi dan aku bisa bermain ke rumahmu?” “Aku minta maaf Paula. Kak Vincent masih belum mengizinkannya, dia malah menambahkan pengawal untukku, Nai selalu melaporkan setiap delapan jam sekali. Meski begitu, kita bisa bertemu di sekolah, dan aku masih bisa mengajakmu sesekali untuk keluar seperti ini. Ku harap kau tidak marah, aku akan berusaha meyakinkan kak Vincent jika kau bukanlah sahabat yang buruk untukku. Aku juga berusaha membujuk ayahku untuk kembali memberikanmu uang jajan di setiap minggunya. Ku harap kau mau bersabar menunggu.” Kali ini Paula mengangguk setuju dan tidak marah seperti sebelumnya. Hal itu di karenakan Paula yakin dengan apa yang di lakukan Winter hari ini kepadanya sudah cukup membuat dia percaya bahwa Winter memang tidak berubah kepadanya. “Winter. Kontesmu tadi siang terlihat buruk dan kacau,” komentar Paula sam
Malam yang indah memanjakan mata, setelah sekian lama tidak menyetir, kini Winter bisa merasakan bagaimana bepergian dengan begitu tenang tanpa bersembunyi. Mobil yang di kendarai Winter bergerak semakin cepat membelah jalan kota Loor yang indah dan tidak pernah sepi. Dua buah mobil pengawalan tidak pernah lepas memantau dan mengikuti. Winter melihat ke sekitar, menikmati pemandangan di sekitarnya sambil menyetir. Perlahan sudut Winter terangkat membentuk senyuman puas karena suasana hatinya menjadi semakin baik dengan jalan-jalan di malam hari. Hari-hari yang Kimberly jalani sebagai Winter Benjamin mulai membuat jiwa Kimberly nyaman meski belum sepenuhnya dia berdamai dengan masa lalunya. Kini timbul rasa penasaran di dalam jiwa Kimberly mengenai kehidupan orang-orang yang dulu mengkhianati Kimberly. Apakah Tuhan sudah memberikan mereka karmanya? Ataukah Tuhan membiarkan mereka tetap bahagia? Jika mereka masih baik-baik saja, maka Winterlah yang akan membuat perhitungan. Wint
Rasa sakit muncul di dalam hati Winter begitu tahu Nathan masih bertemu dengan Aurin. Padahal Aurin adalah satu-satunya orang yang tahu bahwa uang Kimberly Feodora di bawa kabur oleh Nathan. Winter tertunduk merasa bimbang apakah dia harus pergi atau tetap tinggal sejenak saja. “Kenapa dengan penampilanmu? Ya Tuhan, bagaimana bisa kau terluka?” Tanya Aurin yang terlihat khawatir dan ketakutan. “Aku tidak apa-apa,” jawab Nathan seraya mengibaskan tangannya di udara. Nathan langsung menatap tajam Aurin penuh dengan perhitungan dan kejengkelan yang membuatnya tidak tahan untuk diam saja. “Kenapa kau tidak mengangkat teleponku?” tanya Nathan terdengar tajam. Aurin memberikan segelas minuman agar Nathan bisa sedikit tenang. “Memangnya ada apa?.” “Aku butuh uang.” Kening Aurin mengerut, wanita itu menatap heran pria yang duduk di hadapannya itu. “Aku sudah memberikan banyak uang padamu minggu ini Nathan. Bagaimana bisa kau menghabiskan uang ribuan dollar kurang dari satu minggu. Lag
Dua tahun kemudian.. Kota Den Haag Sebuah gedung hotel tampak sibuk dan ramai malam ini karena ada pesta besar yang sedang merayakan ulang tahun hotel Lessy yang berpusat di kota Neydish. Di dalam sebuah ruangan besar orang-orang berkumpul, mereka terlihat anggun dan tenang, saling berbicara satu sama lainnya menikmati pesta yang sedang berlangsung. Seorang wanita bergaun putih memainkan cello opera di tengah pesta, wanita itu memainkan musik Romeo & Julliet Love Theme. Para tamu undangan yang berdiri dan sibuk bicara di buat terkesima mendengarkan alunan musik yang begitu dalam menghiasi malam pesta. Mereka berbalik melihat sepenuhnya ke arah orang-orang yang bermain musik dan sejenak menghentikan pembicaraan mereka. Di antara banyak orang yang melihat musik, seorang pria berdiri di depan jendela, pria itu sibuk dengan kesendiriannya, memandangi langit malam yang begitu gelap. Alunan musik dalam pendengarannya membawa dia dalam sebuah ingatan indah ketika dia belajar menari di
Sebuah photo terbingkai di pajangkan di atas meja belajar, Winter menopang dagunya melihat photo dirinya saat pelulusan sekolah di hadiri Benjamin dan Vincent. Tidak terasa, tiga bulan telah berlalu sejak kematian Marius dan kepergian Marvelo, kini Winter bisa duduk santai di meja belajarnya, tidak tahu apa yan harus dia lakukan karena semua tujuan hidupnya yang dia cari sudah berada dalam genggaman, yaitu kebahagiaan dan balas dendamnya yang sudah di tuntaskan. Setiap akhir pekan Winter akan mengunjungi makam Kimberly dan Marius, sudah dua kali juga Winter bertemu Jenita akhir-akhir ini. Keadaan Jenita terlihat lebih baik dari sebelumnya, Jenita bersama Levon membangun lebih luas panti asuhan tempat tumbuhnya Kimberly. Keduanya tampak mulai menikmati masa-masa tua mereka, Felix menjaga mereka dengan baik sebagaimana keinginan Marius. Sejak hukuman Paula di tetapkan, kini Winter tidak lagi bertemu dengannya. Untuk Marvelo, sejak kepergiannya ke Belanda, dia tidak memberikan kabar
Satu bulan setelah kepergian Marius, kini Winter kembali harus melanjutkan kehidupannya seperti biasa, sedikit demi sedikit gadis itu berusaha menyembuhkan hatinya dan kembali menemukan kekuatannya lagi. Winter harus berjuang lebih kuat karena Marvelo juga sudah menghilang dari sisinya, tidak ada lagi seseorang yang bisa menjadi teman penghapus kesedihannya. Jiwa Kimberly sempat berpikir, melepaskan Marvelo akan membuat perasaan dia lebih baik karena tidak lagi membuat Marvelo tersiksa karena memendam perasaannya. Rupanya tidak semudah itu, karena jiwa Kimberly merasakan kekosongan besar di dalam hatinya. Ternyata, Marvelo memiliki tempat yang begitu spesial dia dalam hati Winter Benjamin. Meski kini mereka berpisah jauh, kini Winter hanya bisa mendo’akan yang terbaik untuk Marvelo. Hari ini adalah hari persidangan pertama Paula, persidangan akan di adakan secara terbuka sehingga siapapun dapat menyaksikannya. Winter sudah siap untuk menghadirinya. Winter berdiri di depan jende
Marvelo menarik kopernya melewati beberapa orang yang ada di depannya, sekilas pria itu melihat ke belakang, Marvelo tersenyum hangat melihat Charlie dan Lessy melambaikan tangan mereka mengantar kepergian Marvelo. Marvelo kembali melangkah, pria itu tetap tersenyum menyembunyikan suatu perasaan yang mengganjal di hatinya. Kepergian Marvelo terasa tidak begitu menyenangkan karena dia meninggalkan Winter dalam keadaan sedang terluka. Tidak ada maksud untuk dia meninggalkan Winter sendirian, namun keadaan yang memaksa Marvelo harus mengambil keputusan ini. Meski Marvelo ingin menemaninya dan membantu gadis itu bangkit dari kesedihannya, namun Marvelo juga tidak berani terus mendekat karena dia harus segera melenyapkan perasaannya. Marvelo tidak ingin menjadi pria lemah yang hidup tanpa tujuan dan tidak berani mengambil keputusan karena sebuah keraguan. Marvelo harus melangkah ke depan. Andaipun suatu hari nanti dia masih tidak bisa melupakan Winter dan masih memiliki kesempatan un
Payung yang meneduhi Winter menghilang, Nai pergi ke belakang dan berdiri dengan para pengawal lainnya. Sementara Winter, gadis itu masih tetap berdiri di tempatnya melihat makam dirinya dan Marius yang berdampingan berada di tempat yang jauh dari pemakaman yang lainnya. “Aku akan merindukanmu Marius, sama seperti saat kau merindukanku ketika aku hilang. Namun aku juga akan bangkit Marius, seperti apa yang kau inginkan, aku akan bahagia dan menjalani kehidupanku dengan baik. Terima kasih telah menjadikanku cinta pertama dan terakhirmu, aku merasa begitu terhormat.” Winter membungkuk,meletakan bunga yang sejak tadi tidak lepas dari pelukannya. “Aku tidak akan melupakanmu Marius, aku mencintaimu.” Matahari yang turun mulai kehilangan cahayanya, pohon-pohon besar yang berdiri menjulang mengelilingi area pemakaman mulai menghalangi sore terakhir hari ini. Angin berhembus lebih kuat menggerakan rumput-rumput dan bunga liar di sekitarnya. Winter tercekat kaget, samar dia melihat bayang
Marvelo terduduk di kursinya melihat keluar jendela, memperhatikan Irina yang kini tengah makan siang bersama Lessy dan juga Charlie. Marvelo menghela napasnya dengan berat, dua hari ini terakhir ini dia sempat di buat galau karena mendengar pengakuan Winter, rupanya gadis itu sudah tahu mengenai perasaannya, sayangnya Winter tidak ingin mendengarkan pengakuan cinta Marvelo. Marvelo sedikit marah dan kecewa, jika saja Winter tidak terlalu menggodanya dan menunjukan sikap seperti seseorang yang suka kepadanya, mungkin Marvelo tidak akan menaruh harapan yang banyak dan berpikir bahwa gadis itu memiliki perasaan juga kepadanya. Marvelo malu karena ternyata dia terlalu terbawa perasaan dengan kebaikan yang Winter berikan kepadanya. Ini sangat menyakitkan, mengecewakan dan membuat Marvelo beberapa kali harus duduk termenung memikirkan bagaimana cara mengatasi patah hatinya. Kini, tidak ada lagi alasan yang bisa menahan Marvelo berlama-lama di Neydish, Marvelo akan segera pergi. Di am
Winter tertunduk mengenggam tangan Marius, gadis itu bernapas dengan tersenggal tidak mampu menutupi apapun lagi yang selama ini dia rahasiakan. Winter meletakan bunga itu tangan Marius agar pria itu menggenggamnya. Rahasia yang begitu sulit untuk Winter beritahu mengenai siapa dia sebenarnya kini akhirnya meledak mendorong Winter lebih berani berkata jujur. “Dulu, saat masih kecil, tepat di hari kasih sayang, kita menjual bunga mawar di jalanan hingga malam hari agar aku kita bisa membeli sepatu baru karena sepatu lamaku harus di pakai adik-adikku. Aku masih ingat, saat itu tiba-tiba saja kau berlari pergi mengambil sebuah simpul kain berwarna biru yang mengikat beberapa cangkang kado, kau menutup mataku dan memaksaku untuk pergi dari tempat itu. Kau bilang kau akan memberiku kejutan. Sebenarnya aku tahu, alasan kenapa saat itu kau terburu-buru membawaku. Di dekat toko kita berjualan, ada ayahku yang tengah makan malam bersama isteri dan anaknya, mereka terlihat bahagia, kau membaw
Levon dan Jenita yang tertidur di sofa langsung di buat terbangun begitu merasakan pergerakan orang yang lewat. Mereka melihat ke penjuru ruangan, memperhatikan kedatangan dua dokter dan satu perawat memasuki ruangan tempat Marius berada, para ahli medis itu mereka langsung menuju ranjang dan melakukan suatu tindakan yang terlihat darurat karena Marius semakin kesulitan bernapas. Perlahan Levon bangkit, dari balik kaca Levon melihat para pekerja medis yang terlihat sangat berusaha membantu Marius agar kembali stabil. Wajah Levon tampak pucat di penuhi oleh kekhawatiran, padahal dua jam yang lalu keadaan Marius terlihat membaik bahkan Marius sempat berbicara dengan akrab bersamanya dan juga Jenita, namun ternyata kini keadaan dia kembali memburuk. Jenita meminta Levon terduduk lemah, rapalan do’a dan harapan tidak pernah putus, namun suara kesakitan Marius yang teramat dalam begitu menyiksa pendengaran Jenita dan Levon. “Masa depanku sudah gelap semenjak melihat Marius kembali ter
Levon duduk dengan tegak di samping Marius, pria itu kembali datang dengan cepat dan memilih mengesampingkan semua pekerjaannya yang selama ini selalu menjadi prioritasnya. Sejak Marius terbangun kembali, tidak ada pembicaraan yang berarti terjadi di antara mereka. Levon sendiri sadar, terlalu banyak kesalahan yang telah dia buat hingga tidak dapat lagi di jabarkan dengan kata-kata. Kini Levon sedang berusaha membuka kasus di balik penyerangan yang di alami puteranya, namun yang menjadi masalahnya adalah Shanom dan Sean tiba-tiba menghilang sejak beberapa hari yang lalu. Perginya mereka secara bersamaan semakin menguatkan kecurigaan Levon jika keduanya memang dalang dari semua masalah yang terjadi. Jika Marius semakin tidak berdaya dengan keadaan tubuhnya, hal ini akan menciptakan guncangan hebat untuk perusahaan dan Sean akan terpilih sebagai peminpin selanjutkan ketika Levon pensiun di karenakan Sean lebih berpengalaman. Hak Marius tidak mungkin juga di ambil Jenita begitu saja