Leta tampak berjalan mengendap-endap dari pintu belakang. Ia sangat berharap jika aksinya itu tidak diketahui oleh ibunya. Namun, semua itu hanya hayalan semata. Baru saja dia membuka pintu belakang, dia memejamkan mata ketika melihat ada yang menjulang tinggi tepat di hadapannya.
"Ibu, hehehe. Ibu ngapain di sini?" tanya Leta kikuk."Harusnya Ibu yang tanya, kenapa baru pulang sekarang? Kenapa pulangnya lewat pintu belakang? Bukankah pintu depan terbuka lebar?"Serentetan pertanyaan ibunya membuat Leta menelan salivanya dengan susah payah."A--aku mau--""Langit dari tadi nungguin kamu, tapi kamu malah mau menghindar dari dia? Di mana letak sopan santunmu itu, Ibu sama sekali tak pernah mengajari kamu seperti itu.""Maaf, Bu. Aku akan segera menemui Langit. Tapi, Bu, aku masih belum mandi, aku malu kalau ketemu sama dia tapi penampilanku seperti ini.""Nggak usah alasan. Biasanya kalau Langit ke sini bahkan kamu baru bangun tidur aja langsung nemuin dia. Cepat lewat pintu depan. Segera temui dia, dari tadi dia selalu mencemaskan kamu."'Cih! Mencemaskan? Itu hanya kamuflase saja, Bu,' decak Leta dalam hati."Aku--""Leta," tegur ibunya."Iya, iya, Bu. Aku akan lewat pintu depan."Leta berjalan menuju ke arah pelataran rumahnya, dia menghela napas panjang ketika sudah berada di depan pintu."Hufft! Semoga saja ....""Habis dari mana saja kamu?"Leta memundurkan langkahnya ketika Langit mencoba mendekatinya."Bajumu ... kenapa lebih rapi dari sebelumnya? Siapa yang berbaik hati meminjamkanmu? Atau jangan-jangan ketika habis tidur denganku, kamu juga tidur dengan pria lain?" tanya Langit dengan senyum remeh."Tutup mulutmu, Langit!" geram Leta. Wanita itu mengepalkan tangannya."Kenapa marah? Apakah ucapanku benar?"Tangan Leta terasa gatal, rasanya ingin memukul Langit sekeras-kerasnya, sayangnya hati dia tak sejalan dengan pemikirannya.Wajah Langit mendekat ke telinga Leta."Aku semakin yakin kalau dirimu itu wanita murahan," bisik pria itu. Langit pun menjauh."Tujuan kamu datang ke sini hanya untuk menghinaku?" tanya Leta dengan raut wajah amarah.Langit tak menjawab, dia hanya menatap Leta dari atas sampai bawah dengan tangan melipat di depan dada."Sepertinya aku kurang kejam untuk menyiksamu, terbukti saat ini kamu terlihat baik-baik saja."Leta membuang pandangannya. "Sebaiknya kamu pergi dari sini.""Kamu ngusir aku?""Menurutmu?"Langit tampak manggut-manggut. "Sepertinya aku harus lebih kejam lagi untuk menyiksamu agar kamu tidak lancang lagi terhadapku!"Leta tertawa miris, menurutnya Langit benar-benar berubah. Dulu tatapan pria itu terlihat begitu lembut, kini sangat jauh berbeda, tatapan pria itu seperti ingin membunuh dirinya."Ingat! Saat ini kamu tidak bisa berkutik. Aku mempunyai video panas kita. Setiap aku membutuhkanmu segeralah datang padaku, kalau tidak ...." Langit menoleh ke arah dapur seraya menyunggingkan senyumnya, "omong-omong ibumu punya serangan jantung, kan?""Langit! Bisakah kamu tahu batasan? Ingat, bahwa saat ini aku adalah istri dari papamu," geram Leta.Langit mengedikkan bahunya acuh."Aku suka melihat raut wajahmu yang begitu ketakutan. Kalau semuanya tidak mau terjadi, patuhlah terhadapku, mengerti?"Leta tak menjawab, dia hanya menatap pria itu dengan penuh kekecewaan."Nanti malam jangan lupa datang," bisik pria itu. Setelah itu Langit pergi dari hadapan Leta seraya bersiul senang.Sementara Leta, mata wanita itu tampak berkaca-kaca."Langit, kenapa kita jadi jauh seperti ini," lirih wanita itu pilu.***[Aku nggak bisa datang. Aku harus berkunjung ke tempat suamiku, aku harap kamu paham.]Selesai mengirim pesan, Leta tampak berjalan mondar-mandir, dia berharap jika Langit masih berbaik hati.Sebenarnya itu hanya alasan Leta saja agar dia tak bertemu dengan Langit.[Begitu ya?]Leta mengusap dahinya secara perlahan. Dia membaca balasan pesan dari Langit dengan seksama. Dari ketikan pria itu sungguh tidak bisa ditebak. Apakah Langit akan membiarkan atau melarangnya?Leta pun kembali membalas pesan pada pria itu.[Iya.]Satu menit, dua menit, hingga lima belas menit Leta menunggu balasan dari Langit, tapi sampai saat ini tak ada lagi pesan dari pria itu."Oke, sepertinya dia tidak mempermasalahkannya. Ya sudahlah, bagus dong karena aku nggak ketemu sama dia. Eh, tapi ... aku akan tetap ke rumah sakit," lirih Leta.Sudah lama dia tidak pergi mengunjungi suaminya, bukan karena dia peduli, hanya saja Leta ingin tahu bagaimana kondisi suaminya itu, apakah lebih baik atau tidak.Wajah Leta menengadah ke atas sembari memejamkan mata. "Hah! Sampai saat ini aku beneran nggak nyangka kalau aku ini udah menikah, bahkan aku menikah dengan orang yang sama sekali tak kucintai. Namun, biar bagaimanapun aku harus tetap peduli dengannya. Kalau tidak ada dia, mungkin kakakku tidak akan tertolong. Kenapa hidupku jadi serba salah gini sih. Napas aja kayaknya aku salah deh," keluh wanita itu.Leta pun bersiap-siap pergi. Ya, dia yakin akan pergi ke rumah sakit."Mau ke mana?"Leta meringis pelan ketika mendengar pertanyaan ibunya yang menurutnya sangat horor."Aku mau--""Apa kamu mau bohong lagi sama Ibu?" sergah Tika."Ah, mana mungkin. Aku mau pergi sebentar, Bu. Langit ngajakin aku ke rumah sakit mau lihat kondisi papanya," kata Leta meyakinkan.Tika menatap Leta dengan curiga. Sementara yang ditatap seperti itu menghela napas berat."Ibu nggak percaya sama aku? Ya ampun, Bu, ngelihatinnya jangan begitu dong," rajuk Leta."Ibu cuma--""Ibu tenang aja, aku keluarnya nggak akan lama kok, habis antar Langit aku janji langsung pulang."Tika menghela napas panjang. "Ya udah sana pergi.""Makasih banyak, Bu. Aku pergi dulu ya," pamit Leta dengan senyum sumringah.***Leta memandangi suaminya itu dengan tatapan nanar. Tatapan wanita itu antara benci dan juga kasihan.Di satu sisi dia ingin sekali suaminya itu sadar dari komanya agar ia bisa terbebas dari Langit. Namun, di sisi lain juga dia tidak ingin rahasianya terbongkar oleh suaminya karena pernah tidur dengan pria lain.Kriieett ...Leta menghela napas panjang ketika mendengar suara pintu terbuka. Wanita itu menduga pasti dokterlah yang ingin mengecek kondisi suaminya itu."Dokter, bagaimana kondisi suami sa-- Langit? Untuk apa kamu datang ke sini?" Leta terkesiap, tanpa sadar dia memundurkan langkahnya."Memangnya aku nggak boleh jenguk papaku sendiri?" Pria itu tersenyum sinis.Suasana di dalam ruangan itu terasa begitu mencekam."Di sini ada papa, di luar juga ada banyak orang yang lalu lalang, pintu juga tidak terkunci, besar kemungkinan ada seseorang yang akan masuk. Aku jadi penasaran, gimana rasanya jika kulit kita saling bersentuhan dengan momen seperti itu, Leta.""Apa yang akan kamu lakukan?" Leta tampak ngeri mendengarnya."Aku akan memberitahu pada papa bahwa sebenarnya aku sudah tidur dengan istrinya. Gimana menurutmu?" Senyum jahat Langit membuat Leta merinding."Jangan gila, Langit!" geram Leta."Sudah kubilang, jangan pernah berani membantah ucapanku. Tapi apa yang kamu lakukan, hah?! Sekarang rasakan akibatnya."Tangan Leta ditarik kasar menuju ke arah sofa, lalu pria itu mendorong tubuh Leta hingga wanita itu terjerembab di sofa tersebut."Langit, jangan! Aku mohon jangan!""Kau sendiri yang memulai.""Aku akan mengikuti kemauanmu, tapi aku mohon jangan di sini," mohon Leta."Oke, aku setuju dengan usulmu. Tapi ... seperti ucapanku tadi, aku akan memberitahu papaku."Leta menelan salivanya dengan susah payah ketika melihat senyum pria itu yang menakutkan."Langit, kamu mau apa?" Suara Leta tampak bergetar."Menurutmu?""Apa yang sedang kalian lakukan?"Langit menggeram kesal, dia menoleh ke arah pintu, matanya mendelik tajam ketika melihat seorang pria memakai jas putih tengah menatap ke arah mereka."Sedang main-main," jawab Langit acuh. Pria itu menatap ke arah Leta, yang saat ini penampilannya begitu acak-acakan, "cepat rapikan dirimu, kita pindah ke tempat lain.""Langit, aku nggak--""Apa? Kamu mau melawanku lagi? Ya sudah, lebih baik kita lakukan di sini saja. Kayaknya seru juga karena disaksikan oleh papaku dan dokter. Bukan begitu Pak Dokter?" ujar Langit seraya melepaskan sabuknya.Mata Leta membulat sempurna karena ucapan Langit, ditambah lagi ketika melihat Langit akan melepaskan celananya. Buru-buru wanita itu mencegahnya."Apa yang kamu lakukan, Langit? Jangan gila! Sebaiknya kita pergi dari sini.""Bagus! Itulah yang dari tadi aku harapkan, tetapi kamu selalu mengulur waktu. Pak Dokter, tolong periksa keadaan papaku ya, takutnya malah lebih buruk dari yang sebelumnya. Oh ya, apa Pak Do
Mata Leta perlahan terbuka, ia menatap langit-langit kamar itu dengan samar. Beberapa kali wanita itu mengerjapkan matanya, setelah nyawanya benar-benar terkumpul dia langsung terduduk."Aku di mana?" lirih wanita itu. Ya, dia sudah sadar kalau ini bukanlah tempat tidurnya.Leta mengingat kejadian tadi malam secara perlahan-lahan, tak lama setelah itu dia menutupi mulutnya menggunakan kedua tangannya. Leta langsung menoleh ke samping tempat tidurnya, dan benar saja ada seorang pria yang sedang tidur begitu pulasnya.Leta menggosok-gosok badannya karena merasa kedinginan, detik kemudian matanya membulat sempurna karena tak ada satu pun pakaian yang melekat pada tubuhnya."Astaga! Apa yang kami lakukan semalam. Kenapa aku harus melakukan kesalahan lagi," ucap Leta pelan."Kamu bisa diam nggak sih. Aku lagi tidur, bisakan nggak usah berisik?" omel pria itu dengan mata masih terpejam."Maaf.""Aish! Lebih baik kamu pulang saja," usirnya kemudian."Iya, tapi ... bolehkah aku meminjam bajum
"Nggak ada.""Bohong.""Bener, Bu. Aku nggak ada sembunyiin apa-apa dari Ibu."Tika menghela napas berat. "Ibu tahu kalau kamu lagi bohong."Leta terdiam cukup lama, berpikir jawaban apa yang tepat untuk ibunya."Sebenarnya aku lagi bingung, Bu. Aku sama Langit pacaran udah cukup lama, tapi hubungan kami masih stuck di situ-situ aja," bohong Leta."Apa Langit sama sekali belum pernah membahas untuk ke jenjang yang lebih serius, Let?" tanya Tika penasaran."Dulu sudah, tapi aku yang selalu mengulur waktu. Ditambah lagi dengan keadaan papanya sekarang, pasti itu yang membuatnya terpukul. Aku nggak mau tanya-tanya soal itu, Bu. Saat ini dia lagi fokus pada kesembuhan papanya. Kita doakan saja semoga papanya segera pulih seperti sedia kala." Lagi dan lagi Leta membohongi ibunya.Entah sampai kapan dia akan seperti ini, setidaknya biarkan saja dulu. Suatu saat ia berjanji akan memberitahukan semuanya pada ibunya secara pelan-pelan."Amin. Nanti biar Ibu aja yang bilang ke Langit tentang hu
Usai mendengar perkataan Langit yang begitu kejam, Leta langsung membelakangi pria itu. Menatap ke bawah, melihat pakaiannya berserakan di dekat kakinya.Mata wanita itu berkaca-kaca, sekali mengedipkan mata saja pasti air matanya akan keluar. Namun, sekuat tenaga ia tahan.Buru-buru dia memunguti pakaiannya itu dengan tangan gemetar.Sudah sering kali dia dipermalukan oleh Langit, tapi untuk kali ini ucapan Langit menurutnya sangat menyakitkan."Siapa yang menyuruhmu memunguti pakaian itu?""Kamu sendiri yang bilang kalau tubuhku ini terlalu murah untuk orang sepertimu," sahut Leta dengan suara gemetar."Aku memang bicara seperti itu, tapi aku tidak menyuruhmu untuk memakai pakaianmu," tandas Langit.Leta menghela napas berat. "Sebenarnya mau kamu itu apa, Langit?""Menghukum kamu," ucap pria itu gamblang."Perlakuanmu saja sudah sangat menghukumku, apalagi yang kamu inginkan dariku?""Membuatmu menderita, itulah yang aku inginkan. Seperti itulah aku menderita karena dirimu. Aku tida
"Cepat woi, kalau lama nanti aku tinggal nih," ancam Sisi dari ujung sana."Iya, iya. Sabar dulu, aku lagi siap-siap nih. Jangan bikin aku gugup dong, nanti aku lupa apa-apa aja yang mau dibawa," sahut Leta sambil memasukkan baju-bajunya ke dalam koper. "Duh, apalagi ya yang aku bawa.""Nggak usah bawa banyak-banyak kali, Let. Kita cuma mau liburan bukan pindah," peringat Sisi."Aish! Apa salahnya kalau aku ingin menikmati masa liburanku, Si. Udah ya, aku mau otw ini. Sampai ketemu nanti." Leta langsung mematikan sambungan teleponnya.Leta tersenyum puas ketika melihat barang-barangnya sudah siap. Dia pun langsung merapikan dirinya lalu keluar dari kamarnya.Wanita itu terkejut ketika membuka pintu, ibunya berdiri tepat di depan pintunya."Ibu kenapa berdiri di sini? Ngagetin aja," ucap Leta seraya mengusap dada."Kamu jadi pergi?" Bukannya menjawab, Tika malah balik bertanya.Leta mengangguk. "Jadi, ini udah siap-siap tinggal berangkat. Kenapa, Bu?"Tika tampak terlihat resah dengan
"Hai."Tanpa Leta sadari, dia menjatuhkan ponselnya dari samping telinganya, dia memundurkan langkahnya tatkala melihat Langit berjalan mendekatinya."Ke-kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Leta gugup, dia terus saja memundurkan langkahnya hingga terpojok di tembok.'Ah! Sial! Kenapa bisa ada tembok di belakangku?' keluh wanita itu dalam hati."Kenapa? Hak aku dong mau ke mana pun," sahut Langit santai. "Kenapa kau menghindar dariku, apa kamu takut? Santai dong, aku nggak bakal gigit kamu kok." Langit menutup pintu itu diselingi seringai tajam."Jangan macam-macam, aku akan teriak!" ancam Leta.Langit mengedikkan bahunya acuh. "Teriak saja, memangnya aku takut?""Sekali lagi aku tanya, ngapain kamu ke sini?" tanya Leta, dia berusaha mengalihkan perhatian agar Langit tak berbuat macam-macam padanya."Sekarang aku yang tanya. Kenapa kamu pergi sejauh ini tanpa sepengetahuanku? Pasti kamu ingin menghindariku, kan?" Langit balik bertanya."Aku mau ke mana pun itu bukan urusanmu, apa hak
Tok ... tok ... tok."Siapa sih?" keluh Langit.Mata Leta pun ikut terbuka, matanya melotot ketika dia menyadari sesuatu."Astaga! Aku melakukannya lagi?" Wanita itu menjambak rambutnya frustrasi.Dia melihat pakaiannya dengan pakaian Langit berserakan di lantai."Leta! Buka pintunya. Kamu lagi ngapain sih? Kenapa betah banget di dalam kamar, emangnya kamu nggak lapar, hah?!" teriak Sisi dari pintu kamar itu."Ya Tuhan, itu Sisi."Ketika Leta mau bangun dari tempat tidur, Langit mencegahnya."Biarkan saja.""Dia temanku," bantah Leta."Ya sudah, silakan saja buka pintunya kalau kamu ingin dia melihat kita berdua dalam keadaan seperti ini," ujar Langit masa bodo.Leta pun mengurungkan niatnya untuk membukakan pintu."Leta! Ya Tuhan anak ini. Cantik-cantik kenapa telinganya tuli sih," keluh Sisi dari luar. "Let! Leta! Aleta!" teriak Sisi lagi.Leta masih bergeming di tempat. Dia jadi serba salah. Kalau dia terus saja diam, pasti Sisi tidak akan berhenti berteriak, sedangkan kalau dia me
"Udah pesan kenapa masih pesan lagi?" tanya Sisi sambil mengerutkan kening."Buat jaga-jaga siapa tahu nanti lapar lagi. Kalau mager aku memang males keluar, makanya ini buat persiapan.""Nggak mau ikut aku keluar jalan-jalan? Bentar lagi kita mau pulang loh, nggak mau mengabadikan momen gitu?" tawar Sisi.Leta menggeleng patah-patah, kentara sekali kalau ia ragu menjawabnya. Sebenarnya dia ingin, tapi apalah daya.Sisi menghela napas berat. "Ya udah, terserah kamu aja. Aku pergi. Eh satu lagi, aku cuma mau ngingetin jangan sampe nyesel ya, di sini itu pemandangannya indah banget. Bye."Leta tersenyum tipis ketika melihat Sisi pergi meninggalkannya, tak lama kemudian mengedikkan bahunya acuh. Dia pun memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kamar.Sesampainya di kamar, Leta langsung bergegas menemui Langit, meskipun pria itu sangat jahat padanya, tapi Leta masih punya hati, dia rela memesankan makanan untuk pria itu."Langit, aku tahu kamu belum makan, makanya aku bawakan kamu ...." Le
"Apa yang kamu lakukan?!"Langit menatap David berang, lalu pandangannya beralih ke arah Mahendra dan Leta.Dia bernapas lega karena melihat Leta tampak baik-baik saja, meskipun menggigil ketakutan. Dengan cepat Langit mendekati Leta, mendekap tubuh wanita itu dengan erat serta menghujani beberapa kecupan, lalu tali yang mengikat tangan wanita itu dilepas serta benda yang ada di mulut juga dilepas."Kamu nggak apa-apa?" tanya Langit khawatir.Leta menggeleng. Kenyataannya keadaannya memang tidak baik-baik saja. Langit pun menuntun Leta ke sofa untuk duduk."Astaga! Dia sudah mati. Kenapa kamu melakukan hal sekeji ini?!" pekik Axel. Dia yang lebih dulu menghampiri Mahendra usai tumbang.Pekikan Axel jelas saja membuat Langit dan Leta tersentak, kecuali David.Ya, ternyata sebelum Mahendra berniat menembak Leta, David yang lebih dulu memulainya. Entah dari mana pria itu datang, yang pasti salah satu dari mereka tidak ada yang menyadari kedatangan David."Orang seperti itu memang harus d
"Saya akan segera menyusul Anda, saat ini saya sedang dalam perjalanan," ujar David yang panggilannya langsung diangkat oleh Langit."Sebenarnya apa yang sedang kamu rencanakan, David? Apa yang kamu sembunyikan dariku?" tanya Langit to the poin."Saya tidak menyembunyikan apapun dari Anda, Pak. Saya berani bersumpah. Kalau perlakuan saya tadi membuat Anda curiga, saya mohon maaf. Tadi sebenarnya saya ingin menghubungi pihak polisi, saya menyuruh Anda pergi duluan agar mereka terkecoh, Pak. Maaf kalau sudah membuat salah paham," jelas David panjang lebar."Kau sedang tidak membohongiku, kan?""Tidak, Pak. Saya berani bersumpah. Bahkan saya selalu mengingat kata-kata saya untuk Anda, saya akan selalu mengabdikan seluruh kehidupan saya pada Anda."Langit mendengkus keras. "Aku tidak suka omong kosong. Nggak usah bicara seperti itu, kamu berhak menentukan hidupmu sendiri. Aku sudah sampai, aku akhiri dulu panggilannya.""Pak, tunggu. Saya harap Anda harus hati-hati, mereka itu licik. Saya
"Hai, Langit."Langit tersentak ketika mendengar suara laki-laki. Dia kembali melihat ke layar ponselnya untuk memastikan jika tadi dia tidak salah melihat. Setahunya nomor Leta yang menghubunginya."Siapa kau? Kenapa bisa ponsel istriku ada di kamu? Jangan macam-macam!""Hahaha, bagaimana kalau satu macam? Istrimu sangat cantik, rugi rasanya kalau tidak macam-macam.""Berengsek! Siapa kau sebenarnya?!" umpat Langit. "Berikan ponselnya pada istriku, cepat!""Hahaha, kenapa kamu tampak begitu ketakutan, Langit? Di mana sifat angkuhmu seperti biasanya itu?""Jangan main-main denganku kalau kamu nggak mau terjadi sesuatu di kehidupanmu, sialan! Cepat berikan ponselnya pada istriku!""Nggak! Aku mau nunggu kamu sengsara dulu baru aku bakal balikin, bahkan istrimu juga bakal aku balikin sekalian ke kamu. Tapi tunggu aku puas dulu ya, hahaha. Sampai jumpa, Langit. Ingat, jangan macam-macam kalau ingin istri kamu selamat!" ancam pria itu, tak lama kemudian panggilan itu terputus."Sialan! Ap
"Jadi di sini tempat tinggal Langit sekarang?""Rumahnya banyak. Tapi aku yakin dia bakal tinggal di sini, karena ini adalah rumah utamanya."Axel manggut-manggut ketika mendengar penjelasan Mahendra."Dengar-dengar dia udah nikah. Nggak tahu sama wanita yang kamu maksud atau bukan," ucap Axel seraya mengembuskan asap rokok dari bibirnya."Oh ya?" Mahendra tersenyum sinis. "Jelas saja dengan wanita yang sama, karena dia sangat cinta mati dengan wanita itu."Axel tak menyahut, dia hanya mengedikkan bahunya acuh."Aku beritahu kamu sesuatu, sebenarnya wanita yang saat ini menjadi istrinya Langit pernah menjadi istriku."Mulut Axel menganga lebar. "Maksudnya dia jatuh cinta dengan mama tirinya begitu? Wah, ini benar-benar skandal luar biasa."Axel berdecak berkali-kali, sungguh heran dengan sebuah fakta yang baru dia ketahui."Bukan. Mereka sebenarnya sudah saling jatuh cinta dari dulu. Mereka dulu sepasang kekasih namun secara paksa aku renggut kebahagiaan mereka dengan menikahi wanita
"Bagaimana bisa?" Sentak Langit."Saya juga tidak tahu, Pak. Saya yakin ini ada campur tangan orang-orang yang tidak menyukai Anda."Langit menghela napas gusar. Mendengar kabar bahwa Mahendra sudah keluar dari penjara satu bulan lalu jelas membuatnya terkejut. Masalahnya yang jadi pertanyaan siapa yang menjamin pria itu? "Sudah kamu telusuri?"Langit yakin sebelum David menceritakan semuanya pasti pria itu akan menelusuri sampai ke akar-akarnya."Ini baru dugaan, ada pria bernama Axel yang membantunya. Setahu saya Axel ini pernah menawarkan Anda kerjasama, akan tetapi Anda menolaknya karena menurut Anda kurang menguntungkan, meskipun Anda waktu itu menolaknya secara halus tetap saja mungkin dia merasa tersinggung."Langit kembali menghela napas. "Axel? Kamu tahu sendiri kenapa alasan aku menolak tawaran pria itu. Dia kerja asal saja, tidak mementingkan keselamatan konsumen, itu yang membuatku menolaknya. Kalau memang dia yang menyelamatkan tua bangka itu biarkan saja. Aku ingin lih
"Jaga Leta ya, Langit."Langit mengangguk. "Ibu tenang saja, pasti aku akan selalu jaga Leta. Saat ini dia adalah prioritas utamaku.""Cuma saat ini aja?" tanya Satria dengan pandangan menyipit. "Atau sampai Leta melahirkan baru kamu kembali mengacuhkannya?""Selamanya." Langit melirik pria itu dengan sinis, ada saja tingkahnya yang membuatnya jengkel."Oh, siapa tahu, kan? Bisa aja--""Bang!" tegur Leta. "Apaan sih, nggak usah sinis gitu kenapa sama suami aku. Nanti kalau Abang punya istri, aku sinisin balik emangnya Abang terima?" Satria tersenyum kecut. "Bercanda aja kok, gitu aja--""Bercanda boleh aja, tapi lihat kondisi juga. Nggak mungkin, kan, Abang nggak bisa bedain yang mana waktunya serius sama yang mana waktunya bercanda?" Leta kembali menyela ucapan Satria."Iya, iya." Satria pasrah saja.Pria itu harus bisa menjaga perasaan adiknya karena selama Leta hamil, dia itu gampang sensitif."Udah, udah. Kalian ini kenapa sih ribut terus, nggak enak kalau didengar sama tetangga,
Menikah dengan Langit entah mengapa banyak keraguan yang menyusup di hati Leta.Wanita itu juga bingung dengan hatinya. Mungkin karena meragukan perasaan pria itu, atau dia kecewa karena mengetahui sebuah fakta bahwa suaminya terjerat kasus tabrak lari yang menimpa Mahendra, meskipun sebenarnya dia bersyukur karena ulah Langit, Mahendra belum sempat melakukan apapun padanya. Namun, di sisi lain dia merasa kurang suka dengan tindakan Langit. Intinya saat ini hati Leta benar-benar begitu bingung.Menurut Leta, Langit adalah pria yang sangat baik, lebih malahan. Selama menjadi istri pria itu, Langit tak pernah berbicara kasar, tidak memperlakukannya dengan tindakan semena-mena, yang ada malah Langit sangat tulus padanya. Lalu, mengapa Leta masih meragukan pria itu?Wanita itu menghela napas berat."Astaga! Apa yang aku pikirkan," gumam wanita itu seraya menggeleng pelan. Tak lama setelah itu ponsel Leta berdering, dia langsung mengambil ponselnya yang tak jauh darinya.Tanpa sadar bibir
"Kamu beneran ingin niat serius dengan adikku?" tanya Satria memastikan."Menurutmu? Apa mengajak seorang wanita menikah adalah sesuatu lelucon?" tanya Langit balik."Aku serius bertanya padamu!" geram Satria."Aku pun demikian. Meskipun kamu menentang kami, aku tidak akan menyerah. Selama ini aku membiarkanmu membawa Leta ke mana pun kamu pergi, tapi sayangnya kamu menyia-nyiakan kesempatan itu. Kamu selalu bilang kalau Leta tidak butuh aku, dan anak yang dikandung Leta tidak membutuhkan peran ayahnya. Nyatanya apa, bahkan kamu sendiri pun tidak mampu untuk membiayainya." Langit tersenyum sinis.Sedangkan Satria, pria itu tak terima dengan ucapan Langit. Dia mengepalkan tangannya."Atas dasar apa kamu bicara seperti itu, huh?!""Kenapa? Nggak terima? Memang kenyataannya seperti itu, kan? Apa selama ini kamu peduli dengan Leta? Kalau aku nggak ada di tempat yang sama dengan Leta waktu itu, aku pun nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dia. Asal kamu tahu, beberapa kali bidan men
"Semua sudah saya telusuri, tapi memang tidak ada tanda bukti-bukti jejak kejahatan mereka, Tuan."Mahendra mendesah berat. Kecewa karena sampai detik ini Putra belum juga mendapatkan bukti bahwa Langitlah yang membuatnya kecelakaan."Kamu yakin?" tanya pria itu memastikan."Iya, Tuan. Cctv pun sudah saya cek, tapi memang tidak ada yang mencurigakan. Saya rasa kecelakaan Tuan itu memang murni kecelakaan, bukan campur tangan orang lain."Mahendra menggeleng tegas, jelas saja dia tidak terima dengan ucapan Putra."Nggak! Aku yakin banget kalau dia dalang dari semua ini!" sentaknya."Kalau memang Tuan Langit pelakunya, pasti akan meninggalkan jejak, Tuan. Tapi bukankah malah sebenarnya Tuan sendiri yang ingin menghabisi nyawa Tuan Langit? Atau mungkin itu karma untuk Tuan karena ... sudah berniat--""Tutup mulutmu, sialan! Aku nggak butuh ucapanmu yang nggak bermutu itu!" Suara Mahendra tampak menggelegar."Saya minta maaf, Tuan.""Kalau begitu kamu kembali cari-cari bukti bahwa Langit m